KEGIATAN YANG BERNILAI IBADAH DAN KEGIATAN YANG BUKAN
BERNILAI IBADAH
Ibadah itu bernilai dua dimensi, dunia dan akhirat.
Ibadah itu tidak dikotomis.
Syarat utama ibadah itu ada dua, ikhlas dan mutaba’ah.
Ikhlas sering dimaknai dengan sukarela, suka hati, willingly, sepi ing pamrih,
tanpa mengharapkan balasan atau balas jasa. Seringkali kata ikhlas diikuti
dengan frasa lillaahi ta’ala, artinya semata-mata karena Allah. Kalau demikian
adanya, apa pun yang kita lakukan, ganjaran atau tidak ada ganjaran, semuanya
diserahkan kepada Allah semata. Akan tetapi, jika kita merujuk kepada firman
Allah, bahwa segala perbuatan yang baik itu diganjar dengan ganjaran sepuluh
kali lipat, maka yakinlah kita, bahwa ibadah yang kita lakukan bernilai dua
dimensi, ganjaran kebaikan yang diperoleh di dunia, dan ganjaran kebaikan di
akhirat (semuanya ada dalam catatan tanpa cacat dari sepasang malaikat yang
berada di sisi kanan dan kiri kita).
Keikhlasan itu amat pribadi, hanya orang ybs dan Allah
saja yang tahu. Keikhlasan tak bisa diwakili oleh ucapan verbal “Saya ikhlas,
kok!” ataupun sikap tawaddu’ atau wujud kinerja orang ybs. Sering kita saksikan
di mesjid, seseorang berinfak untuk mesjid dan tak mau namanya disebut kecuali
minta disebut sebagai “dari hamba Allah”, menghindari perbuatan berinfaknya
diketahui orang banyak (riya’ dan sum’ah). Ada juga seseroang berinfak dengan nama “hamba Allah”, namun
ujung-ujungnya minta dibacakan nama-nama anggota keluarga yang meninggal, dan
minta dikirimkan Fatihah dan doa untuk seluruh almarhum keluarganya. Perbuatan
itu sama saja dengan memberi tahu orang banyak secara tidak langsung dan
berujung “pamrih”.
Syarat ikhlas saja tidak cukup, harus ada syarat yang
kedua, yakni mutaba’ah. Mutaba’ah artinya melakukan sesuatu karena ada perintah
atau larangan Allah, atau contoh keteladanan dari Nabi saw. Itu berarti bahwa
semua kegiatan yang kita lakukan tidak serta-merta dapat dikatakan bernilai
ibadah. Seorang nonmuslim meskipun berbuat kebajikan selama hidup, sikap sosial
yang tinggi, dermawan, dst. jika senantiasa merujuk kepada pernyataan Allah
dalam Quran, maka tak ada ibadah dari dia, tak bernilai sama sekali, thus takkan pernah ada ganjaran dari Allah,
sampai kapan pun, di dunia dan juga di akhirat. Lihat dan simak QS 3: 185.
Sekarang kita bicara umat Islam saja. Ibadah kan hanya
milik muslim. Kita menyingkirkan paku atau onggokan pecahan kaca di jalanan, membersihkan
got atau saluran air yang mampet, menolong orang tua menyeberang jalan, menyediakan
payung bagi orang lain pada saat hujan, atau membantu memarkir mobil tamu, dll.
adalah ibadah. Ada manfaat bagi siapa pun dengan kegiatan tersebut. Semua kegiatan
tersebut sejalan dengan firman Allah yang menyuruh kita saling tolong-menolong
dalam kebaikan. Ikhlas dan mutaba’ah ada di dalamnya.
Ali dilahirkan di Manggarai, Flores, NTT. Tekad Ali,
dengan niat ikhlas dia merantau ke Jakarta. Dia berjuang keras untuk bisa
bertahan hidup/survive di ibukota. Dia pun berhasil dan oleh orang
sekampungnya, dia dianggap anak muda yang sukses. Usia masih muda namun dia
sudah kaya-raya. Sayang, pada usia masih muda, dia meninggal dalam kecelakaan
lalu lintas. Atas permintaan kedua orang tuanya di kampung, jenazah Ali
diterbangkan ke Manggarai. Ada yang salah dalam peristiwa ini. Apaan tuh?
Kesalahan yang dilakukan oleh para muslim adalah membawa jenazah Ali untuk
dikuburkan di kampung halamannya. Semata-mata hanya alasan emosional saja. Maka
biaya besar pasti dihabiskan untuk kepulangan jenazah. Beban ahli waris tambah
berat karena sengaja diperberat. Jangan karena alasan harta kekayaan mendiang
Ali lebih dari cukup. Tetaplah perbuatan seperti itu namanya mubazir dan
mudarat. Sayang seribu kali sayang, masih banyak orang Islam melakukannya.
Tak ada mutaba’ah di situ. Tak ada alasan syariah/ajaran
Islam di situ. Membawa jenazah ke kampung halaman tidak ada perintah Allah, dan
tidak ada pula contoh teladan dari Nabi saw. Nabi saw dilahirkan dan dibesarkan
di Mekkah sampai usia 53 tahun. Sahabat
Abu Bakar, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib juga
sama-sama asli kelahiran Mekkah, juga sahabat yang lain. Nabi saw dan para
sahabat kemudian hijrah ke Madinah. Setelah Nabi saw wafat, para sahabatnya
wafat, tak ada tuh mobil jenazah yang mengaung-ngaung membawa jenazah dari Madinah
mudik ke Mekkah. Itulah contoh yang benar (supaya dicontoh oleh muslim) tentang
tata cara Islam mengarungi hidup dan tata cara memperlakukan orang yang wafat.
Muslim di Indonesia, sebagiannya (penganut mazhab
tertentu yang terkontaminasi oleh praktik animisme-Hinduisme-kejawen dan masih
tersisa sampai sekarang), maunya jenazah
si mati dibawa ke kampung halaman tempat dia dulunya dilahirkan dan dibesarkan
(tak ada ajaran syariah Islam sama sekali yang seperti itu). Contoh konkret
adalah Bung Karno, Pak Harto, dan Gus Dur. Muslim yang hidupnya pas-pasan pun
masih ada saja yang memaksakan diri melakukan hal seperti itu meski harus
berutang kanan kiri. Hidup sudah susah, tambah dibikin susah. Tak jarang ada
ahli keluarga bunuh diri sebagai tanda setia “sehidup semati” atau karena tak
kuasa menanggung beban hidup yang semakin berat. Inilah contoh praktik hidup
sebagai muslim pecundang pengecut yang salah kaprah, melawan kehendak Allah
Yang Maha Pemurah., dan pastinya membuat Allah murka dan tambah marah.
Allah Swt. menciptakan manusia, menyediakan sumber
makan dan minum dan segala macam fasilitas serta memberi kehidupan agar
dimanfaatkan untuk mempertahankan kehidupan, sehingga manusia tetap hidup, maka
mulialah manusia yang berani hidup
Firman Allah amatlah jelas: di bumi manusia
dihadirkan, bertempat tinggal, beranak-pinak, dan di bumi itu pula manusia
dimatikan, di bumi itu pula manusia dikuburkan. Silakan pilih, permukaan bumi
yang mana saja! Prosesinya disederhanakan, dipercepat, dan dipermudah. Jangan
dikremasi, diolesi formalin, atau ditahan berhari-hari karena Tak ada gunanya
sama sekali. Mudah sekali, bukan? Ya, orang Islam itu hidup begitu mudah.
Adalah keliru melangkah kalau muslim begitu
bersemangat dan sedia berkorban biaya besar yang ‘wah” menegakkan alasan emosi
dan tradisi nenek moyang purbakala negeri antah-berantah, bak kita menegakkan
benang basah, tetapi di lain pihak merubuhkan alasan ranah syariah.