Minggu, 08 Desember 2013
Selasa, 26 November 2013
BOTAK YANG FENOMENAL DAN GONDRONG YANG STAGNAN
BOTAK YANG FENOMENAL
Berbicara botak pasti asal-muasalnya adalah membicarakan
bagian tubuh yang bernama kepala. Kaidah bahasa Indonesia,
diterangkan-menerangkan (hukum D-M) atau kaidah gramatika bahasa Inggris,
menerangkan-diterangkan (hukum M-D) tentang topik botak adalah seperti pada frasa kepala botak, kata kepala berfungsi sebagai D dan kata botak berfungsi sebagai M. atau dalam bahasa Inggrisnya
bald head; bald sebagai M dan head sebagai D.
Rupanya kata botak tidak banyak punya variasi arti
menyempit atau meluas seperti kata-kata lain. Misalnya kata tumpul tidak saja
untuk pisau, seperti pisau tumpul, tetapi juga mempunyai makna lain, misalnya
pada agresifitas permainan sepakbola. Serangan tumpul, striker tumpul, atau
klub tumpul bermakna striker atau serangan yang tak menghasilkan gol untuk
mencetak angka.
Begitu juga dengan kata tajam, mandul, hujan, dll. yang
maknanya meluas. Kata botak masih saja berhubungan dengan kepala atau yang ada
di kepala, yakni rambut. Kepala botak pasti kepala tak berambut. Maling ayam
dibotaki artinya rambutnya dicukur habis sehingga plontos. Zaman dulu, era
dekade 60-an ke belakang, kata botak itu konotasinya minus, tuna, atau bahan
olokan/ejekan. Orang tua yang punya bayi atau anak balita akan berkecil hati
kalau anaknya berambut tipis/jarang apa lagi sampai tak punya rambut alias
botak. Orang dewasa yang rambutnya jarang akan merasa risih karena diejek
sebagai orang yang menderita kurang gizi. Orang yang usianya tua tetapi botak
akan diejek dengan ibarat botak kayak profesor, karena profesor itu identik
dengan kepala botak.
Botak adalah sunnatullah dan manusiawi. Makin tua usia
manusia, peluang untuk botak akan terbuka. Botak itu bisa saja secara alamiah
bisa dimulai dari kepala bagian depan, bisa dari tengah kepala, dari samping
kanan-kiri, dan bisa juga diawali dari belakang.
Namun, botak ternyata bisa menjadi kebanggaan dan
trade-mark bagi seseorang. Telly Savalas, sang aktor Hollywood, sangat bangga
dengan botaknya (disengaja) dan ketenarannya diperoleh karena dia tetap ajeg
dengan penampilan botak. Botak itu bagi Telly Savalas adalah trade-mark dan
malahan membawa hoki dan ketenaran.
Ada fenomena yang menarik di tempat saya bekerja. Ada
banyak staf biasa yang sudah lama dan berpengalaman bekerja sebagai sebagai
staf dengan jabatan pembantu pimpinan. Sebagian dari staf/pembantu pimpinan
yang rambutnya sudah mulai berkurang dan menunjukkan kecenderungan kepada
botak. Pada awal tahun 2012, seorang staf dengan jabatan pembantu pimpinan
diangkat dalam jabatan setara eselon !V. Dia ini, sudah punya gejala botak dan
tampak berawal dari bagian depan. Medio 2012, ada promosi untuk eselon !V lagi.
Dia ini juga botak, bagian botak sudah tampak jelas bagian atas membentuk
lingkaran dan juga bagian belakang sebagiannya. Menjelang kuartal akhir 2013,
ada lagi pejabat baru eselon IV diangkat dan dilantik. Pembaca tentu belum tahu
dan ingin tahu, apa dia tidak botak, setengah botak, atau botak abis!
Pembaca yang budiman,
Pejabat baru kita ini, botak tuntas di bagian atas
kepala seperti peci haji yang menutupi bagian atas kepala, dan rambutnya
tersisa pada bagian bawah. Pemandangan yang menarik. Botak yang indah bak
ditata.
Ngomongin botak, bicara pejabat yang diangkat bernuansa
botak, alih-alih botak ditakuti, sekarang malah dicintai dan digadang-gadang.
Para staf yang berpeluang promosi eselon IV pun berkaca-kaca di depan cermin
mematut-matut kepala, botak atau tidak. Kalau memang botak, tentu hati riang
gembira. Pejabat berikutnya, dengan mengacu kepada pejabat yang botak
sebelumnya, tentu lebih berpeluang staf yang botak yang diangkat. Staf di
tempat saja bekerja bangga dengan kebotakan yang alamiah.
Botak memang fenomenal!
Fave Aston, Braga, Bandung, 21 Nov. 2013
Gondrong yang Stagnan
Kata gondrong dan
kata botak sama-sama kelas kata
adjektiva tetapi kedua kata ini jelas berbeda arti. Gondrong selalu dihubungkan dengan nomina rambut panjang pria dan botak
dihubungkan dengan kepala yang
tak berambut. Nasib kata gondrong
juga berbeda dengan nasib kata botak.
Zaman dahulu, masyarakat tak pernah memasalahkan pria berambut gondrong. Para
raja yang berkuasa: Raja Henry atau Raja George di Kerajaan Britania Raya
berambut gondrong. Jesus Christus dari Nazareth berambut gondrong. Kaisar
Romulus dari Romawi atau Julius Caesar juga berambut gondrong. Hercules, Benhur,
dan sahabat Jesus pub berambut gondrong. Begitu juga para panglima perang atau
komandan tempur jaman kerajaan termasyhur tempo dulu. Rambut gondrong para pria
bukan sesuatu yang luar biasa pada zaman dahulu. Tetapi meskipun mereka
berambut gondrong, mereka tampil rapih dan gagah.
Dalam ajaran agama (Islam) tidak dipersoalkan apa lagi
dilarang seorang muslim berambut gondrong. Nabi saw dan para sahabat tidak pernah meributkan apa lagi melarang
muslim berambut gondrong. Rambut adalah karunia Allah. Urusan dakwah Nabi saw
dalam menanamkan pemahaman dan amaliah Islam jauh lebih penting dari “ngurusi”
rambut gondrong. Tetapi yang jelas, Nabi saw dan para sahabat tidak pernah
berambut gondrong apa lagi panjang tak terurus. Rambut beliau dan para sahabat
selalu rapi. Titik.
Itulah
yang dicontoh oleh para kaum pria yang muslim. Mereka merasa risih jika punya
rambut panjang/gondrong. Tetapi sekali lagi, tak ada anjuran bagi pria berambut
panjang (sunnah dan berfadilah), dan tak ada larangan pula bagi pria yang
berambut gondrong (makruh apa lagi haram). Sama halnya dengan soal
jenggot/janggut. Tak ada sangksi dosa bagi orang yang tak berjanggut dan tak
ada pahala bagi orang yang berjanggut (wong
sunnatullah, manusiawi banget!
Ada orang yang dikaruniai bulu-bulu yang lebat di mana tempat sementara ada
pula orang yang jarang bulunya di mana tempat). Kalau ada saudara kita yang
mengatakan memelihara janggut berpahala dan tidak berjanggut itu berdosa, perkataannya
tak usah didengar dan tak usah dipakai karena tak ada nilainya, “Maksud elu? Saya tak berjanggut, emang masalah
buat elu!”
Gondrong
atau tidak gondrong adalah soal selera. Para anggota Polri atau TNI dan PNS
tidak boleh berambung gondrong adalah soal ada aturan institusi yang mengikat.
Gondrong atau tidak gondrong tak ada kaitannya dengan hablum-minallah sepert
beribadah salat, berpuasa, berzakat, atau berhaji.
Secara agama, rambut gondrong bagi pria itu tak ada
masalah. Mau rambut pendek atau mau rambut gondrong tak perlu dipermasalahkan.Secara
kepantasan dan tradisi, kaum pria akan lebih pantas berambut pendek dan tidak
berambut panjang/gondrong. Lalu apakah rambut wanita harus panjang? Tak perlu
dijawab pertanyaan ini. Wanita muslim berhijab, rambutnya tak terlihat, apakah
panjang atau pendek. Yang tahu tentang panjang pendeknya rambut wanita adalah
dia sendiri, keluarga di rumah, atau suami romantis yang suka mengelus rambut
istrinya.
Zaman
Orde Lama, tepatnya RI di bawah rezim Soekarno, soal rambut gondrong adalah
soal tabu, tidak disukai, bahkan bisa diterjemahkan sebagai perilaku haram.
Kita masih ingat akan grup band anak muda yang kondang tahun 60-an, Koes
Bersaudara/Koes Plus. Nomo Koeswoyo bersaudara itu, tampil bermusik dengan
rambut gondrong, lagu-lagunya ala The Beatles. Bung Karno kebetulan sedang
galak-galaknya mencanangkan Ganyang Nekolim:
Amerika kita setrika dan Inggris kita
linggis. Kepada Koes bersaudara, Bung Karno menohok dengan kata-kata
julukan lagu Ngak Ngik Ngok!
Penampilan Nomo Koeswoyo bersaudara yang gondrong dan lagu-lagu Ngak Ngik Ngok membuat Bung Karno murka.
Koes Bersaudara/Koes Plus ditangkap dan ditahan. Padahal banyak penyanyi dan pemusik
yang meniru Koes Bersaudara.
Zaman
Orde Baru, orang berambut gondrong masih tetap dipandang sinis meskipun rambut
gondrongnya tertata rapih. Katanya orang-orang, tak pantas lelaki berambut
panjang. Mungkin orang-orang ini melihat mereka yang punya rambut gondrong
kerap sering tampil kumel dan dekil,
itu sebabnya dibenci. Padahal banyak kaum pria berambut gondrong yang tidak kumel dan dekil. Arbi Sanit dan Mulyana
W. Kusuma, dosen Fisipol dan Kriminologi UI, Arswendo Atmowiloto, Romo Mudji
Soetrisno, dan Ngkong Ridwan Saidi
adalah tokoh-tokoh kondang berambut gondrong.
Meskipun
ada beberapa tokoh beken dan pemusik kondang yang berambut gondrong, tetapi tak
banyak orang yang mengidolakan mereka dan ikut-ikutan berambut gondrong.
Staf
senior yang bekerja di kantor atau kementerian pemerintah yang ingin dan
berhasrat promosi jabatan takkan punya nyali memelihara rambut gondrong karena
peluang promosi akan terkendala karena rambut gondrongnya. Salah satu staf di
kantor dinas pendidikan Provinsi X, senior, kompeten, dan berpendidikan S-2
malah dicoret dari daftar nama calon pejabat Eselon IV karena berambut gondrong
dan dia emoh dipotong rambutnya.
Berambut
gondrong kalah pengaruh dengan kepala botak. Jadilah orang yang berambut
gondrong menjadi kaum inferior di
negeri tercinta ini.
Hotel
Fave Braga, Bandung, 22 November 2013
Rabu, 06 November 2013
LANDASAN IDEAL, STRATEGIS, DAN OPERASIONAL SETIAP MUKMIN
Bahasa, Agama, dan Pendidikan Karakter
LANDASAN IDEAL, STRATEGIS, DAN OPERASIONAL
SETIAP MUKMIN
Rujukan: QS Al Mukminun (23): 1 s.d. 12
Landasan Ideal
Ayat 1: Qad aflahal mu’minuun
Artinya: Sungguh beruntung orang-orang yang beriman
(mukmin).
Mengapa konten ayat 1 ini disebut sebagai
landasan ideal?
Ideal (kelas
kata adjektiva) itu artinya luhur, tinggi, mulia, terbaik, dan sangat sesuai
dengan dicita-citakan, diangan-angankan, atau dikehendaki, atau yang seharusnya
begitu (das sollen). Kelas kata nomina
dari ideal adalah kata ide yang artinya: rancangan yang
tersusun di dalam pikiran; gagasan; cita-cita; perasaan yang benar-benar
menyelimuti pikiran.
Firman Allah dalam ayat 1 ini menyiratkan
perintah (begitu halus) agar mukmin berlomba-lomba menggapai kehidupan terbaik/ideal
sebagai tujuan hidup di dunia (aflaha;
falaha; falah; orang yang beruntung
dan sukses; yuflihuun).
Landasan Strategis
Setiap mukmin, wajib berjuang
(berlomba-lomba) untuk mencapai hidup yang beruntung sebagai yang tersirat di
dalam kandungan ayat 1. Strategi dan pendekatannya seperti apa dan bagaimana,
Allah memberi penjelasan dengan begitu gamblang pada ayat 2 s.d. 9.
Ayat 2: Alladziina hum fii shalaatihim khaasyi’uun.
(Yaitu)
orang-orang yang salatnya khusuk.
Ayat 3 Walladziina hum ‘anil laghwi mu’ridhuun.
Dan
Orang-yang memelihara lidahnya.
Ayat 4 Walladziina hum liz zakaati faa’iluun.
Dan orang-orang
selalu menunaikan (membayar; mengeluarkan) zakat.
Ayat 5, 6, dan 7 masih serangkai
Walladziina hum li furuujihim haafidzuun
(5).
Dan
orang-orang yang memelihara kemaluannya,
Illaa ‘alaa azwaajihim aumaa malakat aimaanuhum fa
innahum ghairu maluumiin (6).
Kecuali terhadap
istri-istri mereka, atau kepada hamba sahaya yang mereka miliki, maka mereka
tidak akan tercela.
Fa manibtaghaa waraa’a dzaalika fa’ulaa’ika humul ‘aaduun
(7).
Tetapi barangsiapa
yang mencari di balik itu (zina, dsb) maka mereka itulah orang-orang yang
melampaui batas.
Ayat 8 Walladziinahum li ‘amaanaatihim wa ‘ahdihim
raa’uun.
Dan orang-orang yang
menjaga/memelihara amanat dan menepati janji.
Ayat 9 Walladziina hum ‘alaa shalawaatihim
yuhaafidzuun.
Dan
orang-orang yang terus-menerus menjaga salatnya.
Landasan strategis itu melalui pendekatan
strategis (strategic approach): yaitu:
1) khusuk dalam salat; 2) memelihara lidahnya; 3) membayar zakat; 4) menjaga
kemaluan; 5) memelihara amanat/kepercayaan dan menepati janji; dan 6)
memelihara salat.
Landasan Operasional
Pendekatan strategis yang terdiri atas enam
butir yang dimaksud harus dapat dioperasionalkan/diimplementasikan/diamalkan
sehingga setiap mukmin bukan sekedar memahami, tetapi juga dengan mudah dapat
mempraktikkannya. (Dalam bahasa pembelajaran, semua pendekatan strategis pembelajaran
harus mengacu kepada kompetensi dasar (KD), yang kemudian dibuatkan
indikator-indikator (oleh guru) agar dapat dengan mudah diukur capaiannya.)
KD 1: khusuk dalam salat
Indikatornya:
Bersih dan suci
tempatnya; aman dari gangguan (kebisingan, keributan, binatang berbisa,
ancaman); tertib urutan rukun salat; menghadap kiblat; jelas wujud salatnya;
bersesuaian antara niat, perkataan, dan perbuatan (dimengerti); suasana tenang;
dll
KD 2: memelihara lidahnya
Indikator:
Ucapan, perkataan,
dan tuturan dengan bahasa yang santun, mudah dimengerti, jelas terdengar; kata-kata
pilihan yang baik; selalu berupaya menghindari kata-kata sindirian, julukan
yang tidak disukai, berbahasa daerah yang hanya dimengerti segelintir audiens,
berbisik-bisik berdua di tengah orang banyak, bersuara keras, menggerutu, menyindir,
mencaci, mengumpat, menggosip, menceritakan keburukan/kekurangan orang lain,
membual, melontarkan kata-kata canda/jokes
yang tidak pada tempatnya; dll.
KD 3: membayar zakat
Indikator:
Membayar zakat
mal/harta jika sudah sampai nisabnya (2 ½% minimal dan telah satu tahun; zakat
dari penghasilan (gaji, honor, bonus, THR, royalti, dll) yang halal (bukan dari
hasil korupsi, mencuri, merampok, menipu, berjudi) sesuai dengan profesi,
berderma/bersedekah/berinfak, dll.
KD 4: menjaga kemaluan;
Indikator:
Senantiasa berpakaian
yang menutup aurat dan tidak mengumbar aurat; beradab dalam berpacaran; tidak
berselingkuh/mendekati zina atau berzina; tidak mengumbar kata-kata mesra, tidak
mengumbar syahwat berahi kepada orang lain yang bukan hak (bermesra-mesraan);
dll.
KD 5: memelihara amanat/kepercayaan dan
menepati janji
Indikator
Menyampaian pesan
atau titipan kepada orang/pihak yang dituju, memelihara dan menjaga kerahasiaan,
tidak menyuap atau menerima suap, tidak melakukan pungli atau membayar pungli.
Menepati janji:
menepati waktu dan tempatnya; bekerja sesuai dengan peraturan tertulis atau
yang tak tertulis/disepakati (konsensus) dan mempertanggungjawabkan setiap pekerjaan
(responsibilitas), dll.
KD 6: memelihara salat
Indikator
Menunaikan salat fardu
selalu tepat waktu, dalam situasi dan kondisi yang bagaimanapun (stiqamah,
konsisten); menunaikan salat Jumat; menegakkan salat malam, dll.
Pewaris Sorga
Setiap mukmin yang menegakkan keenam
pendekatan strategis tersebut dengan konsisten, maka layak disebut mukmin yang
beruntung dan sukses menjalani kehidupan di dunia. Sukses di dunia sebagai
mukmin, maka sesuai dengan janji Allah, dia pun akan sukses hidup di akhirat
sebagai mukmin pewaris sorga yang penuh dengan segala macam kenikmatan,
sebagaimana pernyataan langsung Allah dalam surat yang sama pada ayat 10 dan
11, sebagai berikut:
Ayat 10 Ulaa’ika humul waaritsuun.
Mereka
itulah (mukmin) yang meraih warisan.
Ayat 11 Alladziina yaritsuunal firdauusa hum fiihaa
khaaliduun.
(yaitu)
yang akan mewarisi sorga. Mereka kekal di dalamnya.
Jadi, pesan agung Allah dalam Al Quran,
bukanlah sekedar menjadi hiasan bibir, bukan pula sekedar milik hati yang
menjadi keyakinan, tetapi harus dapat diwujudkan secara nyata oleh setiap
mukmin dalam kehidupan, yakni dengan mengisinya dengan aktivitas yang
bermanfaat untuk sesama.
Semoga kita menjadi pewaris sorga, amin.
Jakarta, 7 November 2013
PRESIDEN MURKA DAN RATU ATUT SEWOT
Bahasa Indonesia
Bahasa gusti dan bahasa kawula: perbedaan
antara murka dan sewot
Presiden
Murka
Indonesia
Lawyers Club (ILC) yang
di-presiden-I oleh Karni Ilyas, adalah acara yang paling banyak ditonton
pemirsa tv (ratingnya tinggi) yang ditayangkan melalui TV-One setiap minggu pada
hari Selasa malam, dan ditayang ulang pula pada hari Minggu malam pada minggu
yang sama. Karni Ilyas, sang
presidennya, Selasa, 29 Oktober 2013, menampilkan judul, Presiden Murka, yang ditayangkan secara live dari Batam, Kep. Riau.
Penulis tidak akan membahas tentang materi
acara tersebut karena para pemirsa yang menonton langsung tentu dapat menangkap
dan memahaminya, baik sebagian maupun seluruh materi. Para narasumber yang
berbicara adalah orang-orang pilihan dan memiliki kapabilitas untuk menjadi
narasumber. Sebutlah misalnya Anas Urbaningrum, H. Sujiwo Tejo, Bung Fajrul, dan Bang Efendi Gazali. Penulis ingin
mengomentari acara kali ini itu adalah dari sudut pandang kebahasa-Indonesia-an
saja. Benarkah judul itu dari sudut pandang kebahasaan, khsususnya dalam ilmu
semantik tentang frasa atau kalimat singkat (S-P) Presiden Murka?
Judul Presiden
Murka hanya sebuah frasa yang terdiri dua kata, yakni kata presiden dan kata murka. Mari kita cermati bersama makna kedua kata itu.
presiden
Kata presiden
memiliki arti: 1. kepala (lembaga, kantor, jawatan, klub), misalnya pada
frasa: presiden direktur; presiden ILC; presiden komisaris; presiden klub; dll.
2. kepala negara, misalnya pada frasa Presiden RI; Presiden Amerika; Presiden
Filipina; dll.
murka
Kata murka
memiliki arti: marah atau sangat marah. Sebagai kelas kata verba, kata murka yang artinya sangat marah
ditempatkan secara khusus untuk subjek tertentu, yakni untuk raja, ratu,
mahapatih, patih, dan pejabat-pejabat tinggi dan utama pada zaman kerajaan tempo
dulu yang sarat dengan feodalisme {(perbedaan strata sosial atas-bawah antara
gusti dengan kawula (gusti-kawula)}.
Dari sudut pandang sosiologis, kata murka dihadirkan dan berlaku hanya untuk
subjek dengan jabatan tinggi kepada objek dengan jabatan di bawahnya sampai
kepada kawula/rakyat.
Contohnya:
Baginda
Raja murka (kepada punggawa atau tumenggung)
Sri
Ratu murka (kepada kepala dayang istana)
Sri
Sultan HB X murka (kepada abdi dalem)
Pangeran
Mahkota murka (kepada istrinya)
Mahapatih
Gajah Mada murka (kepada adipati Ronggolawe)
Adipati
Pajang murka (kepada kepala pengawalnya), dll.
Tak pernah terjadi frasa seperti berikut ini:
Tumenggung
Jayadrata murka kepada Prabu Duryudana
Mahapatih
Gajah Mada murka kepada Prabu Hayam Wuruk
Abdi
dalem murka kepada Gusti Putri Hayu
Selir
baginda murka kepada Baginda Prabu
Mas
Mangun murka kepada Gubernur DKI Jakarta
Zaman kerajaan yang menghidupkan,
menyuburkan, dan merawat feodalisme di negeri ini sudah tamat riwayatnya sejak
17 Agustus 1945. Sistem pemerintahan monarkhi absolut atau monarkhi parlementer
tidak dianut oleh negeri kita (sudah ditinggalkan dan dikubur dalam-dalam).
Indonesia menganut sistem pemerintahan presidensial yang demokratis, di mana
pemerintah adalah subjek pelayan dan rakyat adalah objek yang dilayani (public service).
Oleh karena itu, penggunaan bahasa Indonesia
masa kini, tuntutannya adalah penggunaannya yang baik dan benar. Termasuk di
dalamnya dalam pemakaian dan penggunaan kata per kata, frasa, anak kalimat, dan
kalimat.
Kata murka yang penulis anggap berbau
feodalisme itu sudah jarang digunakan dalam pergaulan sehari-hari. Pilihan kata
(diksi) yang digunakan sekarang ini dianjurkan yang mudah diterima oleh masyarakat
dan tidak menonjolkan gap strata sosial ala zaman dahulu (gusti-kawula).
Frasa Presiden
Murka pada judul diskusi ILC, Selasa, 29 Oktober 2013 yang lalu kurang
tepat. Presiden (SBY) bukanlah seorang raja atau kaisar. Judul diskusi itu semestinya
diganti dengan frasa baru dalam judul Presiden
(SBY) Marah Besar.
Ratu
Atut Sewot
Harian Pos
Kota, Rabu, 6 November 2013, menurunkan tulisan jurnalisnya pada kolom di
halaman 1dengan judul Ratu Atut Sewot.
Secara semantis, tidak ada yang salah dengan frasa Ratu Atut Sewot. Secara sosiologis, frasa Ratu Atut Sewot ini menarik untuk dibahas.
Ratu Atut tentu umum sudah mengenal dengan
baik sebagai sosok terkenal. Dia adalah seorang wanita hebat yang berhasil
menjadi gubernur, yakni Gubernur Provinsi Banten. Masih langka di Indonesia
ini, wanita bisa menjadi gubernur
sewot
Kata
sewot (kelas kata adjektiva; kata serapan dari bahasa Betawi), artinya
marah, gusar, jengkel, dongkol.
Contoh:
Si Ali tampak sewot karena ban sepedanya ada yang mengempesi.
Mpok Lela
kelihatan sewot karena jemurannya
terkena kotoran ayam.
Gue
yang dapet arisan, kok lu yang sewot?
(kalimat dengan logat Betawi)
sewot dan
murka
Persamaan kedua kata ini adalah pada maknanya
yang hampir sama, yakni menunjukkan perasaan yang sangat tidak senang dari
pelakunya.
Peerbedaan keduanya, kata sewot jauh lebih hidup dan sering dipakai oleh masyarakat dalam
pergaulan sehari-hari dibandingkan dengan kata murka. Kata sewot itu demokratis dan merakyat sementara kata murka
itu feodalistis. Frasa Presiden Sewot
lebih baik daripada Presiden Murka. Ratu Atut sewot lebih baik dari Ratu Atut murka.
Akan tetapi, sebaik-baik karakter dalam bersikap
adalah menghindari perangai sedikit-sedikit sewot.
Sebab, kalau sedikit-sedikit sewot,
nanti cepat tua dan pipi cepat peyot.
Bukankah bahasa Indonesia juga harus bebas
dari feodalisme.
Jakarta, 6 November 2013
Langganan:
Postingan (Atom)