Jumat, 08 Maret 2013

GURU KENCING BERDIRI, MURID KENCING BERLAR




PERIBAHASA


GURU KENCING BERDIRI, MURID KENCING BERLARI

Berbicara tentang guru kita takkan pernah kehabisan bahan. Kali ini saya mengajak para pembaca untuk membahas makna peribahasa, Guru kencing berdiri, murid kencing berlari yang terkait dengan makna etika atau kesopansantunan. Pada kesempatan tulisan saya yang berjudul, Guru, Guru Digugu dan Ditiru, Guru Saru Diburu, telah dibahas tentang guru, eksistensi guru, profesi guru, dan guru saru/tidak senonoh.

Guru sebagai Model

Guru itu seperti seorang model. Kita hampir semua paham tentang hadirnya seorang model dari suatu produk, baik untuk kepentingan bisnis ataupun nonbisnis. Untuk menjadi seorang model seseorang harus melalui pendidikan dan pelatihan/kursus yang intensif. Ada sekolah khusus namanya sekolah modeling. Seringkali produsen suatu produk tertentu mensyaratkan kriteria-kriteria khusus yang membuat seorang model terpilih itu benar-benar selektif.

Contoh:
Untuk menjadi duta lingkungan hidup atau duta budaya Indonesia, modelnya adalah peraih gelar Puteri Indonesia rangking I atau rangking II. Model untuk duta kesenian angklung dari Jawa Barat yang bertugas memperkenalkan musik angklung ke Eropa misalnya, terpilih Puteri Jawa Barat Rangking I.
Syarat utama untuk bisa masuk dan ikut kontes Puteri Indonesia adalah 3B (brain, beautiful, behaviour) yang artinya cerdas, cantik menawan, dan berkelakuan baik/berakhlak baik.
Angelina Sondakh (Angie) misalnya, durasi sebagai Duta Orang Utan cuma setahun saja (2001) selagi dia menyandang gelar Puteri Indonesia Tahun 2001.

Untuk menjadi model sebuah rumah butik atau kosmetik top seperti Etiene Eigner, Elle, Gucci, atau Yvest Saint Laurent misalnya, model yang ditampilkan adalah supermodel top Cyndy Crawford, Elle Marchperson, Claudia Schiffer, Adriana Lima, dll.
Syarat untuk menjadi seorang supermodel adalah memiliki agency, wajah cantik dan seksi, pandai berlenggak-lenggok, tubuh tinggi semampai di atas rata-rata, kurus, dan memiliki jam terbang tinggi dalam dunia modeling/tenar.

Memperhatikan contoh-contoh di atas, ada tiga hal yang dapat dimaknai tentang manusia sebagai model.
Pertama, model itu harus multiintelegencies/cerdas dalam banyak intelegensia. Misalnya menguasai bahasa Indonesia oral dan written (lebih dari satu bahasa asing lebih bagus) dan mampu berkomunikasi serta pandai bergaul; menguasai musik dan mampu memainkan lebih dari satu alat musik. Untuk ikhwal wajah cantik menawan itu relatif dan debatable. Ikhwal yang satu ini lebih tepatnya adalah penampilan fisik yang sehat, segar-bugar yang selalu terjaga dan penuh keramahan di mana pun dia berada.
Kedua, model itu haruslah memiliki akhlak dan perilaku yang baik, memelihara etika dan kesopansantunan dalam pergaulan di tengah kehidupan sehari-hari di mana pun dia berada.
Ketiga, seorang model profesional tetaplah punya durasi tertentu dalam dunianya yang serba glamour/gemerlap. Kecantikan, usia, dan dunianya secara alamiah akan memberhentikan profesinya, suka atau tidak suka, dunia model harus ditinggalkannya dengan sukarela.

Apakah guru bisa menjadi model?

Seharusnya bisa! Guru tidak dituntut harus berwajah tampan atau cantik. Guru tidak dituntut harus pandai bermain musik atau menyanyi. Guru tidak dituntut harus mampu menguasai bahasa asing/mampu berkomunikasi dalam bahasa asing. Guru tidak dituntut harus terkenal.

Guru itu tugas utamanya adalah mengajar dan mendidik para siswa di kelas. Guru itu berinteraksi utamanya dengan para siswa dengan durasi waktu lima s.d. 8 jam saja per hari selama hari sekolah. Para siswa itu adalah anak-anak yang berusia SD, SMP, dan SMA (6 tahun s.d. 18 tahun). Pada waktu itulah internalisasi iptek, imtak, dan karakter terjadi dalam proses pembelajaran yang sebenarnya dengan bahasa yang dipahami. Pada waktu-waktu itulah guru tampil sebagai model bagi para siswanya, disadari atau tidak oleh guru. Contohnya?
PIlihan kata yang digunakan guru, tutur kata, dan/atau sapa guru dalam berinteraksi akan menimbulkan kesan tersendiri bagi setiap diri siswanya. Kesan bisa saja sama, bisa mirip, dan bisa pula berbeda satu sama lain.
Sikap guru ketika berbicara, duduk, berdiri, berjalan, mengajar, memanggil nama siswa, bahkan cara guru makan akan membawa kesan bagi setiap siswa.
Kebiasaan atau sesuatu yang acapkali ditampilkan guru akan dikenang oleh para siswa dengan kenangan masing-masing sesuai dengan apa yang teringat di dalam memorinya. Kebiasaan yang baik maupun kebiasaan yang buruk.
Banyak variasi cerita tentang sosok model.

Seorang mantan napi dan mantan pecandu narkoba yang telah insyaf bisa menjadi model untuk iklan/propaganda perang melawan narkoba. Seorang juragan besi rongsokan yang sukses bisa menjadi model bagi program diklat pengembangan entrepreneurship/kewirausahaan. Begitu pun serang guru sebagai model bagi para siswanya?
Seorang guru Aljabar yang berjuluk “The Killer”, 65 tahun, tertawa terpingkal-pingkal dalam sebuah acara reuni yang digelar (2005; usianya masih 40 tahun) ketika mendengar kesan seorang mantan siswa yang lulus 27 tahun ke belakang (1978). Sang mantan siswa itu mengatakan dalam kesannya, bahwa dia amat terkesan dan selalu saja ingat dengan kebiasaan sang guru Aljabar yang selalu membuka halaman per halaman buku Aljabar dengan cara membasahkan jari telunjuknya dengan air ludah di lidahnya . Katanya lagi, tiada buka halaman buku tanpa jari telunjuk mampir ke permukaan lidah.

Pertanyaannya kemudian, apakah sang mantan siswa juga meniru kebiasaan sang mantan gurunya?

Ternyata tidak. Sang mantan guru adalah seorang model yang punya kebiasaan kurang baik yang tentu tak baik ditirunya. Artinya, kebiasaan guru sebagai model yang tidak patut ditiru.

Model itu tidak menuntut untuk ditiru. Model itu hadir/dihadirkan untuk memperkuat transformasi dan internalisasi agar lebih efisien dan berdayaguna. Menghadirkan model/kehadiran model jauh lebih efektif daya dobraknya ketimbang berceramah verbalistis.

Guru sebagai Teladan

Keberadaan guru sebagai model dan guru sebagai teladan berbeda. Guru sebagai model bersifat temporer seumur model profesi lain. Guru sebagai teladan itu bersifat permanen. Guru sebagai teladan menjadi teladan di mana pun dia berada: di kelas, di sekolah, di rumah, atau di tengah masyarakat. Guru yang demikian akan selalu diingat, dikenang, dan berkesan yang baik akan membekas lama dalam diri siswa atau mantan siswa, bahkan selama hayat dikandung badan. Guru idola itu ada karena keteladanan guru ditiru dan diteladankan lagi oleh siswa kepada generasi berikutnya, Karena itu, guru sebagai teladan itu selalu hidup dan keteladanannya akan terus hidup meskipun sang guru telah berpulang/tiada.

Masyarakat boleh saja berubah, gaya hidup masyarakat boleh saja berubah, rezim, sistem pemerintahan boleh saja berganti dengan rezim dan sistem pemerintahan yang baru. Tetapi guru sebagai teladan masih tetap relevan.

Guru bertutur kata penuh etika, siswa pun bertutur kata beretika karena meneladani gurunya. Guru bergaul dengan baik penuh keramahan, siswa pun akan meneladaninya. Guru makan dengan etika, siswa pun meniru. Guru meneladankan hidup bersih dan selalu berpakaian rapi, siswa pun akan meniru.
Kalau begitu, semua “yang ada” pada guru akan ditiru oleh siswa.

Guru merokok di kelas, alamat siswa akan meniru merokok. Guru merokok lima batang, siswa merokok berbatang-batang. Guru meludah sembarangan, tak salah siswa meludah sembarangan pula.  Guru berbicara tidak etis, siswa juga meniru-niru bahkan melebihi gurunya. Gueu bertelepon sambil mengemudi, siswa pun meniru bahkan melebihi dari itu. Guru sering terlambat, siswa pun akan meniru sering terlambat.

Guru suka berbicara dengan kata-kata jorok, siswa pun meniru bahkan belebihi gurunya. Guru berbuat asusila, siswa juga akan meniru, bahkan melebihi dari gurunya.
Jadi benar juga kata peribahasa, guru kencing berdiri, murid kencing berlari.

Memang menjadi guru sejak zaman dahulu bebannya berat. Namun, bagi saudara-saudaraku yang telah menjadi guru, tetap semangat. Menjadi guru di zaman sekarang jauh lebih berat namun derajat terangkat, naik pangkat lebih cepat, gaji dan tunjangan tak pernah telat dan nilainya jelas meningkat.

Sebagai bahan renungan, simaklah QS Al Mujadalah (58): 11.

Jakarta, 8 Maret 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar