PERIBAHASA
GURU KENCING BERDIRI, MURID KENCING BERLARI
Berbicara tentang guru kita takkan pernah
kehabisan bahan. Kali ini saya mengajak para pembaca untuk membahas makna
peribahasa, Guru kencing berdiri, murid
kencing berlari yang terkait dengan makna etika atau kesopansantunan. Pada
kesempatan tulisan saya yang berjudul, Guru,
Guru Digugu dan Ditiru, Guru Saru Diburu, telah dibahas tentang guru,
eksistensi guru, profesi guru, dan guru saru/tidak
senonoh.
Guru sebagai Model
Guru itu seperti seorang model. Kita hampir
semua paham tentang hadirnya seorang model dari suatu produk, baik untuk
kepentingan bisnis ataupun nonbisnis. Untuk menjadi seorang model seseorang
harus melalui pendidikan dan pelatihan/kursus yang intensif. Ada sekolah khusus
namanya sekolah modeling. Seringkali produsen suatu produk tertentu
mensyaratkan kriteria-kriteria khusus yang membuat seorang model terpilih itu
benar-benar selektif.
Contoh:
Untuk menjadi duta lingkungan hidup atau duta
budaya Indonesia, modelnya adalah peraih gelar Puteri Indonesia rangking I atau
rangking II. Model untuk duta kesenian angklung dari Jawa Barat yang bertugas
memperkenalkan musik angklung ke Eropa misalnya, terpilih Puteri Jawa Barat
Rangking I.
Syarat utama untuk bisa masuk dan ikut kontes
Puteri Indonesia adalah 3B (brain,
beautiful, behaviour) yang artinya cerdas, cantik menawan, dan berkelakuan
baik/berakhlak baik.
Angelina Sondakh (Angie) misalnya, durasi
sebagai Duta Orang Utan cuma setahun saja (2001) selagi dia menyandang gelar
Puteri Indonesia Tahun 2001.
Untuk menjadi model sebuah rumah butik atau
kosmetik top seperti Etiene Eigner, Elle, Gucci, atau Yvest Saint Laurent
misalnya, model yang ditampilkan adalah supermodel top Cyndy Crawford, Elle
Marchperson, Claudia Schiffer, Adriana Lima, dll.
Syarat untuk menjadi seorang supermodel
adalah memiliki agency, wajah cantik dan seksi, pandai berlenggak-lenggok,
tubuh tinggi semampai di atas rata-rata, kurus, dan memiliki jam terbang tinggi
dalam dunia modeling/tenar.
Memperhatikan contoh-contoh di atas, ada tiga
hal yang dapat dimaknai tentang manusia sebagai model.
Pertama, model itu harus multiintelegencies/cerdas dalam banyak intelegensia. Misalnya
menguasai bahasa Indonesia oral dan written (lebih dari satu bahasa asing
lebih bagus) dan mampu berkomunikasi serta pandai bergaul; menguasai musik dan
mampu memainkan lebih dari satu alat musik. Untuk ikhwal wajah cantik menawan
itu relatif dan debatable. Ikhwal
yang satu ini lebih tepatnya adalah penampilan fisik yang sehat, segar-bugar
yang selalu terjaga dan penuh keramahan di mana pun dia berada.
Kedua, model itu haruslah memiliki akhlak dan
perilaku yang baik, memelihara etika dan kesopansantunan dalam pergaulan di
tengah kehidupan sehari-hari di mana pun dia berada.
Ketiga, seorang model profesional tetaplah
punya durasi tertentu dalam dunianya yang serba glamour/gemerlap. Kecantikan, usia, dan dunianya secara alamiah
akan memberhentikan profesinya, suka atau tidak suka, dunia model harus
ditinggalkannya dengan sukarela.
Apakah guru bisa menjadi model?
Seharusnya bisa! Guru tidak dituntut harus berwajah
tampan atau cantik. Guru tidak dituntut harus pandai bermain musik atau
menyanyi. Guru tidak dituntut harus mampu menguasai bahasa asing/mampu
berkomunikasi dalam bahasa asing. Guru tidak dituntut harus terkenal.
Guru itu tugas utamanya adalah mengajar dan
mendidik para siswa di kelas. Guru itu berinteraksi utamanya dengan para siswa
dengan durasi waktu lima s.d. 8 jam saja per hari selama hari sekolah. Para
siswa itu adalah anak-anak yang berusia SD, SMP, dan SMA (6 tahun s.d. 18
tahun). Pada waktu itulah internalisasi iptek, imtak, dan karakter terjadi
dalam proses pembelajaran yang sebenarnya dengan bahasa yang dipahami. Pada
waktu-waktu itulah guru tampil sebagai model bagi para siswanya, disadari atau
tidak oleh guru. Contohnya?
PIlihan kata yang digunakan guru, tutur kata,
dan/atau sapa guru dalam berinteraksi akan menimbulkan kesan tersendiri bagi
setiap diri siswanya. Kesan bisa saja sama, bisa mirip, dan bisa pula berbeda
satu sama lain.
Sikap guru ketika berbicara, duduk, berdiri,
berjalan, mengajar, memanggil nama siswa, bahkan cara guru makan akan membawa
kesan bagi setiap siswa.
Kebiasaan atau sesuatu yang acapkali ditampilkan
guru akan dikenang oleh para siswa dengan kenangan masing-masing sesuai dengan
apa yang teringat di dalam memorinya. Kebiasaan yang baik maupun kebiasaan yang
buruk.
Banyak variasi cerita tentang sosok model.
Seorang mantan napi dan mantan pecandu
narkoba yang telah insyaf bisa menjadi model untuk iklan/propaganda perang
melawan narkoba. Seorang juragan besi rongsokan yang sukses bisa menjadi model
bagi program diklat pengembangan entrepreneurship/kewirausahaan.
Begitu pun serang guru sebagai model bagi para siswanya?
Seorang guru Aljabar yang berjuluk “The
Killer”, 65 tahun, tertawa terpingkal-pingkal dalam sebuah acara reuni yang
digelar (2005; usianya masih 40 tahun) ketika mendengar kesan seorang mantan
siswa yang lulus 27 tahun ke belakang (1978). Sang mantan siswa itu mengatakan
dalam kesannya, bahwa dia amat terkesan dan selalu saja ingat dengan kebiasaan
sang guru Aljabar yang selalu membuka halaman per halaman buku Aljabar dengan
cara membasahkan jari telunjuknya dengan air ludah di lidahnya . Katanya lagi,
tiada buka halaman buku tanpa jari telunjuk mampir ke permukaan lidah.
Pertanyaannya kemudian, apakah sang mantan
siswa juga meniru kebiasaan sang mantan gurunya?
Ternyata tidak. Sang mantan guru adalah
seorang model yang punya kebiasaan kurang baik yang tentu tak baik ditirunya. Artinya,
kebiasaan guru sebagai model yang tidak patut ditiru.
Model itu tidak menuntut untuk ditiru. Model
itu hadir/dihadirkan untuk memperkuat transformasi dan internalisasi agar lebih
efisien dan berdayaguna. Menghadirkan model/kehadiran model jauh lebih efektif
daya dobraknya ketimbang berceramah verbalistis.
Guru sebagai Teladan
Keberadaan guru sebagai model dan guru
sebagai teladan berbeda. Guru sebagai model bersifat temporer seumur model
profesi lain. Guru sebagai teladan itu bersifat permanen. Guru sebagai teladan
menjadi teladan di mana pun dia berada: di kelas, di sekolah, di rumah, atau di
tengah masyarakat. Guru yang demikian akan selalu diingat, dikenang, dan
berkesan yang baik akan membekas lama dalam diri siswa atau mantan siswa, bahkan
selama hayat dikandung badan. Guru idola itu ada karena keteladanan guru ditiru
dan diteladankan lagi oleh siswa kepada generasi berikutnya, Karena itu, guru
sebagai teladan itu selalu hidup dan keteladanannya akan terus hidup meskipun
sang guru telah berpulang/tiada.
Masyarakat boleh saja berubah, gaya hidup
masyarakat boleh saja berubah, rezim, sistem pemerintahan boleh saja berganti
dengan rezim dan sistem pemerintahan yang baru. Tetapi guru sebagai teladan
masih tetap relevan.
Guru bertutur kata penuh etika, siswa pun
bertutur kata beretika karena meneladani gurunya. Guru bergaul dengan baik
penuh keramahan, siswa pun akan meneladaninya. Guru makan dengan etika, siswa
pun meniru. Guru meneladankan hidup bersih dan selalu berpakaian rapi, siswa
pun akan meniru.
Kalau begitu, semua “yang ada” pada guru akan
ditiru oleh siswa.
Guru merokok di kelas, alamat siswa akan
meniru merokok. Guru merokok lima batang, siswa merokok berbatang-batang. Guru
meludah sembarangan, tak salah siswa meludah sembarangan pula. Guru berbicara tidak etis, siswa juga meniru-niru
bahkan melebihi gurunya. Gueu bertelepon sambil mengemudi, siswa pun meniru
bahkan melebihi dari itu. Guru sering terlambat, siswa pun akan meniru sering
terlambat.
Guru suka berbicara dengan kata-kata jorok,
siswa pun meniru bahkan belebihi gurunya. Guru berbuat asusila, siswa juga akan
meniru, bahkan melebihi dari gurunya.
Jadi benar juga kata peribahasa, guru kencing
berdiri, murid kencing berlari.
Memang menjadi guru sejak zaman dahulu bebannya
berat. Namun, bagi saudara-saudaraku yang telah menjadi guru, tetap semangat.
Menjadi guru di zaman sekarang jauh lebih berat namun derajat terangkat, naik
pangkat lebih cepat, gaji dan tunjangan tak pernah telat dan nilainya jelas
meningkat.
Sebagai bahan renungan, simaklah QS Al
Mujadalah (58): 11.
Jakarta, 8 Maret 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar