TOS MANGKAT KANG UJE, NGANTUNKEUN TARAJE KA
ANGGO KANG JEJE
Tos
mangkat ustaz gaul Uje
Pagi dinihari, usai bersalat Subuh, aku
terhenyak tersentak mendengar berita dari siaran pagi di tv swasta. Kabar duka
yang amat mengagetkan semua orang. Ustaz kondang dan muda usia, Jefri Al
Buchari (beken dengan panggilan Uje) telah berpulang ke rahmatullah pada usia
empat puluh tahun. Uje meninggal akibat sebuah kecelakaan tunggal di kawasan
bundaran Pondok Indah, Jakarta Selatan. Motor gede (moge) yang dikendarainya,
tak mampu dikendalikan mungkin karena kecepatan moge cukup tinggi, menabrak
pokok pinang besar di sisi jalan, dan tubuh Uje pun terpental sejauh tiga puluh
meter dan moge Kawasaki 650 cc miliknya rusak berat. Uje terluka parah terutama
pada bagian kepala sebelah kiri. Dia sempat dibawa ke rumah sakit untuk dirawat
di unit gawat darurat. Uje tak tertolong. Dia dinyatakan meninggal dunia,
sekitar pukul dua larut malam menjelang dinihari, Jumat, 26 April 2013. Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun.
Semua berasal dari Allah dan semua pasti kembali pula kepada Allah.
Uje adalah sosok seorang pendakwah yang
fenomenal yang memiliki perjalanan rohani yang berliku-liku. Uje punya latar
belakang keluarga yang memiliki warna yang kuat keislamannya, kedua orang
tuanya terutama. Uje mengenyam pendidikan di lembaga formal dan pesantren dari
tingkat SD/Madrasah sampai tingkat SLA. Pernah nyantren selama empat tahun. Dia anak dan remaja berbakat/bertalenta
di dunia tari/ dansa dan tarik suara, cerdas dan kuat menghafal banyak ayat
Quran, serta dikaruniai suara indah dan
nafas yang panjang nian. Dia membuktikannya dengan menjuarai berbagai jenis lomba,
contohnya MTQ, sampai kemudian menjuarai MTQ tingkat provinsi DKI Jakarta dan
dikenal pula sebagai Qori dalam
berbagai perhelatan. Uje memang pernah mengenyam
kuliah di bangku perguruan tinggi namun kandas di tengah jalan.
Siapa sangka siapa nyana, Uje remaja pada
usia ABG yang mulai berkilau itu sempat menggeluti dan berakrab-akrab ria
dengan dunia narkoba. Dia sempat mengalami kehilangan kendali moral, akhlak,
dan agama. Dinamika hidup pada usia remaja dilalui dalam kekelaman dan
keremang-remangan sampai usia menikah dan memiliki bahtera rumah tangga.
Seburuk-buruknya mental dan karakter seorang
insan Uje ketika usia remaja, karena Uje
berasal dari keluarga yang kuat keislamannya, pada akhirnya menemukan kembali
jalan lurus yang didambakan oleh setiap pribadi muslim. Allah Yang Maha
Penyayang tidak membiarkan hamba-Nya yang bernama Uje untuk terus-terusan
bergelimang lumpur dosa. Allah memberinya hidayah, menariknya dari lumpur hitam,
dan menuntunnya dengan sifat-Nya Yang Maha Penyayang, menapak jalan lurus nan
luas seakan tidak ada ujung tidak berbatas yang telah disediakan-Nya untuk
hamba-hamba-Nya yang dikasihi-Nya. Tentu saja tak bisa dinafikan peran kedua
orang tua, sanak saudara, dan orang-orang terdekat begitu besar terhadap
perubahan hidup seorang Uje. Kalau Allah berkehendak, kita pun berkehendak,
maka kehendak Allah pasti berlaku.
Man
yahdillaahu falaa mudhilla lahu, wa man yudhlilhu falaa haadiya
lahu.
Ustaz gaul, ya, Uje
Menjadi seorang pendakwah/da’i bagi seorang Uje tentu tidak sesulit orang
yang lain yang tak memiliki basically
bakat dan pendidikan yang memadai. Bukankah Uje seorang Qari bersuara indah dan
banyak pula menghafal ayat Quran? Bukankah Uje pernah belajar Islam di
pesantren/madrasah yang mengajarkan Islam dan praktik beragama Islam yang
sebenarnya? Bukankah Uje mengalami sendiri hidup dalam tuntunan yang benar dan
kemudian sempat menjadi obyek “tontonan” dalam ketidakbenaran sebagai pemakai
narkoba?
Tidaklah mengherankan kalau Uje tampil
menjadi pendakwah Islam yang sangat “ngepas”
dan “fasih” ketika berbicara ayat Quran, syair lagu, dan juga “ayat” narkoba. Ustaz
lumrah saja kalau fasih melafalkan ayat-ayat Quran, sebagian melafal dengan
gaya qori dengan suara merdu, dan
satu dua ustaz saja yang punya kemampuan komplit: hafal ayat-ayat Quran, fasih
melafal, fasih melafal bergaya qori
dengan suara merdu, menguasai audiens, dan mampu menunjukkan karakter seorang
pendakwah. Semua itu dimiliki oleh seorang Uje.
Uje diminta berbicara tentang degradasi moral
remaja, Uje ustaz yang tepat untuk itu. Dia mengalami sendiri seluk-beluk degradasi
moral remaja, karena itu dia amat fasih dan ngepas
bicara soal yang begituan. Ustaz-ustaz yang lain walaupun sudah beken dan kelas
old crack/kawakan sudah malang
melintang di dunia dakwah, paling-paling cuma fasih ayat-ayat Quran dan
kalimat-kalimat asing yang ada di dalam kitab kuning, yang cuma bikin jemaah
tambah mumet memencet-mencet kening kepala pusing dan pening.
Uje diminta berbicara tentang “ayat-ayat
narkoba”: ganja, shabu-shabu, bong, pil koplo, inex, dan jarum suntik, tentu
Uje sangat fasih pula. Dia tidak saja mengenal semua barang haram itu, bahkan
dia pernah menjadi pemakai, dan lebih dari itu, dia merasakan sendiri,
mengalami sendiri segala akibat memakai barang haram jadah itu. Dia menunjuk
dirinya sendiri secara jujur sebagai model pemakai. Semua jemaah tak perlu
membayang-bayangkan, mengkhayal, berimajinasi sosok pemakai narkoba karena
sosok itu ada di hadapan mereka. Saya haqqul
yakin para jemaah lebih cepat memahami metode, model, dan pendekatan yang
digunakan oleh Uje.
Bandingkan isi pembicaraan/tausiah Uje dengan
ceramah kiai kawakan yang sudah renta berkursi roda atau doktor ahli agama
lulusan Al Azhar yang juga berbicara tentang narkoba dan bahayanya narkoba.
Uh,uh, jauh deh!
Jauh
..../Jauh ..../Jauh darimuuu/.
(Manajemen khusus acara tunggal ceramah atau
taklim itu semestinya dilakukan multimetode karena berkaitan erat dengan faktor
fisik, psikis, dan sosial pada audiens/jemaah yang umumnya berlatar belakang
heterogen. Ceramah itu seyogyanya disampaikan dengan bahasa yang dimengerti
oleh audiens dan cukup 10 atau 15 menit saja.
Ceramah akan sulit dimengerti oleh jemaah
kalau bahasa yang dipakai adalah bahasa asing: kata-kata, kalimat-kalimat,
istilah-istilah, atau preface dan
mukaddimah terlalu banyak menggunakan bahasa asing.
Coba saja ikuti dan simak kalau kiai-kiai
kawakan yang sudah renta berparade ceramah di layar tv hari Sabtu atau Minggu. Melihatnya
saja mata kita sudah kuyu, lalu mendengarkan ceramahnya kuping ora kerungu malah terasa lesu,
kemudiannya, semua berlalu terbawa sang bayu.
Atau contoh ceramah seorang pendakwah muda
bergelar doktor lulusan PT luar negeri. Teks asli ayat-ayat Quran dilafalkan
verbalistis begitu fasih lantang menggebu-gebu. Mungkin dia ingin tunjukkan
bahwa dia memang berilmu, layak untuk kita jadikan guru, dan kepandaiannya bisa
kita tiru. Bukan saja sampai di situ, dia pun berfasih-fasih berlafal
butir-butir hadis sahih dari kitab sahih Bukhari cetakan terbaru. Jemaah
terdiam membisu tetapi bukan berarti mereka itu gagu. Takkan ada seorang jemaah
yang bakal menginterupsi karena menginterupsi kiai atau ulama itu dianggap
tabu. Mereka tak akan tahu apakah semua yang disampaikan itu benar atau ada
satu dua yang keliru. Sampai kemudian ceramah diakhiri dengan suara sendu sekaligus
memimpin doa yang menciptakan suasana mengharu-biru. Para pendakwah penceramah
itu tak akan ambil pusing perihal keberterimaan para jemaah, apakah tahu,
setengah tahu, sangat tahu, atau sama sekali tak tahu.
Ketika sesama jemaah sambil berjalan mengobrol
soal isi ceramah sekedar perentang waktu
“Apa sih isi ceramah beliau?” tanya seorang
jemaah berusia tua ingin tahu.
“Tahu, tuh!” jawab jemaah yang satu.
“Au, ah! Gelap!” sambung jemaah berusia muda
sambil lalu.
Kesuksesan ceramah itu/output-nya ditandai dengan indikator adanya pemahaman para audiens.
Mereka pulang membawa oleh-oleh berupa pengetahuan dan juga pemahaman baru.
Mereka termotivasi untuk hadir kembali dan mereka semakin suka mengikuti
kegiatan ceramah dengan bersemangat.)
Gaya dakwah Uje memang ngepas karana caranya
yang gaul abis. Pantas saja kalau kemudian dia digelari Ustaz Gaul.
Faktor-faktor inilah yang membedakan seorang
Uje dengan pendakwah yang lain.
Mari kita lihat siapa yang lebih fasih
menjadi pendakwah yang mencontoh Rasulullah Muhammad saw di samping Uje.
Para pembaca pasti tahu sosok seorang Anton
Medan dulu-dulunya. Anton Medan adalah seorang pendakwah yang fasih dan ngepas untuk membicarakan topik
kriminalitas secara jitu, tepat, dan akurat ketimbang ustaz-ustaz lulusan
pesantren terkenal Gontor atau perguruan tinggi lulusan Al Azhar, Kairo, atau Ummul Quro di Madinah. Kenapa Anton
Medan lebih unggul?
Anton Medan dulu-dulunya adalah mantan napi
alumnus penjara beberapa tahun karena pernah menjadi perampok dan pembunuh.
Anton Medan tidak berfasih-fasih dengan ayat Quran atau hadis ini hadis
itu sefasih Dr. Daud Rasyid atau K.H. Anwar Sanusi yang “melalap” ayat-ayat
Quran dan hadis bla bla bla yang
cepat menguap. “Ayat-ayat” Quran terpampang nyata terlihat pada sosok Anton
Medan, dari sosok yang jahat menjadi sosok berakhlak mulia melalui proses
kehidupan yang panjang. Tanpa perlu banyak khotbah lisan dan berfasih-fasih
ayat Quran pun dakwah Anton Medan jauh lebih jitu ketimbang para pendakwah yang
cuma fasih ayat Quran bercuap-cuap.
Mana bisa ustaz yang hafal ribuan ayat Quran
dan pendidikan formal tinggi pula, bisa fasih berbicara memberantas kejahatan
dan mengubah wajah buruk menjadi wajah elok kalau cuma bersumber dari literatur
texbook dan tak pernah mengalami
sendiri. Mana bisa jitu mengena dan ditangkap jemaah ketika pendakwah berbicara
tentang bahaya narkoba atau ganja kalau pendakwah sendiri melihat shabu-shabu
atau daun ganja pun tak pernah. Banyak ustaz yang kita saksikan berceramah
menasehati betapa berbahayanya narkoba dan ganja cuma fasih melafal ayat Quran
dan hadis bla bla bla di depan para
audiens yang cuma melongo planga-plongo
cuma sekedar menjadi pendengar mengagumi karena ustaznya yang hebat, pintar,
dan jago. Alih-alih para audiens bisa bertambah pintar, yang jelas mungkin saya
dan jemaah tetap saja awam tetap bego.
Memilih narasumber dan penceramah agama di tv
untuk topik berbagai kriminalitas itu lebih tepat menghadirkan sosok-sosok
langsung yang bersentuhan dengan jagat kriminalitas: polisi, jaksa, hakim, napi
atau mantan napi, mantan pemadat, advokat, atau mantan preman. Ambillah
contoh Zarima Mirafsur atau Rafi Ahmad
yang pernah menggeluti dan pecandu narkota. Mereka lebih layak dijadikan
narasumber dan pasti lebih fasih “berceramah” ketimbang seorang ahli agama
bergelar doktor atau kiai haji yang hafal ayat-ayat Quran di ujung bibir tetapi
tak pernah melihat wujud narkoba. Jaka Sembung naik pesawat jet jumbo, kagak nyambung, Bo!
Dari sosok Anton Medan kita kembali kepada
sosok Uje yang fasih berbicara melalui bibirnya, lebih fasih dan ngepas lagi berbicara dengan menayangkan
semua sisi kehidupannya, sisi terang dan
sisi gelap tanpa perlu jaim tanpa ada
sesuatu pun yang disembunyikan. Pendakwah yang sukses adalah pendakwah yang
jujur. Itulah sebabnya Uje menjadi pendakwah yang disenangi karena dakwahnya
mudah dipahami yang lahir dan wujud nyata dari kejujuran hidup yang kuat. Lebih
dari itu, gaya hidupnya sebagai pendakwah yang menyatu dengan masyarakat, masuk
jauh ke dalam ke jantung masyarakat, dan karena itu dakwahnya yang nyata dengan
mudah diakrabi begitu dekat. Uje hadir sebagai figur pendakwah yang mampu merangkul
semua lapisan dan menjadi perekat. Ustaz gaul yang dicintai oleh masyarakat, di
timur dan juga di barat.
Uje jauh lebih sukses sebagai pendakwah
dibandingkan dengan para ustaz yang lain yang bergelar kiai atau tuan guru atau
doktor yang berasal dari pesantren kondang atau perguruan tinggi. Uje sukses
menjadi pendakwah karena dia menghidupkan contoh Rasulullah dalam berdakwah,
yakni dakwah bil hal (contoh nyata
dalam amal atau perbuatan). Uje tidak sekedar fasih berlisan dengan ayat-ayat tetapi
dia fasih berbuat. Uje bukan sekedar menyuruh orang lain memberi tetapi dia
lebih banyak mempraktikkan memberi miliknya untuk orang lain yang berdampak
manfaat. Siapa pun orang itu, dengan seorang Uje takkan ada jarak takkan ada
sekat.
Uje pergi untuk tak kembali
Uje telah mencapai tingkat yang tinggi dalam
hidupnya yang dicapainya dengan bersusah payah mendaki dan manapak anak tangga
satu per satu sampai berada di atas dataran yang lebih baik. Uje telah membuktikan
firman Allah tentang cara mencapai kesuksesan hidup, yakni dengan jalan
bersusah payah mendaki seperti menaiki anak tangga. Simak dan cermati QS Al
Balad (90): 11 s.d. 18.
Uje telah dinyatakan usai menjalankan
tugasnya sebagai khalifah fil ardh yang
bernama negeri Indonesia. Allah Yang Mahatahu soal tugasnya. Allah Yang Maha
Memiliki Uje. Allah Maha Penyayang terhadap Uje. Karena itu Dia memanggil Uje
agar kembali ke pangkuan-Nya. Kita tentu cinta kepada Uje. Tetapi, percayalah,
Allah lebih sayang kepada Uje. Semua orang bersedih hati dan menangis. Akan
tetapi harap diingat, jangan telalu sedih menangisi, jangan meratapi kepergian
Uje, apa lagi meratapi kepergiannya berlama-lama sampai berhari-hari. Jika
begitu cara kita menyikapi cinta kepada seseorang yang dicintai, apa makna dan
artinya kita berucap begitu fasih kalimat innaa
lillaahi wa inna ilaihi raaji’uun? Bukankah
Allah telah berfirman sebagai berikut ini?
Kullu nafsin dzaaiqatul maut; faidzaa jaa’a
ajaluhum, laa yasktakhiruuna sa’ah wa laa yastaqdimuun; wa lanabluwan nakum bi
syayyi’in minal khaufi wal juu’ wa naqsin minal amwaali wal anfusi wats
tsamaaraati wa basysyirish shaabiriin.
Semoga ayat-ayat di atas dapat dicermati dan
bukan sekedar fasih di bibir para ustaz. Kalau bersedih dan meratapi
berhari-hari dengan kegiatan-kegiatan yang tak jelas atas nama cinta kepada
almarhum, kita telah menaruh prasangka buruk terhadap Allah seakan-akan Allah
akan menghukum dengan hukuman berat. Sangat besar murka Allah untuk kita. Saya
tidak ikut-ikutan kegiatan seperti itu daripada saya mendapat murka dari Allah.
Mbak Pipik tentang juru parkir
Perhatikan qiyas yang cerdas dari istri almarhum Uje, Mbak Pipik Dian Irawati,
tentang tukang/juru parkir. Sebuah analogi yang pas tentang kehidupan anak
manusia dan dihubungkan dengan kematian. Apa analogi Mbak Pipik?
Katanya, tak ada tukang/juru parkir di dunia
ini yang bersedih atau marah ketika salah satu atau semua mobil diambil dari
lahan parkir yang berada di bawah kekuasaannya. Tak pernah juru parkir punya
perasaan getir. Tak pernah dia mengernyitkan kening karena keberatan berpikir. Bahkan
dia tertawa nyengir ketika dia
diperintah atau diminta membantu si sopir. Makin banyak mobil datang dan pergi
bermudik berhilir, apakah berlama-lama diparkir atau sekedar mampir, makin
sering dia tertawa nyengir, sebab itu artinya rejeki baginya lancar mengalir. Sebagian
uang rezekinya hari itu dia bisa beli nasi bungkus dan kopi panas secangkir. Wong mobil-mobil itu bukan miliknya,
melainkan milik empunya, orang-orang yang tajir. Ya, mobil itu dibawa pergi
orang, ya, dibiarkan saja pergi bahkan dengan
doa terucap di bibir, semoga esok hari, orang tajir bermobil di tempat dia
bertugas kembali hadir. Yang penting dia selalu sehat segar bugar bisa bertugas
dan tidak akan mangkir.
“Ngapain
dipikir-pikir! Biarkan aja mobil itu ngacir!”
jawab Bang Takhir si juru parkir sambil tertawa nyengir.
Analogi yang cerdas dari seorang Mbak Pipik
yang baru saja kehilangan suami tercinta. Nah, begitulah seharusnya kita
menyikapi kepergian seseorang yang kita cintai untuk selama-lamanya, hatta dia
orang tua, anak, suami, isteri seorang, dua orang, bahkan semuanya. Mereka
diambil oleh Empunya, Allah Yang Mahakuasa.
Bersedih hati? Ya, tentu. Tetapi, menangisi
dan meratapi, berhari-hari, dengan cara apa pun, atas nama cinta, atas nama
hormat, atas nama kagum, atas nama kegiatan apa pun sebagai kemasan pembungkus
berlabel Islam, tetap saja bentuk ketidakpercayaan terhadap Pemilik mutlak alam
beserta segala isinya, Allah Swt.
Kematian seseorang adalah bagian dari takdir
dan sunnatullah
Mari kita menengok sejarah tokoh teladan umat
Islam, Rasulullah Muhammad saw. Usai beliau meninggal dunia di rumahnya di
Madinah, usai disalatkan, terakhir beliau dimakamkan. Semua istri beliau pasti
bersedih. Semua sahabat pasti bersedih hati. Semua pengikut beliau di mana pun berada, pasti bersedih. Pengikut
beliau yang berada di kejauhan, di Damaskus, Yaman, Iraq, dll. sebagiannya tahu
Muhammad saw wafat belakangan, sebagian lagi tak tahu, dan yang pasti sebagian
besar tak tahu sosok Muhammad saw. Termasuk kita, muslim di Indonesia. Toh, tak
pernah runtuh akidah kita terhadap ajaran dan keteladanannya.
Takkan runtuh akidah Islam saya jika saya
tidak pernah tahu letak kuburan Muhammad saw. Banyak muslim seperti saya karena
memang tak ada manfaatnya. Juga sebaliknya, takkan bertambah iman saya hanya karena
datang ke Madinah dan melihat kuburan Muhammad saw. karena kuburan hanyalah
benda mati belaka, Ibrahim hormat dan cinta kepada ayahnya tetapi Ibrahim amat membenci
patung-patung buatan ayahnya tercinta karena patung-patung itu dijadikan sesembahan.
Bahkan Ibrahim menghancurkan berhala-berhala
yang sebagian besar bikinan bapaknya. Adakah bedanya berhala dan
kuburan? Benarkah praktik beragama Islamnya seseorang yang membangun kuburan
ratusan juta rupiah, atau membayar uang DP puluhan juta rupiah untuk memesan
lahan kuburan seperti lahan komplek kuburan mewah di San Diego Hills, Karawang,
atau di Quiling, Tanjungsari, Bogor?
Yang jelas, iman saya akan runtuh jika saya
murtad, jika saya membangkang terhadap ajaran Islam, jika saya ingkar terhadap
firman Allah, jika saya kufur terhadap
nikmat Allah, dan tidak patuh kepada teladan Muhammad saw, rasulullah, dan
panutan terbaik seluruh muslim di dunia.
Apa yang dilakukan Abu Bakar, Umar, Utsman,
dan Ali serta para sahabat yang lain setelah beliau dimakamkan? Apa yang
dilakukan para isteri dan keluarga terdekat? Tak ada di benak mereka untuk
merancang kegiatan tahlilan dan mendaftar semua peserta tahlilan dari hari
pertama sampai hari ke sekian. Tak ada dalam benak mereka untuk merancang
lukisan di batu nisan dan bangunan kuburan dari marmer buatan Italy untuk
kuburan Muhammad saw, manusia dengan akhlak terbaik.
(Saya dan sebagian muslim sungguh tak bisa
memahami contoh dan teladan dari siapa mengada-ada kegiatan tahlilan dan doa
arwahan bahkan sampai membaca Quran di kuburan. Lebih tak bisa dipahami, kalau
ada kuburan orang Islam yang dibangun dengan membuang uang milyaran hanya
karena orang itu terkenal dan menjadi tokoh besar ketika masih hidup. Para
pembaca bisa menerka siapa orang yang saya maksud.
Seumur-umur ada siaran tv sejak tahun 1962
dengan TVRi-nya, belum pernah ada seorang pun ustaz yang berani berbicara
tentang tak ada manfaatnya kegiatan tahlilan atau mengadakan kegiatan
tahlilan itu bukanlah perintah Allah. Fakta
yang sama juga terjadi pada soal ziarah kubur dan membaca Quran di kuburan. Tak
ada satu pun ustaz atau pendakwah yang tampil di layar tv, sudi mengatakan
bahwa ziarah kubur itu kegiatan sia-sia yang lebih mendekati kemusyrikan. Atau,
boleh jadi stasiun tv takkan gegabah menampilkan pendakwah yang “tampil beda”
yang berani menyalahi pakem tradisional mazhab mayoritas daripada dituduh
pemilik mazhab mayoritas sebagai stasiun tv yang kontroversial. Memang, sampai
detik ini pun, tambah banyak saja ustaz yang lebih mengedepankan tradisi
ketimbang mengedepankan kebenaran Islam, padahal mereka pasti tahu, mana ajaran
Islam dan teladan rasulullah yang semestinya ditegakkan secara istiqamah, mana tradisi nenek moyang
jahiliah yang harus diberantas. Kalau orang nonmuslim melakukan kegiatan
semodel itu, seperti bernyanyi-nyanyi berjamaah sambil memegang kitab suci
mereka di rumah duka berhari-hari menunggu sampai mayit dikuburkan, saya mah nggak kepikiran! Eh, orang Islam
yang nggak kebagian melihat mayit di
rumah duka, bisa-bisanya, mao-maonya
menyusul ke kuburan sekedar membaca Quran. Ayat-ayat Quran yang semestinya
disampaikan sebagai ajaran bagi orang yang masih hidup yang punya mata,
telinga, dan hati, lha, dibacakan di
depan kuburan. Siapa yang mendengar di kuburan? Astaghfirullah! Membaca Quran wahyu Allah yang agung dibilang
berdoa. Ya, beda banget, Cing!)
Abu Bakar yang baru saja dibaiat menjadi
khalifah usai pemakaman Nabi saw sudah putar otak memikirkan ulah kaum Anshar
yang kepingin juga menjadi khalifah, mengapa Abu Bakar yang muhajirin, mengapa
bukan mereka yang Anshar yang menggantikan Muhammad. Belum lagi kesibukan Abu
Bakar yang dikacaukan oleh kemunculan nabi palsu Musaillamah Al Kazzab dan pengaruh
si pendusta Musaillamah ini terhadap rang-orang Islam agar enggan/tak sudi
membayar zakat.
Jelasnya, para sahabat dan kaum muslimin tak
larut dalam kesedihan sepeninggal Muhammad saw. Mereka kembali kepada kesibukan
memimpin umat agar jangan sampai iman mereka lemah tersandung terantuk. Mereka
tak membiarkan umat berlama-lama menangis tersengguk-sengguk. Mereka tak ingin
umat berlarut-larut bersedih berbalut yang berbalik murtad dan berdampak jauh
lebih buruk. Asal tahu saja, orang itu, jika berlama-lama bersedih cenderung
melemahkan iman dan bisa tergoda oleh godaan setan yang terkutuk. Tukang tipu
dengan kekuatan hipnosis melihat orang yang sedang lemah mengantuk, orang yang suka
meleng, atau yang suka merenung, merupakan sasaran empuk.
Lihat saja orang-orang yang menjadi korban
Eyang Subur yang punya ajian kopi pahit jurus kopi bubuk. Tak sanggup menatap
mata Eyang Subur kecuali cuma tersipu menunduk. Tipe manusia apa yang Eyang
Subur tekuk? Wanita model apa korban poligami delapan istri Eyang Subur yang siap luar dalam dielus-elus dicium
peluk? Orang-orang itu adalah orang-orang yang hilang akal sehatl lemah iman, dan
berawal mula diserang perasaan suntuk. Mereka dengan mudah bertekuk lutut di
depan si tua Eyang Subur saling berebut
menjadi orang terdekat dengan tanpa malu-malu menyosor menyeruduk.
Kalau godaan setan sudah jauh masuk ke dalam
kalbu merasuk, sungguh, kita akan sulit membedakan mana jambu bangkok mana
jambu klutuk, juga kita sulit membedakan mana ajaran dan praktik Islam yang
lurus indah bentuk dan mana praktik nonislami yang busuk tak jelas bentuk!
Memang telah pergi untuk selama-lamanya sosok
pendakwah yang kita cintai, saudara kita, Uje. Menyimak kehadiran Uje sebagai
sosok pendakwah yang ngepas, penulis
menganalogikan sebagai berikut:
Uje memang telah pergi meninggalkan kita
untuk selama-lamanya. Uje kita analogikan meninggalkan rumah besar yang
kondisinya di sana-sini membutuhkan perbaikan, misalnya dindingnya sudah
berwarna buram dan atapnya bocor. Lalu boleh jadi Uje juga meninggalkan
sebidang kebun yang penuh dengan pohon buah-buahan yang berbuah rimbun. Uje
tidak mengalap (memetik) buah-buahan
dan kemudian menimbun-nimbun. Uje tidak menghidangkan buah-buahan ranum itu di
meja makan dan kita tinggal menyantapnya sampai perut menjadi tambun. Namun,
Uje membiarkan buah-buahan tetap berada di tangkainya. Uje berharap kitalah
yang yang harus menggapai buah-buahan itu dari tangkainya dan menurunkannya
jika kita ingin menyantapnya dan jika benar kita cinta kepada Uje yang telah
bersusah-payah mengadakan dan memelihara kebun nan subur itu.
Uje ngantunkeun
taraje
Uje hanya meninggalkan sesuatu yang amat
berharga bagi para jemaah dan orang-orang yang dicintainya, yaitu taraje, (Sunda; tangga). Taraje adalah pesawat sederhana yang memiliki
dua kaki dan memiliki anak, bisa tiga, empat, atau lima anak.
Taraje jika ingin digunakan
harus ditegakkan tegak lurus 90%, atau kemiringan 80%, atau kurang dari itu dan
harus disandarkan lebih dahulu
sebelum digunakan. Taraje adalah alat
yang dapat kita manfaatkan untuk memudahkan
dan mempercepat pekerjaan memetik buah-buahan di atas sana, atau digunakan
sebagai penopang ketika kita memperbaiki rumah warisan yang ditinggalkan Uje.
Apakah kita yang ditinggalkan Uje hanya
berdiam diri dengan warisan kebun berbuah rimbun dan rumah besar yang
kondisinya kurang baik di sana-sini? Apakah kebun itu cukup kita datangi saja,
kita kagumi kerimbunan dan keranuman semua buahnya, lalu menunggu buah itu
jatuh dan kita tinggal menikmatinya? kita bernyanyi-nyanyi, memanggil-manggil
nama Uje, memuji-muji kebaikannya, dan kemudian beranjak membawa bunga ke
makamnya, mengapit kitab Quran dan membaca Quran di depan pusaranya? Bahkan
kita datang jauh-jauh dari Makassar sana (bukan Kampung Makassar di Jaktim), saking
merasakan kehilangan, mendatangi makam Uje, lalu membaca ayat-ayat Quran
sebagai doa. Apakah saudara kita itu tidak percaya kepada Allah bahwa berdoa di
Makassar pun bisa dilakukan? Apakah si ibu itu tidak yakin akan pesan Allah
bahwa doa begitu mudah dilakukan di mana pun dan pasti doanya diterima?
Biarin
aja!
Dia orang kaya dan banyak duit! Betul! Apa begitu praktik ajaran Islam? Kan mending dia mencontoh cara Uje jika
benar cinta kepada Uje. Infakkan saja uang buat ongkos dari Makassar ke Jakarta
untuk orang-orang miskin yang ada di sekitar rumah! Tetapi, ya begitulah! Itu
adalah salah satu dari contoh praktik beragama dari orang yang sebenarnya sering mengikuti acara tell me tetapi tetap saja
telmi (telat mikir).
Katanya kita ini pengikut Muhammad saw dan
sampai akhir hayat tetap bersumpah setia menjadi pengikutnya, sebagaimana
Muhammad saw yang taat dan patuh terhadap janjinya kepada Allah Sang
Pemiliknya, dengan sumpah setia setiap saat kita ucapkan dalam salat:
inna shalaatii wa nusukii wa mahyaaya wa mamaati lillaahi rabbil
‘aalamiin.
Bukan di ujung bibir saja kan janji itu kita
tempelkan?
Apakah kita yang telah diwariskan sebuah
rumah besar itu cukup memandangi saja rumah yang berdinding kusam dan bocor di
sana-sini, mendiamkan taraje
tergeletak di lantai, lalu ujug-ujug
rumah itu menjadi bersih dan aman dari kebocoran? Lalu, di mana ukuran tanda
cinta, kagum, dan hormat kita kepada Uje kalau cara kita memaknai cinta dan
kagum seperti itu?
Taraje ka
anggo Kang Jeje
Taraje adalah alat yang
berguna bagi kita sebagai penopang untuk mengecat rumah memperbaiki atap yang
bocor di atas sana yang jauh dari jangkauan. Taraje tidak merasa tersanjung, manja, kolokan, atau menjadi
congkak adigang adigung adiguna
ketika didirikan/ditegakkan. Taraje
tidak akan marah atau berteriak ketika anak-anaknya diinjak. Taraje menjadi barang mubazir jika dia
dibiarkan tegak berdiri bersandar tak pernah digunakan, apa lagi dibiarkan
tergeletak tidur memanjang. Taraje
adalah benda mati. Namun, taraje akan berarti banyak jika manusia pandai
memanfaatkan keberadaannya.
Kita mau memetik buah-buahan ranum di kebun
warisan Uje itu dengan cara yang lebih cepat dan mudah, tentu kita ambil taraje, kita tegakkan dan sandarkan taraje, dan kita pastikan taraje itu
tegak kokoh. Lalu kita injak anak taraje
nomor satu yang paling bawah, kita menapak anak taraje satu persatu sampai ke anak taraje terakhir yang paling atas. Makin sering kita menggunakannya,
makin mahir kita bertaraje.Kita pun
memetik buah-buahan ranum itu sekehendak hati sampai puas.
Tentu saja harta benda lebih dari cukup yang
ditinggalkan untuk ahli waris dari seorang
Uje. Namun, semua itu peruntukannya terbatas. Ada peninggalan seorang
Uje yang jauh lebih berharga yang amat bermanfaat untuk waktu yang lama. Apa
itu? Ya, semangat berkorban atas dasar hati yang ikhlas berlandaskan iman.
Bukan emas berlian atau kendaraan berharga mahal yang bersifat instan.
Saya menganalogikan warisan almarhum Uje itu,
ya, sebuah taraje. Nah, taraje itu harus kita rawat
keberadaannya, lalu kita gunakan dengan sebaik-baiknya, bersusah-susah sedikit
menapak anak-anak taraje, dan insya Allah kita menikmati hasil usaha itu berkat
adanya alat sederhana yang namanya taraje.
Anda mengagumi Uje? Anda cinta kepada sosok
Uje? Anda ingin menemui Uje? Anda dan saya, kita semua, takkan pernah bertemu
lagi secara fisik dengan Uje. Kita ingat saja nasehatnya, kita simak
tausiahnya, kita lanjutkan dakwahnya dengan cara dan gaya kita masing-masing,
kita manfaatkan warisannya, “taraje”,
tanpa kecuali.
Jika kita cuma mengagumi dan menggaungkan
puji-pujian nama Uje, kita sama sekali tidak menghidupkan amanatnya. Cinta dan
hormat kita cuma di ujung bibir terhadap Uje. Akan tetapi, jika kita berjuang
setapak demi setapak ibarat menapak anak-anak taraje, dengan melalui perjuangan dan kerja keras, kita bisa
menyamai Uje atau melebihi Uje. Siapa pun yang berjuang, dia akan meraih
sukses, termasuk juga untuk si tukang bubur di Merak yang pernah bertemu dan saling
mendoakan dengan Uje, namanya Jeje Jaelani dan biasa disapa Kang Jeje.
Jakarta, 29 April 2013