Senin, 29 April 2013

KUTU-KUTU





KUTU, KUTU BUSUK, KUTU BUKU, KUTU LONCAT, KUTU KUPRET

Kutu

Manusia itu dalam kehidupannya sehari-hari akrab dengan kutu. Apa sih kutu itu? Menurut KBBI (2008: 765), Kutu adalah serangga parasit tidak bersayap yang mengisap darah binatang atau manusia. Kutu adalah  jenis binatang yang berukuran kecil, bahkan bisa jadi tergolong amat kecil sehingga sulit dilihat dengan mata normal. Apa lagi bagi orang yang kena penyakit rabun, jangan harap bisa melihat hewan yang bernama kutu. Para ahli biologi hewan atau ahli kesehatan harus menggunakan mikroskop atau kaca pembesar untuk dapat melihat dengan jelas beberapa jenis wujud kutu.
Berikut adalah beberapa kelompok hewan yang memakai nama kutu:
a.    kutu yang menyerang manusia secara langsung: kutu air, tuma/kutu kepala/rambut, kutu busuk/tumbila/bangsat
b.    kutu yang menyerang hewan: kutu kucing, parasit pada kucing
           kutu anjing, parasit pada anjing, kutu burung, parasit pada burung/unggas
c.    kutu yang menyerang tumbuhan: kutu loncat, kutu daun, hama tumbuhan, kutu perisai, hama tumbuhan, kutu putih, hama tumbuhan
d.    kutu yang memakan barang-barang: kutu beras, hama pada biji-bijian yang disimpan; kutu bubuk, hama kayu.

Meskipun kutu adalah hewan kecil, namun keberadaannya di tengah kehidupan manusia cukup meresahkan. Kutu itu hewan yang merugikan. Tanaman banyak yang hidupnya merana karena diserang dan disantap oleh kutu. Dedauan dan tangkai tanaman akan rusak oleh kutu. Hewan peliharaan/ternak bisa kurus dan penyakitan ketika diserang oleh kutu. Manusia tak kalah menderitanya kalau kutu berada di tubuh karena kutu itu hewan parasit. Kualitas beras atau jagung akan rusak kalau dimakan oleh kutu.  Kutu itu lebih suka hidup dalam kelompok-kelompok.

Kutu itu musuh manusia, baik musuh langsung karena menyerang tubuh manusia, maupun secara tidak langsung karena menyerang hewan piaraan dan tanaman, namanya hama. Kutu yang langsung menjadi musuh manusia karena menyerang kulit. Ada dua organ tubuh manusia yang paling sering dihinggapi dan dijadikan sarang tempat tinggal kutu. Pertama kutu hinggap dan bersarang di kepala di balik lebatnya rambut. Kedua, kutu senang tinggal dan bersarang telapak kaki dan di sela-sela kelima jari kaki.

Kutu dapat hidup nyaman dan berkembang biak di kepala manusia jika kepala dan rambut kita tidak bersih/kotor.  Makin malas kita membersihkan kepala dan rambut, makin gemuk si kutu dan makin banyak berkembang biak. Makin lebat rambut yang tumbuh di kepala, makin besar kemungkinan kutu menghuni kepala dan menggerogoti kepala kita. Taringnya menggigit dan menghisap darah dan air liurnya membuat luka gigitan menjadi gatal. Memang terasa tidak terlalu sakit, tetapi kita merasakan gatal terus-menerus, pertanda kutu sedang menyantap kulit kepala dan berpesta pora.

Begitu pula dengan aktivitas kutu air. Telapak kaki dan jari-jari kaki yang sering berbasah-basahan, lembab berlama-lama, dan terlambat dikeringkan akan memberi kesempatan bagi kutu untuk tumbuh subur dan berkembang biak. Kita menderita karena telapak dan jari-jari kaki gatal terus-terusan dan telapak kaki mengalami luka karena gigitan kutu air.

Pernah melihat kaum ibu mencari kutu? Mencari kutu bisa dilakukan sendiri, bisa juga berdua. Supaya kutu dapat dikeluarkan dari kulit kepala dan rambut, perlu ada sisir yang karas dan bergerigi halus untuk menyisir sekaligus menggerus kutu dari kulit kepala. Tanpa sisir seperti itu kita tak berharap banyak menanggok kutu karena tubuhnya yang halus.

Kutu Busuk

Kutu Busuk adalah kutu yang berbau busuk kalau ditindas. Nama lain kutu busuk adalah bangsat atau kepinding.

Kutu Loncat

Kutu Loncat adalah hama berwarna oranye kehijau-hijauan, berukuran kecil, dan hidup dengan cara mengisap cairan tanaman yang masih muda, terutama tanaman lamtoro gung.

Istilah kutu loncat adalah arti konotatif atau kiasan, yaitu julukan bagi seseorang yang menggantungkan hidupnya dengan menumpang dari satu orang ke orang lain. Kader kutu loncat adalah kader parpol yang kurang mandiri, nggak pede, nggak betahan di satu parpol, dan gampang pindah ke parpol lain dengan berbagai dalih politis. Kader tipe kutu loncat biasanya menganggap sebuah parpol ibarat rumah kontrakan.

Kutu Buku

Kutu Buku dalam artian denotatif adalah kuman-kuman yang ada di buku. Kutu buku dalam artian konotatif sebagai kiasan artinya orang yang suka membaca dan menelaah buku di mana saja.

“Pantas saja si Dian pintar sekali, rupanya dia kutu buku!”

Kutu Kupret

Kutu Kupret adalah sejenis cacian yang sering muncul dalam bahasa percakapan logat Betawi. Jika seseorang menunjukkan kemarahan kepada orang lain atau sekedar candaan seseorang kepada teman akrab karena perkataan atau perbuatan yang kurang bagus, cacian kutu kupret ini suka dilontarkan, misalnya:
seseorang marah kepada sopir yang ugal-ugalan menyetir mobil.

“Dasar kutu kupret! Mobil bagus, nyetir kayak bawa angkot!”
 seseorang mencaci setengah bercanda kepada temannya.

“Eh, kutu kupret! Ke mane aje, lu?”

Cacian yang sama dengan kutu kupret yang sering terlontar dalam bahasa percakapan dengan logat Betawi adalah sompret, kampret, uler keket, mak dirabit, mak dikipe, dan mak dirodok.

Mati kutu

Mati kutu adalah sebuah peribahasa yang artinya adalah orang yang lemah karena telah kehilangan daya/kekuatan.

“Menterinya diganti, mati kutu sudah staf ahli Menteri yang arogan itu!”

“Jangan tanya lagi ke mana Pak Gobang, ya. Dia sudah mati kutu!”

Ngomong-ngomong soal kutu, kutu loncat, kutu busuk sampai mati kutu, intinya adalah, bahwa kutu itu hewan jahat pengisap darah manusia.

JUMAT, 29 APRIL 2013

Minggu, 28 April 2013

USTAZ GAUL UJE WAFAT



TOS MANGKAT KANG UJE, NGANTUNKEUN TARAJE KA ANGGO KANG JEJE

Tos mangkat ustaz gaul Uje

Pagi dinihari, usai bersalat Subuh, aku terhenyak tersentak mendengar berita dari siaran pagi di tv swasta. Kabar duka yang amat mengagetkan semua orang. Ustaz kondang dan muda usia, Jefri Al Buchari (beken dengan panggilan Uje) telah berpulang ke rahmatullah pada usia empat puluh tahun. Uje meninggal akibat sebuah kecelakaan tunggal di kawasan bundaran Pondok Indah, Jakarta Selatan. Motor gede (moge) yang dikendarainya, tak mampu dikendalikan mungkin karena kecepatan moge cukup tinggi, menabrak pokok pinang besar di sisi jalan, dan tubuh Uje pun terpental sejauh tiga puluh meter dan moge Kawasaki 650 cc miliknya rusak berat. Uje terluka parah terutama pada bagian kepala sebelah kiri. Dia sempat dibawa ke rumah sakit untuk dirawat di unit gawat darurat. Uje tak tertolong. Dia dinyatakan meninggal dunia, sekitar pukul dua larut malam menjelang dinihari, Jumat, 26 April 2013. Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun. Semua berasal dari Allah dan semua pasti kembali pula kepada Allah.

Uje adalah sosok seorang pendakwah yang fenomenal yang memiliki perjalanan rohani yang berliku-liku. Uje punya latar belakang keluarga yang memiliki warna yang kuat keislamannya, kedua orang tuanya terutama. Uje mengenyam pendidikan di lembaga formal dan pesantren dari tingkat SD/Madrasah sampai tingkat SLA. Pernah nyantren selama empat tahun. Dia anak dan remaja berbakat/bertalenta di dunia tari/ dansa dan tarik suara, cerdas dan kuat menghafal banyak ayat Quran, serta  dikaruniai suara indah dan nafas yang panjang nian. Dia membuktikannya dengan menjuarai berbagai jenis lomba, contohnya MTQ, sampai kemudian menjuarai MTQ tingkat provinsi DKI Jakarta dan dikenal pula sebagai Qori dalam berbagai perhelatan.  Uje memang pernah mengenyam kuliah di bangku perguruan tinggi namun kandas di tengah jalan.

Siapa sangka siapa nyana, Uje remaja pada usia ABG yang mulai berkilau itu sempat menggeluti dan berakrab-akrab ria dengan dunia narkoba. Dia sempat mengalami kehilangan kendali moral, akhlak, dan agama. Dinamika hidup pada usia remaja dilalui dalam kekelaman dan keremang-remangan sampai usia menikah dan memiliki bahtera rumah tangga.

Seburuk-buruknya mental dan karakter seorang insan Uje ketika usia remaja,  karena Uje berasal dari keluarga yang kuat keislamannya, pada akhirnya menemukan kembali jalan lurus yang didambakan oleh setiap pribadi muslim. Allah Yang Maha Penyayang tidak membiarkan hamba-Nya yang bernama Uje untuk terus-terusan bergelimang lumpur dosa. Allah memberinya hidayah, menariknya dari lumpur hitam, dan menuntunnya dengan sifat-Nya Yang Maha Penyayang, menapak jalan lurus nan luas seakan tidak ada ujung tidak berbatas yang telah disediakan-Nya untuk hamba-hamba-Nya yang dikasihi-Nya. Tentu saja tak bisa dinafikan peran kedua orang tua, sanak saudara, dan orang-orang terdekat begitu besar terhadap perubahan hidup seorang Uje. Kalau Allah berkehendak, kita pun berkehendak, maka kehendak Allah pasti berlaku.

            Man yahdillaahu falaa mudhilla lahu, wa man yudhlilhu falaa haadiya  
          lahu.

Ustaz gaul, ya, Uje

Menjadi seorang pendakwah/da’i  bagi seorang Uje tentu tidak sesulit orang yang lain yang tak memiliki basically bakat dan pendidikan yang memadai. Bukankah Uje seorang Qari bersuara indah dan banyak pula menghafal ayat Quran? Bukankah Uje pernah belajar Islam di pesantren/madrasah yang mengajarkan Islam dan praktik beragama Islam yang sebenarnya? Bukankah Uje mengalami sendiri hidup dalam tuntunan yang benar dan kemudian sempat menjadi obyek “tontonan” dalam ketidakbenaran sebagai pemakai narkoba?

Tidaklah mengherankan kalau Uje tampil menjadi pendakwah Islam yang sangat “ngepas” dan “fasih” ketika berbicara ayat Quran, syair lagu, dan juga “ayat” narkoba. Ustaz lumrah saja kalau fasih melafalkan ayat-ayat Quran, sebagian melafal dengan gaya qori dengan suara merdu, dan satu dua ustaz saja yang punya kemampuan komplit: hafal ayat-ayat Quran, fasih melafal, fasih melafal bergaya qori dengan suara merdu, menguasai audiens, dan mampu menunjukkan karakter seorang pendakwah. Semua itu dimiliki oleh seorang Uje.

Uje diminta berbicara tentang degradasi moral remaja, Uje ustaz yang tepat untuk itu. Dia mengalami sendiri seluk-beluk degradasi moral remaja, karena itu dia amat fasih dan ngepas bicara soal yang begituan. Ustaz-ustaz yang lain walaupun sudah beken dan kelas old crack/kawakan sudah malang melintang di dunia dakwah, paling-paling cuma fasih ayat-ayat Quran dan kalimat-kalimat asing yang ada di dalam kitab kuning, yang cuma bikin jemaah tambah mumet memencet-mencet kening  kepala pusing dan pening.

Uje diminta berbicara tentang “ayat-ayat narkoba”: ganja, shabu-shabu, bong, pil koplo, inex, dan jarum suntik, tentu Uje sangat fasih pula. Dia tidak saja mengenal semua barang haram itu, bahkan dia pernah menjadi pemakai, dan lebih dari itu, dia merasakan sendiri, mengalami sendiri segala akibat memakai barang haram jadah itu. Dia menunjuk dirinya sendiri secara jujur sebagai model pemakai. Semua jemaah tak perlu membayang-bayangkan, mengkhayal, berimajinasi sosok pemakai narkoba karena sosok itu ada di hadapan mereka. Saya haqqul yakin para jemaah lebih cepat memahami metode, model, dan pendekatan yang digunakan oleh Uje.

Bandingkan isi pembicaraan/tausiah Uje dengan ceramah kiai kawakan yang sudah renta berkursi roda atau doktor ahli agama lulusan Al Azhar yang juga berbicara tentang narkoba dan bahayanya narkoba. Uh,uh, jauh deh!
Jauh ..../Jauh ..../Jauh darimuuu/.
(Manajemen khusus acara tunggal ceramah atau taklim itu semestinya dilakukan multimetode karena berkaitan erat dengan faktor fisik, psikis, dan sosial pada audiens/jemaah yang umumnya berlatar belakang heterogen. Ceramah itu seyogyanya disampaikan dengan bahasa yang dimengerti oleh audiens dan cukup 10 atau 15 menit saja.

Ceramah akan sulit dimengerti oleh jemaah kalau bahasa yang dipakai adalah bahasa asing: kata-kata, kalimat-kalimat, istilah-istilah, atau preface dan mukaddimah terlalu banyak menggunakan bahasa asing.

Coba saja ikuti dan simak kalau kiai-kiai kawakan yang sudah renta berparade ceramah di layar tv hari Sabtu atau Minggu. Melihatnya saja mata kita sudah kuyu, lalu mendengarkan ceramahnya kuping ora kerungu malah terasa lesu, kemudiannya, semua berlalu terbawa sang bayu.

Atau contoh ceramah seorang pendakwah muda bergelar doktor lulusan PT luar negeri. Teks asli ayat-ayat Quran dilafalkan verbalistis begitu fasih lantang menggebu-gebu. Mungkin dia ingin tunjukkan bahwa dia memang berilmu, layak untuk kita jadikan guru, dan kepandaiannya bisa kita tiru. Bukan saja sampai di situ, dia pun berfasih-fasih berlafal butir-butir hadis sahih dari kitab sahih Bukhari cetakan terbaru. Jemaah terdiam membisu tetapi bukan berarti mereka itu gagu. Takkan ada seorang jemaah yang bakal menginterupsi karena menginterupsi kiai atau ulama itu dianggap tabu. Mereka tak akan tahu apakah semua yang disampaikan itu benar atau ada satu dua yang keliru. Sampai kemudian ceramah diakhiri dengan suara sendu sekaligus memimpin doa yang menciptakan suasana mengharu-biru. Para pendakwah penceramah itu tak akan ambil pusing perihal keberterimaan para jemaah, apakah tahu, setengah tahu, sangat tahu, atau sama sekali tak tahu.
Ketika sesama jemaah sambil berjalan mengobrol soal isi ceramah sekedar perentang waktu

“Apa sih isi ceramah beliau?” tanya seorang jemaah berusia tua ingin tahu.

“Tahu, tuh!” jawab jemaah yang satu.

“Au, ah! Gelap!” sambung jemaah berusia muda sambil lalu.

Kesuksesan ceramah itu/output-nya ditandai dengan indikator adanya pemahaman para audiens. Mereka pulang membawa oleh-oleh berupa pengetahuan dan juga pemahaman baru. Mereka termotivasi untuk hadir kembali dan mereka semakin suka mengikuti kegiatan ceramah dengan bersemangat.)

Gaya dakwah Uje memang ngepas karana caranya yang gaul abis. Pantas saja kalau kemudian dia digelari Ustaz Gaul.

Faktor-faktor inilah yang membedakan seorang Uje dengan pendakwah yang lain.

Mari kita lihat siapa yang lebih fasih menjadi pendakwah yang mencontoh Rasulullah Muhammad saw di samping Uje.

Para pembaca pasti tahu sosok seorang Anton Medan dulu-dulunya. Anton Medan adalah seorang pendakwah yang fasih dan ngepas untuk membicarakan topik kriminalitas secara jitu, tepat, dan akurat ketimbang ustaz-ustaz lulusan pesantren terkenal Gontor atau perguruan tinggi lulusan Al Azhar, Kairo, atau Ummul Quro di Madinah. Kenapa Anton Medan lebih unggul?

Anton Medan dulu-dulunya adalah mantan napi alumnus penjara beberapa tahun karena pernah menjadi perampok dan  pembunuh.  Anton Medan tidak berfasih-fasih dengan ayat Quran atau hadis ini hadis itu sefasih Dr. Daud Rasyid atau K.H. Anwar Sanusi yang “melalap” ayat-ayat Quran dan hadis bla bla bla yang cepat menguap. “Ayat-ayat” Quran terpampang nyata terlihat pada sosok Anton Medan, dari sosok yang jahat menjadi sosok berakhlak mulia melalui proses kehidupan yang panjang. Tanpa perlu banyak khotbah lisan dan berfasih-fasih ayat Quran pun dakwah Anton Medan jauh lebih jitu ketimbang para pendakwah yang cuma fasih ayat Quran bercuap-cuap.

Mana bisa ustaz yang hafal ribuan ayat Quran dan pendidikan formal tinggi pula, bisa fasih berbicara memberantas kejahatan dan mengubah wajah buruk menjadi wajah elok kalau cuma bersumber dari literatur texbook dan tak pernah mengalami sendiri. Mana bisa jitu mengena dan ditangkap jemaah ketika pendakwah berbicara tentang bahaya narkoba atau ganja kalau pendakwah sendiri melihat shabu-shabu atau daun ganja pun tak pernah. Banyak ustaz yang kita saksikan berceramah menasehati betapa berbahayanya narkoba dan ganja cuma fasih melafal ayat Quran dan hadis bla bla bla di depan para audiens yang cuma melongo planga-plongo cuma sekedar menjadi pendengar mengagumi karena ustaznya yang hebat, pintar, dan jago. Alih-alih para audiens bisa bertambah pintar, yang jelas mungkin saya dan jemaah tetap saja awam tetap bego.

Memilih narasumber dan penceramah agama di tv untuk topik berbagai kriminalitas itu lebih tepat menghadirkan sosok-sosok langsung yang bersentuhan dengan jagat kriminalitas: polisi, jaksa, hakim, napi atau mantan napi, mantan pemadat, advokat, atau mantan preman. Ambillah contoh  Zarima Mirafsur atau Rafi Ahmad yang pernah menggeluti dan pecandu narkota. Mereka lebih layak dijadikan narasumber dan pasti lebih fasih “berceramah” ketimbang seorang ahli agama bergelar doktor atau kiai haji yang hafal ayat-ayat Quran di ujung bibir tetapi tak pernah melihat wujud narkoba. Jaka Sembung naik pesawat jet jumbo, kagak nyambung, Bo!

Dari sosok Anton Medan kita kembali kepada sosok Uje yang fasih berbicara melalui bibirnya, lebih fasih dan ngepas lagi berbicara dengan menayangkan semua sisi kehidupannya,  sisi terang dan sisi gelap tanpa perlu jaim tanpa ada sesuatu pun yang disembunyikan. Pendakwah yang sukses adalah pendakwah yang jujur. Itulah sebabnya Uje menjadi pendakwah yang disenangi karena dakwahnya mudah dipahami yang lahir dan wujud nyata dari kejujuran hidup yang kuat. Lebih dari itu, gaya hidupnya sebagai pendakwah yang menyatu dengan masyarakat, masuk jauh ke dalam ke jantung masyarakat, dan karena itu dakwahnya yang nyata dengan mudah diakrabi begitu dekat. Uje hadir sebagai figur pendakwah yang mampu merangkul semua lapisan dan menjadi perekat. Ustaz gaul yang dicintai oleh masyarakat, di timur dan juga di barat.

Uje jauh lebih sukses sebagai pendakwah dibandingkan dengan para ustaz yang lain yang bergelar kiai atau tuan guru atau doktor yang berasal dari pesantren kondang atau perguruan tinggi. Uje sukses menjadi pendakwah karena dia menghidupkan contoh Rasulullah dalam berdakwah, yakni dakwah bil hal (contoh nyata dalam amal atau perbuatan). Uje tidak sekedar fasih berlisan dengan ayat-ayat tetapi dia fasih berbuat. Uje bukan sekedar menyuruh orang lain memberi tetapi dia lebih banyak mempraktikkan memberi miliknya untuk orang lain yang berdampak manfaat. Siapa pun orang itu, dengan seorang Uje takkan ada jarak takkan ada sekat.

Uje pergi untuk tak kembali

Uje telah mencapai tingkat yang tinggi dalam hidupnya yang dicapainya dengan bersusah payah mendaki dan manapak anak tangga satu per satu sampai berada di atas dataran yang lebih baik. Uje telah membuktikan firman Allah tentang cara mencapai kesuksesan hidup, yakni dengan jalan bersusah payah mendaki seperti menaiki anak tangga. Simak dan cermati QS Al Balad (90): 11 s.d. 18.

Uje telah dinyatakan usai menjalankan tugasnya sebagai khalifah fil ardh yang bernama negeri Indonesia. Allah Yang Mahatahu soal tugasnya. Allah Yang Maha Memiliki Uje. Allah Maha Penyayang terhadap Uje. Karena itu Dia memanggil Uje agar kembali ke pangkuan-Nya. Kita tentu cinta kepada Uje. Tetapi, percayalah, Allah lebih sayang kepada Uje. Semua orang bersedih hati dan menangis. Akan tetapi harap diingat, jangan telalu sedih menangisi, jangan meratapi kepergian Uje, apa lagi meratapi kepergiannya berlama-lama sampai berhari-hari. Jika begitu cara kita menyikapi cinta kepada seseorang yang dicintai, apa makna dan artinya kita berucap begitu fasih kalimat innaa lillaahi wa inna ilaihi raaji’uun? Bukankah  Allah telah berfirman sebagai berikut ini?

 Kullu nafsin dzaaiqatul maut; faidzaa jaa’a ajaluhum, laa yasktakhiruuna sa’ah wa laa yastaqdimuun; wa lanabluwan nakum bi syayyi’in minal khaufi wal juu’ wa naqsin minal amwaali wal anfusi wats tsamaaraati wa basysyirish shaabiriin.

Semoga ayat-ayat di atas dapat dicermati dan bukan sekedar fasih di bibir para ustaz. Kalau bersedih dan meratapi berhari-hari dengan kegiatan-kegiatan yang tak jelas atas nama cinta kepada almarhum, kita telah menaruh prasangka buruk terhadap Allah seakan-akan Allah akan menghukum dengan hukuman berat. Sangat besar murka Allah untuk kita. Saya tidak ikut-ikutan kegiatan seperti itu daripada saya mendapat murka dari Allah.

Mbak Pipik tentang juru parkir

Perhatikan qiyas yang cerdas dari istri almarhum Uje, Mbak Pipik Dian Irawati, tentang tukang/juru parkir. Sebuah analogi yang pas tentang kehidupan anak manusia dan dihubungkan dengan kematian. Apa analogi Mbak Pipik?

Katanya, tak ada tukang/juru parkir di dunia ini yang bersedih atau marah ketika salah satu atau semua mobil diambil dari lahan parkir yang berada di bawah kekuasaannya. Tak pernah juru parkir punya perasaan getir. Tak pernah dia mengernyitkan kening karena keberatan berpikir. Bahkan dia tertawa nyengir ketika dia diperintah atau diminta membantu si sopir. Makin banyak mobil datang dan pergi bermudik berhilir, apakah berlama-lama diparkir atau sekedar mampir, makin sering dia tertawa nyengir, sebab itu artinya rejeki baginya lancar mengalir. Sebagian uang rezekinya hari itu dia bisa beli nasi bungkus dan kopi panas secangkir. Wong mobil-mobil itu bukan miliknya, melainkan milik empunya, orang-orang yang tajir. Ya, mobil itu dibawa pergi orang, ya, dibiarkan saja pergi  bahkan dengan doa terucap di bibir, semoga esok hari, orang tajir bermobil di tempat dia bertugas kembali hadir. Yang penting dia selalu sehat segar bugar bisa bertugas dan tidak akan mangkir.

Ngapain dipikir-pikir! Biarkan aja mobil itu ngacir!” jawab Bang Takhir si juru parkir sambil tertawa nyengir.

Analogi yang cerdas dari seorang Mbak Pipik yang baru saja kehilangan suami tercinta. Nah, begitulah seharusnya kita menyikapi kepergian seseorang yang kita cintai untuk selama-lamanya, hatta dia orang tua, anak, suami, isteri seorang, dua orang, bahkan semuanya. Mereka diambil oleh Empunya, Allah Yang Mahakuasa.

Bersedih hati? Ya, tentu. Tetapi, menangisi dan meratapi, berhari-hari, dengan cara apa pun, atas nama cinta, atas nama hormat, atas nama kagum, atas nama kegiatan apa pun sebagai kemasan pembungkus berlabel Islam, tetap saja bentuk ketidakpercayaan terhadap Pemilik mutlak alam beserta segala isinya, Allah Swt.

Kematian seseorang adalah bagian dari takdir dan sunnatullah

Mari kita menengok sejarah tokoh teladan umat Islam, Rasulullah Muhammad saw. Usai beliau meninggal dunia di rumahnya di Madinah, usai disalatkan, terakhir beliau dimakamkan. Semua istri beliau pasti bersedih. Semua sahabat pasti bersedih hati. Semua pengikut beliau  di mana pun berada, pasti bersedih. Pengikut beliau yang berada di kejauhan, di Damaskus, Yaman, Iraq, dll. sebagiannya tahu Muhammad saw wafat belakangan, sebagian lagi tak tahu, dan yang pasti sebagian besar tak tahu sosok Muhammad saw. Termasuk kita, muslim di Indonesia. Toh, tak pernah runtuh akidah kita terhadap ajaran dan keteladanannya.

Takkan runtuh akidah Islam saya jika saya tidak pernah tahu letak kuburan Muhammad saw. Banyak muslim seperti saya karena memang tak ada manfaatnya. Juga sebaliknya, takkan bertambah iman saya hanya karena datang ke Madinah dan melihat kuburan Muhammad saw. karena kuburan hanyalah benda mati belaka, Ibrahim hormat dan cinta kepada ayahnya tetapi Ibrahim amat membenci patung-patung buatan ayahnya tercinta karena patung-patung itu dijadikan sesembahan. Bahkan Ibrahim menghancurkan berhala-berhala  yang sebagian besar bikinan bapaknya. Adakah bedanya berhala dan kuburan? Benarkah praktik beragama Islamnya seseorang yang membangun kuburan ratusan juta rupiah, atau membayar uang DP puluhan juta rupiah untuk memesan lahan kuburan seperti lahan komplek kuburan mewah di San Diego Hills, Karawang,  atau di Quiling, Tanjungsari, Bogor?

Yang jelas, iman saya akan runtuh jika saya murtad, jika saya membangkang terhadap ajaran Islam, jika saya ingkar terhadap firman Allah,  jika saya kufur terhadap nikmat Allah, dan tidak patuh kepada teladan Muhammad saw, rasulullah, dan panutan terbaik seluruh muslim di dunia.

Apa yang dilakukan Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali serta para sahabat yang lain setelah beliau dimakamkan? Apa yang dilakukan para isteri dan keluarga terdekat? Tak ada di benak mereka untuk merancang kegiatan tahlilan dan mendaftar semua peserta tahlilan dari hari pertama sampai hari ke sekian. Tak ada dalam benak mereka untuk merancang lukisan di batu nisan dan bangunan kuburan dari marmer buatan Italy untuk kuburan Muhammad saw, manusia dengan akhlak terbaik.

(Saya dan sebagian muslim sungguh tak bisa memahami contoh dan teladan dari siapa mengada-ada kegiatan tahlilan dan doa arwahan bahkan sampai membaca Quran di kuburan. Lebih tak bisa dipahami, kalau ada kuburan orang Islam yang dibangun dengan membuang uang milyaran hanya karena orang itu terkenal dan menjadi tokoh besar ketika masih hidup. Para pembaca bisa menerka siapa orang yang saya maksud.

Seumur-umur ada siaran tv sejak tahun 1962 dengan TVRi-nya, belum pernah ada seorang pun ustaz yang berani berbicara tentang tak ada manfaatnya kegiatan tahlilan atau mengadakan kegiatan tahlilan  itu bukanlah perintah Allah. Fakta yang sama juga terjadi pada soal ziarah kubur dan membaca Quran di kuburan. Tak ada satu pun ustaz atau pendakwah yang tampil di layar tv, sudi mengatakan bahwa ziarah kubur itu kegiatan sia-sia yang lebih mendekati kemusyrikan. Atau, boleh jadi stasiun tv takkan gegabah menampilkan pendakwah yang “tampil beda” yang berani menyalahi pakem tradisional mazhab mayoritas daripada dituduh pemilik mazhab mayoritas sebagai stasiun tv yang kontroversial. Memang, sampai detik ini pun, tambah banyak saja ustaz yang lebih mengedepankan tradisi ketimbang mengedepankan kebenaran Islam, padahal mereka pasti tahu, mana ajaran Islam dan teladan rasulullah yang semestinya ditegakkan secara istiqamah, mana tradisi nenek moyang jahiliah yang harus diberantas. Kalau orang nonmuslim melakukan kegiatan semodel itu, seperti bernyanyi-nyanyi berjamaah sambil memegang kitab suci mereka di rumah duka berhari-hari menunggu sampai mayit dikuburkan, saya mah nggak kepikiran! Eh, orang Islam yang nggak kebagian melihat mayit di rumah duka, bisa-bisanya, mao-maonya menyusul ke kuburan sekedar membaca Quran. Ayat-ayat Quran yang semestinya disampaikan sebagai ajaran bagi orang yang masih hidup yang punya mata, telinga, dan hati, lha, dibacakan di depan kuburan. Siapa yang mendengar di kuburan? Astaghfirullah! Membaca Quran wahyu Allah yang agung dibilang berdoa. Ya, beda banget, Cing!)

Abu Bakar yang baru saja dibaiat menjadi khalifah usai pemakaman Nabi saw sudah putar otak memikirkan ulah kaum Anshar yang kepingin juga menjadi khalifah, mengapa Abu Bakar yang muhajirin, mengapa bukan mereka yang Anshar yang menggantikan Muhammad. Belum lagi kesibukan Abu Bakar yang dikacaukan oleh kemunculan nabi palsu Musaillamah Al Kazzab dan pengaruh si pendusta Musaillamah ini terhadap rang-orang Islam agar enggan/tak sudi membayar zakat.

Jelasnya, para sahabat dan kaum muslimin tak larut dalam kesedihan sepeninggal Muhammad saw. Mereka kembali kepada kesibukan memimpin umat agar jangan sampai iman mereka lemah tersandung terantuk. Mereka tak membiarkan umat berlama-lama menangis tersengguk-sengguk. Mereka tak ingin umat berlarut-larut bersedih berbalut yang berbalik murtad dan berdampak jauh lebih buruk. Asal tahu saja, orang itu, jika berlama-lama bersedih cenderung melemahkan iman dan bisa tergoda oleh godaan setan yang terkutuk. Tukang tipu dengan kekuatan hipnosis melihat orang yang sedang lemah mengantuk, orang yang suka meleng, atau yang suka merenung, merupakan sasaran empuk.

Lihat saja orang-orang yang menjadi korban Eyang Subur yang punya ajian kopi pahit jurus kopi bubuk. Tak sanggup menatap mata Eyang Subur kecuali cuma tersipu menunduk. Tipe manusia apa yang Eyang Subur tekuk? Wanita model apa korban poligami delapan istri Eyang  Subur yang siap luar dalam dielus-elus dicium peluk? Orang-orang itu adalah orang-orang yang hilang akal sehatl lemah iman, dan berawal mula diserang perasaan suntuk. Mereka dengan mudah bertekuk lutut di depan si tua Eyang  Subur saling berebut menjadi orang terdekat dengan tanpa malu-malu menyosor menyeruduk.

Kalau godaan setan sudah jauh masuk ke dalam kalbu merasuk, sungguh, kita akan sulit membedakan mana jambu bangkok mana jambu klutuk, juga kita sulit membedakan mana ajaran dan praktik Islam yang lurus indah bentuk dan mana praktik nonislami yang busuk tak jelas bentuk!

Memang telah pergi untuk selama-lamanya sosok pendakwah yang kita cintai, saudara kita, Uje. Menyimak kehadiran Uje sebagai sosok pendakwah yang ngepas, penulis menganalogikan sebagai berikut:

Uje memang telah pergi meninggalkan kita untuk selama-lamanya. Uje kita analogikan meninggalkan rumah besar yang kondisinya di sana-sini membutuhkan perbaikan, misalnya dindingnya sudah berwarna buram dan atapnya bocor. Lalu boleh jadi Uje juga meninggalkan sebidang kebun yang penuh dengan pohon buah-buahan yang berbuah rimbun. Uje tidak mengalap (memetik) buah-buahan dan kemudian menimbun-nimbun. Uje tidak menghidangkan buah-buahan ranum itu di meja makan dan kita tinggal menyantapnya sampai perut menjadi tambun. Namun, Uje membiarkan buah-buahan tetap berada di tangkainya. Uje berharap kitalah yang yang harus menggapai buah-buahan itu dari tangkainya dan menurunkannya jika kita ingin menyantapnya dan jika benar kita cinta kepada Uje yang telah bersusah-payah mengadakan dan memelihara kebun nan subur itu.

Uje ngantunkeun taraje

Uje hanya meninggalkan sesuatu yang amat berharga bagi para jemaah dan orang-orang yang dicintainya, yaitu taraje, (Sunda; tangga). Taraje adalah pesawat sederhana yang memiliki dua kaki dan memiliki anak, bisa tiga, empat, atau lima anak.

Taraje jika ingin digunakan harus ditegakkan tegak lurus 90%, atau kemiringan 80%, atau kurang dari itu dan harus disandarkan lebih dahulu sebelum digunakan. Taraje adalah alat  yang dapat kita manfaatkan untuk memudahkan dan mempercepat pekerjaan memetik buah-buahan di atas sana, atau digunakan sebagai penopang ketika kita memperbaiki rumah warisan yang ditinggalkan Uje.

Apakah kita yang ditinggalkan Uje hanya berdiam diri dengan warisan kebun berbuah rimbun dan rumah besar yang kondisinya kurang baik di sana-sini? Apakah kebun itu cukup kita datangi saja, kita kagumi kerimbunan dan keranuman semua buahnya, lalu menunggu buah itu jatuh dan kita tinggal menikmatinya? kita bernyanyi-nyanyi, memanggil-manggil nama Uje, memuji-muji kebaikannya, dan kemudian beranjak membawa bunga ke makamnya, mengapit kitab Quran dan membaca Quran di depan pusaranya? Bahkan kita datang jauh-jauh dari Makassar sana (bukan Kampung Makassar di Jaktim), saking merasakan kehilangan, mendatangi makam Uje, lalu membaca ayat-ayat Quran sebagai doa. Apakah saudara kita itu tidak percaya kepada Allah bahwa berdoa di Makassar pun bisa dilakukan? Apakah si ibu itu tidak yakin akan pesan Allah bahwa doa begitu mudah dilakukan di mana pun dan pasti doanya diterima?

Biarin aja! Dia orang kaya dan banyak duit! Betul! Apa begitu praktik ajaran Islam? Kan mending dia mencontoh cara Uje jika benar cinta kepada Uje. Infakkan saja uang buat ongkos dari Makassar ke Jakarta untuk orang-orang miskin yang ada di sekitar rumah! Tetapi, ya begitulah! Itu adalah salah satu dari contoh praktik beragama dari orang yang sebenarnya  sering mengikuti acara tell me tetapi tetap saja telmi (telat mikir).

Katanya kita ini pengikut Muhammad saw dan sampai akhir hayat tetap bersumpah setia menjadi pengikutnya, sebagaimana Muhammad saw yang taat dan patuh terhadap janjinya kepada Allah Sang Pemiliknya, dengan sumpah setia setiap saat kita ucapkan dalam salat:
     
         inna shalaatii wa nusukii wa mahyaaya wa mamaati lillaahi rabbil    
        ‘aalamiin.

Bukan di ujung bibir saja kan janji itu kita tempelkan?

Apakah kita yang telah diwariskan sebuah rumah besar itu cukup memandangi saja rumah yang berdinding kusam dan bocor di sana-sini, mendiamkan taraje tergeletak di lantai, lalu ujug-ujug rumah itu menjadi bersih dan aman dari kebocoran? Lalu, di mana ukuran tanda cinta, kagum, dan hormat kita kepada Uje kalau cara kita memaknai cinta dan kagum seperti itu?

Taraje ka anggo Kang Jeje

Taraje adalah alat yang berguna bagi kita sebagai penopang untuk mengecat rumah memperbaiki atap yang bocor di atas sana yang jauh dari jangkauan. Taraje tidak merasa tersanjung, manja, kolokan, atau menjadi congkak adigang adigung adiguna ketika didirikan/ditegakkan. Taraje tidak akan marah atau berteriak ketika anak-anaknya diinjak. Taraje menjadi barang mubazir jika dia dibiarkan tegak berdiri bersandar tak pernah digunakan, apa lagi dibiarkan tergeletak tidur memanjang. Taraje adalah benda mati. Namun, taraje akan berarti banyak jika manusia pandai memanfaatkan keberadaannya.

Kita mau memetik buah-buahan ranum di kebun warisan Uje itu dengan cara yang lebih cepat dan mudah, tentu kita ambil taraje, kita tegakkan dan sandarkan taraje, dan kita pastikan taraje itu tegak kokoh. Lalu kita injak anak taraje nomor satu yang paling bawah, kita menapak anak taraje satu persatu sampai ke anak taraje terakhir yang paling atas. Makin sering kita menggunakannya, makin mahir kita bertaraje.Kita pun memetik buah-buahan ranum itu sekehendak hati sampai puas.

Tentu saja harta benda lebih dari cukup yang ditinggalkan untuk ahli waris dari seorang  Uje. Namun, semua itu peruntukannya terbatas. Ada peninggalan seorang Uje yang jauh lebih berharga yang amat bermanfaat untuk waktu yang lama. Apa itu? Ya, semangat berkorban atas dasar hati yang ikhlas berlandaskan iman. Bukan emas berlian atau kendaraan berharga mahal yang bersifat instan.

Saya menganalogikan warisan almarhum Uje itu, ya, sebuah taraje. Nah, taraje itu harus kita rawat keberadaannya, lalu kita gunakan dengan sebaik-baiknya, bersusah-susah sedikit menapak anak-anak taraje, dan insya Allah kita menikmati hasil usaha itu berkat adanya alat sederhana yang namanya taraje.

Anda mengagumi Uje? Anda cinta kepada sosok Uje? Anda ingin menemui Uje? Anda dan saya, kita semua, takkan pernah bertemu lagi secara fisik dengan Uje. Kita ingat saja nasehatnya, kita simak tausiahnya, kita lanjutkan dakwahnya dengan cara dan gaya kita masing-masing, kita manfaatkan warisannya, “taraje”, tanpa kecuali.

Jika kita cuma mengagumi dan menggaungkan puji-pujian nama Uje, kita sama sekali tidak menghidupkan amanatnya. Cinta dan hormat kita cuma di ujung bibir terhadap Uje. Akan tetapi, jika kita berjuang setapak demi setapak ibarat menapak anak-anak taraje, dengan melalui perjuangan dan kerja keras, kita bisa menyamai Uje atau melebihi Uje. Siapa pun yang berjuang, dia akan meraih sukses, termasuk juga untuk si tukang bubur di Merak yang pernah bertemu dan saling mendoakan dengan Uje, namanya Jeje Jaelani dan biasa disapa Kang Jeje.

Jakarta, 29 April 2013