Selasa, 15 Oktober 2013

IQRA’, SABAR, SALAT, DAN MASYARAKAT MADANI



Bahasa, Agama, dan Politik

Rujukan:
QS Al Baqarah (2): 44, 45 dan 153.
Ayat 44:
Ata’muruunan naasa bil birri wa tansauna anfusakum wa antum
tatluunal kitaaba afalaa ta’qiluun.
“Apakah kamu menyuruh orang melakukan aneka kebajikan dan melupakan diri kamu sendiri, padahal kamu membaca kitab suci. Tidakkah kamu berakal?”
Ayat 45:
Wasta’iinu bish shabri washshalaah wa innahaa lakaabiratun illa ‘alal khaasyi’iin.
“Mintalah pertolongan dengan sabar dan salat. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu’”.
Ayat 153:
Yaa ayyuhal ladziina aamanu sta’iinuu bishshabri washshalaah, innallaaha ma’ash shaabiriin.
“Hai orang-orang yang beriman, mintalah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan (mengerjakan) salat, sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang sabar.”
Terkait dengan judul tulisan ini, penulis ingin menyampaikan empat hal penting untuk menjadi pembelajaran bersama bagi semua dengan merujuk kepada wahyu Allah dalam kitab suci-Nya, Al Quran, sebagaimana ayat yang penulis nukilkan di atas (kita mayoritas muslim, rakyatnya mayoritas muslim, pembesar negeri pun mayoritas muslim, presidennya pun muslim).
Pertama, al Islaamu ya’luu wa laa yu’laa alaihi (Islam itu paling tinggi/mulia dan tak ada yang dapat menandingi ketinggian/kemuliaannya). Kemuliaan Islam (sebagai konsep yang abstrak) itu terlihat dan dapat dirasakan oleh semua umat secara konkret dengan perwujudan kinerja pemeluknya dalam ucapan, sikap, dan perbuatan dalam sebuah harmoni/kesesuaian/keselarasan. Para pemimpin atau pembesar negeri bukan sekedar berpidato menganjurkan dan mengajak berbuat baik (berakhlak baik/mulia) kepada rakyat sesuai dengan profesi masing-masing, tetapi mereka juga menjadi contoh dan meneladankan secara nyata wujud berbuat baik. Perhatikan bagaimana Allah menyindir para pemimpin umat (QS 2: 44) dengan kalimat pertanyaan: Apakah kalian bisanya menyuruh (saja) manusia berbuat baik tetapi kalian tidak melakukannya?
Nabi saw dan para sahabat jelas-jelas menyampaikan kebenaran, menganjurkan untuk selalu berbuat baik, dan jelas-jelas beliau dan para sahabat yang paling dahulu melakukannya dan meneladankan semua perbuatan baik itu secara konkret, dilihat, dirasakan, dan dialami oleh umat, sehingga Islam bertumbuh besar dan meluas ke seluruh dunia karena diyakini sebagai kebenaran yang paling tinggi tak tertandingi. Kita lihat manusia dari segala penjuru berbondong-bondong masuk ke dalam Islam. Ini fakta nyata dan sejarah, bukan sekedar dongeng, bukan bualan, bukan cerita, bukan berita isapan jempol.
Mengapa  Islam bisa seperti itu?
Nabi dan para sahabatnya mempraktikkan perintah iqra’ (bacalah) itu dengan keharmonisan hati, ucapan, dan perbuatan, baik wahyu yang tertulis di dalam kitab suci maupun yang tidak tertulis (kehidupan manusia dengan segala aspek dan makhluk dan benda di sekelilingnya). Iqra’ tidak sekedar diterjemahkan secara harfiah cukup dengan membaca ayat-ayat Quran, menghafal, dan melafal berulang-ulang sambil menghitung-hitung sekian-sekian sudah khatam bacaan Quran tanpa memahami konteksnya.
Kedua, Islam itu ilmiah dan sangat mementingkan ilmu.
Ada sebuah hadis yang artinya kurang lebih sebagai berikut:
Siapa saja yang menghendaki (kehidupan) dunia yang sukses hendaklah ia berilmu. Siapa yang menghendaki (kehidupan) akhirat yang damai, hendaklah ia berilmu. Siapa yang menghendaki kehidupan yang baik di dunia dan di akhirat, hendaklah ia berilmu.
Memaknai perintah iqra’ secara sederhana adalah perintah kepada manusia, khususnya mukmin/muslim agar menuntut ilmu secara terus-menerus sampai ajal tiba (sepanjang hayat). Nabi saw mencontohkan dalam perbuatan nyata bersama para sahabat {(bukankah Nabi saw dan sebagian sahabat adalah ummiy/buta huruf dan Nabi saw di utus di tengah masyarakat yang ummiyyiin? Simak QS Al Jumu’ah (62): 2)} .
Nabi saw hanya butuh waktu 23 tahun berdakwah dengan metode ilmiah mewujudkan perintah iqra. Berkat kekuatan iqra itulah Islam bisa mengubah dunia dan peradabannya ke arah modern/progres/kemajuan yang pesat dengan tuntunan wahyu ilahiah.
Kekuatan iqra’ itu bukanlah membaca/melafal ayat-ayat Quran dan menghafal berulang-ulang sampai bibir menebal dan suara menyerak kering.
Rabiatul Adawiyyah jangan disamakan dengan tokoh dongeng.
(Dua orang da’I muda pemberi tausiah pada acara Damai Indonesiaku-nya TV-One, namanya ustaz Fikri Haikal (anaknya Zainuddin MZ) dan M. Syarif M., pada kesempatan berbeda, bertausiah (sebagiannya dongeng dan cerita berbumbu) tentang memaknai keutamaan membaca Quran. Materi cerita dan dongeng ada kemiripan, yakni dua wanita yang berstatus janda yang hidupnya dihiasi dengan membaca Quran. Fikri Haikal menyorot wanita janda yang dikenal sebagai ahli sufi, Rabi’atul Adawiyyah, sementara Syarif M. bercerita tentang wanita bernama Annisa (?), berdiam di Mesir. Keduanya hidup pada masa dan tempat yang berbeda.
Persamaan cerita dan dongeng kedua ustaz itu adalah, kedua wanita janda itu lebih memilih hidup menjanda saja dengan selalu membaca Quran sepanjang hari, ketimbang menikah tetapi tidak bisa beribadah. Lalu, demi menjaga kenyamanannya membaca Quran agar tidak terganggu oleh suami atau siapa pun, demi sebuah kesiapan menemui dan selalu ingat akan kematian, keduanya menggali kuburannya sendiri. Lalu di kuburan itu masing-masing wanita itu (beribadah) membaca Quran sampai khatam berkali-kali. Konon kata Fikri Haikal, Rabiatul Adawiyyah mengkhatamkan bacaan Quran puluhan ribu kali. Mirip pula ustaz Syarif M. menceritakan kegiatan wanita janda yang satunya, Cuma dia tidak menyebutkan bilangannya. Persamaan cerita/dongeng keduanya adalah, bahwa kedua janda itu membaca Quran di kuburannya dengan harapan keduanya mati dengan menggenggam Quran, supaya malaikat pencatat tahu. Alamak!!
Penulis iseng-iseng melafal tujuh ayat Quran Surah Al Fatihah secara normal. Penulis butuh waktu satu setengah menit untuk menyelesaikannya. Quran itu mengandung 6.236 ayat, yang berarti penulis butuh waktu 9.340 menit atau kurang empat menit dari 155 jam atau lebih dari enam hari tambah empat jam untuk mengkhatamkan bacaan Quran sekali tanpa rehat. Bagaimana kalau khatam tiga puluh kali? Bagaimana kalau khatam ribuan kali seperti dongengnya Fikri Haikal? Rabiatul Adawiyyah kan manusia juga. Dia pasti merasakan lelah, letih, pegal-pegal, lapar, haus, dan pasti ingin buang hajat. Masakan dia buang hajat di kuburan tempat dia membaca Quran! Logiskah dia mampu mengkhatamkan Quran ribuan kali di kuburan yang sempit itu?
Sunnatullah-kah manusia hidup sendiri, demi membaca Quran sampai khatam berkali-kali yang dikatakan sebagai ibadah berpahala besar itu, jauh dari orang lain, tidak bergaul, tidak memiliki kepedulian sosial?
Kapan dia membeli bahan makanan dan minuman? Kalau dia tidak berbelanja, memasak, mencuci, menjemur, dan menyeterika, bagaimana dia makan dan bersalin pakaian? Bukankah Rabiatul Adawiyah itu manusia biasa?
Menjadi orang Islam itu harus konsisten dengan ajaran Islam. Masakan Rabiatul Adawiyyah yang cerdas itu meniru gaya hidup pertapa wanita ala Hindu atau meniru gaya hidup suster/biarawati Nasrani? Very impossible-lah yaw!
Mana ada seorang manusia bisa membangun masyarakat yang maju secara individual dan hanya mengandalkan membaca Quran secara lisan?
Para ustaz, terutama yang muda-muda, bertausiah ya bertausiahlah dengan baik dengan rujukan Quran, jangan bertausiah menggunakan rujukan kitab dongeng dan jangan mencampuradukkan tausiah dengan bumbu-bumbu dongeng ala Cinderella ala Ketimun Mas atau Bawang Putih Bawang merah.)
Ketiga, kemakmuran itu hanya dapat dicapai melalui pendekatan hablum minallah dan hablum minan naas.
Manusia hanya bisa sukses hidup di dunia ini jika menghidupkan hablum minallah dan hablum minan naas (kehidupan yang damai di akhirat di dalam sorga adalah buah dari kesuksesan hidup di dunia). Simak saja QS 3: 112. Contoh tentang sejarah orang-orang besar dan sukses: politikus, pebisnis, ulama, negarawan, ilmuwan, guru besar, wartawan, dll. adalah karena mereka selama hidupnya memelihara dua hal itu dan mengalaminya, jasmaniah dan rohaniah, fisik dan mental. Seorang Paus Benedictus atau Paus Franciskus, seorang yogawan, seorang rohaniawan, atau seorang pedanda, seorang biksu Shaolin sekali pun tetap memiliki jemaat, murid, dan pengikut. Soerang tokoh wayang pandita Dorna yang empunya perguruan/padepokan Sokalima pun sama, punya murid ilmu kanuragan, mengajarkan ilmu, dan menyembah Tuhan.
Bagaimana mungkin seorang kiai tanpa murid tanpa pesantren. Bagaimana bisa dikatakan guru silat tanpa biara, padepokan, dan murid persilatan. Bagaimana dikatakan Paus Pemimpin Gereja tertinggi tanpa umat. Bagaimana seseorang dapat disebut kaya raya kalau tak ada orang miskin.
Keempat, sabar dan salat untuk kedamaian
Sabar dan salat begitu penting dalam mengelola kehidupan, baik secara individual maupun sosial. Damainya hati dan damainya masyarakat adalah dampak dari sabar dan salat. Itulah sebabnya Allah mewajibkan mukmin/muslim untuk selalu menghidupkan sabar dan salat dalam setiap langkah dalam mengelola kehidupannya.
Kalau seorang pegawai memiliki “sabar dan salat” dia tidak akan tergoda dengan rayuan akan jabatan dengan jalan yang instan/tidak prosedural (menyuap/menyogok atasan).
Kalau seorang wanita sekretaris yang memiliki “sabar dan salat”, dia tidak akan bersedia diajak bos ke tempat-tempat tertentu di luar urusan dinas walaupun dijanjikan akan diberi hadiah uang, harta, atau jabatan.
Seorang legislator di rumah rakyat yang memiliki “sabar dan salat” tidak akan bersedia bikin “deal abal-abal” mark-up/menggelembungkan anggaran demi kantong dan perut sendiri.
Seorang presiden partai yang memiliki “sabar dan salat”, konon bergelar ustaz pula, tentu seharusnya jauh dari hobi suap-menyuap dan melalap/melahap “daun muda” dan berbohong secara sistemis.
Seorang siswa sekolah menengah, seorang mahasiswa, seorang warga kampung, seorang fans maniac suatu klub sepakbola, jika memiliki “sabar dan salat”, tentu tidak akan pernah sekali pun terlibat dalam tawuran.
Apatah lagi seseorang yang bergelar ustaz, kiai haji, mualim, habib, hakim, rahib, pendeta, atau biksu, jika memiliki “sabar dan salat”, tentu very impossible larut dalam tindakan korup dan jahat lainnya.
Sayangnya, “sabar dan salat” tidak dimiliki secara bersamaan/tidak sinkron. Salat mah iya, sabar mah nteu. Salat mah dibawa ke mana-mana, sabarnya mah dicuekin. Berhaji lebih dari sekali, korupsi berulang kali. Peci dan ghamis busana sehari-hari, perbuatan seringkali berwujud anarkhi.
Kalau iqra’, sabar, dan salat diwujudkan oleh setiap individu, hidup akan senantiasa damai.
Semoga semua yang buruk itu terhenti hari ini. Esok kita semua hidup yang damai di bumi pertiwi. Amin.
Jakarta, 16 Oktober 2013

Kamis, 10 Oktober 2013

SABDA BAGINDA RASUL SAYYIDINA MUHAMMAD SAW

Bahasa, Agama, dan Sejarah

Pantaskah atribut bahasa feodalistis disematkan kepada nama Nabi saw?
Islam dan persamaan
Agama Islam adalah agama yang mengajarkan umat manusia tentang kesamaan derajat dan perlakuan serta sangat mengedepankan persamaan (equality) secara universal di belahan bumi mana pun manusia berada. Islam adalah untuk umat manusia walaupun hanya sebagian saja yang memeluk dan menjadikannya sebagai agama/keyakinan yang diimani (muslim, mukmin). Segala seluk-beluk kehidupan manusia di bumi yang heterogen/amat beragam. Salah satu bidang kehidupan itu adalah bahasa. Bidang bahasa lahir seiring dengan kelahiran manusia di bumi. Bahasa tumbuh seiring dengan pertumbuhan manusia penggunanya, baik bahasa lisan yang pertama kali dipakai maupun bahasa tulis yang tumbuh kemudian. Begitu pun dengan bahasa Indonesia yang dipakai oleh bangsa Indonesia.
Hidup matinya bahasa, maju mundurnya, atau pasang surutnya, tergantung kepada masyarakat/suku/bangsa pemakainya. Bahasa bisa mati, stagnan, hilang, atau pudar tergantung kepada pemakainya. Bahasa bisa tumbuh berkembang,dinamis, maju, dan modern juga demikian prosesnya. Jadi melihat proses pasang – surut bahasa tak bisa dipisahkan dari proses dinamika kehidupan manusia.
Negeri koloni, negara kolonial, dan praktik feodalisme
Sejarah mencatat bahwa Indonesia ini pernah menjadi negeri koloni selama ratusan tahun (pemerintah kolonial Belanda, 350 tahun). Penjajahan amat bertentangan dengan ajaran Islam karena penjajahan menghilangkan persamaan bahkan dapat dikatakan bahwa persamaan adalah kemustahilan. Penjajahan menciptakan iklim perbedaan yang tajam antara bangsa kolonial (Belanda) dengan penduduk koloni (Indonesia). Bangsa kolonial menjadi bangsa pemerintah, penguasa/superior, atau tuan/majikan, sementara bangsa koloni adalah bangsa yang diperintah, dikuasai/inferior, dijadikan hamba/budak, atau kelas/strata pembantu. Hak-hak bangsa kolonial selalu saja istimewa/diistimewakan  sementara bangsa koloni tak memiliki hak/dirampas haknya, bahkan hak yang paling azasi sekalipun.
Dalam suasana/iklim penjajahan itu muncullah sikap dan perilaku yang terkenal dengan feodalisme. Apa sih feodalisme? Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI, 2008: 390) memberi arti kata feodalisme (nomina) sebagai berikut: 1) sistem sosial atau politik yang memberikan kekuasaan yang besar kepada golongan bangsawan; 2) sistem sosial yang mengagungkan-agungkan jabatan atau pangkat dan bukan mengagung-agungkan prestasi kerja; 3) sistem sosial di Eropa pada Abad Pertengahan yang ditandai oleh kekuasaan yang besar di tangan tuan tanah.
Bangsa kolonial Belanda membawa feodalisme ke negeri koloninya dan sekaligus mempraktikkannya terhadap bangsa Indonesia. Sistem feodalisme menjadi tambah subur karena dipraktikkan secara sistemis (kultural) dan sistematis (political system) dalam kurun waktu 350-an tahun. Penyuburan feodalisme di bidang kultural merambah ke bidang bahasa Indonesia. Kata-kata, frasa, dan kalimat dalam bahasa Indonesia tak urung disusupi feodalisme.
Contoh:
Feodalisme dalam kata:
 hamba, patik, duli tuanku, sabda, baginda, paduka, dll.
Feodalisme dalam frasa:
duli tuanku yang mulia, paduka yang mulia, sembah 
           sungkem hamba, titah baginda hamba junjung, dll.
Feodalisme dalam kalimat:
    Hamba haturkan sembah bakti kepada duli Tuanku Baginda yang mulia.
    Patih pertaruhkan jiwa dan raga demi menjunjung titah Tuanku.
    Tuanku Putri, perkenankan hamba berdatang sembah membawa diri 
           patik yang hina-dina ini ke hadapan duli Tuanku Putri.
Kata, frasa, dan kalimat feodalisme menerangkan dengan jelas betapa besar gap posisi pembicara dengan lawan bicara (jomplang; perbedaan strata sosial kawula-gusti; juragan-jongos; majikan-pembantu; tuan-budak/hamba).
Feodalisme yang merasuk dalam bahasa Indonesia (juga bahasa Jawa dan Sunda) melahirkan bahasa feodalistis yang bertumbuh dan bertahan lama karena dipelihara oleh sistem pemerintah kolonial yang feodalistis. Belum lagi suburnya sistem pemerintahan kerajaan yang beriringan dengan pemerintahan kolonialisme yang amat nyata mempraktikkan dan menyuburkan feodalisme. Kata-kata baginda, sabda, titah, paduka, dan duli tuanku adalah contoh bahasa feodal. Seorang Soekarno pun terbuai dan ikut larut dengan gaya feodalisme. Sebutan Paduka Yang Mulia (PYM) Presiden Soekarno adalah contoh nyata betapa Soekarno yang presiden sebuah negara dengan sistem pemerintahan presidensial enjoyed dengan sebutan itu. Belum lagi ada embel-embel di belakang frasa PYM itu ada frasa feodal menyertai, yaitu Pemimpin Besar Revolusi, Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, dan Presiden Seumur Hidup. Soekarno pun menjadi lengah oleh manisnya buaian kata/frasa feodalistis yang begitu bombastis. Kita semua tahu akhir dari rezim Soekarno. Dia pun terjungkal melalui peristiwa pemberontakan G 30 S/PKI.
Jadi, begitu besar dampak negatif bahasa feodalistis.
Islam antifeodalisme
Feodalisme dalam segala bidang itu tidak baik. Feodalisme menciptakan gap/jurang pemisah antara rakyat/kawula dengan raja/pemimpin/gusti yang berdampak kepada ketidakharmonisan (disharmony) dalam kehidupan masyarakat. Feodalisme menciptakan ketaatan semu/kepura-puraan, ketidaktulusan, kedengkian, fanatisme buta, dan kebencian antara sesama manusia. Semua hal yang buruk itu jelas bertentangan dengan sunnatullah yang diajarkan dan amat dianjurkan oleh Islam. Itulah sebabnya, Islam itu antifeodalisme, termasuk feodalisme beratribut bahasa.
Dalam bidang bahasa Indonesia, para pemakainya adalah bangsa Indonesia yang mayoritas beragama Islam, berlaku juga larangan untuk tidak berbahasa Indonesia yang feodalistis.
Mari kita lihat contoh.
Muhammad Rasulullah saw menyuruh para sahabatnya agar membiasakan memanggilnya dengan namanya, Muhammad ibnu Abdullah atau Muhammad Rasulullah.
“Jangan kalian memperlakukan aku seperti umat Nasrani memperlakukan Isa Al Masih. Panggillah aku dengan Muhammad ibnu Abdullah!” katanya kepada para sahabatnya.
Larangan Nabi saw itu bukan sekedar larangan remeh-temeh, tetapi merupakan sebuah koreksi besar ajaran Islam yang haq, bahwa bahasa feodalistis itu secara sistemis bisa berdampak kepada pengultusan/pendewaan/penuhanan kepada manusia.
(Umat Nasrani menyebut Isa Al Masih (Jesus Kristus) dengan bahasa feodalistis yang berdampak pengultusan kepada Isa, misalnya, “Jesus sang Penebus Dosa”, “Jesus Putra Allah”, dan/atau “Tuhan Jesus”)
Allah memanggil Nabi saw dengan namanya, misalnya “Hai Muhammad, ….” Quran mencontohkan perkataan para umat kepada nabinya dalam hal menyebut atau memanggil nama nabi, misalnya umat Nabi Ibrahim memanggil nabinya “Hai Ibrahim,…” Umat Nabi Musa memanggil nabinya, “Hai Musa, ….” Atau umat Nabi Nuh, “Hai Nuh ….”, dll.
Muhammad saw itu adalah seorang nabi, seorang rasul/utusan Allah, dan seorang penganjur/pembawa risalah tauhid, dan pemimpin agama Islam yang dihormati dan disegani di segala penjuru oleh siapa pun selama hayatnya, baik kawan maupun lawan. Dia dikenang oleh manusia sepanjang masa setelah dia tiada. Dan wahyu Allah, doktrin Islam yang dibawanya itu bukanlah berwujud sebuah kerajaan/monarkhi/kesultanan/emirat/imperium, melainkan sebuah doktrin ilahiah yang universal tanpa sekat wilayah, perbatasan, atau teritori.
Muhammad saw bukanlah raja/kaisar, bukan juga emperor/emir/sultan yang biasa hidup bergelimang feodalisme, penyembahan, sembah sungkem, dan segala tetek-bengek bentuk pengultusan (cultus individu). Jangan samakan Muhammad saw dengan Raja Hayam Wuruk, Kaisar Nero, Khu Bilai Khan, Sultan Akbar, Raja Fahd, Sultan Agung, Sultan Khairun, Sultan Hassanal Balqiah di Brunei Darussalam, Sultan Hamengkubuwono, dll.
Kata “firman” untuk frasa “firman Allah” atau “firman Tuhan” masih pantas dipakai dalam berbahasa Indonesia untuk menunjukkan bahwa kata //firman// hanya untuk Allah/Tuhan saja. Tetapi untuk kata “sabda” pada frasa “sabda Nabi saw” dan kata “baginda” untuk frasa “baginda Rasul” sepertinya tidak pantas disematkan kepada Nabi Muhammad saw karena frasa //baginda rasul// itu mengecilkan Nabi saw, bahkan melecehkan, menyamakan Nabi saw dengan raja/ratu yang sarat dengan feodalisme.
Frasa “kata Nabi saw dalam salah satu hadis” jauh lebih baik, jauh dari feodalisme, jauh dari pengultusan, ketimbang frasa “sabda Nabi saw dalam salah satu hadis” yang kental dengan pengultusan.
Begitu pun frasa “baginda Rasul” atau “baginda Nabi” sepertinya tak layak dibahasakan. Mungkin maksudnya/alasan ingin memuliakan Nabi saw dan juga demi etika berbahasa, karena Nabi saw itu mulia (maksudnya ingin kromo-kromoan, bahasa kromo inggil), tetapi sama sekali tidak kontekstual, karena seperti yang telah dijelaskan, Nabi saw yang mulia itu bukanlah raja/kaisar atau sultan. Kalau frasa “baginda Raja” atau “baginda Ratu” ya tak apa-apa, karena raja atau ratu itu memang harus diperlakukan seperti itu, atau si pembicara dihukum karena tidak bersikap sopan kepada raja/ratu.
Dalam bahasa Arab, bentuk feodalisme dalam bahasa, terlihat kental sekali penghormatan/pemuliaan yang berlebihan yang ditujukan khusus kepada Nabi saw. Lihat saja frasa/kalimat mukaddimah para habaib/kiai/ustaz ketika mengawali tausiah:
“junjungan umat”, “sayyidina Muhammad”, “sayyidina wa maulana Muhammad”, “sayyidina wa habibina”, “sayyidil mursalin, Muhammad saw”, dll.
(katanya, makin banyak kata memuji Nabi Muhammad saw, makin banyak pahala, kelak umat Islam akan mendapat syafaat dari Nabi Muhammad saw di akhirat).
Seperti itulah penampilan segelintir orang Islam yang pandai berucap dengan fasih tetapi menafikan konteks ajaran Islam dalam segala aspek kehidupan, aspek budaya, bahasa, dan kesejarahan.
Padahal puja-puji dan kata-kata sanjungan itu cuma milik Allah semata, Muhammad saw tidak membutuhkan pujian dan sanjungan karena dia adalah seorang hamba yang berakhlak terpuji/mulia (akhlaknya terpuji; kalau kita cuma berakhlak biasa-biasa saja, bahkan seringkali berakhlak buruk). Perhatikan firman Allah dalam QS Al Qalam (68): 4.
    “Wa innaka la’alaa khuluqin ‘adziim.”
    Dan sungguh, engkau (Muhammad) berakhlak mulia.
Lihat juga QS Al Ahzab (33): 21
    “Laqad kaana lakum fii rasuulillaahi uswatun hasanah. ….”
    Sungguh, pada dirimu (Muhammad) terdapat contoh teladan terbaik.
Jadi, //Muhammad saw berkata//, //Muhammad saw berujar//, atau //Muhammad saw berucap// tepat dan sesuai dengan kaidah bahasa Indonesia dan sama sekali tidak ada unsur feodalisme berbahasa di situ. Akan berbeda kalau dibahasakan “Muhammad saw bersabda”, “baginda Nabi”, atau “baginda Rasul”. Sejak kapan dan di mana Muhammad Rasulullah saw itu menjadi raja atau emir?
Jakarta, 11 Oktober 2013

Selasa, 08 Oktober 2013

TAK TULUS, DEMI FULUS, KEKUASAAN DINASTI BAKAL PUTUS



Bahasa, Agama, dan Hukum

Eeeh, akhirnya Ratu Atut nongol juga!
Media massa nasional dalam beberapa hari ini gencar memberitakan seputar “menghilangnya” Ratu Atut Choisyiah semenjak dia dicekal usai ditetapkannya sang adik kandung, Tubagus Chaery Wardhana (Wawan; suami dari Airin Rachmi Diani, Bupati Tangsel) oleh KPK, Kamis, 3 Oktober 2013.
Namanya juga orang beken, punya jabatan tinggi, seorang gubernur (jabatan politis bawahan langsung Presiden di provinsi; jelas lebih prestisius dari jabatan Menteri) yang berkuasa atas wilayah provinsi, Ratu Atut yang Gubernur Banten, tentu selalu diburu oleh para wartawan dan dijadikan narasumber berita dan juga objek berita, baik dia berada di kursi jabatannya, di rumahnya, di lapangan ketika meninjau/turba, atau ketika dia tak tampak di depan publik. Meskipun dia menghilang tak tahu rimbanya selama beberapa hari, namun berita tentang Ratu Atut selalu katut tak pernah surut dari layar tv dan halaman koran/media cetak. Bukan wartawan namanya kalau seorang narasumber penting yang menghilang tidak ada kabar beritanya terus tidak diberitakan pula. Justru posisi sosok Ratu Atut yang sedang tersudut terus diberitakan selama berita tentang Wawan sang adik dimunculkan. Nama Ratu Atut tetap ramai diberitakan dan menjadi pembicaraan hangat. Berita yang dianggap “keramat” dan mudah memancing Ratu Atut keluar dari “tempat persembunyiannya” adalah pembatalan keberangkatannya ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji. Bagi sosok muslim/muslimah, apa lagi warga Banten yang kental dengan keislaman, pembatalan berhaji itu sebagai musibah yang sedapat-dapatnya dihindari, meskipun sudah pernah berhaji.
(Padahal sudah tahu bahwa perintah/wajib berhaji itu sekali saja seumur hidup. Tetapi bagi muslim yang awam, walaupun sudah tahu, walaupun dia bergelar doktor atau punya jabatan politis tinggi, berhaji lebih dari satu kali itu seperti perintah dan sebole-bolenye dikerjain biar dapat pahale gede. Bahkan berumroh berkali-kali sepertinya dijadikan ajaran agama padahal berumroh itu ibadah sunnah. Ngajinye pade belon tamat sih!)
Mungkin Ratu Atut gerah dan pengap juga berada di sebuah tempat persembunyiannya. Selang empat hari kemudian, Senin, 7 Oktober 2013, Ratu Atut nongol di depan publik dalam acara perhelatan pengajian. Dia muncul bersama anak dan menantunya. Ada yang aneh dengan kemunculannya di depan publik. Ratu Atut tampil seperti jemaah biasa, sama sekali tidak menampakkan bahwa dia adalah orang nomor 1 di Banten. Suara pidatonya datar dan hampir tanpa ekspresi. Suara yang terdengar adalah suara jemaah yang melafalkan amin karena merespon pidatonya. Dia pasti minta doa dan dukungan rakyat Banten agar dia tabah. Boleh jadi memang psikisnya masih terguncang akibat dicekal oleh KPK. Boleh jadi juga perasaan prihatin karena tak bisa berhaji.
(Ratu Atut sudah pernah berhaji; bagi muslimah, baik lajang maupun bersuami, muslimah biasa atau muslimah pejabat, tak layak/pantas berhaji lebih dari satu kali. Silakan terka resiko yang diterima dari Allah sebagai dampak tak patuh kepada aturan Allah dan teladan rasulullah).
Ratu Atut telah terseret dalam pusaran kasus korupsi suap dan bukti awal adalah pencekalannya bepergian ke luar negeri oleh KPK. Dia pasti sedang pasang ancang-ancang upaya pembelaan diri, bahkan pembenaran diri, dan pembersihan nama dengan penyodoran bukti-bukti miliknya, bahwa dia benar-benar bersih dan sama sekali tak terkait dengan kasus korupsi suap-menyuap hakim MK Akil Mukhtar sang Ketua MK. Tetapi sangkaan/dugaan itu sedang didalami melalui penyidikan oleh para penyidik KPK. Ratu Atut masih tetap sebagai Gubernur Banten sampai periode kekuasaannya yang kedua berakhir pada tahun 2018.
(Kekuasaannya akan berjalan mulus kalau tidak ada proses politik berupa pemakzulan atau impeachment  seperti yang dialami dan menimpa mantan Bupati Garut Aceng Fikri yang terjungkal dari kursi Bupati Garut. Akan tetapi nasib Aceng Fikri tidak sampai masuk ke dalam jeruji sel karena kasusnya cuma pelanggaran UUPA dan UU Pernikahan. Jika Ratu Atut terbukti ikut arisan suap-menyuap, lalu statusnya dinaikkan dari saksi menjadi tersangka oleh KPK, maka very impossible-lah seorang Ratu Atut bebas dari jeruji sel KPK. Rumus hukum yang ada adalah: Tersangka KPK pasti dibui).
Tetapi ini baru berandai-andai saja, kok! Yang bagus bagi seorang Ratu Atut sekarang ini adalah, membangun Banten dengan segala daya dan upaya, bersemangat, dan hati yang tulus, bukan dengan akal bulus sedikit-sedikit fulus.
Semoga!
Jakarta, 9 Oktober 2013

Senin, 07 Oktober 2013

LEBAH, DUBUK, AKIL MUKHTAR, RATU ATUT, LEBAH RATU




Lebah, di mulut membawa madu, di pantat membawa sengat
Hampir semua orang mengenal lebah. Lebah (dikenal juga dengan nama tawon) adalah hewan yang termasuk golongan serangga bersayap yang hidup bersama dalam kelompok/koloni besar ratusan bahkan ribuan ekor setiap koloni. Koloni lebah hidup bersama dalam sarang di bawah pimpinan seekor lebah betina yang disebut lebah ratu. Lebah yang berugas mencari makan dengan menghisap serbuk bunga disebut lebah pekerja. Sarang mereka dibuat oleh mereka sendiri dalam bentuk bulat tak beraturan, berukuran lebih besar dari buah semangka, dan bahkan bisa mencapai ukuran sebesar tempayan. Sarang itu di tempatkan di para atau loteng rumah. Sementara untuk koloni lebah hutan, sarangnya ditempatkan di ketinggian pokok atau dahan pohon agar aman dari serangan hewan lain. (Para pencari madu lebah hutan harus berjuang keras menaiki pohon yang tinggi untuk mencapai sarang lebah dan siap dengan resiko diserang lebah)
Lebah adalah serangga yang unik dan istimewa. Lebah dikatakan unik karena dia hanya hinggap di putik bunga dan menghisapnya. Hasil menghisap bunga itu  mereka menghasilkan madu dari mulutnya. Lebah tidak pernah hinggap atau mencari makan di tempat kotor seperti lalat atau langau, tidak juga menghisap darah dan menyebarkan penyakit kepada hewan lain atau manusia seperti nyamuk.
Lebah dikatakan istimewa karena madunya amat berguna bagi manusia karena kandungan madunya yang higinis menyehatkan untuk dikonsumsi oleh manusia di samping sebagai penawar racun. Lebah adalah sahabat manusia. Tak heran jika banyak orang membudidayakan/menernakkan lebah untuk keperluan diambil madunya sekalian berbisnis madu lebah. Lebah akan membalas manusia dengan sikap bersahabat dan mempersembahkan madunya.
{Lebah juga menjadi binatang yang istimewa dan namanya diabadikan dalam satu surah dari 114 surah yang ada dalam kitab suci Al Quran, yaitu surah An Nahl ( artinya lebah, QS 16; nama surah yang lain yang menggunakan jenis binatang adalah Al ‘Adiyat (artinya kuda perang, QS 100); Al Ankabut (QS 29 artinya laba-laba); QS Al Baqarah (artinya sapi, QS 2); An Naml (artinya semut, QS 27)}.
Akan tetapi, jika manusia mengganggu kehidupan lebah dalam koloninya, misalnya merusak sarangnya, kawanan lebah dalam koloni itu secara bersama-sama tidak akan segan-segan menyerang manusia dengan cara menyengatnya. Sengatannya itu ada di pantatnya. Sengatan satu dua lebah memang tidak membunuh manusia tetapi cukup menyakitkan dan bekas sengatan lebah akan membengkak. Jika sengatan dari ratusan lebah ditujukan kepada seorang manusia maka sengatan itu akan dapat membunuh manusia.
Dubuk, predator perampas
Dubuk (dikenal dengan nama Heyna) adalah hewan liar dan buas yang termasuk golongan carnivora (pemangsa/predator). Termasuk saudara sepupunya adalah ajag, anjing hutan (painted dogs), coyote, dan serigala.
Dubug adalah hewan buas yang memiliki sifat culas. Mereka hidup dalam kelompok kecil tujuh – delapan ekor sampai dua puluhan ekor setiap kelompok. Setiap kelompok dipimpin oleh sepasang jantan – betina yang senior. Sekali-sekali dubuk tampil sendirian mencari mangsa atau makanan. Tentu saja bangkai hewan mangsa hasil tangkapan predator lain. Jarang seekor dubuk sendirian berjuang mengejar atau menaklukkan hewan mangsa.Gerakannya tidak lincah dan cenderung bentuk tubuhnya yang tambun.
Sifat culas dan licik mereka tampak kalau ada mangsa (prey) yang tertangkap atau terbunuh oleh hewan lain. mereka tidak akan segan-segan memprovokasi, mengancam, dan kemudian merampas mangsa itu dari kekuasaan predator lain. Jangankan predator seperti cheetah yang berukuran tubuh  lebih kecil dari tubuh  mereka, predator seperti leopard, bahkan singa yang tubuhnya jauh lebih besar pun mereka keroyok, merampas, dan setelah berhasil merampas kemudian membawa lari mangsa predator lain. Itulah ciri khas dubuk sang perampas.
Seringkali sepasang cheetah (predator daratan tercepat di muka bumi) yang berhasil menaklukkan gazelle (rusa) atau wildebest (bison) dengan susah payah dalam cengkeraman dan belum sempat dimakan, para dubuk datang dengan garang dan siap membunuh jika cheetah berani menantang. Sepasang cheetah itu tak banyak tingkah segera menghindar (cheetah bukan tandingan dubuk) dan meninggalkan hasil tangkapan mereka dan merelakan untuk disantap para dubuk yang culas. Bukankah hukum rimba berlaku, siapa yang kuat dia yang dapat?
Akil Mukhtar, bernas tetapi telengas
Beberapa hari sesudah hari Rabu, 2 Oktober 2013, sampai tulisan ini diturunkan ke status pribadi, kita tak banyak mengenal sosok seorang Akil Mukhtar, kecuali segelintir orang yang berkiprah di bidang hukum. Akil Mukhtar, seorang ahli hukum, mantan pengacara, dan mantan legislator, adalah Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) yang menggantikan ketua yang lama yakni Mahfud MD. Kedudukan Akil Mukhtar sebagai Ketua MK demikian terhormat karena lembaga yang dipimpinnya sebagai benteng terakhir dalam menegakkan hukum yang berkeadilan dan berpihak kepada rakyat yang empunya kedaulatan.
Orang mengangkat jempol dan memuji ketika dia berpropaganda bahwa dirinya siap menegakkan hukum dan keadilan. Orang memujinya tatkala dia mengatakan akan bersikap tegas mengirim para koruptor ke bui dengan membuat keputusan seadil-adilnya. Mahfud MD (ketika masih menjadi Ketua MK) percaya kepada omongannya bahwa seorang Akil Mukhtar itu adalah seorang hakim yang bersih yang sudah tidak membutuhkan materi duniawi lagi karena semuanya sudah dia dapatkan: nama dan kehormatan, pangkat, dan jabatan tertinggi di bidang hukum telah dia raih. Dia tidak mungkin menodai dan mencemari jabatan prestise yang prestisius yang telah dia peroleh dengan melakukan kejahatan sekecil apa pun. Mahfuz MD yang mendengarkan curhatnya menjadi tambah yakin bahwa semua yang dikatakan seorang Akil Mukhtar adalah tulus. Ketika berhadapan dengan wartawan, dia pun mengatakan hal yang sama, bahkan dia bersedia dipotong jarinya kalau dia melakukan praktik korupsi.
(Untuk sementara Mahfud MD lupa pada kasus pidana penyuapan/penerima suap yang melibatkan Akil Mukhtar setahun sebelumnya. Kebanyakan orang Indonesia itu pelupa dan pemaaf/mudah memaafkan. Itulah sebabnya dia direstui sebagai Ketua MK menggantikan Mahfud MD). Orang pun berharap dia bekerja pada bidang keahliannya seperti lebah pekerja yang bekerja dengan tulus sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya.
Akil yang metakil had been sent to the jail
Lidah memang tidak bertulang. Pepatah itu juga berlaku bagi Akil Mukhtar, hakim pengadil dan juga Ketua MK. Kata-kata manis nan indah yang pernah dia lontarkan berkali-kali di depan Mahfud MD dan juga di depan wartawan yang tidak lalai meliput, bertolak belakang dengan perbuatannya. Dia rupanya masuk dalam jaringan pejabat penerima suap. Rabu, 2 Oktober 2013, pukul 22.00 WIB, di rumah dinasnya, Komplek Widya Chandra, dia tertangkap tangan oleh para penyidik KPK yang melakukan operasi tangkap tangan karena menerima suap berupa uang dalam bentuk rupiah dan dolar senilai tiga milyar dari dua orang penyuap, Chairunnisa (anggota DPR dari fraksi Golkar) dan Hambit Bintih (Bupati Gunung Mas, Kalimantan Tengah). Tak pelak lagi, Akil Mukhtar dan dua orang tamu yang menyuapnya itu, digelandang ke gedung KPK dan dijebloskan ke sel. Sementara beberapa penyidik KPK, di bawah perintah Ketua KPK Abraham Samad,  memperlihatkan kepada para wartawan yang menyemut, tumpukan uang suap sebagai bukti bahwa Akil Mukhtar menerima suap sebesar tiga milyar rupiah. (Belakangan terkuak pula bahwa tarif suap untuk seorang Akil Mukhtar itu berkisar tiga milyar rupiah).
Ternyata penyidik KPK pada malam itu tidak saja menangkap Akil Mukhtar dan dua orang tamunya itu, mereka juga menangkap Tubagus Chaeri Wardhana alias Wawan dan disusul kemudian ditangkap juga pengacaranya, Susi, yang ditugaskan Wawan untuk menyerahkan uang suap kepada Akil Mukhtar. Wawan belakangan diketahui sebagai adik kandung Ratu Atut yang Gubernur Banten, sekaligus suami dari Airin Rachmi Diani yang Bupati Tanggerang Selatan. Wawan dan pengacaranya adalah penyuap dan orang yang akan disuap juga adalah Akil Mukhtar. Berita miris berikutnya yang amat menyesakkan dada abdi hukum adalah, para penyidik yang melakukan penggeledahan di tempat kerja Akil Mukhtar, Gedung MK lantai 15, di dalam laci meja kerjanya, ditemukan empat linting ganja, satu linting sudah dipakai dan tiga linting masih utuh. Berita menggelegar dahsyat bagai suara guruh seakan langit akan runtuh.
Astagfirullah! Gedung MK seperti mau rubuh!
Akil Mukhtar boleh jadi beralibi seribu satu macam. Boleh saja dia bicara bahwa ada orang yang merekayasa, menjebak, atau memerangkap. Makin banyak dia beralibi dan membantah makin tampak dia mempertontonkan kerendahan IQ, EQ, dan SQ-nya (kebobrokan akhlak). Contohnya ketika dia mempertontonkan kerendahan EQ-nya, begitu emosionalnya dia dengan menampar seorang wartawan yang menginvestigasinya. Sebuah tindakan kompensasi idiot seorang hamba hukum yang tak mampu lagi mengontrol emosi. Akil sungguh metakil
Kira-kira kejahatan yang dilakukan oleh Akil Mukhtar dan orang-orang yang menyuapnya itu, sama tidak dengan keculasan para dubuk yang hobinya merampas mangsa dari cengkeraman hewan predator lain? Menyuap atau menerima suap adalah tindakan menguntungkan diri sendiri/perut sendiri tanpa memperhatikan kepentingan orang lain/umum, sama dan sebangun dengan sifat culas dan tindakan kawanan dubuk di belantara suaka alam Serengeti, Tanzania, Afrika.
Jangan menganalogikan tindakan Akil Mukhtar menerima suap dari segelintir oknum pejabat penyuap sama dan sebangun dengan tindakan lebah yang menyengat musuh karena lebah menyengat hanya ingin membela diri.
Ratu Atut ratu bagi keluarga, clan, dan bukan Ratu Banten
Ingat kata ratu ingat lebah ratu, teringatlah juga kita akan pelajaran sejarah, ingatan akan seorang wanita penguasa sebuah kerajaan yang bergelar ratu atau sri ratu. Misalnya Ratu Wilhelmina di negeri Belanda, Ratu Sirikit di Thailand, atau Sri Ratu Tribuwana Tunggadewi (ibunda Hayam Wuruk) pada era kerajaan Majapahit. Ratu itu bisa saja penguasa kerajaan dan bisa juga sebutan untuk isteri seorang raja atau permaisuri.
Kata ratu juga memiliki beberapa makna yang lain. Seorang wanita pemenang lomba/kontes wanita sejagat diberi gelar Ratu Sejagat (Miss Universe atau Miss World). Seorang wanita pemenang lomba busana pantai disebut Ratu Pantai dan Ratu Kebaya untuk seorang wanita pemenang kontes kebaya. Seorang wanita yang sukses di bidang tertentu diberi gelar ratu, misalnya dunia lagu-lagu pop: Ratu Pop era 80-an adalah Whitney Huston, Ratu Pop era 90-an adalah Mariah Carey dan Jennifer Lopez (J-Lo), dan Ratu Pop era 2000-an adalah Britney Spears. Ratu Dangdut adalah Elvie Sukaesih, Ratu Keroncong adalah Waljinah, Ratu Bulutangkis adalah Susi Susanti, dan Ratu Sprint Olimpiade Seoul 1988 adalah Florence-Joyner Kersey (Flo-Jo).
Dalam pelajaran atau mata kuliah sosiologi, kata ratu memiliki makna yang lain. Ratu adalah sebutan untuk wanita beratribut keturunan bangsawan/ningrat di Banten. Atribut nama kebangsawanan untuk kaum pria adalah Tubagus. Jadi kalau ada nama Ratu Atut Chisyiah dan Tubagus Chaery Wardhana (Wawan) misalnya, tak pelak keduanya adalah keturunan bangsawan Banten. Keduanya adalah kakak-adik. Jabatan yang disandang oleh keduanya adalah jabatan prestisius. Ratu Atut adalah gubernur di Banten (Banten-1) dan Wawan adalah anggota DPR. Para “ratu” dan “tubagus” keluarga dekat Ratu Atut rupanya orang yang beruntung menduduki jabatan atau posisi strategis dan prestisius di wilayah “kerajaan Banten” yang dikuasai oleh “Ratu Banten” Ratu Atut.
Kasus tertangkapnya Wawan sang adik bersama pengacaranya dan juga Akil Mukhtar dalam operasi tangkap tangan (OTT) oleh KPK, Rabu, 2 Oktober 2013 malam, membuat “Ratu Banten” Ratu Atut menjadi meriang dan uring-uringan. Para wartawan pemburu berita mencoba mencari tahu dan ingin mengonfirmasi pendapat Ratu Atut perihal peristiwa tertangkapnya sang adik yang terlibat kasus suap pada Pilkada ulang Kabupaten Lebak yang sedang ditangani oleh MK yang diketuai oleh Hakim Ketuanya Akil Mukhtar. Wartawan pun gigit jari. Ratu Atut tak bisa ditemui, tak diketahui keberadaannya, dan tak tahu di mana rimbanya. Rano “Si Doel” Karno, sang Wakil Gubernur, pun angkat bahu dan menggelengkan kepala, tak tahu posisi sang bosnya. Berita buruk untuk Ratu Atut, adiknya, Wawan, telah dijadikan status tersangka kasus suap, dan jelek buntutnya bagi Ratu Atut, dia dicekal oleh KPK. Nah lo!
Jumat, 4 Oktober 2013, usai muslim di Banten menegakkan salat Jumat, sebagian mereka melakukan sujud syukur dengan tertangkapnya Wawan dan tercekalnya Ratu Atut oleh KPK. Lho, kok malah sujud syukur! Sujud syukur itu wujud bersyukur muslim karena mendapat karunia Allah yang besar/luar biasa. Sebagian warga bahkan membeberkan pamflet bergambar Ratu Atut sebagai “mafia Banten”. Rupanya, sosok Ratu Atut sebenarnya bukanlah sosok yang dicintai sebagai “Ratu Banten”, gubernur yang dicintai karena prestasi, melainkan sebagian membenci karena Ratu Atut telah membentuk dinasti keluarga di Banten, di sana posisi strategis dan kursi basah selalu diduduki oleh keluarga dekat Ratu Atut. Rakyat Banten dapat menunjukkan bukti faktual tentang hadirnya dinasti Ratu Atut dan bukanlah fitnah atau sensasi yang dilandasi ketidaksukaan kepada Ratu Atut.
Ratu Atut tak layak diberi gelar sebagai Ratu Banten, tetapi lebih layak dan pantas diberi gelar ratu bagi diri dan keluarganya, bagi kerabat dekatnya, dan bagi orang-orang yang hobinya mencari muka.
Jadi, keberadaan Ratu Atut berkiprah di Banten sangat berbeda dengan kiprahnya lebah ratu di dalam sebuah koloni lebah. Warga Banten tidak melihat mulut lebah ratu “Ratu Atut” yang membawa madu, tetapi lebih melihat pantat lebah ratu “Ratu Atut” membawa sengat dan merasakan sakitnya disengat.
Jakarta, 8 Oktober 2013