Selasa, 26 November 2013

BOTAK YANG FENOMENAL DAN GONDRONG YANG STAGNAN



BOTAK YANG FENOMENAL
Berbicara botak pasti asal-muasalnya adalah membicarakan bagian tubuh yang bernama kepala. Kaidah bahasa Indonesia, diterangkan-menerangkan (hukum D-M) atau kaidah gramatika bahasa Inggris, menerangkan-diterangkan (hukum M-D) tentang topik botak adalah seperti pada frasa kepala botak, kata kepala berfungsi sebagai D dan kata botak berfungsi sebagai M. atau dalam bahasa Inggrisnya bald head; bald sebagai M dan head sebagai D.
Rupanya kata botak tidak banyak punya variasi arti menyempit atau meluas seperti kata-kata lain. Misalnya kata tumpul tidak saja untuk pisau, seperti pisau tumpul, tetapi juga mempunyai makna lain, misalnya pada agresifitas permainan sepakbola. Serangan tumpul, striker tumpul, atau klub tumpul bermakna striker atau serangan yang tak menghasilkan gol untuk mencetak angka.
Begitu juga dengan kata tajam, mandul, hujan, dll. yang maknanya meluas. Kata botak masih saja berhubungan dengan kepala atau yang ada di kepala, yakni rambut. Kepala botak pasti kepala tak berambut. Maling ayam dibotaki artinya rambutnya dicukur habis sehingga plontos. Zaman dulu, era dekade 60-an ke belakang, kata botak itu konotasinya minus, tuna, atau bahan olokan/ejekan. Orang tua yang punya bayi atau anak balita akan berkecil hati kalau anaknya berambut tipis/jarang apa lagi sampai tak punya rambut alias botak. Orang dewasa yang rambutnya jarang akan merasa risih karena diejek sebagai orang yang menderita kurang gizi. Orang yang usianya tua tetapi botak akan diejek dengan ibarat botak kayak profesor, karena profesor itu identik dengan kepala botak.
Botak adalah sunnatullah dan manusiawi. Makin tua usia manusia, peluang untuk botak akan terbuka. Botak itu bisa saja secara alamiah bisa dimulai dari kepala bagian depan, bisa dari tengah kepala, dari samping kanan-kiri, dan bisa juga diawali dari belakang.
Namun, botak ternyata bisa menjadi kebanggaan dan trade-mark bagi seseorang. Telly Savalas, sang aktor Hollywood, sangat bangga dengan botaknya (disengaja) dan ketenarannya diperoleh karena dia tetap ajeg dengan penampilan botak. Botak itu bagi Telly Savalas adalah trade-mark dan malahan membawa hoki dan ketenaran.
Ada fenomena yang menarik di tempat saya bekerja. Ada banyak staf biasa yang sudah lama dan berpengalaman bekerja sebagai sebagai staf dengan jabatan pembantu pimpinan. Sebagian dari staf/pembantu pimpinan yang rambutnya sudah mulai berkurang dan menunjukkan kecenderungan kepada botak. Pada awal tahun 2012, seorang staf dengan jabatan pembantu pimpinan diangkat dalam jabatan setara eselon !V. Dia ini, sudah punya gejala botak dan tampak berawal dari bagian depan. Medio 2012, ada promosi untuk eselon !V lagi. Dia ini juga botak, bagian botak sudah tampak jelas bagian atas membentuk lingkaran dan juga bagian belakang sebagiannya. Menjelang kuartal akhir 2013, ada lagi pejabat baru eselon IV diangkat dan dilantik. Pembaca tentu belum tahu dan ingin tahu, apa dia tidak botak, setengah botak, atau botak abis!
Pembaca yang budiman,
Pejabat baru kita ini, botak tuntas di bagian atas kepala seperti peci haji yang menutupi bagian atas kepala, dan rambutnya tersisa pada bagian bawah. Pemandangan yang menarik. Botak yang indah bak ditata.
Ngomongin botak, bicara pejabat yang diangkat bernuansa botak, alih-alih botak ditakuti, sekarang malah dicintai dan digadang-gadang. Para staf yang berpeluang promosi eselon IV pun berkaca-kaca di depan cermin mematut-matut kepala, botak atau tidak. Kalau memang botak, tentu hati riang gembira. Pejabat berikutnya, dengan mengacu kepada pejabat yang botak sebelumnya, tentu lebih berpeluang staf yang botak yang diangkat. Staf di tempat saja bekerja bangga dengan kebotakan yang alamiah.
Botak memang fenomenal!
Fave Aston, Braga, Bandung, 21 Nov. 2013
Gondrong yang Stagnan
Kata gondrong dan kata botak  sama-sama kelas kata adjektiva tetapi kedua kata ini jelas berbeda arti. Gondrong selalu dihubungkan dengan nomina rambut panjang pria dan botak dihubungkan dengan kepala yang tak berambut. Nasib kata gondrong juga berbeda dengan nasib kata botak. Zaman dahulu, masyarakat tak pernah memasalahkan pria berambut gondrong. Para raja yang berkuasa: Raja Henry atau Raja George di Kerajaan Britania Raya berambut gondrong. Jesus Christus dari Nazareth berambut gondrong. Kaisar Romulus dari Romawi atau Julius Caesar juga berambut gondrong. Hercules, Benhur, dan sahabat Jesus pub berambut gondrong. Begitu juga para panglima perang atau komandan tempur jaman kerajaan termasyhur tempo dulu. Rambut gondrong para pria bukan sesuatu yang luar biasa pada zaman dahulu. Tetapi meskipun mereka berambut gondrong, mereka tampil rapih dan gagah.
Dalam ajaran agama (Islam) tidak dipersoalkan apa lagi dilarang seorang muslim berambut gondrong. Nabi saw dan para sahabat  tidak pernah meributkan apa lagi melarang muslim berambut gondrong. Rambut adalah karunia Allah. Urusan dakwah Nabi saw dalam menanamkan pemahaman dan amaliah Islam jauh lebih penting dari “ngurusi” rambut gondrong. Tetapi yang jelas, Nabi saw dan para sahabat tidak pernah berambut gondrong apa lagi panjang tak terurus. Rambut beliau dan para sahabat selalu rapi. Titik.
Itulah yang dicontoh oleh para kaum pria yang muslim. Mereka merasa risih jika punya rambut panjang/gondrong. Tetapi sekali lagi, tak ada anjuran bagi pria berambut panjang (sunnah dan berfadilah), dan tak ada larangan pula bagi pria yang berambut gondrong (makruh apa lagi haram). Sama halnya dengan soal jenggot/janggut. Tak ada sangksi dosa bagi orang yang tak berjanggut dan tak ada pahala bagi orang yang berjanggut (wong sunnatullah, manusiawi banget! Ada orang yang dikaruniai bulu-bulu yang lebat di mana tempat sementara ada pula orang yang jarang bulunya di mana tempat). Kalau ada saudara kita yang mengatakan memelihara janggut berpahala dan tidak berjanggut itu berdosa, perkataannya tak usah didengar dan tak usah dipakai karena tak ada nilainya, “Maksud elu? Saya tak berjanggut, emang masalah buat elu!”
Gondrong atau tidak gondrong adalah soal selera. Para anggota Polri atau TNI dan PNS tidak boleh berambung gondrong adalah soal ada aturan institusi yang mengikat. Gondrong atau tidak gondrong tak ada kaitannya dengan hablum-minallah sepert beribadah salat, berpuasa, berzakat, atau berhaji.
Secara agama, rambut gondrong bagi pria itu tak ada masalah. Mau rambut pendek atau mau rambut gondrong tak perlu dipermasalahkan.Secara kepantasan dan tradisi, kaum pria akan lebih pantas berambut pendek dan tidak berambut panjang/gondrong. Lalu apakah rambut wanita harus panjang? Tak perlu dijawab pertanyaan ini. Wanita muslim berhijab, rambutnya tak terlihat, apakah panjang atau pendek. Yang tahu tentang panjang pendeknya rambut wanita adalah dia sendiri, keluarga di rumah, atau suami romantis yang suka mengelus rambut istrinya.
Zaman Orde Lama, tepatnya RI di bawah rezim Soekarno, soal rambut gondrong adalah soal tabu, tidak disukai, bahkan bisa diterjemahkan sebagai perilaku haram. Kita masih ingat akan grup band anak muda yang kondang tahun 60-an, Koes Bersaudara/Koes Plus. Nomo Koeswoyo bersaudara itu, tampil bermusik dengan rambut gondrong, lagu-lagunya ala The Beatles. Bung Karno kebetulan sedang galak-galaknya mencanangkan Ganyang  Nekolim: Amerika kita setrika dan Inggris kita linggis. Kepada Koes bersaudara, Bung Karno menohok dengan kata-kata julukan lagu Ngak Ngik Ngok! Penampilan Nomo Koeswoyo bersaudara yang gondrong dan lagu-lagu Ngak Ngik Ngok membuat Bung Karno murka. Koes Bersaudara/Koes Plus ditangkap dan ditahan. Padahal banyak penyanyi dan pemusik yang meniru Koes Bersaudara.
Zaman Orde Baru, orang berambut gondrong masih tetap dipandang sinis meskipun rambut gondrongnya tertata rapih. Katanya orang-orang, tak pantas lelaki berambut panjang. Mungkin orang-orang ini melihat mereka yang punya rambut gondrong kerap sering tampil kumel dan dekil, itu sebabnya dibenci. Padahal banyak kaum pria berambut gondrong yang tidak kumel dan dekil. Arbi Sanit dan Mulyana W. Kusuma, dosen Fisipol dan Kriminologi UI, Arswendo Atmowiloto, Romo Mudji Soetrisno, dan Ngkong Ridwan Saidi adalah tokoh-tokoh kondang berambut gondrong.
Meskipun ada beberapa tokoh beken dan pemusik kondang yang berambut gondrong, tetapi tak banyak orang yang mengidolakan mereka dan ikut-ikutan berambut gondrong.
Staf senior yang bekerja di kantor atau kementerian pemerintah yang ingin dan berhasrat promosi jabatan takkan punya nyali memelihara rambut gondrong karena peluang promosi akan terkendala karena rambut gondrongnya. Salah satu staf di kantor dinas pendidikan Provinsi X, senior, kompeten, dan berpendidikan S-2 malah dicoret dari daftar nama calon pejabat Eselon IV karena berambut gondrong dan dia emoh dipotong rambutnya.
Berambut gondrong kalah pengaruh dengan kepala botak. Jadilah orang yang berambut gondrong menjadi kaum inferior di negeri tercinta ini.
Hotel Fave Braga, Bandung, 22 November 2013

Rabu, 06 November 2013

LANDASAN IDEAL, STRATEGIS, DAN OPERASIONAL SETIAP MUKMIN



Bahasa, Agama, dan Pendidikan Karakter
LANDASAN IDEAL, STRATEGIS, DAN OPERASIONAL SETIAP MUKMIN
Rujukan: QS Al Mukminun (23): 1 s.d. 12
Landasan Ideal
Ayat 1:            Qad aflahal mu’minuun
Artinya:          Sungguh beruntung orang-orang yang beriman (mukmin).
Mengapa konten ayat 1 ini disebut sebagai landasan ideal?
Ideal (kelas kata adjektiva) itu artinya luhur, tinggi, mulia, terbaik, dan sangat sesuai dengan dicita-citakan, diangan-angankan, atau dikehendaki, atau yang seharusnya begitu (das sollen). Kelas kata nomina dari ideal adalah kata ide yang artinya: rancangan yang tersusun di dalam pikiran; gagasan; cita-cita; perasaan yang benar-benar menyelimuti pikiran.
Firman Allah dalam ayat 1 ini menyiratkan perintah (begitu halus) agar mukmin berlomba-lomba menggapai kehidupan terbaik/ideal sebagai tujuan hidup di dunia (aflaha; falaha; falah; orang yang beruntung dan sukses; yuflihuun).
Landasan Strategis
Setiap mukmin, wajib berjuang (berlomba-lomba) untuk mencapai hidup yang beruntung sebagai yang tersirat di dalam kandungan ayat 1. Strategi dan pendekatannya seperti apa dan bagaimana, Allah memberi penjelasan dengan begitu gamblang pada ayat 2 s.d. 9.
Ayat 2:            Alladziina hum fii shalaatihim khaasyi’uun.
(Yaitu) orang-orang yang salatnya khusuk.
Ayat 3             Walladziina hum ‘anil laghwi mu’ridhuun.
Dan Orang-yang memelihara lidahnya.
Ayat 4             Walladziina hum liz zakaati faa’iluun.
Dan orang-orang selalu menunaikan (membayar; mengeluarkan) zakat.
Ayat 5, 6, dan 7 masih serangkai
                        Walladziina hum li furuujihim haafidzuun (5).
Dan orang-orang yang memelihara kemaluannya,
Illaa ‘alaa azwaajihim aumaa malakat aimaanuhum fa innahum ghairu maluumiin (6).
Kecuali terhadap istri-istri mereka, atau kepada hamba sahaya yang mereka miliki, maka mereka tidak akan tercela.
Fa manibtaghaa waraa’a dzaalika fa’ulaa’ika humul ‘aaduun (7).
Tetapi barangsiapa yang mencari di balik itu (zina, dsb) maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas.
Ayat 8             Walladziinahum li ‘amaanaatihim wa ‘ahdihim raa’uun.
Dan orang-orang yang menjaga/memelihara amanat dan menepati janji.
Ayat 9             Walladziina hum ‘alaa shalawaatihim yuhaafidzuun.   
Dan orang-orang yang terus-menerus menjaga salatnya.
Landasan strategis itu melalui pendekatan strategis (strategic approach): yaitu: 1) khusuk dalam salat; 2) memelihara lidahnya; 3) membayar zakat; 4) menjaga kemaluan; 5) memelihara amanat/kepercayaan dan menepati janji; dan 6) memelihara salat.
Landasan Operasional
Pendekatan strategis yang terdiri atas enam butir yang dimaksud harus dapat dioperasionalkan/diimplementasikan/diamalkan sehingga setiap mukmin bukan sekedar memahami, tetapi juga dengan mudah dapat mempraktikkannya. (Dalam bahasa pembelajaran, semua pendekatan strategis pembelajaran harus mengacu kepada kompetensi dasar (KD), yang kemudian dibuatkan indikator-indikator (oleh guru) agar dapat dengan mudah diukur capaiannya.)
KD 1: khusuk dalam salat
Indikatornya:
Bersih dan suci tempatnya; aman dari gangguan (kebisingan, keributan, binatang berbisa, ancaman); tertib urutan rukun salat; menghadap kiblat; jelas wujud salatnya; bersesuaian antara niat, perkataan, dan perbuatan (dimengerti); suasana tenang; dll
KD 2:  memelihara lidahnya
Indikator:       
Ucapan, perkataan, dan tuturan dengan bahasa yang santun, mudah dimengerti, jelas terdengar; kata-kata pilihan yang baik; selalu berupaya menghindari kata-kata sindirian, julukan yang tidak disukai, berbahasa daerah yang hanya dimengerti segelintir audiens, berbisik-bisik berdua di tengah orang banyak, bersuara keras, menggerutu, menyindir, mencaci, mengumpat, menggosip, menceritakan keburukan/kekurangan orang lain, membual, melontarkan kata-kata canda/jokes yang tidak pada tempatnya; dll.
KD 3: membayar zakat
Indikator:       
Membayar zakat mal/harta jika sudah sampai nisabnya (2 ½% minimal dan telah satu tahun; zakat dari penghasilan (gaji, honor, bonus, THR, royalti, dll) yang halal (bukan dari hasil korupsi, mencuri, merampok, menipu, berjudi) sesuai dengan profesi, berderma/bersedekah/berinfak, dll.
KD 4: menjaga kemaluan;
Indikator:
Senantiasa berpakaian yang menutup aurat dan tidak mengumbar aurat; beradab dalam berpacaran; tidak berselingkuh/mendekati zina atau berzina; tidak mengumbar kata-kata mesra, tidak mengumbar syahwat berahi kepada orang lain yang bukan hak (bermesra-mesraan); dll.
KD 5: memelihara amanat/kepercayaan dan menepati janji
Indikator
Menyampaian pesan atau titipan kepada orang/pihak yang dituju, memelihara dan menjaga kerahasiaan, tidak menyuap atau menerima suap, tidak melakukan pungli atau membayar pungli.
Menepati janji: menepati waktu dan tempatnya; bekerja sesuai dengan peraturan tertulis atau yang tak tertulis/disepakati (konsensus) dan mempertanggungjawabkan setiap pekerjaan (responsibilitas), dll.
KD 6: memelihara salat
Indikator
Menunaikan salat fardu selalu tepat waktu, dalam situasi dan kondisi yang bagaimanapun (stiqamah, konsisten); menunaikan salat Jumat; menegakkan salat malam, dll.
Pewaris Sorga
Setiap mukmin yang menegakkan keenam pendekatan strategis tersebut dengan konsisten, maka layak disebut mukmin yang beruntung dan sukses menjalani kehidupan di dunia. Sukses di dunia sebagai mukmin, maka sesuai dengan janji Allah, dia pun akan sukses hidup di akhirat sebagai mukmin pewaris sorga yang penuh dengan segala macam kenikmatan, sebagaimana pernyataan langsung Allah dalam surat yang sama pada ayat 10 dan 11, sebagai berikut:
Ayat 10           Ulaa’ika humul waaritsuun.
                        Mereka itulah (mukmin) yang meraih warisan.
Ayat 11           Alladziina yaritsuunal firdauusa hum fiihaa khaaliduun.
                        (yaitu) yang akan mewarisi sorga. Mereka kekal di dalamnya.
Jadi, pesan agung Allah dalam Al Quran, bukanlah sekedar menjadi hiasan bibir, bukan pula sekedar milik hati yang menjadi keyakinan, tetapi harus dapat diwujudkan secara nyata oleh setiap mukmin dalam kehidupan, yakni dengan mengisinya dengan aktivitas yang bermanfaat untuk sesama.
Semoga kita menjadi pewaris sorga, amin.
Jakarta, 7 November 2013

PRESIDEN MURKA DAN RATU ATUT SEWOT




Bahasa Indonesia


Bahasa gusti dan bahasa kawula: perbedaan antara murka dan sewot
Presiden Murka
Indonesia Lawyers Club (ILC) yang di-presiden-I oleh Karni Ilyas, adalah acara yang paling banyak ditonton pemirsa tv (ratingnya tinggi) yang ditayangkan melalui TV-One setiap minggu pada hari Selasa malam, dan ditayang ulang pula pada hari Minggu malam pada minggu yang sama.  Karni Ilyas, sang presidennya, Selasa, 29 Oktober 2013, menampilkan judul, Presiden Murka, yang ditayangkan secara live dari Batam, Kep. Riau.
Penulis tidak akan membahas tentang materi acara tersebut karena para pemirsa yang menonton langsung tentu dapat menangkap dan memahaminya, baik sebagian maupun seluruh materi. Para narasumber yang berbicara adalah orang-orang pilihan dan memiliki kapabilitas untuk menjadi narasumber. Sebutlah misalnya Anas Urbaningrum, H. Sujiwo Tejo,  Bung Fajrul, dan Bang Efendi Gazali. Penulis ingin mengomentari acara kali ini itu adalah dari sudut pandang kebahasa-Indonesia-an saja. Benarkah judul itu dari sudut pandang kebahasaan, khsususnya dalam ilmu semantik tentang frasa atau kalimat singkat (S-P) Presiden Murka?
Judul Presiden Murka hanya sebuah frasa yang terdiri dua kata, yakni kata presiden dan kata murka. Mari kita cermati bersama makna kedua kata itu.
presiden
Kata presiden memiliki arti: 1. kepala (lembaga, kantor, jawatan, klub), misalnya pada frasa: presiden direktur; presiden ILC; presiden komisaris; presiden klub; dll. 2. kepala negara, misalnya pada frasa Presiden RI; Presiden Amerika; Presiden Filipina; dll.
murka
Kata murka memiliki arti: marah atau sangat marah. Sebagai kelas kata verba, kata murka yang artinya sangat marah ditempatkan secara khusus untuk subjek tertentu, yakni untuk raja, ratu, mahapatih, patih, dan pejabat-pejabat tinggi dan utama pada zaman kerajaan tempo dulu yang sarat dengan feodalisme {(perbedaan strata sosial atas-bawah antara gusti dengan kawula (gusti-kawula)}.
Dari sudut pandang sosiologis, kata murka dihadirkan dan berlaku hanya untuk subjek dengan jabatan tinggi kepada objek dengan jabatan di bawahnya sampai kepada kawula/rakyat.
Contohnya:
            Baginda Raja murka (kepada punggawa atau tumenggung)
            Sri Ratu murka (kepada kepala dayang istana)
            Sri Sultan HB X murka (kepada abdi dalem)
            Pangeran Mahkota murka (kepada istrinya)
            Mahapatih Gajah Mada murka (kepada adipati Ronggolawe)
            Adipati Pajang murka (kepada kepala pengawalnya), dll.
Tak pernah terjadi frasa seperti berikut ini:
            Tumenggung Jayadrata murka kepada Prabu Duryudana
            Mahapatih Gajah Mada murka kepada Prabu Hayam Wuruk
            Abdi dalem murka kepada Gusti Putri Hayu
            Selir baginda murka kepada Baginda Prabu
            Mas Mangun murka kepada Gubernur DKI Jakarta
Zaman kerajaan yang menghidupkan, menyuburkan, dan merawat feodalisme di negeri ini sudah tamat riwayatnya sejak 17 Agustus 1945. Sistem pemerintahan monarkhi absolut atau monarkhi parlementer tidak dianut oleh negeri kita (sudah ditinggalkan dan dikubur dalam-dalam). Indonesia menganut sistem pemerintahan presidensial yang demokratis, di mana pemerintah adalah subjek pelayan dan rakyat adalah objek yang dilayani (public service).
Oleh karena itu, penggunaan bahasa Indonesia masa kini, tuntutannya adalah penggunaannya yang baik dan benar. Termasuk di dalamnya dalam pemakaian dan penggunaan kata per kata, frasa, anak kalimat, dan kalimat.
Kata murka yang penulis anggap berbau feodalisme itu sudah jarang digunakan dalam pergaulan sehari-hari. Pilihan kata (diksi) yang digunakan sekarang ini dianjurkan yang mudah diterima oleh masyarakat dan tidak menonjolkan gap strata sosial ala zaman dahulu (gusti-kawula).
Frasa Presiden Murka pada judul diskusi ILC, Selasa, 29 Oktober 2013 yang lalu kurang tepat. Presiden (SBY) bukanlah seorang raja atau kaisar. Judul diskusi itu semestinya diganti dengan frasa baru dalam judul Presiden (SBY) Marah Besar.

Ratu Atut Sewot
Harian Pos Kota, Rabu, 6 November 2013, menurunkan tulisan jurnalisnya pada kolom di halaman 1dengan judul Ratu Atut Sewot. Secara semantis, tidak ada yang salah dengan frasa Ratu Atut Sewot. Secara sosiologis, frasa Ratu Atut Sewot ini menarik untuk dibahas.
Ratu Atut tentu umum sudah mengenal dengan baik sebagai sosok terkenal. Dia adalah seorang wanita hebat yang berhasil menjadi gubernur, yakni Gubernur Provinsi Banten. Masih langka di Indonesia ini, wanita bisa menjadi gubernur
sewot
Kata sewot (kelas kata adjektiva; kata serapan dari bahasa Betawi), artinya marah, gusar, jengkel, dongkol.
Contoh:
Si Ali tampak sewot karena ban sepedanya ada yang mengempesi.
Mpok Lela kelihatan sewot karena jemurannya terkena kotoran ayam.
Gue yang dapet arisan, kok lu yang sewot?
(kalimat dengan logat Betawi)
sewot dan murka
Persamaan kedua kata ini adalah pada maknanya yang hampir sama, yakni menunjukkan perasaan yang sangat tidak senang dari pelakunya.
Peerbedaan keduanya, kata sewot jauh lebih hidup dan sering dipakai oleh masyarakat dalam pergaulan sehari-hari dibandingkan dengan kata murka. Kata sewot itu demokratis dan merakyat sementara kata murka itu feodalistis. Frasa Presiden Sewot lebih baik daripada Presiden Murka. Ratu Atut sewot lebih baik dari Ratu Atut murka.
Akan tetapi, sebaik-baik karakter dalam bersikap adalah menghindari perangai sedikit-sedikit sewot. Sebab, kalau sedikit-sedikit sewot, nanti cepat tua dan pipi cepat peyot.
Bukankah bahasa Indonesia juga harus bebas dari feodalisme.
Jakarta, 6 November 2013