Senin, 10 Maret 2014

PANDAI-PANDAILAH MEMBEDAKAN PROFESI USTAZ DENGAN DUKUN



Lanjutan Pandai-pandailah ….
Busana muslim dan ustaz berbusana
Busana muslim (dan muslimah) itu intinya menutup aurat. Tiada satu pun aturan lain yang khusus muslim berbusana selain dari menutup rapat aurat. Muslim yang berdomisli di segala penjuru dan belahan dunia mana pun berlaku kewajiban menutup aurat. Kata pepatah, “Di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung”. Begitu juga dengan muslim berbusana.
Berbusana dengan menutup aurat itu universal. Itulah wujud menaati perintah Allah dan mengikuti teladan Nabi saw.
Tidak ada kiblat berbusana. Orang Batak yang muslim tentu berbusana dengan aksesori kain ulos dan sarun tenun khas Tapanuli. Orang Minang berbusana dengan busana khas Minang. Orang Bima berbusana kain tenun khas tembe nggoli. Orang Jawa berbusana motif batik dan kebaya (untuk muslimah). Orang Eropa dan Amerika berbusana pantalon dan celana panjang. Kalau busana orang Arab?
Orang Arab bergamis dan bersorban. Nabi Muhammad bergamis dan bersorban karena Nabi saw itu orang Arab. Abu Jahal dan Abu Lahab (musuh besar Nabi saw dan musuh Allah) juga bergamis dan bersorban.
Mereka pergi ke masjid busananya gamis dan sorban. Mereka pergi ke pasar atau ke mol busananya juga gamis dan sorban. Mereka ke hotel pun begitu. Mereka masuk kafe, bioskop, night club, dan panti pijat juga berbusana seperti itu.
Busana bergamis dan bersorban itu busananya orang Arab, bukanlah busana wajib bagi muslim, bukanlah busana yang wajib dicontoh.  Kita bersarung, berbaju batik, bercelana panjang, atau bercelana pangsi pun, asalkan menutup aurat, tidak kalah gengsi dengan busana lain.
Lihatlah tokoh nasional kita H. Agus Salim atau Buya Hamka yang bersarung dan berkopiah penuh percaya diri tampil di depan forum internasional. Lihatlah tokoh besar India, Mahatma Gandhi, yang moh berbusana Eropa. Lihat juga orang-orang Sikh dengan busana ciri khasnya.
Loh, kok para ustaz di Indonesia tampilannya kok dalam busana Arab?
Oh, mereka itu, para ustaz itu, mungkin berdarah keturunan Arab! Gelar mereka itu habib atau syekh. Jadi, biarkan saja!
Bukan mereka saja, kok! Para ustaz asli pribumi, kayaknya mereka tampil berbusana gamis dan selalu bersorban!
Oh, para ustaz itu toh? Mereka, para ustaz itu, mungkin berdarah campuran Arab-Indonesia.  Kalau para ustaz itu asli tulen pribumi, tetapi tampil dengan busana gamis dan sorban yang panjang menyentuh betis, tentulah para ustaz itu Arab-centris atau ke-Arab-arab-an. Mungkin juga para ustaz itu ingin ber-Arab-isasi. Mungkin ustaz itu kurang pede dan menutupi ketidak-pede-an mereka (perilaku psikologis sebagai bentuk kompensasi). Sangkaan mereka, ustaz yang berbusana gamis dan sorban itu adalah keharusan untuk membedakan ustaz dengan muslim awam.
Mereka kurang memahami, bahwa  bergomis dan bersorban itu sekedar budaya lokal bangsa Arab. Bagi muslim yang awam, mungkin ustaz harus tampil berbusana seperti itu. Akan tetapi bagi masyarakat muslim yang cerdas, penampilan bersorban dan bergamis seseorang sama sekali tidak akan memengaruhi persepsi.
Berlanjut ….

Sekali lagi tentang profesi Ustaz dan Dukun

PANDAI-PANDAILAH MEMBEDAKAN USTAZ DENGAN DUKUN

Ustaz
Kita tak perlu membuka buku kamus untuk mengetahui arti kata ustaz. Arti kata ustaz (berasal dari kata dasar bahasa Arab) itu sinonim dengan kata guru. Arti yang umum, pekerjaan seorang ustaz itu mengajar bidang studi atau mata pelajaran apa saja, baik mengajar di kelas formal maupun majelis taklim yang nonformal.
Kata ustaz di Indonesia, maknanya dipersempit menjadi pengajar yang khusus mengajar ilmu pengetahuan agama Islam atau seluk-beluk pengetahuan dan praktik dalam agama Islam. Semua orang yang pekerjaan sehari-harinya mengajar mengaji, ilmu Al Quran, ilmu Tajwid, Nahwu Sharaf, Akhlak, Tarikh Islam, Fiqih, dll, lazim digelari ustaz. Kita mengenal Ustaz Hidayat Nurwahid, Ustaz Quraish Shihab, Ustaz Hassan, dll. Gelar untuk mereka yang berjenis kelamin wanita disebut ustazah. Kita mengenal Ustazah Mama Dedeh, Ustazah Irene Handono, Ustazah Luthfiah Sungkar, Ustazah Tuty Alawiyyah, dan Ustazah Zakiah Darajat.
Berkenaan dengan profesi ustaz yang mengajar ilmu keislaman ini, melekatlah pandangan masyarakat umum yang sudah mendarah-daging, bahwa seorang ustaz itu identik dengan orang yang berakhlak mulia atau lebih mulia dari anggota masyarakat yang lain. Tambahan pula, seorang ustaz itu bukan dikenal sekedar sebagai pengajar ilmu keislaman, tetapi praktisi akhlak mulia.Pandangan seperti ini masih melekat erat sampai sekarang. Ustaz itu mulia, ilmunya tinggi dan akhlaknya terpuji.
Oleh karena itu kata-kata dan nasehat seorang ustaz itu didengar dan dihargai, bahkan ditaati lebih dari ketaatan kita kepada nasehat kedua orang tua. Ada pameo yang sering didengungkan dalam bahasa vokal, “taat kepada ustaz, selamat. Membantah ustaz akan kualat.”
Pandangan positif dari masyarakat terhadap ustaz akan semakin meninggi jika seorang ustaz itu seorang orator dan mahir berceramah, apa lagi mampu menyihir jemaah dengan bahasa verbal yang memukau, fasih melontarkan kutipan hadis atau ayat-ayat Quran. Masyarakat Islam di Indonesia akan sangat bermurah hati menambah gelar baru di depan namanya, yakni gelar kiai. Belum lengkap pula gelar itu dengan tambahan atribut yang konon untuk memuliakannya. Perhatikanlah jika namanya diumumkan oleh pembawa acara atau siapa pun yang pandai meniru: Al Allamah, Al Mukarram, Asy-Syekh, dan Al Ustaz Kiai X yang sebenarnya sekedar basa-basi (dalam bahasa Arab supaya kedengarannya keren). Jika sang ustaz kita ini sudah berhaji, maka gelarnya dilengkapi lagi dalam kalimat verbalnya: Al Allamah Al Mukarram Asy-Syeh Al Hajj Al Ustaz Kiai X. Makin banyak kata sebagai gelar disebut, sang MC makin pede saja. (Keren gitu, loh!)
Al ‘allamah artinya orang yang mengetahui (berilmu). Al mukarram artinya orang yang mulia. Asy-syekh itu nama gelar untuk guru/pengajar. Al hajj artinya Pak Haji.
Terjemahan pkata pengantar MC seperti frasa di atas kurang lebih sebagai berikut, “Hadirin sekalian, penceramah kita pada malam ini adalah, beliau yang berilmu, yang mulia, Tuan Guru, Tuan (Pak) Haji, Guru, Kiai X.”
Lebay banget tuh MC!
Sang MC (pembawa acara) yang menyebut begitu fasih predikat-predikat berbahasa Arab itu, belum tentu tahu arti kata-kata yang disebutnya. Dalam benaknya, ada perhelatan keagamaan itu harus bernuansa Arab.
Berlanjut ….


Lanjutan Pandai-pandailah ….
Pandangan, sikap, perilaku, dan ulah masyarakat terhadap ustaz
Muslim yang awam memandang, bahwa ustaz-ustaz bergamis dan bersorban (apa lagi berdarah Arab) pasti bermutu karena mereka dianggap seasal dengan Nabi Saw. Mereka lebih yakin lagi apa bila ustaznya bergelar habib karena mereka percaya gelar habib itu masih keturunan Nabi saw. Mereka tercekoki (karena ada oknum ustaz mencekoki) ajaran bahwa keturunan Nabi saw (gelar habib) lebih mulia dari keturunan orang tua mereka sendiri yang pribumi, atau keturunan yang bukan berasal dari Nabi saw.
Muslim yang awam masih percaya, walaupun ustaz bukan keturunan Nabi saw, tetapi berdarah Arab, apa lagi berbahasa Arabnya fasih, pasti memiliki kelebihan dibandingkan dengan ustaz berdarah pribumi.
Mereka, muslim yang awam ini juga masih percaya, bahwa yang berbusana gamis dan sorban itu pastilah seorang ustaz, apa lagi pergi ke mana-mana kelihatan memencet-mencet biji tasbeh dan diiringi dengan bibirnya berkomat-kamit, walaupun mengucap bacaan Al Fatihah saja terbata-bata.
Bagaimana sikap perilaku muslim yang awam terhadap ustaz?
Kepercayaan yang terbangun tanpa ilmu pengetahuan yang memadai akan berdampak kepada sikap perilaku.
Kepercayaan yang keliru akan berdampak kepada sikap perilaku keliru. Kepercayaan dan perilaku keliru akan membangun praktik beragama yang keliru pula.

Dukun
Orang Islam yang berwatak jahat mengakali orang lain selalu ada di mana-mana di muka bumi ini, termasuk di bumi Indonesia. Apa lagi, penduduk negara dengan populasi muslim terbesar itu adalah penduduk Indonesia. Orang Islam yang berwatak jahat ini memahami bahwa mayoritas muslim di Indonesia ini awam terhadap keislaman. Seperti yang telah diulas terdahulu, salah satu bentuk nyata keawaman itu adalah pandangan dan sikap perilaku yang keliru terhadap sosok seseorang yang tampil berbusana gamis dan sorban, ditambah aksesori kopiah putih dan untaian tasbeh yang setia di tangan. Sosok yang tampil seperti itu, kesan pertama bahwa sosok itu  adalah sosok seorang ustaz.
Tidak percaya?
Penulis ajak pembaca berkunjung ke kantong-kantong perkampungan yang penduduknya mayoritas muslim, baik di kota besar seperti Jakarta maupun di luar kota besar di sekitar Jakarta. Kita akan melihat fakta seperti berikut ini.
Seseorang yang biasa memimpin salat berjamaah (imam) dan memiliki sedikit kelebihan yakni kefasihan membaca ayat-ayat dalam surah-surah pendek di samping surah Al Fatihah, langsung diberi gelar ustaz.
Seseorang yang biasa memimpin doa dan wiridan usai salat berjamaah di masjid, atau memimpin acara tahlilan dalam acara syukuran/selamatan dan kenduren, apa lagi sedikit fasih berdoa dalam bahasa Arab, dengan mudahnya diberi gelar ustaz.
Berlanjut ….

Lanjutan Pandai-pandailah ….
Seseorang yang telah digelari ustaz, mau bicara lurus lempeng atau ngawur ngelantur, bahkan berfatwa, didengar, diamini, dan diikuti kata-katanya.
Ketika dia punya proyek tradisi haulan, mengaji tiga malam atau tujuh malam yang katanya untuk si mayit, ziarah kubur, orang Islam yang awam, dengan suka hati mengamini dan mengikuti kegiatan proyek abal-abalnya.
Sosok yang biasa melakukan kegiatan seperti itu secara rutin, mudah mendapat gelar ustaz dari masyarakat, atau mendapat gelar kiai bahkan, seperti yang banyak kita temui di tengah masyarakat di desa atau kecamatan di Bogor, Bekasi, atau Karawang.
Bagaimana kalau kondisi keawaman ini dimanfaatkan oleh orang berwatak culas dan jahat?
Itulah kondisi yang dimanfaatkan oleh para dukun dan paranormal yang sekarang kasusnya marak terjadi di mana-mana, tak terkecuali di kota besar seperti Jakarta.
Lihat sepak terjang seorang Guntur Bumi misalnya. Orang Islam yang awam dengan mudah terkecoh dengan penampilan sosok Guntur Bumi. Gelar ustaz begitu mudah didapatnya. Begitu mudah orang Islam terpukau dengan tampilan fisiknya, termasuk di dalamnya kalangan kaum selebritas. Kalau tidak salah, istrinya adalah seorang artis cantik, Puput Melati.
Guntur Bumi bersorban, bergamis, dan menenteng tasbeh untuk lebih meyakinkan orang Islam yang awam. Dia digelari Ucil (ustaz kecil) selagi usianya remaja. Usia remaja saja sudah dipanggil ustaz.
Penulis pernah menyaksikan tayangan keagamaan di salah satu stasiun tv swasta sekitan tahun 2013 awal. Dia diminta sang Host acara untuk memimpin doa berjamaah. Namanya pun disebut, Ustaz Guntur Bumi. Dia pun tampil memimpin doa.
Para Jemaah pun beramin-amin dengan khusuk (?). Yang penting beramin-amin saja meskipun sebagian tidak paham apakah kata-kata dan kalimat yang terucap oleh Guntur Bumi benar atau tidak, dimengerti atau tidak.
Alamaaakkkk!
Mbok iyao, kalau memimpin doa dalam Bahasa Arab tidak fasih dan tak tahu pula artinya, mestinya menggunakan Bahasa Indonesia saja, Jang!
Guntur Bumi membuka praktik perdukunan (istilahnya diganti dengan istilah pengobatan alternatif
Pesona muslim awam terhadap sosok Guntur Bumi diikuti dengan keyakinan, sikap perilaku, dan tindakan. Guntur Bumi itu dipercaya bukan sekedar ustaz, melainkan dipercaya sebagai orang pintar dan pandai menyembuhkan penyakit fisik dan mental. Mereka berdukun (berobat) kepada Guntur Bumi. Tindakan keliru ini bukan sekedar berdukun saja, tetapi mereka yang awam ini sudi merogoh kocek puluhan juta rupiah sebagai biaya pengobatan. Mereka yakin, seorang Guntur Bumi adalah sosok ahli pengobatan alternatif (jelasnya seorang dukun!)
Apa hasilnya?
Berlanjut ….

Lanjutan Pandai-pandailah ….
Mereka yang menjadi pasien ini tidak sembuh-sembuh padahal mereka sudah bolak-balik berkonsultasi dan berobat. Mereka juga didatangi ke rumah oleh orang suruhan/kacung (bersorban dan bergamis pula supaya lebih meyakinkan) Guntur Bumi.  Kacung itu membawa buah kelapa yang sudah dilubangi, diiris, dan diisi dengan aneka benda metal seperti peniti, jarum, kawat, atau gunting (yang dibeli di Alfamart, Giant, atau di material).
Justru mereka harus membuang uang berjuta-juta rupiah, bahkan sampai puluhan juta rupiah untuk membayar jasa si kacung dan Guntur Bumi, serta uang pembayar harga kelapa, jarum, gunting, dan kawat.
Apes banget nasib mereka yang menjadi pasien Guntur Bumi. Mereka, para pasien yang menjadi korban praktik perdukunan Guntur Bumi ini sudah puluhan orang. Tak rela ditipu, mereka pun melaporkan Guntur Bumi kepada aparat kepolisian dengan tuduhan pasal penipuan.
Sosok Guntur Bumi itu bukanlah ustaz! Disebut dukun pun tidak pantas. Masih lebih mulia dukun urut atau dukun pijat atau dukun beranak yang bekerja dengan ikhlas. Mungkin gelar ustaz palsu bagi dia lebih pantas! Jangan cepat percaya kepada tampilan fisik ala busana Arab dan predikat ustaz padahal di dalam nawaitunya nawaitu culas!
Penulis berpesan, jika setiap muslim itu mempelajari dan mendalami pesan-pesan Quran, tentu perintah dan larangan Allah itu akan dipahami dengan lebih jelas. Tentu kualitas keimanan akan lebih berkelas.
Marilah kita cermati makna pertanyaan Allah kepada manusia dalam puluhan ayat di ujung kalimat Firman-Nya: afalaa ta’qiluun? Afalaa ta’lamuun? Afalaa tatafakkaruun? Afalaa tadzakkaruun?
Tetapi harap kata-kata/kalimat-kalimat yang ditulis ini bukan untuk dirapal-rapal karena semua yang ditulis ini bagian dari ayat-ayat Quran.
Haram merapal-rapal ayat-ayat Quran untuk digunakan dalam praktik klenik dan perdukunan.
Haram menggunakan ayat-ayat Quran untuk jampi-jampi atau mantra-mantra dengan dalih untuk pengobatan atau ayat-ayat asy-syifa’.
Kita sakit?
Kita pergi berobat ke dokter saja dan memohonlah kepada Allah agar disembuhkan. Jangan merapal-rapal ayat-ayat Al Quran atau Al Fatihah atau ayat-ayat asy-syifa, sebab ayat-ayat Quran itu tidak konek (not connected) dengan penyakit fisik.
Kita sakit kulit dan kelamin?
Kita pergi berobat langsung ke dokter ahli atau spesialis kulit dan kelamin! Jangan pergi berobat ke dokter umum sebab kita akan lelah saja dan penyakit takkan kunjung sembuh. Nah, ke dokter umum saja dilarang, apa lagi pergi berobat ke dukun atau ustaz dukun!
Bisnis kita sedang collaps?
Jangan lari dan berdukun atau berustaz atau berziarah ke makam leluhur atau para wali! Itu perbuatan dungu! Jangan merapal ayat-ayat Qursyi dan Surah Yasin atau ayat-ayat asy-syifa’ 99 x berulang-ulang. Itu perbuatan orang Islam yang kehilangan akal sehat!
Pergi saja ke bank dan bawa proposal permohonan kredit diiringi selalu dengan bermohon kepada Allah. Lampirkan semua persyaratan kredit yang telah ditentukan oleh bank kreditor. Sekali lagi, bermohonlah kepada Allah agar ujian segera berakhir. Sesungguhnya Allah Maha Pengabul Doa.
Itulah jihad yang sesungguhnya sebagai muslim yang beriman beristiqamah kepada Allah Swt.
Mudah-mudahan kasus penipuan yang disangkakan kepada Guntur Bumi tidak akan terulang lagi kepada saudara-saudara kita yang lain.
Amin, ya Allahu Rabbul ‘aalamiin.
Jakarta, 11 Maret 2014







SUMUT, TAPUT, JAKUT, SULUT, MALUT, DAN KALUT (?)




SUMUT, TAPUT, JAKUT, SULUT, MALUT, DAN KALUT (?)

Pengantar
Hari Kamis, 6 Maret 2014, di dalam ruang sidang Nawangwulan, Hotel Purnama, Selekta, Kota Batu.
Tim Pembina Bimtek Akreditasi Pusat, sejak pagi, lewat pukul delapan, sudah berada di dalam ruangan. Hampir seluruhnya sudah hadir. Panitia pelaksana workshop tentu saja sudah lebih dahulu hadir. Mereka adalah Suci Heruwati yang pendiam namun serius bekerja, Rr. Endang Retno, Ine Rahmawati, dan terakhir Erni Malik si pembeda yang suka sharing cerita konyol dan suka ngocol. Penulis sendiri, di samping terdaftar sebagai anggota panitia, ternyata juga merangkap fungsi sebagai anggota Tim Pembina. Kami semua bekerja bak saudara dalam sebuah keluarga besar.
Pembahasan tentang Bimtek Akreditasi dan sosialisasinya meluas dan tiba kepada sasaran  seluruh provinsi yang ada, termasuk di dalamnya adalah Provinsi Kalimantan Utara yang sudah resmi dibentuk.
Nama atau istilah geografis yang baru lahir oleh Undang-undang tentu saja pasti terbentuk dan pasti secepatnya masuk ke dalam kamus geografi dan bisa pula masuk menjadi sebuah lema baru dalam kamus bahasa Indonesia. Begitu juga dengan nama Kalimantan Utara sebagai provinsi termuda.
Teman-teman peserta workshop tentu takkan berpusing-pusing kepala memikirkan nama dan istilah baru, dan memang tak penting-penting amat. Tetapi tentu saja tidak begitu bagi penulis. Sebagai seorang praktisi dan pengamat bahasa Indonesia kelas amatiran, ketika ada nama provinsi baru diperkenalkan, penulis langsung memikirkan singkatan dari nama Kalimantan Utara. Apa singkatannya? Kalut?
Sukiono dan Sri Rejeki membantu penulis yang sedang memikirkan singkatannya Kata mereka berdua hamper serempak, bahwa singkatan yang benar dari Kalimantan Utara itu adalah Kaltara. Loh! Kok Kaltara?
Sri Rejeki dan Sukiono tidak akan memikirkan jauh-jauh sebabnya, mengapa Kalimanatan Utara disingkat menjadi Kaltara. Penulis bersikap sebaliknya, singkatan Kaltara itu dipikirkan lama, akhirnya menginspirasi penulis pada malam harinya di kamar. Penulis pun akhirnya memutuskan untuk menulis dan memulainya pada pukul 22.30 sampai mata mengantuk dan ilham mulai luput seiring meredupnya pandangan mata. Entah pukul berapa penulis menghentikan kegiatan yang indah dan enjoyed itu. Yang jelas, tulisan tidak bisa rampung dalam dua atau tiga jam. Mungkin kalau penulis selevel atau sekelas penulis top Arswendo Atmowiloto, Gus Dur, atau Karni Ilyas, tulisan seperti ini bisa rampung dalam dua jam saja.


Inilah tulisan tentang singkatan nama geografis Kalimantan Utara dalam ulasan Bahasa Indonesia yang telah menginspirasi penulis.
Selamat mengikuti.

Membentuk kata singkatan dengan merujuk kepada analogi
Para pembaca pasti tahu arti kata-kata yang ada dalam judul di atas. Kata-kata itu adalah istilah geografis yang ada di dalam khasanah perbendaharaan kosa kata dalam bahasa Indonesia. Semua kata itu merupakan nama-nama sebagian provinsi dan kota di Indonesia dalam bentuk singkatan dari dua kata sebagai representasi nama provinsi dan kabupaten/kota, kecuali kata Kalut.
Perhatikan dua kata yang disingkat dan singkatannya seperti di bawah ini.
Sumut singkatan dari Sumatera Utara.
Taput singkatan dari Tapanuli Utara.
Jakut singkatan dari Jakarta utara.
Sulut singkatan dari Sulawesi Utara.
Malut singkatan dari Maluku utara.
Kita lihat singkatan kata /utara/ adalah /-ut/. Kata /utara/ adalah salah satu dari delapan nama arah mata angin. Nama arah mata angin yang kita kenal adalah utara, selatan, barat, timur, timur laut, barat daya, barat laut, dan tenggara,
Akan tetapi, apakah semua kata /utara/ dari sebuah nama mata angin dapat dengan serta-merta disingkat /-ut/ untuk nama geografis yang terus berkembang?
Ternyata singkatan /-ut/ dari kata utara tidak selamanya bisa diperlakukan sama karena arti singkatannya bisa negatif, buruk, dan tidak senonoh.
Mari kita lihat analoginya seperti kata singkatan berikut ini.
Ada provinsi yang baru saja terbentuk, namanya provinsi Kalimantan Utara. Bisa saja /Kalimantan Utara/, berkaitan dengan analogi dan contoh yang ada, tentu saja disingkat dengan /Kalut/. Tetapi, tunggu dulu. Kita harus tahu arti kata /kalut/ lebih dahulu. Kata /kalut/ adalah kelas kata adjektiva/kata sifat, menurut KBBI artinya adalah: 1) kusut tidak karuan; 2) kacau pikiran dan berkata tidak karuan. Padanan kata /kalut/ yang menjadi kata ulang berubah bunyi adalah /kalut-marut/ dan /kalut-malut/.
Jadi, tidak layak nama provinsi Kalimantan Utara disingkat menjadi provinsi Kalut karena mengandung arti negatif dan terdengar tidak nyaman. Singkatan dari Kalimantan Utara yang pantas adalah Kaltara.
“Kalau pikiran Anda sedang kalut, ada baiknya Anda bertamasya ke Kaltara untuk menghilangkan pikiran Anda yang kalut.”
Mari kita lihat contoh-contoh lain.
Bali Utara disingkat Balut. Kata balut tidak nyaman terdengar di telinga karena arti kata /balut/ sebagai nomina itu adalah kain pengikat atau pembebat luka; barut; pembungkus.
Kalau Bali Utara disingkat Baliut? Tentu lebih tidak nyaman didengar. Jadi, /Bali Utara/ itu lebih bagus disingkat Baltara, atau BU saja, atau tidak usah disingkat.
Surabaya Utara disingkat Surabut tentu tidak pantas, tidak pantas pula jika disingkat dengan Surut, dan lebih tidak pantas jika disingkat Suraut. Kalau perlu tidak usah dipaksakan menyingkat.
Jambi Utara bisa disingkat menjadi Jambut.
Bagaimana kalau kata Jember Utara disingkat berdasarkan analogi dan contoh yang sudah ada? Jembut? Wah, hindari singkatan itu! Secara ilmu kebahasa-Indonesia-an, tak ada yang salah mengucapkan atau menulis kata jembut, tetapi kata jembut itu bermakna tidak senonoh untuk khalayak.  Analogi di atas, untuk menyingkat wilayah yang bernama Jember Utara tidak berlaku.
Begitu pun nama wilayah Banten Utara. Singkatannya buruk artinya, Bantut.
Lalu, untuk wilayah Buton Utara, tentu singkatannya menjadi Butut. Takengon Utara menjadi Takut.
Bahasa dan singkatan adalah fenomena kehidupan manusia. Keberadaan kata, singkatan, frasa, atau inisial adalah hasil dari kreasi/kreativitas manusia.
Kita tidak boleh menafikan atau melupakan bahwa Bahasa menjunjung tinggi etika, estetika, dan passion/hasrat manusia.
Oleh karena itu, ketika kata, singkatan, inisial, atau frasa  tercipta oleh dan lahir di tengah masyarakat yang kreatif berbahasa harus mengindahkan etika, estetika, tradisi, dan agama/keyakinan masyarakat setempat sampai kepada lingkungan pergaulan masyarakat bangsa.
Pembaca, mari kita berbahasa Indonesia yang baik dan benar agar kita menjadi subjek penting dalam membangun bahasa Indonesia yang lebih bermutu dan bermartabat.
Semoga.
Hotel Purnama, Selekta, Kota Batu, Jumat malam, 8 Maret 2014