Minggu, 20 April 2014

PETINGGI PARTAI PECAH (PPP)



PETINGGI PARTAI PECAH (PPP)

Pohon silaturahim
Silaturahim itu aktifitas mulia. Kata silaturahim ini terdiri dari dua kata, yakni silat (silah) dan rahim (kasih sayang; rahmat), yang secara harfiah artinya hubungan sesama manusia berdasarkan kasih dan sayang. Secara term atau istilah, silaturahim adalah segala aktifitas manusia yang menjalin hubungan di Antara sesama manusia secara aktif berdasarkan kasih sayang untuk mencapai kehidupan yang damai.
Kasih sayang yang dimaksud bahwa di dalamnya ada toleransi, kejujuran, saling menghormati, dan tidak ada perselingkuhan (menohok kawan seiring; menggunting dalam lipatan; lain di mulut lain di hati).
Lahan silaturahim itu ada di mana-mana. Pelaku silaturahim itu siapa saja. Silaturahim itu bisa terjadi pada sesama level/setara (horizontal) dan bisa terjadi pada level bertingkat (vertical). Silaturahim dalam bentuk, gaya, model, dan corak yang dilakukan sah-sah saja.
Orang bijak sering bilang, silaturahim itu membuat orang panjang umur.
Allah memerintahkan manusia untuk menjalin hubungan yang intensif di antara manusia dan melarang manusia berpecah-belah. Manusia yang membangun dan memelihara silaturahim/bersatu-padu pasti akan kuat, dan manusia yang menjauhi silaturahim itu lambat-laun akan lemah dan pada akhirnya jatuh dan kemudian runtuh.
Setuju!
Pohon silaturahim berbuah lebat
Selagi tidak ada gawe nasional, para petinggi negeri tetap menegakkan silaturahim. Ada yang namanya Rapimnas, Rakernas, atau Rapim Terbatas, Pertemuan Empat Mata, sampai model blusukan yang lagi ngetren.
Selagi bakal ada gawe (perhelatan) nasional Pileg 2014 yang bakal dilaksanakan pada tanggal 9 April 2014, silaturahim lebih sibuk lagi dibangun. Orang yang sakit parah pun dibela-belain diobati asal dia punya hak memilih.
Pileg 2014. adalah gawe nasional kewajiban Pemerintah melaksanakan amanat Undang-Undang untuk memenuhi hak asasi dalam sebuah negara demokrasi. Pileg itu adalah sebuah pesta rakyat setiap lima tahun sekali.
Para petinggi Parpol pun mengambil ancang-ancang. Mereka akan berkampanye secara terbuka selama tiga minggu. Kampanye terbuka adalah ajang silaturahim para pemimpin dengan rakyat.
Petinggi parpol yang punya jabatan politis, minta izin cuti untuk kampanye. Seorang SBY yang RI-1 pun wajib minta izin cuti untuk kegiatan berkampanya karena SBY adalah Ketua Umum Partai Demokrat (PD). Jokowi, Gubernur DKI juga minta izin cuti dari jabatan Gubernur DKI untuk berkampanye (blusukan nasional) karena dia dicalonkan sebagai Capres dari PDI-P.
POkoknya, semua petinggi parpol sibuk. Lebih sibuk lagi selama tiga minggu kampanye terbuka, 15 Maret s.d.  5 April 2014. Kita seperti sedang berpesta dan begitu mudah bertemu dengan para petinggi negara.
Sebagian rakyat yang hampir tak pernah melihat wajah SBY dan Budiono,
RI-1 dan RI-2, belum pernah lihat wajah beliau di layar tv (memang nggak punya tv), eh, malah bisa bersalaman dengan SBY dan Budiono yang blusukan ke desa atau dusun tempat mereka berdomisili. Mereka rasa-rasa bermimpi. Tidak, mereka tidak bermimpi. Mereka gembira campur haru. Kehangatan tangan SBY, Bu Ani, dan Budiono masih terasa, bahkan sampai beliau pergi dari desa dan dusun mereka.
Sampai tiba masanya Hari H Pileg 2014, Rabu, 9 April 2014.
Memang, peristiwanya terjadi selama kurang lebih tujuh jam saja pada hari yang bersejarah itu. Memang hanya dua atau tiga menit saja berada di dalam bilik suara. Memang hanya sekian detik saja waktu yang dibutuhkan untuk mencoblos.
Akan tetapi, waktu pada hari itu, pada jam-jam itu, pada menit dan detik-detik itu, akan membawa pengaruh besar kepada nasib negeri tercinta selama lima tahun (2014-2019).
Berkat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek), informasi, dan komunikasi (technology, information, communication; TIC; TIK), metode quick count digunakan, dan hanya butuh waktu dua jam atau lebih, hasil pileg sudah dapat diketahui, walaupun belum resmi dan sah.
Umumnya, para petinggi parpol dari 12 parpol sebagian besar boleh sedikit tersenyum melihat pergerakan angka dalam quick count. Sore harinya, mereka tersenyum lebih lebar, sementara empat petinggi, agak sedih dan senyum kecut dengan hasil perolehan suara.
Mereka yang tersenyum adalah Ibu Mega dari PDI-P, ARB dari Golkar, Prabowo dari Gerindra, Muhaimin dari PKB, Hatta Rajasa dari PAN, SDA dari PPP. Empat orang Ketum parpol yang agak kecut senyumnya adalah SBY dari PD, Anis Matta dari PKS, MS Ka’ban dari PBB, dan Sutiyoso dari PKPI.
Siapa yang banyak menanam benih, merawat, dan membangun silaturahim secara intesif, dia menuai/memanen buahnya: suara rakyat yang diraup lebih banyak. Itu pertanda pohon silaturahim lebih kokoh berdaun rimbun dan
berbuah  lebat.

Pohon silaturahim tinggi buahnya jarang
Petinggi Partai Pecah (PPP)
Suryadarma Ali (SDA) adalah Ketum Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang punya jargon partai yang rahmatin lil alamin. Dia tentu bisa jumawa berkata, “Saya di atas Anda” disingkat “SDA” juga, biar sama dengan singkatan namanya sendiri.
SDA yang “SDA” dan merasa jumawa berjalan sendiri bersilaturahim karena motto SDA-nya. Paling-paling yang menemani SDA bersafari dan bersilaturahim konco dewek yang setia, Nur Iskandar, SQ. (kiai dan politikus; peran kedua-duanya tanggung).
Tanggal 27 Maret 2014, SDA bersilaturahim dengan jargon rahamatan lil alamin-nya. SDA begitu pede bergabung dengan Gerindra dan Prabowo di GBK. Urusannya kampanye akbar punya Gerindra. SDA yang Ketum PPP, berjas kebesaran dan warna hijau  dan konco-konco ikut berteriak-teriak dengan yel-yel membesarkan Prabowo dan Gerindra.
Rahmatan lil alamin dan Rahmat Yasin
Rahmat Yasin, kader dan Ketua DPC PPP, Bupati Bogor dua periode, berang dan meradang melihat tingkah polah Ketum-nya yang berkampanye untuk Prabowo, padahal dia dan para kader PPP di daerah sedang berjuang berdarah-darah mengawal perhitungan suara usai Pileg 9 April.
Rahmat Yasin mengontak teman-teman sesama kader PPP di daerah-daerah dan membahas ulah SDA “Sang Bos” yang jauh dari rahmatan lil alamin.
“Loh, kok SDA berkampanye untuk Gerindra, sih?” tanya salah satu kader PPP di seberang telepon heran.
“Itu dia, Kawan! Kita harus kumpul! Saya bersedia menjadi pengundang dan ketempatan. Ini agenda penting!” Kata Rahmat Yasin.
Rahmat Yasin dan kawan-kawan Ketua DPW dan Ketua DPC pun berkumpul dan membahas ulah SDA yang sudah terlalu jauh melangkah tanpa bicara ba bi bu dengan semua petinggi PPP.
Yang hadir memang lebih banyak yang menentang kebijakan SDA daripada pendukung SDA dalam rapat itu. Ada juga yang bersikap netral.
“SDA bikin masalah besar buat Rumah Besar Kita, PPP!” ujar salah seorang fungsionaris PPP ketus.
“Buat saja surat mosi tidak percaya kepada SDA!” teriak kader yang lain.
“Emang masalah buat ellu? Itu urusan SDA, tau!” tangkis konco fanatik SDA.
“Masalah dong! SDA itu Ketum PPP! Kenapa SDA berkampanye untuk orang lain dan parpol lain? Teman-teman fungsionaris di 33 provinsi berjuang sampai berdarah-darah berkampanye untuk PPP, kok SDA sapenake dewek berkampanye untuk Gerindra dan Prabowo?” balas fungsionaris PPP jengkel.
“SDA itu kan Ketum PPP yang paling berwenang dan memiliki kewenangan mau ke mana PPP mendukung, berada di mana PPP duduk, dan mendukung siapa Capres yang dianggap cocok dengan PPP, paham?”
“Lihat SDA dan konco setianya itu memakai jas kebesaran PPP! Lihat emblem dan name tag di dadanya! Dia tidak pantas memakai jas kebesaran PPP di panggung kampanye parpol lain. Lagak SDA bagaikan badut politik! Orang awam akan menertawainya, paham!”

PPP di PPP
SDA semakin jumawa setelah raihan suara PPP mencapai angka 6,7% versi quick count. Kelakuannya berpolitik makin kelihatan arah mana yang dia ingin lalui dan dituju. Tentu saja pesona Prabowo membuat dia terpikat, seakan menariknya mendekat, dan akhirnya membuat SDA makin merapat.
Politik adalah sebuah seni, benar. Politik adalah multiprobabilities, benar. Politik adalah kekuasaan, benar, dan satu lagi, politik itu kotor, juga benar!
Tanpa melalui komunikasi dengan para fungsionaris PPP yang notabene adalah para koleganya dalam system kepemimpinan PPP yang kolegial, SDA mengundang Prabowo ke rumah besar PPP, kantor pusat PPP, Jln. Diponegoro, Menteng, Jakarta Pusat, Jumat, 17 April 2014.
SDA pun berulah bak laku innocence chairman (Ketum tak berdosa). Dia berpidato membentuk sebuah opini dewekan. Katanya, semua pengurus dan fungsionaris DPP PPP memberikan mandat kepada dia untuk menentukan pilihan untuk teman berkoalisi, siapa lagi kalau bukan Prabowo dengan Gerindranya. Prabowo pun terharu dan itu adalah kehormatan besar baginya. Probowo dan SDA pun cipika-cipiki dan saling menggengam tangan erat-erat kemudian mengacungkan genggaman tangan ke udara.
Koalisinya diberi nama Gabah. Nama Gabah hanya SDA yang paling paham maknanya. Keputusan SDA itu lonjong bahkan gepeng tak beraturan.
SDA telah melakukan silaturahmi yang keliru yang membawa mudarat bagi dirinya dan PPP sebagai parpol besar, serta kekecewaan konstituen dan rakyat pencinta fanatik PPP.
SDA merasa semakin tinggi, hanya saja, dia ibarat sebuah pohon yang tinggi tetapi berbuah jarang, daun-daunnya rontok berjatuhan, dan akhirnya menjadi pohon yang mandul.
Buktinya, aksi individunya mengundang Prabowo di rumah besar PPP, bersatemen mendukung penuh Prabowo, didukung konco setianya, berbuah reaksi keras dari fungsionaris DPP dan juga 22 DPW.
Mereka, para penentang langkah SDA, mendadak mengadakan Rapimnas DPP, bertempat di rumah besar mereka pula, Sabtu malam sampai Minggu dinihari, 19 dan 20 April 2014 . SDA memang diundang tetapi dia tidak sudi hadir. Justru yang datang adalah para pemuda yang seperti bolo ngeluruk ke ruang pertemuan tempat Rapimnas. Para bolo ini podo ngluruk berusaha menggagalkan Rapimnas. Namun para peserta rapat tetap fight, the show must go on, menghasilkan keputusan yang bulat.
Opo toh keputusane Rapimnas PPP?
Keputusan Rapimnas adalah, tidak sampai kepada pemakzulan/pencopotan (impeachment) SDA, tetapi cukup pemandulan SDA saja. Emron Pangkapi, Zarkasih Noor, Romahurmuzy, dan Luqman Hakim Syaifuddin, dkk, mengeluarkan keputusan penting melalui legal action Rapimnas, demi keutuhan PPP agar jangan sampai PPP berlarut-larut..
Salah bersilaturahim, tidak berdasarkan rasa cinta kepada saudara, kolega, atau publik, tetapi lebih didasarkan kepada kepentingan dewekan, kelompok, golongan, dan gerbong sendiri, dampaknya tidak akan berumur panjang.
Silaturahim itu dasarnya hubungan cinta dan kasih sayang yang tulus, insya Allah prosesnya akan berjalan mulus.
Amin.
Jakarta, 20 April 2014

Rabu, 16 April 2014

TAUSIAH DARI MAS MANGUN UNTUK PARA USTAZ




TAUSIAH DARI MAS MANGUN UNTUK PARA USTAZ

Pengantar

Yang udah-udah, yang lazim terjadi di majelis taklim atau pengajian yang dihelat, ustaz atau kiai atau habib menyampaikan tausiah dan para jemaah yang setia mendengarkan tausiah. Emang sebenarnya sih begitu. Yang bertausiah itu tentu yang lebih alim (berilmu agama) daripada yang ditausiahi (jemaah; audiens; pendengar). Orang yang alim (dalam hal pengetahuan agama Islam) itu lebih kompeten dalam bertausiah daripada yang awam. Model penyampaiannya, 0ne-way traffics (satu arah) dan metodenya 99% ceramah. Medianya mulut dan kuping. Outputnya, sebagian yang didengar tak ingat lagi (lupa). Yah, namanya juga ngaji kuping. Paling-paling juga hanya kesan: ustaznya kocak, fasih, dan heboh.
Itu tradisi dan paradigma lama.
Mari kita ubah dengan tradisi baru dengan cara baru. Seorang jemaah yang rajin hadir di pengajian diberi kesempatan, sebutlah namanya, Mas Mangun begitu. Mas Mangun  menyampaikan tausiah dan jemaahnya adalah para ustaz dan kiai yang biasa bertausiah. Sekali-sekali mereka disuruh duduk bareng dan disuruh menyimak materi tausiah. Maksudnya, agar pata ustaz itu ikut merasakan diceramahi orang lain. Agar mereka dapat belajar/mengalami langsung enak tidak enak, nyaman tidak nyamannya duduk bareng orang lain sebagai Jemaah.
Model pendekatan tausiah Mas Mangun adalah pendekatan aktif-partisipatif multi-ways traffics, dan metodenya tanya jawab dan sharing ideas and knowledge. Sebagai model pembelajaran dalam kegiatan tausiah itu, Mas Mangun menghadirkan orang-orang dari berbagai profesi: ada Polantas, ada petani, sopir, Guru SD, pramugari aktif, dan seorang pensiunan PNS. Mas Mangun memperkenalkan identitas para model itu.
Para model ini duduk bareng bergabung dengan para ustaz yang menjadi audiens kegiatan tausiah. Para ustaz agak kikuk juga dengan kehadiran para model yang hadir. Para ustaz belum paham maksud Mas Mangun, mengapa mereka, para model itu, dihadirkan dalam kegiatan tausiah. Tetapi mereka tak bertanya, hanya menyimpan rasa penasaran di dalam hati.
Mas Mangun  membiarkan para ustaz dihinggapi rasa penasaran (rasa ingin tahu). Rasa ingin tahu itu adalah modal awal dalam proses pembelajaran, meski pembelajaran bertajuk tausiah.

Tausiah Mas Mangun di hadapan para kiai, habib, dan ustaz
Kita simak tausiah Mas Mangun.
Mang Mangun memulai tausiahnya dengan ucapan salam, basmalah, hamdalah singkat (Bahasa lisan agak medhok). Mas Mangun merujuk ayat Quran thok! (tidak menggunakan rujukan hadis sahih dari siapa pun untuk mencegah adanya kontradiksi dan keraguan jemaah) yang sering dilontarkan oleh para ustaz dan kiai yang sekarang menjadi audiens tausiahnya.
Mari kita simak materi yang disampaikan oleh Mas Mangun si pemberi tausiah, QS 3; 133.
Wa saari’uu ilaa maghfiratun mir rabbikum wa jannah, ardhuhas samaawaati wal ardhi, ‘u’iddat lil muttaqiin.”
Dan bersegeralah mencari ampunan Tuhanmu dan (bersegeralah ke) sorga yang luasnya sama dengan bumi dan langit, disediakan (khusus) bagi orang-orang yang bertakwa.
            Mas Mangun melanjutkan tausiahnya.
“Para hadirin, kebetulan jemaah yang mendengarkan tausiah saya ini adalah para kiai, habib, dan ustaz yang sudah malang-melintang berceramah di jagat pengajian, dari pengajian di kampung sampai pengajian yang ditayang di layar tv.
Materi tausiah ini, yakni ayat Quran yang saya sampaikan ini sering sekali saya dengar dan begitu fasih dilafal oleh para kiai, habib, dan ustaz. Akan tetapi materi itu hanya sampai di situ saja. Tak ada penjelasan tambahan yang membuat Jemaah itu dapat menjabarkannya. Kami, para Jemaah, dibiarkan tetap dalam ketidakjelasan. Kiai, habib, dan ustaz kehabisan waktu dan terburu-buru karena harus berceramah lagi di dua atau tiga tempat lagi di tempat lain.
“Hadirin, kiai mohon maaf tak bisa lama-lama di sini. Jemaah kiai di taklim anu dan di taklim ono sedang menunggu kiai. Kan kiai nggak enak hati ditunggu oleh mereka. Syukron katsiir. Wassalamu alaikum wr. Wb.”
Mas Mangun menirukan ucapan perpisahan seorang kiai beken. Mas Mangun tidak lupa memeragakan gaya kiai pamit, menerima amplop sambil mengucap syukron katsiir berulang kali sembari melempar senyum, dan bergegas pergi menuju ke tempat taklim yang baru.
Para ustaz memperhatikan gayanya meniru kiai beken. Ada yang tersenyum kecut, ada yang cengar-cengir, dan ada yang tersipu malu dan menunduk.
“Mas Mangun nyindir ane nih!” gumamnya.
Mas Mangun kemudian melanjutkan tausiahnya berupa materi ayat yang telah dia lafalkan (rada-rada medhok logat Jawa Tengahnya).
“Bersegeralah mencari ampunan Tuhan, maksudnya bagaimana?"
Mas Mangun bertanya dengan gaya retorika.
Berlarikah? Bermobilkah? Berpesawatkah? Mencari ampunan Tuhan itu di mana kalau memang harus dikejar? Di Masjidkah? Di seberang pulaukah? Di rumah kiaikah?”
Para kiai, habib, dan ustaz yang biasa cuap-cuap terdiam dibombardir dengan pertanyaan seperti itu. Mereka boleh menjawab dan boleh juga tidak, tetapi mereka seperti ditohok di ulu hati. Mereka tercenung. Kiai, habib, dan ustaz yang biasa cuap-cuap memimpin salawatan dan memberi tausiah saling pandang satu sama lain.
Kenape Mas Mangun kudu nanyain sampe ngelotok kayak begitu, ye?” tanya seorang habib berdarah Betawi kelahiran Kwitang.
Di mane ye? Ane bingung juga nih ngejawabnye.” ujar seorang kiai muda berdarah Betawi asli dari Gandaria.
Iye ye. Ane kaga nyangke kalo bakal ade pertanyaan kayak gitu,” imbuh kiai tua yang pipinya sudah kempot.
“Mas Mangun, sudahlah, lanjutkan saja. Nanti di rumah saya buka lagi kitab kuning!” menyela seorang ustaz yang namanya sudah mulai naik daun.
“Betul, Mas Mangun. Saya penasaran ingin tahu!” sambut seorang ustazah beken.
“Ya ya ya! Hadirin bingung, ya? Kalau ustaz, kiai, dan habib saja bingung, bagaimana dengan saya dan Jemaah awan lainnya?” Mas Mangun bertanya dengan gaya retorika.
“Begitulah yang terjadi dengan saya dan teman-teman sesama jemaah ketika mengikuti tausiah para kiai, habib, dan ustaz. Kami hanya menjadi pendengar  setiap kali mengikuti tausiah. Kami tak mampu memahami apatah lagi  menjabarkan. Soalnya para kiai, habib, dan ustaz juga tidak pernah memberi penjelasan!” lanjut Mas Mangun dengan nada mengkritisi.
Mas Mangun mengumpulkan kekuatan kata-kata dan kalimat dalam jeda beberapa saat.
“Saya ambil contoh pernyataan tausiah seorang Habib mengutip ayat Quran dalam kalimat seperti berikut ini. Bersegera mencari/memperoleh ampunan dari Tuhan dan sorga yang telah disediakan bagi orang-orang yang bertakwa.
Bersegera itu caranya bagaimana, ampunan Tuhan itu ada di mana dan dalam bentuk apa, kan tidak pernah dijelaskan!”
Kalimat-kalimat Mas Mangun yang terlontar itu bagai ujung alu yang menumbuk ke ulu hati. Sebuah kritikan yang sangat pedas. Sang Habib yang pernah bertausiah mengucapkan ayat Quran dan terjemahannya itu ada di hadapan Mas Mangun. Dia tampak terhenyak disodok dengan kritikan oleh seorang Mas Mangun yang notabene adalah jemaah biasa.
Ya, selama ini para kiai, habib, dan ustaz terlena dengan keasyikan sendiri, berceramah dengan gaya masing-masing, metode satu arah, pendekatan ortodoks sampai selesai, terima honor, lalu pergi.Mereka kurang peduli ada atau tidaknya output yang bermanfaat dari tausiah mereka.

Mas Mangun melanjutkan dengan semangat yang masih tetap tinggi. Suaranya masih tetap nyaring berkicau zonder serak-serak atau parau.
“Hadirin sekalian, para habib, kiai, dan ustaz yang saya hormati. Meskipun sebuah kegiatan ceramah, semestinya kita memperhatikan audiens. Para jemaah yang diceramahi itu ada di bumi alias manusia bumi bukan makhluk penghuni nirwana atau dirgantara. Bumilah tempat mereka berpijak, mencari nafkah, istirahat, dan bersosialisasi. Ceramah itu untuk orang bumi, bukan untuk makhluk lain di luar bumi, agar supaya dipahami dan diamalkan. Ceramah para kiai, habib, ustaz, ya, hadirin yang sekarang berada di depan saya ini, harusnya membumi. Bahasa yang dipakai, analogi, contoh-contoh, dll. itu diambil dari kehidupan makhluk bumi. Lebih tepatnya, manusia sekarang ini, manusia yang hidup pada zaman TIK, kita ini, yang hidup di kota besar.
Bagaimana mau nyambung kalau isi tausiahnya mengambil rujukan kitab kuning yang usianya sudah ratusan tahun. Bagaimana mau nyambung kalau contoh orang-orang teladan atau orang jahat adalah orang-orang yang hidup pada zaman kuda gigit besi. Para jemaah itu tidak ada yang kenal orang zaman dulu.Kan banyak manusia teladan atau manusia jahat yang hidup sezaman dengan kita yang bisa dijadikan contoh tentang manusia teladan dan manusia jahat. Mengapa tidak mereka ini yang dijadikan contoh dalam tausiah?”
Mas Mangun berhenti sejenak. Dia menjumput gelas di atas mimbar dan mereguk air putih dari gelas itu untuk membasahi kerongkongannya. Seorang audiens, seorang ustaz muda yang sedang naik daun tampak manggut-manggut sambil berpikir.
“Benar juga ya, kata Mas Mangun.” 0cehnya sambil bergumam.
Si ustaz muda itu merasa disentil. Memang dia dalam ceramahnya, sering dan doyan mengambil contoh manusia teladan atau jahat itu manusia yang hidup pada zaman dinasti Umayyah atau Abbasiah.  Seteleh mendengar tausiah Mas Mangun, baru dia paham, bahwa selama ini ceramahnya lebih banyak tak sampai karena tak dipahami. Dia mengakui bahwa memang dia tidak begitu peduli dengan daya tangkap audiens.
“Saya memang kompeten tentang ilmu syariah, tetapi, sumpah, saya miskin psikologi massa!” keluh sang ustaz muda kepada diri sendiri
Seperti dia juga kelakuan para kiai, habib, dan ustaz yang ternama berceramah di hadapan para jemaah di majelis taklim atau yang sering muncul di layar kaca. Mas Mangun sebagai jemaah merasakannya.
Mas Mangun melanjutkan. Waktu yang tersedia tak lebih dari sepuluh menit lagi.
Penjabaran kalimat perintah ‘bersegera mencari/memperoleh/menuju ampunan Tuhan dan sorga …. itu adalah sebagai berikut:   
’Kita harus tetap hidup (eksis). Oleh karena itu kita harus bekerja. Profesi apa pun pilihan dan/atau yang kita miliki: : petani, guru, polisi, tentara, karyawan, sopir, pilot, nelayan, buruh, pramugari, dll. Para model itu akan saya hadirkan di sini sebagai model pembelajaran. Kita lebih getol bekerja sesuai dengan profesi dan pekerjaan yang kita sandang!” (bukan hanya bersegera kepada salat, puasa, berzakat, mengaji, atau berhaji)
Mas Mangun mengundang beberapa orang model yang hadir. Mereka diminta berbicara tentang kesibukan masing-masing sehari-hari. Kesempatan pertama adalah seorang petani, Pak Giman namanya. Pak Giman pun berbicara.
“Kita harus mencari nafkah agar kita bisa hidup layak. Saya seorang petani di desa. Seya berangkat pagi-pagi ke sawah saya, membawa cangkul, sabit, dan parang. Saya mencangkul tanah, menyiangi rumput, menanam benih, atau menebang. Saya harus merawat dan menjaga tanaman dengan tekun. Pendek kata, semua pekerjaan di sawah, menjadi petani yang giat bekerja di sawah. Alhamdulillah, saya selalu sehat dan berkat kerja keras itu, hasil panen berkualitas dan melimpah. Sebagian hasil panen saya jual dan sebagiannya lagi disisakan untuk makan dan persiapan bibit. Saya dan keluarga merasa gembira. Saya merasakan sorga, dan saya yakin itu semua karena rida Allah.” Dia menghela nafas sejenak dan kemudian dia melanjutkan.
“Waktu untuk mengikuti pengajian hampir tidak ada yang tersisa.  Apakah salah jika saya dan keluarga tidak bisa ikut pengajian?” ujarnya beretorika.
Giliran seorang Guru SD, namanya Pak Sobir, diberi kesempatan berbicara.
“Saya seorang Guru SD. Saya mengajar di Kelas 5. Saya berangkat ke SD tempat mengajar pukul 05.30 pagi. Saya berangkat lebih awal waktu karena khawatir dihadang kemacetan. Itulah sikap hidup dan nilai yang saya jadikan kebiasaan dan budaya. Saya merasa malu jika kalah cepat sampai dan lebih malu lagi jika terlambat.Saya selalu sampai di sekolah terdahulu dari teman-teman guru yang lain. Saya bisa melakukan pekerjaan lain yang bermanfaat sebelum mengajar. Saya bisa membaca-baca, menulis, menata meja kerja, menyapa para siswa, menegur, memotivasi siswa, mengobrol dengan orang tua/wali murid Kelas 1, berdiskusi dengan satu dua teman guru, dan masih sempat memeriksa kebersihan dan kerapian para siswa setiap pagi.
Alhamdulillah, kegiatan rutin yang menurut saya baik itu, ditanggapi dengan baik oleh semua warga sekolah. Semua siswa suka, teman-teman guru menanggapi secara positif, kepala sekolah pun mendukung, dan orang tua bersimpati. Sikap dan budaya saya menambah motivasi semua warga sekolah.
Saya tidak merasa bangga apa lagi membangga-banggakan diri, tetapi saya merasa senang karena tradisi baik yang saya tegakkan sebagai guru di SD. Saya tidak berharap dipuji dengan pujian dan memang tak layak dipuji, tetapi tradisi saya dianggap “uswatun hasanah” dan diikuti oleh warga sekolah yang lain. Itulah “sorga” saya sebagai guru dan saya yakin itu adalah rida Allah.”
“Sekali dua kali saya ikut pengajian kalau ada waktu luang. Apakah kalau saya jarang ikut pengajian terus kehilangan pahala kebaikan?” tanya Pak Sobir beretorika pula dan menutup uraiannya.
Model ketiga dan terakhir yang diberi kesempatan berbagi pengalaman hidup adalah seorang sopir angkot, namanya Bang Tagor Harahap. Tampilan Bang Tagor tak mirip seorang sopir angkot, tetapi mirip pegawai kantoran yang biasa bekerja di ruangan ber-AC.
“Hadirin, mari kita simak kisah pengalaman Bang Tagor sebagai sopir angkot sehari-hari.”
Bang Tagor berdiri tanpa perasaan kikuk atau grogi. Pede banget die!
“Saya berangkat ke pool usai salat Subuh, sekitar pukul 5 pagi hari setiap hari. Ketika saya sampai di pool, belum ada satu pun rekan sopir yang ada. Biasalah, mereka sampai ketika matahari sudah nongol di ufuk timur sana. Satpam pool sudah hafal sekali dengan kebiasaan saya. Saya mencuci mobil, mengelap, dan membersihkan bagian dalam, mengecek  berfungsi atau tidak tiap komponen vital, mengecek solar, air, dan lain-lainnya. Setelah segalanya beres, dengan basmalah dan tawakal, saya pun keluar untuk memulai mencari nafkah yang sesungguhnya, mencari penumpang di jalan dnengan rute yang sudah ditentukan oleh pemerintah setempat.
Saya mengemudikan mobil seperti biasa dan tidak ada yang istimewa. Saya menarik calon penumpang dan menurunkan penumpang di halte atau tempat pemberhentian yang diperbolehkan. Saya sangat mengutamakan keselamatan penumpang, keselamatan saya sendiri, dan juga keselamatan pemakai jalan lainnya. Saya tidak pernah mengemudi di luar peraturan lalu-lintas, apa lagi sampai melanggar peraturan. Semua penumpang puas, teman-teman sesama sopir angkutan umum senang, pengendara atau pemakai jalan yang lain tak pernah mencaci, menegur, atau mengumpat saya. Pak Polantas pun tak pernah menyemprit, menilang, boro-boro mengandangkan mobil angkot saya.
Saya medapatkan uang untuk setoran dan uang lebih untuk dibawa pulang ke rumah. Tentu tidak banyak, tetapi cukuplah untuk biaya hidup keluarga saya. Saya merasakan kenyamanan dalam hidup sebagai sopir. Itulah sorga saya dan keluarga. Saya yakin itulah rida dari Allah.”
Bang TAgor jeda sejenak untuk mengatur pernafasan, mengelap butir-butir keringat, dan mengumpulkan kata-kata. Dia pun melanjutkan.
“Dengan kondisi seperti itu dan berprofesi sebagai sopir angkot, jarang sekali saya bisa ikut pengajian di majelis taklim. Apakah saya keliru jika jarang ikut pengajian? Apakah tidak layak memperoleh pahala kebaikan di luar kegiatan pengajian?”
Bang Tagor menutup tuturannya dengan beberapa pertanyaan yang menggelitik kuping para habib, kiai, dan ustaz yang ada di hadapannya.
Para habib, kiai, dan ustaz pun terpana. Para model pembelajaran itu adalah manusia, sama dengan mereka, yang butuh hidup layak, dan pastinya wajib mencari nafkah, bukan kewajiban mereka harus ikut pengajian.
Mereka yang rajin ikut pengajian tentulah mereka yang tidak punya banyak kesibukan dalam hidup mereka, boleh jadi para pensiunan, dan bukan tidak mungkin mereka berada dalam posisi setengah pengangguran, atau pengangguran mutlak.
Mas Mangun pun mengakhiri tausiahnya di hadapan ustaz, kiai, dan habib yang menjadi audiensnya hari itu dengan tausiah penutup yang menjadi simpulan.
“Rida Allah berlaku bagi siapa pun muslim dan apa pun profesinya. Harus kita yakini bahwa itulah wujud ampunan Allah yang diperintahkan mencari itu. Mencari ampunan Allah itu dengan bekerja, dengan berjuang, dan tunduk kepada peraturan yang berlaku di tempat bumi dipijak.
Sebaliknya, jika kita tidak tunduk kepada peraturan yang ada: petani malas, guru SD malas, dan sopir ogah-ogahan, dan lain-lain yang negatif itu semua adalah pelanggaran. Apa akibatnya bagi masing-masing?
Tanaman petani diserang hama, tunjangan profesi guru dipotong, dan sopir tak dapat uang untuk setoran adalah sanksi nyata dalam kehidupan sehari-hari. Mungkinkah Allah rida kepada hamba-Nya yang malas-malasan? Tentu tidak mungkin Allah menurunkan hujan uang atau emas berlian dari langit untuk hamba-Nya yang pemalas.
Hidup adalah bekerja (praktik amaliah) secara proporsional sesuai dengan tuntutan profesi dan itulah wujud pengabdian hamba yang muslim kepada Allah. Tentu rida Allah menyertai dan itu wajib diyakini. Kita merasakannya secara nyata, bukan lagi utopia, bukan impian, dan bukanlah khayalan.
Ya, hidup berkeluarga yang mapan dan berkualitas, ada istri/suami, anak-anak, dan mungkin ada anak yatim atau anak asuh. Sebuah keluarga yang sejahtera. Kebutuhan keluarga terpenuhi, Perasaan aman dan nyaman dalam segala kondisi di mana pun berada.
Kehidupan yang baik yang dilakoni di dunia itu adalah balasan dari Allah (ridanya Allah; ampunan-Nya; dicintai Allah) karena kita selalu menegakkan perintah-Nya.”
Bagaimana kesan para ustaz yang biasa berceramah itu terhadap model tausiah Mas Mangun yang notabene hanyalah seorang peserta pengajian?
Para ustaz yang menjadi audiens kegiatan tausiah Mas Mangun terkesima. Tak ada satu pun di antara mereka yang bertanya padahal mereka diberi waktu dalam sesi tanya jawab. Entah karena sudah paham, entah tidak paham, entah malu hati dan menjaga gengsi, para ustaz hanya saling pandang, saling bisik-bisik, atau menundukkan wajah.
Boleh jadi, mereka memperoleh pembelajaran dari tausiah Mas Mangun. Mereka boleh jadi berintrospeksi diri, bahwa tausiah mereka ala mengaji kuping selama ini kurang efektif. Boleh jadi mereka malu hati, honor mereka bertausiah, dengan atribut ustaz ternama atau ustaz kondang, nilainya sangat besar, tak pernah dipotong serupiah pun, tetapi output tausiahnya tidak jelas.
“Mas Mangun itu jemaah pengajian di taklim ane, Bib! Ane seneng banget deh jemaah ane pinter-pinter. Kagak sie-sie ane ngajar!” seorang kiai berusia muda kelahiran Betawi asli nyeletuk dengan rada-rada bangga ke habib yang berjalan di sampingnya.
“Besok-besok ane mau belajar lagi tentang cara bertausiah yang efektif. Ane malu ame Mas Mangun. Die emang pernah juga sih ikut pengajian di majelis taklim ane. Nyatenye ikhwal metode tausiah, die lebih mahir dari Ane.” oceh Habib yang punya majelis taklim kepada Pak Sobir dan Bang Tagor Harahap.
“Syukurlah Antum mahfum, Habib!” sambut Bang Tagor Harahap.
“Besok-besok Habib bertausiah bawa model buat contoh, ye, Bib. Model-model itu dari jemaah aja. Suruh tuh model pade ngomong semenit dua menit. Habib tausiahnya jadi efisen, kagak kecapean atau ngos-ngosan kebanyakan ngomong. Eh, maaf ya, Bib. Saya hanya mengkritisi aja. Jangan marah, ya, Bib!” imbuh Pak Sobir sambil menyalami tangan Habib dengan penuh kehangatan.
Iye dah, Ane mahfum, Antum bener!” jawab Habib.
Jakarta, 12 Februari 2014

Selasa, 15 April 2014

KEBENARAN DAN PEMBENARAN




KEBENARAN DAN PEMBENARAN
Kebenaran
Kebenaran itu ada yang mutlak ada yang relatif (nisbi). Kebenaran mutlak adalah kebenaran yang datang dari Allah. Kebenaran mutlak ada di mana-mana, baik dalam wujud fakta, tanda/lambang, kode, isyarat, ataupun pernyataan-pernyataan.
Contoh:
Waktu/durasi bumi mengelilingi porosnya lamanya 24 jam. Durasi bumi mengelilingi matahari 365 hari.
Semua planet mengelilingi matahari. Rembulan adalah satelit bumi. Durasi bulan mengelilingi planet bumi lamanya 29 hari atau 30 hari.
Sperma yang membuahi ovum calon embrio bayi manusia hanya satu sel saja dari berjuta-juta sel sperma.
Bayi berada dalam kandungan/rahim ibunya.
Bayi dilahirkan oleh ibunya. Suara bayi yang pertama terdengar adalah suara tangisannya.
Ada air (H2O) dan oksigen (O2) di bumi.
Binatang carnivora pemakan daging. Binatang herbivora pemakan rumput. Binatang mamalia beranak dan menyusui. Ikan air laut hanya dapat bertahan hidup di dalam air laut. Ikan air tawar hanya dapat bertahan hidup di dalam air tawar. Dll.
Kebenaran mutlak bersifat universal dan abadi.
Kebenaran yang relatif (nisbi) adalah kebenaran yang datang dari manusia, baik dari orang per orang, kelompok, kaum, golongan, atau bangsa. Kebenaran relatif itu hasil cipta olah pikir, olah rasa, dan olah raga manusia. Oleh karena itu kebenaran yang relatif itu bisa bersifat individual, bisa temporer (berumur pendek, sementara), dan bisa pula bersifat lokal (setempat). Sering kali kebenaran relatif  ini dijadikan sebagai agama/keyakinan.
Contoh:
Pandangan orang Indonesia tentang warna. Warna merah berarti berani. Warna putih berarti suci. Warna hitam berarti berkabung.
Bagaimana dengan pandangan orang di luar Indonesia tentang warna merah dan putih? Samakah, atau berbeda?
Jika dikaitkan dengan dunia lalu-lintas, kebenaran tentang warna berubah disikapi dan hanya ada tiga warna: merah artinya berhenti; kuning artinya hati-hati; hijau artinya boleh jalan.
Pandangan orang Jepang tentang harakiri (bunuh diri). Harakiri itu mulia.
Pandangan orang jahiliah di Indonesia pra-Islam tentang menanam kepala kerbau untuk tumbal membangun sesuatu. Agar bangunan atau jembatan yang dibangun aman dan nyaman, perlu ditanam kepala kerbau sebagai tumbal.
Pandangan umat Hindu di India tentang Sungai Gangga yang dianggap sebagai sungai suci yang airnya dapat menyucikan dosa.
Bagaimana pandangan umat Hindu Bali tentang Sungai Gangga?
Kebenaran relatif yang paling valid, sahih, dan kuat adalah kebenaran ilmiah.
Contoh:
Dalil Arhimedes; Dalil Phytagoras; Teori Relativitas; Hukum Pascal; Hukum Boyle; Hukum Permintaan-Penawaran; dll.

Kebenaran dan Pembenaran itu Berbeda
Kebenaran sejarah
Muhammad (Nabi Muhammad saw) adalah manusia biasa. Dia datang dari suku Quraisy bangsa Arab. Dia lahir/dilahirkan pada hari Senin, 12 bulan Rabiul Awal Tahun Gajah (bukan kalender Gajah!). Artinya, kalender tetap belum dikenal pada zaman itu.
Siapa yang mencatat peristiwa kelahiran bayi Muhammad?
Siapa yang care (peduli) dengan kelahiran bayi ketika orang pada zaman itu umat yang ummiyy (buta huruf)?
Setelah tumbuh menjadi dewasa, berkiprah di tengah masyarakat, diangkat menjadi rasul, berdakwah, fight (berjuang), dan kemudian sukses dalam meniti kehidupan dan mengubah peradaban manusia, baru para peniliti dan ahli sejarah sibuk.
Ahli sejarah kemudian meneliti dengan cermat biografi kehidupannya dari A sampai Z, dari peristiwa kelahiran Muhammad sampai hari wafatnya. Mereka meneliti dan kemudian menghubungkan/mencocokkan biografi Muhammad dengan perhitungan Kalender Masehi. Kelahiran Muhammad, hari Senin tanggal 12 Rabiul Awal itu ternyata bertepatan dengan tanggal 21 April 570 M. (tahun Masehi). Ini namanya kebenaran ilmiah perihal sejarah.
Peristiwa yang sama, yakni kelahiran Muhammad, dinamai berbeda, ya, sah-sah saja. Orang Arab yang berbahasa Arab, hari kelahiran (maulud; maulid) itu disebutnya itsnin (hari kedua; orang Indonesia asli menyebutnya Senin; Istilah Senin itu juga dikenal setelah datangnya Islam ke Indonesia. Era Indonesia zaman Hindu tentu bukan Senin karena Senin tidak dikenal. Lebih-lebih Monday atau Montag). Begitu pun dengan nama bulan Rabiul Awal. Bagi ahli sejarah umumnya, juga orang awam, nama Rabiul Awal sama sekali tidak dikenal. Mereka ini telah lebih dahulu mengenal kalender Masehi (dimulai pada abad V oleh Julius Caesar). Oleh karena itu, mereka menyampaikan informasi tentang peristiwa kelahiran Muhammad menggunakan kalender Masehi, 21 April 570 M., bukan dengan kalender Hijriyah atau kalender Tahun Gajah.
Tentang Tahun Gajah, apa ada perhitungan kalender Tahun Gajah?
Ya, tak ada. Orang Arab belum mengenal kalender dan pastinya tak punya kalender definitif.
Ketika Muhammad lahir, Abrahah dari Yaman dengan tentara bergajah (gajah dalam bahasa Arab disebut al-fiil) menyerbu Mekkah dengan tujuan menghancurkan Ka’bah (lihat QS 105: 1 s.d. 6). Karena orang Arab belum punya kalender definitif, gampangnya, tahun kelahiran Muhammad dinamai saja Tahun Gajah.
Orang-orang tua di Bima, NTB, generasi 28 sampai 45, tak tahu persis hari, tanggal, dan tahun kelahiran anak-anaknya. Gampangnya menjawab kalau ditanya oleh aparatur desa, misalnya anaknya yang bernama Rahmah, kapan dilahirkan. Sang ibu akan menjawab, “Rahmah itu lahir pas keluarga saya sedang memasang tiang utama lumbung padi (jompa) di depan rumah saya.”
Kebenaran ilmiah peristiwa hari lahirnya Muhammad itu adalah, Senin, 12 Rabiul Awal Tahun Gajah, atau persis dengan Senin, 21 April 570 M.
Untuk diketahui pula, bahwa pada hari, tanggal, dan tahun itu, ribuan bayi lahir di muka bumi. Kalau bayi-bayi itu lahir di tanah Arab dan berbahasa Arab, tentu tanggal kelahirannya dicatat: Itsnin, itsna asyara sahru Rabiul Awal Sanah Al Fiil! Oleh orang Indonesia yang menggunakan Bahasa Indonesia, dicatat: Senin, 12 Rabiul Awal Tahun Gajah!
Lha, bagaimana kalau bayi-bayi itu lahir di Eropa, misalnya di UK yang berbahasa Inggris? Tentu mereka tidak akan pernah menulis: Itsnin, itsna asyara sahru Rabiul Awal Sanah Al Fiil, tetapi menulis: Monday, April 21, 570 M.
Right?

Pembenaran
Sejatinya, kata pembenaran itu proses mencari kebenaran, menelaah, mendapatkan, dan menampilkan kebenaran. Namun, artinya yang sejati ini dipelesetkan menjadi arti berkonotasi negatif. Mengapa begitu?
Pembenaran, sekarang ini, adalah upaya membenar-benarkan yang tidak benar, membungkus-bungkus yang kurang benar agar tertutup, atau menutup-nutupi yang benar dengan bungkusan yang tidak benar.
Pembenaran, sekarang ini, pembenaran itu berkaitan erat dengan interest pribadi, golongan, atau kelompok. mencari, mengada-ada, dan mengarang rujukan baru yang invalid, lalu menciptakan dalil invalid pula, dengan niat dan maksud menguatkan interest golongan sendiri, dan memengaruhi orang atau pihak lain.
Contoh:
Fakta hukum:
KPK menangkap tangan, menahan, menyidik, menyidangkan,memvonis, dan memidanakan Luthfi Hasan Ishaq (LHI), mantan Presiden PKS,  dengan kurungan penjara 18 tahun dan denda sekian-sekian.
Fahri Hamzah, Anggota Komisi III DPR dari Fraksi PKS, konco LHI, berbicara lantang atas nama hukum: UU tentang KPK salah; KPK sakit jiwa; Johan Budi, Jubir KPK tidak punya etika; dll.
Fahri Hamzah melakukan pembenaran sekaligus penyalahan. Para pembaca pasti tahu, pembenaran untuk siapa dan penyalahan untuk siapa. Yang jelas, pembenaran itu untuk interest dewekan dan tidak ragu melakukan penyalahan kepada wong liyo (pihak lain).
Fahri Hamzah pura-pura lupa, KPK menindak seseorang itu berpijak atas nama hukum yang universal dan kebenaran judisial dan material.

Pembenaran yang menyesatkan:
Membesarkan Hari Senin dan Bulan Rabiul Awal, Pengontetan Ajaran Islam yang Universal
Fakta Sejarah
Sunnatullah: manusia itu dari tiada, lalu ada, lalu tiada, lalu dibangkitkan (QS 2: 28; QS 80: 17 s.d. 22).
Nabi Ibrahim lahir/dilahirkan. Hari, tanggal, bulan, dan tahun berapa Nabi Ibrahim dilahirkan? Tak seorang pun yang tahu. Itu sama sekali tidak penting. Nabi Ibrahim seorang rasul Allah. Pasti dia manusia pilihan. Titik.
Nabi Ismail dan Nabi Ishaq lahir/dilahirkan. Hari, tanggal, bulan, dan tahun berapa Nabi Ismail dan Nabi Ishaq dilahirkan? Tak seorang pun yang tahu. Itu sama sekali tidak penting. Nabi Ismail dan Nabi Ishaq adalah rasul Allah. Pasti keduanya manusia pilihan. Pastilah akhlak keduanya akhlak mulia. Titik.
Keimanan kita semakin teguh bukan karena mengagung-agungkan hari kelahiran. Tak pernah ada kaitan kegiatan mengagung-agungkan hari kelahiran dengan keimanan, kelancaran, dan kesuksesan.
Semua urusan kelahiran, kematian, kiamat, dan kebangkitan itu hanyalah Allah Yang Maha Tahu karena Dia Yang Mahakuasa.
Begitu pun dengan para rasul Allah yang lain. Kok kita bisa mengatakan Nabi Ibrahim, Nabi Ismail, Nabi Ishak, Nabi Musa, dan nabi yang lain itu hebat padahal kita tidak tahu hari, tanggal, bulan, dan tahun kelahirannya?
Jangankan kita, generasi Abad XX, dan XXI, saudara-saudaranya, om, tante, bibi, uwak, dan tetangganya juga tak ada yang tahu.
“Jangankan hari, tanggal, dan bulan kelahiran Ismail bin Ibrahim. Hari, tanggal, dan bulan kelahiran sendiri juga saya tak tahu. Hari ini juga saya tak tahu namanya hari apa!” jawab seorang muda ketika ditanya oleh temannya.
(zaman Nabi Ismail, 2500 SM.)
Umat Islam, umat yang datang di dunia ini belakangan, juga sami mawon, tidak tahu hal-ikhwal kelahiran para nabi terdahulu. Umat Islam, kita ini, mengenal Nabi Ibrahim, Nabi Ismail, dan Nabi Ishak, serta para nabi terdahulu, sebagai manusia terbaik, berakhlak terbaik pada zamannya (itu sebabnya dipilih sebagai rasul Allah). Kita mengenal para rasul bukan karena tahu hari, tanggal, bulan, dan tahun kelahiran mereka.
Apakah kalau kita tahu terus kita menjadi hebat dan para rasul yang sudah tidak ada (wafat) itu menjadi lebih hebat?
Muhammad (Nabi Muhammad saw) lahir di Mekkah, Senin, 12 Rabiul Awal Tahun Gajah, atau 21 April 570 M. Bukan Muhammad saja yang lahir pada saat itu. Seusia Muhammad, ribuan bayi lahir di muka bumi pada jam, hari, tanggal, bulan, dan tahun yang sama.
Bahasa yang dipakai untuk mencatat atau mengucapkan pasti bahasa setempat. Mana ada orang tua di Italia yang anaknya, Roberto, lahir pada saat itu mengatakan atau mencatat: Roberto, yuladu yaumul  Itsnin, itsna asyara sahru Rabiul Awal, sanah al Fiil!
Muhammad, dalam perjalanan hidupnya sebagai orang Arab kelahiran Mekkah, sama dengan orang Arab yang lain kelahiran Mekkah: diserahkan penyusuannya kepada wanita desa selagai berusia balita, menggembala, berdagang, menikah, memiliki keturunan, dll. Tak ada keajaiban atau peristiwa ujug-ujug seperti peristiwa yang dialami seseorang dalam cerita dongeng atau cerita pewayangan. Ketika telah diangkat sebagai rasul pun, Muhammad tetaplah sosok asli Arab Quraisy Bani Abdul Mutthalib. Mengapa Muhammad yang ditunjuk sebagai rasul? Mengapa bukan sosok atau figur yang lain? Allah sajalah Yang Maha Mengetahui dan Mahakuasa.
Muhammad menjadi sosok dunia itu dilalui dengan perjuangan berdakwah selama 23 tahun. Dia menjadi sosok mendunia dan menjadi milik dunia, bukan saja umat Islam, tetapi umat nonmuslim pun mengakui. Ajarannya benar dan akhlaknya selama hidup itu agung (baca: akhlak mulia; teladan terbaik bagi umat manusia).
Tak ada satu pun orang di dunia ini mengatakan, bahwa kehebatan Muhammad itu karena lahir pada hari Senin tanggal 12 bulan Rabiul Awal Tahun Gajah! (kecuali pernyataan/fatwa segelintir oknum pengultus individu Muhammad saw).
Jadi lucu ala ketoprak Mataram atau dagelan Srimulat saja mungkin, bahwa ada orang memandang Hari Senin dan bulan Rabiul Awal itu adalah hari agung dan bulan agung karena pada hari dan bulan itu tokoh agung dilahirkan. Karena itulah, hari, tanggal, dan bulan itu harus diagungkan!
Maksud orang-orang ini, intinya, Maulid Nabi itu peristiwa hebat. Karena hebat, ya harus diingat-ingat dan haru selalu diperingati!
Pada awalnya sih benar, ucapannya dengan penuh keyakinan, yang hebat itu sosok Muhammad, akhlak Muhammad, dan keteladanan Muhammad. Eh, praktiknya: membesar-besarkan hari Senin dan bulan Rabiul Awal. Wujud kelakuannya, bikin fatwa kelebihan /fadhilah hari Senin dan bulan Rabiul Awal.
Ketokohan Muhammad saw yang mendunia  dengan ajaran Islam yang universal membawa kebenaran dibikin kontet, sempit, dan cupet dengan atribut berbau Arab yang lokal ala pembenaran dewekan.
Jakarta, 23 Januari 2013