Bahasa
Indonesia, Sejarah, dan Agama
WALI, WALI SONGO, WALI NEGERI, WALIKOTA, SAMPAI WALI
MURID
Komunikasi
Komunikasi
membangun silaturahim sebagai ejawantah
taat kepada Allah dan Rasul
Apa
kabar, para pembaca? Sebuah kalimat tanya dalam membangun komunikasi
Hari
ini saya menyapa pembaca untuk memulai komunikasi dengan pertanyaan di atas.
Ya, komunikasi dibangun dengan sesama manusia selagi masih hidup dan dikaruniai
Tuhan berupa kesehatan dan kekuatan dengan mengggunakan bahasa tulis.
Komunikasi lisan per telepon bisa saja, tetapi biayanya mahal banget. Mau beranjang sana untuk menemui
para pembaca, saya tak memiliki waktu, tidak mudah karena tak tahu alamat
rumah, kalaupun saya bisa datang berkunjung, belum tentu juga para pembaca
punya waktu untuk mengobrol dengan saya.
Tetapi,
ya itu! Komunikasi sesama manusia yang masih hidup itu amat bermanfaat.
Orang
Betawi bilang, silaturahim itu penting banget.
“Silaturahim
kudu dibela-belain, Bang Haji!” kate
Cing Mawi sobat saya.
“Emang kenape begitu, Cing?” tanya saya
tak kalah siak berlogat Betawi pula.
“Ente pure-pure aje, Bang! Ane rase Ente
lebih paham dari ane. Hehehe ....”
“Cing, kalo komunikasi ame orang yang udah
mati atau ahli kubur, gimane?”
“Ente kayak orang jaman jahiliah aje, Bang.
Ente kayak nggak pernah ngaji aje!”
“Tapi buktinye bangak orang Islam yang masih
suke nengok kuburan, sampe-sampe die ngaji Quran di kuburan, sampe-sampe ade
yang solat di kuburan, gimane kalo kayak begitu, Cing?”
“Oh, kalo orang Islam yang kelakuannye kayak
begitu, die orang, pade cuman bisa ngaji Quran di bibir doang. Die orang pade
kagak pake nalar, kebanyakannye cuman ikut-ikutan. Ya, ikut-ikutan agama orang
jahiliah, animisme, dinamisme, de el el, Bang!”
Begitulah
bentuk komunikasi lisan yang terjadi antara dua anak manusia dalam bahasa yang
dimengerti, sehingga keduanya paham, dan keduanya memetik manfaat dari
kemunikasi itu. Kelihatannya peristiwa sederhana. Tetapi dampak positif dari
komunikasi lisan itu menjadi luas. Apa saja dampak positifnya?
Pertama, komunikasi terjadi
dengan sesama insan yang masih hidup dan itu perintah Allah dan teladan Rasul
Allah. Komunikasi dengan Allah Yang Maha Gaib (Al Ghaaib) dan Menghidupkan (Al Hayyu)
melalui salat dan berdoa. Tidak ada perintah Allah tanpa manfaat. Tidak ada
larangan Allah tanpa manfaat. Begitu pun dengan perintah berkomunikasi. Komunikasi
dengan manusia dengan berbicara, menulis, dan bahasa isyarat/bahasa tubuh. Komunikasi
dengan hewan dan tumbuhan dengan unjuk kerja/perbuatan. Tanam benih padi agar
kita bisa panen. Piara kambing atau sapi agar kita memetik manfaat.
Kedua, setiap komunikasi
yang baik akan berdampak kebaikan. Ketiga, manfaat yang diperoleh dirasakan
langsung. Bahasa agamanya, amal saleh (amalun
shalihun).
Bandingkan
jika kita berkomunikasi dengan malaikat, jin, atau memedi. Kita memanggil nama
malaikat Jibril atau Mikail ribuan kali sampai bibir jontor kita tidak tahu
manfaat yang kita dapat. Kita berkomunikasi dengan memedi berabra-kadabra bersim-salabim duit sepuluh ribu yang asli tidak
bakalan dapat. Mungkin kalau uang palsu (upal) jutaan rupiah ada. Kita
memanggil-manggil nama Nabi saw ribuah kali akan sia-sia belaka karena Nabi saw
sudah wafat lima belas abad yang lampau. Kita memanggil nama ayah atau ibu yang
sudah menghuni/ahli kubur, mengajak beromong-omong, ngomong sendiri kita akan
digelari anak terkena stress atau kurang waras. Mau baca ayat Quran, kagak pantes banget, kok Quran buat
pedoman orang hidup dibacakan di depan batu nisan, lebih parah lagi, namanya
melecehkan Quran, melecehkan Rasul, dan yang paling pasti adalah melecehkan
pemilik wahyu, yakni Allah!
Tahulah
kita semua muslim akibatnya bagi orang yang melecehkan Allah.
Lihat
dan simak beberapa ayat dari ratusan ayat yang ada dalam Quran tentang azab
bagi manusia yang melecehkan Allah dan rasul-Nya.
QS
An-Naba (78): 22 s.d. 30
Ketiga, manfaat dapat kita peroleh dengan membangun
komunikasi dengan sesama manusia selagi hidup pertanda kita adalah muslim yang
cerdas. Allah menggelari kita dengan ulil
albab.
Sebaliknya,
mudarat yang kita dapat kalau membangun tradisi yang jauh melenceng dari ajaran
Quran, tuntunan Rasul, dan perintah maupun larangan Allah. Beda banget, Bang!
Oke,
para pembaca. Mari kita lanjutkan diskusi kita tentang komunikasi antarsesama
manusia yang masih hidup. Kali ini kita membahas sebuah kata dasar yang sudah
tidak asing lagi, yakni kata wali.
Kata
wali adalah kata serapan dari bahasa
Arab, waliyy. Kata waliyy ditampilkan
dalam ayat-ayat Quran diterjemahkan oleh mufassir/penafsir
dengan arti pelindung, misalnya pada
frasa Allahu waliyyukum yang artinya Allah adalah pelindungmu. Kata waliyy juga berarti teman/sahabat.
Misalnya malaikat Jibril adalah waliyy
dari Nabi Muhammad saw.
Kamus
Besar Bahasa Indonesia (KBBI: 2008) menjelaskan kata wali ini dengan lima arti
yang berbeda, yaitu:
1. seseorang yang
mengurus anak yatim dan hartanya,
2. seseorang yang
menjadi pemimpin urusan dan pengasuhan anak,
3. seseorang pengasuh
pengantin wanita pada waktu akad nikah,
4. orang saleh (suci),
dan
5. kepala pemerintahan
atau negeri, misalnya wali negeri atau walikota.
wali anak yatim dan
orang miskin
Anak
yang kehilangan/ditinggal mati oleh ayah/bapak disebut anak yatim. Anak yang
ditinggal mati oleh kedua orang tuanya disebut anak yatim-piatu. Muhammad saw
ketika usia masih dalam kandungan sudah kehilangan ayah. Ketika usianya baru enam
tahun, ibundanya meninggal. Jadilah Muhammad kecil anak yatim-piatu. Kakeknya,
Abdul Muththalib, menjadi walinya sampai berusia delapan tahun saja. Abdul
Muththalib meninggal, perwalian Muhammad diserahkan kepada pamannya, Abu Thalib,
sampai menginjak usia remaja.
Orang
dewasa wajib hukumnya menjadi wali bagi anak yatim. Wali di sini adalah
bergungsi melindungi, merawat, mendidik, dan membiayai kehidupannya sampai anak
itu beranjak dewasa dan bisa mandiri (ukuran usia adalah relatif). Wali itu
bisa jadi adalah orang-orang terdekat, kerabat, sanak-famili, tetangga, atau
siapa saja yang sering dikenal sekarang ini dengan sebutan orang tua asuh.
Perwalian
bukan saja soal subyek wali dan obyek anak yatim, tetapi juga mengandung maksud
perlindungan, artinya orang yang mampu melindungi orang yang miskin. Ajaran
Islam menganjurkan setiap muslim menjadi wali bagi anak yatim dan orang miskin.
Melindungi dalam hal perwalian adalah perwujudan menegakkan ajaran Islam. Lihat
dan simak QS 2:177 QS 28: 77.
Orang
yang tidak suka melindungi orang lain, membantu, misal dengan harta, maka orang
itu disebut sebagai pendusta agama (Islam). Lihat dan simak QS Al Maa’uun (107): 1 s.d. 7
Lebih
celaka lagi jika seorang muslim yang mengumpulkan harta dan menimbun kekayaan,
tak sudi pula menjadi wali bagi orang lain dengan hartanya. Dia akan mendapat
balasan setimpal berupa azab yang amat pedih. Lihat dan simak QS Al Humazah
(104): 1 s.d. 4.
Ngeri deh!
Jadi,
muslim itu harus berbagi dan siap menjadi wali bagi anak yatim dan orang tak
berpunya.
wali nikah
Wali nikah menurut syariat agama
Islam adalah orang bertanggung jawab dalam melakukan akad nikah dari pihak
calon mempelai wanita sehingga menjadikan peristiwa akad nikah sah atau tidak
sah. Wali nikah melakukan ikrar ijab (menyerahkan
mempelai wanita) kepada mempelai pria,
yang melakukan qabul (menerima).
Kalimat
ijab yang diikrarkan oleh wali nikah,
misalnya: “Anakda Ucil, saya kawinkan/nikahkan engkau dengan anak kandung saya
yang bernama Cicilia binti Usep dengan mas kawin seuntai kalung emas sepuluh
gram dibayar tunai.”
Kalimat
qabul yang diikrarkan oleh calon
mempelai pria adalah: “Saya terima nikahnya/kawinnya Cicilia binti
Usep dengan mas kawin yang telah disebut dibayar tunai.”
Pernikahan tanpa wali nikah tidak sah menurut
agama Islam dan tidak sah pula menurut aturan negara sebagaimana yang diatur
dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Keberadaan wali
nikah itu, juga kedua calon mempelai
merupakan rukun (wajib diadakan) pernikahan, baik nikah negara atau
nikah siri. Tidak adanya wali nikah, kedua calon mempelai, dan ikrar ijab-qabul, akad nikah dinyatakan batal
menurut syariat agama Islam.
Bagamana
pernikahan antara wanita berstatus janda yang akan melangsungkan akad nikah,
apakah memerlukan wali nikah? Ada dua pendapat yang valid tentang wajib
tidaknya wali nikah bagi wanita berstatus janda.
Menurut pendapat Imam Syafi’i dan penganut Mazhab Syafi’i (umumnya muslim di Indonesia),
setiap wanita yang menikah wajib kehadiran wali nikah. Tidak sah pernikahan
tanpa kehadiran wali nikah. Gadis atau janda yang ingin menikah, wali nikah
wajib hadir untuk berikrar ijab.
Menurut
pendapat Imam Hanafi atau Hambali, tidak wajib wali nikah bagi seorang wanita
berstatus janda. Wanita itu bisa mewalikan dirinya. Misalnya kasus Dewi Wardah
(janda alm. Amir Biqi) yang mewalikan dirinya ketika menikah semalam saja
dengan seorang kiai kondang, Nur Iskandar, S.Q. (Durasinya sama dengan
perjalanan KA Argo Lawu jurusan Jakarta-Semarang; Masih mendingan Aceng Fikri
yang menikahi Fanny Oktora selama empat hari).
Soal
kehadiran wali nikah, pendapat mana yang mau dipakai sehubungan dengan
pernikahan wanita berstatus janda, Imam Syafi’i atau Imam Hanafi?
Jangan
terlalu dipikir. Kedua-duanya benar, silakan saja. Kalau ada wali nikah (ayah
kandung, kakek, kakak atau adik kandung, paman, dll.) lebih bagus pakai wali
nikah. Kalau tidak ada ayah kandung, kakek, dan lain-lain, si wanita janda bisa
mewalikan dirinya. Mudah saja, bukan? Agama Islam itu mudah dalam praktiknya.
Yang tidak baik adalah masalah perbedaan dibikin runcing dan saling mencela.
Yang
terlarang itu menggampang-gampangkan, memelintir ajaran Islam, dan
menyembunyikan kebenaran karena ada interes pribadi.
Contoh:
Membohongi
PPN (Petugas Pencatat Nikah) dengan data palsu (jika pernikahan tercatat/nikah
negara; menghadirkan wali nikah palsu; mengaku-ngaku sebagai wali nikah padahal
tidak berhak menjadi wali nikah.
Memelintir
akidah dengan pelintiran mazhab (dalam pernikahan siri), terutama ketika
menikahi wanita berstatus janda. Sang kiai fanatik terhadap mazhab Syafi’i yang
selalu mewajibkan adanya wali nikah bagi wanita, gadis atau janda sebagai salah
satu rukun nikah. Eh, begitu ada janda cantik mau dinikahi, wali nikah tidak
ada, sang kiai gampang saja berkata, bahwa dia siap ubah dulu mazhabnya, dari
Syafi’i ke Hanafi. Bisakah gonta-ganti mazhab seenaknya? Ajaran Islam itu bukan
selevel praktik jurus silat atau menu makanan yang bisa diutak-utak gonta-ganti
sesuai dengan kebutuhan.
Makanya
jangan fanatik mazhab! Muslim yang fanatik terhadap mazhab tertentu itu menjadi
sempit ruang geraknya.
Islam
tidak menganjurkan fanatisme. Islam menganjurkan istikomah/konsisten. Begitu
pula dengan perihal wali nikah. Yang penting, menikah itu sunnatullah!. Lihat
dan simak QS 4: 1, QS 78: 8, QS 36: 36, dan QS 30: 21. Menikah itu nikmatnya
sorga di dunia dan di akhirat.
Yang
dilarang itu menikah pun tidak, tetapi samen
leven, hidup bersama tanpa ikatan pernikahan, atau kumpul kebo.
Masih
membahas tentang wali nikah. Wali nikah itu ada dua kategori, yaitu wali dekat
(akrab) dan wali jauh (ab’ad).
Wali
nikah yang tergolong wali akrab urutannya adalah sebagai berikut: 1). ayah
kandung; 2). kakek (ayah dari ayah); 3). saudara kandung seayah seibu; 4). saudara
kandung seayah (paman); 5). saudara kandung ayah seayah seibu; 6). saudara kandung ayah seayah; dan 7). anak
paman yang datang dari ayah;
Wali
nikah ab’ad adalah wali nikah yang
tidak memiliki pertalian darah dengan calon mempelai wanita. Wali nikah ab’ad
diperlukan karena tak ada satu pun wali nikah akrab, misalnya Hakim Pengadilan
Agama, Kepala KUA, PPN, Lebai/Na’ib, atau Tokoh masyarakat (Ketua RW, Ketua RT,
Imam Masjid Jami’, dll.)
Tak
perlu cari tokoh agama yang pandai agama atau kiai atau bertitel haji. Wali
nikah tidak membutuhkan persyaratan macam-macam.Tak perlu susah-susah cari wali
nikah harus tokoh agama yang fasih melafal ijab dalam bahasa Arab. Gunakan saja
bahasa Indonesia, semuanya afdol, kok!
Kalau mau mengadakan acara aksesoris/tambahan khotbah nikah, tak perlu harus
cari kiai yang harus fasih berkhotbah bi
lughatil ‘Arabiyya (dalam bahasa Arab), sebab kedua mempelai dan sebagian besar hadirin ora mudheng. Khotbah nikah bisa menggunakan bahasa Indonesia yang
bisa dimengerti oleh semua hadirin. Kalau tak paham misi khotbah nikah yang
disampaikan dalam bahasa Arab, gunakan istilah nasihat perkawinan dalam bahasa
masyarakat setempat. Berikan nasihat kepada kedua mempelai dalam bahasa yang dimengerti
supaya nasihat langsung dapat dipraktikkan oleh kedua mempelai dan
hadirin.
Itulah
misi pernikahan sebagai salah satu dari sunnatullah.
Semua yang dilakukan membumi karena mempelai dan kita semua hidup di bumi.
Bahasa kerennya membumikan Quran dan
sunnah Rasul dalam pernikahan. Mudah,
bukan?
Gitu aja kok repot!
Wali Songo
Wali Songo adalah tokoh agama
penyebar ajaran Islam di P. Jawa. Mereka ada songo (sembilan orang) yang diurutkan sesuai dengan masa perjuangan
mereka menyebarkan agama Islam di tanah Jawa. Mereka adalah:
1. Maulana Malik Ibrahim
(Sunan Gresik)
2. Raden Rahmat (Sunan
Ampel)
3. Makhdum Ibrahim
(Sunan Bonang)
4. Raden Qasim (Sunan Drajat)
5. Ja'far Shadiq (Sunan
Kudus)
6. Raden Paku atau Ainul
Yaqin (Sunan Giri)
7. Raden Said (Sunan
Kalijaga)
8. Syarif Hidayatullah (Sunan
Gunung Jati)
9. Raden Umar Said (Sunan
Muria)
Sunan Gresik (Maulana
Malik Ibrahim)
Maulana
Malik Ibrahim aslinya adalah pendatang dari Samarkand (Asia Tengah; tempat
kelahiran yang sama dengan Imam Bukhari). Tak ada seorang pun yang tahu kapan
dia dilahirkan, sekitar pertengahan abad keempat belas. Masa kehidupannya pada abad keempat belas sampai meninggal pada
awal abad kelima belas. Dia seorang perantau/pengelana sekaligus penyebar agama
Islam. Dia berkunjung ke negeri di Campa (Campuchea; Kamboja) dan bermukim di
sana beberapa tahun, menikahi wanita putri Raja Campa, Siti Fatimah binti Nurul
Ali. Maulana Malik Ibrahim memboyong isterinya ke Gresik, Jawa Timur, dan
menetap di sana sampai akhir hayatnya. Dia mendidik masyarakat dan juga mengajarkan
agama Islam dari pengaruh Agama Hindu dan
kekuasaan kerajaan Majapahit masih
tersisa. Dia mendirikan pondok
pendidikan yang kemudian dikenal sebagai pondok pesantren di Leran, Gresik.
Itulah pokok pangkal orang-orang pun menggelarinya Sunan Gresik. Gelar lain
untuknya adalah Maulana Maghribi dan Kakek Bantal.
Sunan
Gresik berjuang mendidik masyarakat petani di Gresik sekaligus menyebarkan
agama Islam sampai akhir hayatnya, 1419 M.
Sunan Ampel (Raden
Rahmat)
Sunan Ampel bernama asli Raden Rahmat. Ia
adalah putra Ibrahim
Zainuddin Al-Akbar dan seorang putri Campa
yang bernama Dewi Condro Wulan binti Raja Campa Terakhir Dari Dinasti Ming.
Sunan Ampel umumnya dianggap
sebagai sesepuh oleh para wali lainnya. Pesantrennya bertempat di Ampel Denta, Surabaya, dan merupakan salah
satu pusat penyebaran agama Islam tertua di Jawa. Ia menikah dengan Dewi
Condrowati yang bergelar Nyai Ageng Manila, putri adipati Tuban bernama Arya
Teja, berputera: Sunan Bonang,Siti
Syari’ah,Sunan Drajat, Sunan Sedayu, Siti
Muthmainnah, dan Siti Hafsah. Sunan Ampel
menikah juga dengan Dewi Karimah binti Ki Kembang Kuning, berputera: Dewi
Murtasiyah,Asyiqah,Raden Hisamuddin, Raden Zainal Abidin, Pangeran Tumapel, dan
Raden Faqih.
Sunan
Ampel turut membidani lahirnya kerajaan Islam pertama di Jawa itu, yakni
Kesultanan Demak. Ia pula yang menunjuk muridnya Raden Patah, putra dari Prabu
Brawijaya V raja Majapahit, untuk menjadi Sultan Demak tahun 1475 M. Raden
Patah kemudian menghadiahinya lahan
untuk membangun pusat pengajaran agama Islam. Daerah itu adalah Ampel Denta,
Surabaya.
Di Ampel Denta yang berawa-rawa itu, ia membangun mengembangkan pondok pesantren. Mula-mula ia merangkul masyarakat sekitarnya yang masih memeluk agama Hindu. Pada pertengahan Abad 15, pesantren tersebut menjadi sentra pendidikan yang sangat berpengaruh di wilayah nusantara bahkan mancanegara. Di antara para santrinya adalah Sunan Giri dan Raden Patah. Para santri tersebut kemudian disebarnya untuk berdakwah ke berbagai pelosok Jawa dan Madura.
Di Ampel Denta yang berawa-rawa itu, ia membangun mengembangkan pondok pesantren. Mula-mula ia merangkul masyarakat sekitarnya yang masih memeluk agama Hindu. Pada pertengahan Abad 15, pesantren tersebut menjadi sentra pendidikan yang sangat berpengaruh di wilayah nusantara bahkan mancanegara. Di antara para santrinya adalah Sunan Giri dan Raden Patah. Para santri tersebut kemudian disebarnya untuk berdakwah ke berbagai pelosok Jawa dan Madura.
Sunan
Ampel menganut fikih mahzab Hanafi (berbeda dengan Sunan Gresik yang bermazhab
Syafi’i). Namun, pada para santrinya, ia hanya memberikan pengajaran sederhana
yang menekankan pada penanaman akidah dan ibadah. Dialah yang mengenalkan
istilah "Mo Limo" (moh main,
moh ngombe, moh maling, moh madat, moh madon), yakni seruan untuk
"tidak berjudi, tidak minum minuman keras, tidak mencuri, tidak
menggunakan madat/candu atau narkotik, dan tidak berzina." Sunan
Ampel diperkirakan wafat pada tahun 1481 M. dan dimakamkan di sebelah barat
Masjid Ampel, Surabaya.
Sunan Bonang (Makhdum
Ibrahim)
Sunan
Bonang adalah anak Sunan Ampel dari isterinya Nyai Ageng Manila, putri dari
Arya Teja, Bupati Tuban. Sunan Bonang belajar
agama dari pesantren ayahnya di Ampel Denta. Setelah cukup dewasa, ia berkelana
untuk berdakwah di berbagai pelosok Pulau Jawa. Mula-mula ia berdakwah di
Kediri, yang mayoritas masyarakatnya beragama Hindu. Di sana ia
mendirikan Masjid Sangkal Daha. Ia kemudian menetap di Bonang, sebuah desa
kecil di Lasem, Rembang, Jawa Tengah, sekitar 15 kilometer timur kota Rembang
(perbatasan dengan Kota Tuban).
Di desa itu ia membangun pesantren yang kini dikenal dengan nama Watu Layar. Ia kemudian dikenal pula sebagai imam resmi pertama Kesultanan Demak, dan bahkan sempat menjadi panglima tertinggi. Meskipun demikian, Sunan Bonang tak pernah menghentikan kebiasaannya untuk berkelana ke daerah-daerah yang sangat sulit.
Ia acap kali berkunjung ke daerah-daerah terpencil di Tuban, Pati, Madura, maupun Pulau Bawean. Di Pulau inilah, pada 1525 M ia meninggal. Jenazahnya dimakamkan di Tuban, di sebelah barat Masjid Agung Tuban.
Ajaran Sunan Bonang memadukan ajaran ahlussunnah bergaya tasawuf dan garis salaf ortodoks. Ia menguasai ilmu fikih, usuludin, tasawuf, seni, sastra, dan arsitektur. Masyarakat juga mengenal Sunan Bonang sebagai seorang yang piawai mencari sumber air di tempat-tempat gersang.
Menurut Bonang, cinta sama dengan iman, pengetahuan intuitif (makrifat) dan kepatuhan kepada Allah Swt. atau haq al yaqqin. Ajaran tersebut disampaikannya secara populer melalui media kesenian yang disukai masyarakat. Dalam hal ini, Sunan Bonang bahu-membahu dengan murid utamanya, Sunan Kalijaga. Sunan Bonang banyak melahirkan karya sastra berupa suluk, atau tembang tamsil. Salah satunya adalah "Suluk Wijil" Suluknya banyak menggunakan tamsil cermin, bangau, atau burung laut. Sunan Bonang juga menggubah gamelan Jawa yang saat itu kental dengan estetika Hindu, dengan memberi nuansa baru. Dialah yang menjadi kreator gamelan Jawa seperti sekarang, dengan menambahkan instrumen rebab dan bonang.
Gubahannya ketika itu memiliki nuansa dzikir yang mendorong kecintaan pada kehidupan transedental (alam malakut). Tembang "Tombo Ati" adalah salah satu karya Sunan Bonang. Dalam pentas pewayangan, Sunan Bonang adalah dalang yang piawai membius penontonnya.
Kegemarannya adalah menggubah lakon dan memasukkan tafsir-tafsir khas Islam. Kisah perseteruan Pandawa-Kurawa ditafsirkan Sunan Bonang sebagai peperangan antara nafi (peniadaan) dan 'isbah (peneguhan).
Sunan Bonang berdakwah Islam dan mengombinasikan dakwah menggunakan media kesenian gamelan melengkapinya dengan aksesoris rebab dan bonang. Dia juga menggubah suluk Wijil dan sebuah tembang yang terkenal, Tombo Ati. Pusat dakwahnya adalah wilayah Tuban. Dia meninggal pada tahun 1525 M. dan dimakamkan di kota Tuban, Jawa Timur.
Di desa itu ia membangun pesantren yang kini dikenal dengan nama Watu Layar. Ia kemudian dikenal pula sebagai imam resmi pertama Kesultanan Demak, dan bahkan sempat menjadi panglima tertinggi. Meskipun demikian, Sunan Bonang tak pernah menghentikan kebiasaannya untuk berkelana ke daerah-daerah yang sangat sulit.
Ia acap kali berkunjung ke daerah-daerah terpencil di Tuban, Pati, Madura, maupun Pulau Bawean. Di Pulau inilah, pada 1525 M ia meninggal. Jenazahnya dimakamkan di Tuban, di sebelah barat Masjid Agung Tuban.
Ajaran Sunan Bonang memadukan ajaran ahlussunnah bergaya tasawuf dan garis salaf ortodoks. Ia menguasai ilmu fikih, usuludin, tasawuf, seni, sastra, dan arsitektur. Masyarakat juga mengenal Sunan Bonang sebagai seorang yang piawai mencari sumber air di tempat-tempat gersang.
Menurut Bonang, cinta sama dengan iman, pengetahuan intuitif (makrifat) dan kepatuhan kepada Allah Swt. atau haq al yaqqin. Ajaran tersebut disampaikannya secara populer melalui media kesenian yang disukai masyarakat. Dalam hal ini, Sunan Bonang bahu-membahu dengan murid utamanya, Sunan Kalijaga. Sunan Bonang banyak melahirkan karya sastra berupa suluk, atau tembang tamsil. Salah satunya adalah "Suluk Wijil" Suluknya banyak menggunakan tamsil cermin, bangau, atau burung laut. Sunan Bonang juga menggubah gamelan Jawa yang saat itu kental dengan estetika Hindu, dengan memberi nuansa baru. Dialah yang menjadi kreator gamelan Jawa seperti sekarang, dengan menambahkan instrumen rebab dan bonang.
Gubahannya ketika itu memiliki nuansa dzikir yang mendorong kecintaan pada kehidupan transedental (alam malakut). Tembang "Tombo Ati" adalah salah satu karya Sunan Bonang. Dalam pentas pewayangan, Sunan Bonang adalah dalang yang piawai membius penontonnya.
Kegemarannya adalah menggubah lakon dan memasukkan tafsir-tafsir khas Islam. Kisah perseteruan Pandawa-Kurawa ditafsirkan Sunan Bonang sebagai peperangan antara nafi (peniadaan) dan 'isbah (peneguhan).
Sunan Bonang berdakwah Islam dan mengombinasikan dakwah menggunakan media kesenian gamelan melengkapinya dengan aksesoris rebab dan bonang. Dia juga menggubah suluk Wijil dan sebuah tembang yang terkenal, Tombo Ati. Pusat dakwahnya adalah wilayah Tuban. Dia meninggal pada tahun 1525 M. dan dimakamkan di kota Tuban, Jawa Timur.
Sunan Drajat (Raden
Qasim)
Sunan Drajat adalah anak Sunan
Ampel dari isterinya, Nyai Ageng Manila. Sunan Drajat adalah saudara kandung
Sunan Bonang. Dia berdakwah Islam di
tengah masyarakat melalui pengamalan kerja keras dan kedermawanan. Dia juga
mengombinasikan dakwah Islam dengan kesenian gamelan dan tembang. Gamelan Singomengkok dan macapat Pangkur merupakan kreasi seni hasil karyanya. Perdikan
pusat dakwahnya adalah di Paciran, Lamongan. Sunan Drajat meninggal pada tahun
1522 M.
Sunan Kudus (Ja'far
Shadiq)
Sunan Kudus adalah adalah anak
dari Sunan Ngudung dengan Syarifah Ruhil anak perempuan Sunan Ampel. Jadi Sunan
Kudus adalah cucu dari Sunan Ampel. Sunan Kudus, di samping sebagai pendakwah
Islam, dia pun diangkat sebagai panglima perang Kesultanan Demak di bawah Sunan
Prawoto yang juga menjadi muridnya. Muridnya yang lain adalah Aryo Penangsang,
adipati Jipang.
Sunan
Kudus berdakwah Islam dengan pusat dakwahnya kota Kudus, Jawa Tengah. Salah
satu karyanya yang monumental adalah Masjid Menara Kudus yang arsitekturnya
adalah campuran Hindu dan Islam. Sunan Kudus wafat pada tahun 1550 M.
Sunan Giri (Raden
Paku; Ainul Yaqin;Joko Samudra)
Sunan Giri adalah putra dari
Maulana Ishaq (pendakwah Islam di Samudera Pasai; seangkatan dengan Sunan
Gresik dan Sunan Ampel) dari isterinya, Dewi Sekardadu, putri tunggal Prabu
Sembuyu, raja Blambangan. Tempat dan tahun kelahirannya, Blambangan, 1442 M. Nama
kecil antara lain adalah Joko Samudra yang artinya anak bayi yang dimasukkan
dalam peti, dilarung di laut karena kelahirannya tidak dikehendaki, dan
diselamatkan oleh dua anak buah juragan kapal Nyai Gede Pinatih. Bayi itu dirawat
dan dibesarkannya, lalu diberi nama Joko Samudra.
Sunan
Giri sebelum menjadi seorang pendakwah, lebih dahulu berguru menimba ilmu
kepada Sunan Ampel. Dia saudara seperguruan dengan Sunan Bonang yang merupakan
putra Sunan Ampel. Kemudian keduanya berguru pula kepada Maulana Ishaq selama
tiga tahun. Pada saat itulah Joko Samudra alias Sunan Giri mengetahui bahwa
Maulana Ishaq adalah ayah kandungnya.
Sunan
Giri kemudian memulai dakwahnya dan dipusatkan di Giri Kedaton, Gresik. Dia
mendirikan pusat kekuasaan di Gresik dan meneruskan perjuangan para
pendahulunya dalam dakwah Islam sampai akhir hayatnya. Salah seorang putranya,
Sunan Prapen memperluas dakwahnya sampai ke wilayah Indonesia Timur, ke NTB,
dengan P. Lombok dan Bima, P. Sumbawa, serta ke wilayah Maluku.
Sunan Gunung Jati
(Syarif Hidayatullah)
Sunan Gunung Jati
atau Syarif Hidayatullah diperkirakan lahir sekitar tahun 1448 M. Ibunya adalah
Nyai Rara Santang, putri dari raja Pajajaran Raden Manah Rarasa. Sedangkan
ayahnya adalah Sultan Syarif Abdullah Maulana Huda, pembesar Mesir keturunan
Bani Hasyim dari Palestina.
Syarif Hidayatullah mendalami ilmu agama sejak berusia 14 tahun dari para ulama Mesir. Ia sempat berkelana ke berbagai negara. Menyusul berdirinya Kesultanan Bintoro Demak, dan atas restu kalangan ulama lain, ia mendirikan Kasultanan Cirebon yang juga dikenal sebagai Kasultanan Pakungwati. Syarif Hidayatullah menikahi Ratu Kawunganten. Dari pernikahan ini, dia dikarunia dua putra, Ratu Winahon dan Pangeran Sabangkingking. Pangeran Sabangkingking kemudian dikenal sebagai Sultan Hasanudin, dan diangkat jadi Sultan Banten. Ratu Winahon, yang lebih dikenal dengan sebutan Ratu Ayu, dinikahkah dengan Fachrulllah Khan atau lebih dikenal dengan nama Faletehan atau Fatahillah, sang penakluk Portugis di Sundakelapa.
Dengan demikian, Sunan Gunung Jati adalah satu-satunya "wali songo" yang memimpin pemerintahan. Sunan Gunung Jati memanfaatkan pengaruhnya sebagai putra Raja Pajajaran untuk menyebarkan Islam dari pesisir Cirebon ke pedalaman Pasundan atau Priangan.
Dalam berdakwah, ia menganut kecenderungan Timur Tengah yang lugas. Namun ia juga mendekati rakyat dengan membangun infrastruktur berupa jalan-jalan yang menghubungkan antar wilayah. Bersama putranya, Maulana Hasanuddin, Sunan Gunung Jati juga melakukan ekspedisi ke Banten. Penguasa setempat, Pucuk Umum, menyerahkan secara sukarela penguasaan wilayah Banten tersebut yang kemudian menjadi cikal bakal Kesultanan Banten.
Pada usia 89 tahun, Sunan Gunung Jati mundur dari jabatannya untuk hanya menekuni dakwah. Kekuasaan itu diserahkannya kepada Pangeran Pasarean (nama lain Pangeran Sabangkingking). Pada tahun 1568 M, Sunan Gunung Jati wafat dalam usia 120 tahun, di Cirebon (dulu Carbon). Ia dimakamkan di daerah Gunung Sembung, Gunung Jati, sekitar 15 kilometer sebelum kota Cirebon dari arah barat.
Sunan Kalijaga(Raden Said)
Sunan Kalijaga adalah wali yang paling terkenal dan namanya paling banyak disebut masyarakat Jawa. Ia lahir sekitar tahun 1450 M. Ayahnya adalah Arya Wilatikta, Adipati Tuban, keturunan dari tokoh bangsawan pemberontak Majapahit, Ronggolawe. Masa itu, Arya Wilatikta diperkirakan telah menganut Islam. Nama kecil Sunan Kalijaga adalah Raden Said.
Syarif Hidayatullah mendalami ilmu agama sejak berusia 14 tahun dari para ulama Mesir. Ia sempat berkelana ke berbagai negara. Menyusul berdirinya Kesultanan Bintoro Demak, dan atas restu kalangan ulama lain, ia mendirikan Kasultanan Cirebon yang juga dikenal sebagai Kasultanan Pakungwati. Syarif Hidayatullah menikahi Ratu Kawunganten. Dari pernikahan ini, dia dikarunia dua putra, Ratu Winahon dan Pangeran Sabangkingking. Pangeran Sabangkingking kemudian dikenal sebagai Sultan Hasanudin, dan diangkat jadi Sultan Banten. Ratu Winahon, yang lebih dikenal dengan sebutan Ratu Ayu, dinikahkah dengan Fachrulllah Khan atau lebih dikenal dengan nama Faletehan atau Fatahillah, sang penakluk Portugis di Sundakelapa.
Dengan demikian, Sunan Gunung Jati adalah satu-satunya "wali songo" yang memimpin pemerintahan. Sunan Gunung Jati memanfaatkan pengaruhnya sebagai putra Raja Pajajaran untuk menyebarkan Islam dari pesisir Cirebon ke pedalaman Pasundan atau Priangan.
Dalam berdakwah, ia menganut kecenderungan Timur Tengah yang lugas. Namun ia juga mendekati rakyat dengan membangun infrastruktur berupa jalan-jalan yang menghubungkan antar wilayah. Bersama putranya, Maulana Hasanuddin, Sunan Gunung Jati juga melakukan ekspedisi ke Banten. Penguasa setempat, Pucuk Umum, menyerahkan secara sukarela penguasaan wilayah Banten tersebut yang kemudian menjadi cikal bakal Kesultanan Banten.
Pada usia 89 tahun, Sunan Gunung Jati mundur dari jabatannya untuk hanya menekuni dakwah. Kekuasaan itu diserahkannya kepada Pangeran Pasarean (nama lain Pangeran Sabangkingking). Pada tahun 1568 M, Sunan Gunung Jati wafat dalam usia 120 tahun, di Cirebon (dulu Carbon). Ia dimakamkan di daerah Gunung Sembung, Gunung Jati, sekitar 15 kilometer sebelum kota Cirebon dari arah barat.
Sunan Kalijaga(Raden Said)
Sunan Kalijaga adalah wali yang paling terkenal dan namanya paling banyak disebut masyarakat Jawa. Ia lahir sekitar tahun 1450 M. Ayahnya adalah Arya Wilatikta, Adipati Tuban, keturunan dari tokoh bangsawan pemberontak Majapahit, Ronggolawe. Masa itu, Arya Wilatikta diperkirakan telah menganut Islam. Nama kecil Sunan Kalijaga adalah Raden Said.
Dalam Babad Tanah Jawi
dinukilkan bahwa Sunan Kalijaga dilukiskan hidup dalam empat era
pemerintahan. Yakni masa Majapahit (sebelum 1478), Kesultanan Demak
(1481-1546), Kesultanan Pajang (1546-1568), dan awal pemerintahan Mataram
(1580-an). Kisah Sunan Kalijaga memang tak pernah padam di kalangan masyarakat
pesisir utara Jawa Tengah, hingga Cirebon. Sering kali kisah hidupnya dibumbui
dengan cerita takhayul. Terutama caranya berdakwah, yang dianggap berbeda
dengan metode para wali yang lain.
Ia sangat toleran pada budaya lokal. Ia berpendapat bahwa masyarakat akan menjauh jika diserang pendiriannya. Maka mereka harus didekati secara bertahap: mengikuti sambil mempengaruhi. Sunan Kalijaga berkeyakinan jika Islam sudah dipahami, dengan sendirinya kebiasaan lama hilang. Maka ajaran Sunan Kalijaga terkesan sinkretis dalam mengenalkan Islam.
Ia memadukan dakwah dengan seni budaya yang mengakar di masyarakat. Misalnya lewat wayang, gamelan, tembang, ukir, dan batik, yang sangat populer pada masa itu. Babad dan serat mencatat Sunan Kalijaga sebagai penggubah beberapa tembang, di antaranya Dandanggula Semarangan ,paduan melodi Arab dan Jawa.
Tembang lainnya adalah Ilir-Ilir. Lariknya punya tafsir yang sarat dengan dakwah. Misalnya tak ijo royo-royo dak sengguh penganten anyar. Ungkapan ijo royo-royo bermakna hijau, lambang Islam. Sedangkan Islam, sebagai agama baru, diibaratkan penganten anyar, alias pengantin baru.
Peninggalan Sunan Kalijaga lainnya adalah gamelan, yang diberi nama Kanjeng Kyai Nagawilaga dan Kanjeng Kyai Guntur Madu. Gamelan itu kini disimpan di Keraton Yogyakarta dan Keraton Surakarta, seiring dengan berpindahnya kekuasan Islam ke Mataram. Pasangan gamelan itu kini dikenal sebagai gamelan Sekaten.
Karya Sunan Kalijaga yang juga menonjol adalah wayang kulit. Ahli sejarah mencatat, wayang yang digemari masyarakat sebelum kehadiran Sunan Kalijaga adalah wayang beber. Wayang jenis ini sebatas kertas yang bergambar kisah pewayangan. Sunan Kalijaga diyakini sebagai penggubah wayang kulit.
Tiap tokoh wayang dibuat gambarnya dan disungging di atas kulit lembu. Bentuknya berkembang dan disempurnakan pada era kejayaan Kerajaan Demak, 1480-an. Kalijaga juga piawai mendalang. Di wilayah Pajajaran, Sunan Kalijaga lebih dikenal sebagai Ki Dalang Sida Brangti.
Bila sedang mendalang di kawasan Tegal, Sunan Kalijaga bersalin nama menjadi Ki Dalang Bengkok. Ketika mendalang itulah Sunan Kalijaga menyisipkan dakwahnya. Lakon yang dimainkan tak lagi bersumber dari kisah Ramayana dan Mahabarata. Sunan Kalijaga mengangkat kisah-kisah carangan.
Beberapa di antara yang terkenal adalah lakon Dewa Ruci, Jimat Kalimasada, dan Petruk Dadi Ratu. Dewa Ruci ditafsirkan sebagai kisah Nabi Khidir. Sedangkan Jimat Kalimasada tak lain perlambang dari kalimat syahadat. Bahkan kebiasan kenduri/kenduren, selamatan pun jadi sarana syiarnya.
Sunan Kalijaga mengganti puja-puji dalam sesaji ala Hindu dengan doa dan bacaan dari kitab suci Al-Quran. Di awal syiarnya, Kalijaga selalu berkeliling ke pelosok desa. Sejarahwan Prof. Husein Jayadiningrat mencatat, bahwa Kalijaga juga berdakwah hingga ke Palembang, Sumatera Selatan, setelah dibaiat sebagai murid Sunan Bonang.
Di Palembang, ia sempat berguru pada Syekh Sutabaris. Kalijaga berpindah berdakwah kembali ke tanah Jawa dan daerah yang ditujunya adalah Cirebon.
Dalam Babad Cerbon tertulis, Sunan Kalijaga menetap beberapa tahun di Cirebon, persisnya di Desa Kalijaga, sekitar 2,5 kilometer arah selatan kota. Pada awal kedatangannya, Kalijaga menyamar dan bekerja sebagai pembersih masjid Keraton Kasepuhan.
Di sinilah Sunan Kalijaga bertemu dengan Sunan Gunung Jati pertama kali. Jadilah keduanya menjadi sahabat. Sunan Gunung Jati pun menikahkan adiknya, Siti Zaenah, untuk diperistri Sunan Kalijaga. Hanya beberapa tahun Sunan Kalijaga dikisahkan menetap di Cirebon. Oleh Sunan Gresik, Kalijaga diperintahkan kembali ke Jawa Timur dan berdakwah di sana.
Dakwahnya berlanjut ke arah timur tanah Jawa, lewat pesisir utara sampai ke Kadilangu, Demak. Di Kadilangu inilah diyakini Sunan Kalijaga menetap lama hingga akhir hayatnya. Kadilangu merupakan tempat Sunan Kalijaga membina kehidupan rumah tangga dan menjadikannya sebagai pusat dakwah didampingi. Istrinya, Dewi Sarah, putri Maulana Ishak.
Pernikahan dengan Dewi Sarah itu membuahkan tiga anak, satu di antaranya Raden Umar Said, yang kelak bergelar Sunan Muria. Sunan Muria dan Sunan Kudus tergolong satu aliran dalam berdakwah dengan Sunan Kalijaga. Metode dakwah aliran Kalijaga sealiran dengan Sunan Gresik, tetapi berbeda aliran dengan Sunan Ampel. Metode dakwahnya itu amat keras ditentang Sunan Ampel, mertuanya, dan Sunan Drajat, kakak iparnya.
Hingga kini para pengikut ajaran Sunan Kalijaga, Sunan Muria, dan Sunan Kudus dikenal dengan sebutan kelompok ''Islam abangan'' untuk membedakan dengan “Islam Santri”. Julukan ini hingga kini melekat pada masyarakat di sepanjang pesisir utara, dari Demak, Semarang, Tegal, hingga Cirebon.
Babad Demak menyebutkan, masjid itu berdiri pada 1477, berdasarkan candrasengkala ''Lawang Trus Gunaning Janma'', bermakna angka 1399 tahun Saka.
Dia juga adalah arsitek pembangunan Masjid Agung Demak. Dalam Babad Demak disebutkan bahwa, masjid itu berdiri pada 1477.
Tiang "tatal" (pecahan kayu) yang merupakan salah satu dari tiang utama masjid Agung Demak adalah kreasi Sunan Kalijaga. Dalam berdakwah, ia punya pola yang sama dengan mentor sekaligus sahabat dekatnya, Sunan Bonang. Ia juga memilih kesenian dan kebudayaan sebagai sarana untuk berdakwah.
Ia menggunakan seni ukir, wayang, gamelan, serta seni suara suluk sebagai sarana dakwah. Dialah pencipta Baju Takwa, perayaan sekatenan, grebeg maulud, Layang Kalimusada, lakon wayang Petruk Jadi Raja. Lanskap pusat kota berupa Kraton, alun-alun dengan dua beringin, serta masjid diyakini sebagai karya Sunan Kalijaga.
Metode dakwah tersebut sangat efektif. Sebagian besar adipati di Jawa memeluk Islam melalui Sunan Kalijaga. Di antaranya adalah Adipati Pandanaran, Kartasura, Kebumen, Banyumas, serta Pajang (sekarang Kotagede - Yogya). Sunan Kalijaga dimakamkan di Kadilangu selatan, Demak.
Ia sangat toleran pada budaya lokal. Ia berpendapat bahwa masyarakat akan menjauh jika diserang pendiriannya. Maka mereka harus didekati secara bertahap: mengikuti sambil mempengaruhi. Sunan Kalijaga berkeyakinan jika Islam sudah dipahami, dengan sendirinya kebiasaan lama hilang. Maka ajaran Sunan Kalijaga terkesan sinkretis dalam mengenalkan Islam.
Ia memadukan dakwah dengan seni budaya yang mengakar di masyarakat. Misalnya lewat wayang, gamelan, tembang, ukir, dan batik, yang sangat populer pada masa itu. Babad dan serat mencatat Sunan Kalijaga sebagai penggubah beberapa tembang, di antaranya Dandanggula Semarangan ,paduan melodi Arab dan Jawa.
Tembang lainnya adalah Ilir-Ilir. Lariknya punya tafsir yang sarat dengan dakwah. Misalnya tak ijo royo-royo dak sengguh penganten anyar. Ungkapan ijo royo-royo bermakna hijau, lambang Islam. Sedangkan Islam, sebagai agama baru, diibaratkan penganten anyar, alias pengantin baru.
Peninggalan Sunan Kalijaga lainnya adalah gamelan, yang diberi nama Kanjeng Kyai Nagawilaga dan Kanjeng Kyai Guntur Madu. Gamelan itu kini disimpan di Keraton Yogyakarta dan Keraton Surakarta, seiring dengan berpindahnya kekuasan Islam ke Mataram. Pasangan gamelan itu kini dikenal sebagai gamelan Sekaten.
Karya Sunan Kalijaga yang juga menonjol adalah wayang kulit. Ahli sejarah mencatat, wayang yang digemari masyarakat sebelum kehadiran Sunan Kalijaga adalah wayang beber. Wayang jenis ini sebatas kertas yang bergambar kisah pewayangan. Sunan Kalijaga diyakini sebagai penggubah wayang kulit.
Tiap tokoh wayang dibuat gambarnya dan disungging di atas kulit lembu. Bentuknya berkembang dan disempurnakan pada era kejayaan Kerajaan Demak, 1480-an. Kalijaga juga piawai mendalang. Di wilayah Pajajaran, Sunan Kalijaga lebih dikenal sebagai Ki Dalang Sida Brangti.
Bila sedang mendalang di kawasan Tegal, Sunan Kalijaga bersalin nama menjadi Ki Dalang Bengkok. Ketika mendalang itulah Sunan Kalijaga menyisipkan dakwahnya. Lakon yang dimainkan tak lagi bersumber dari kisah Ramayana dan Mahabarata. Sunan Kalijaga mengangkat kisah-kisah carangan.
Beberapa di antara yang terkenal adalah lakon Dewa Ruci, Jimat Kalimasada, dan Petruk Dadi Ratu. Dewa Ruci ditafsirkan sebagai kisah Nabi Khidir. Sedangkan Jimat Kalimasada tak lain perlambang dari kalimat syahadat. Bahkan kebiasan kenduri/kenduren, selamatan pun jadi sarana syiarnya.
Sunan Kalijaga mengganti puja-puji dalam sesaji ala Hindu dengan doa dan bacaan dari kitab suci Al-Quran. Di awal syiarnya, Kalijaga selalu berkeliling ke pelosok desa. Sejarahwan Prof. Husein Jayadiningrat mencatat, bahwa Kalijaga juga berdakwah hingga ke Palembang, Sumatera Selatan, setelah dibaiat sebagai murid Sunan Bonang.
Di Palembang, ia sempat berguru pada Syekh Sutabaris. Kalijaga berpindah berdakwah kembali ke tanah Jawa dan daerah yang ditujunya adalah Cirebon.
Dalam Babad Cerbon tertulis, Sunan Kalijaga menetap beberapa tahun di Cirebon, persisnya di Desa Kalijaga, sekitar 2,5 kilometer arah selatan kota. Pada awal kedatangannya, Kalijaga menyamar dan bekerja sebagai pembersih masjid Keraton Kasepuhan.
Di sinilah Sunan Kalijaga bertemu dengan Sunan Gunung Jati pertama kali. Jadilah keduanya menjadi sahabat. Sunan Gunung Jati pun menikahkan adiknya, Siti Zaenah, untuk diperistri Sunan Kalijaga. Hanya beberapa tahun Sunan Kalijaga dikisahkan menetap di Cirebon. Oleh Sunan Gresik, Kalijaga diperintahkan kembali ke Jawa Timur dan berdakwah di sana.
Dakwahnya berlanjut ke arah timur tanah Jawa, lewat pesisir utara sampai ke Kadilangu, Demak. Di Kadilangu inilah diyakini Sunan Kalijaga menetap lama hingga akhir hayatnya. Kadilangu merupakan tempat Sunan Kalijaga membina kehidupan rumah tangga dan menjadikannya sebagai pusat dakwah didampingi. Istrinya, Dewi Sarah, putri Maulana Ishak.
Pernikahan dengan Dewi Sarah itu membuahkan tiga anak, satu di antaranya Raden Umar Said, yang kelak bergelar Sunan Muria. Sunan Muria dan Sunan Kudus tergolong satu aliran dalam berdakwah dengan Sunan Kalijaga. Metode dakwah aliran Kalijaga sealiran dengan Sunan Gresik, tetapi berbeda aliran dengan Sunan Ampel. Metode dakwahnya itu amat keras ditentang Sunan Ampel, mertuanya, dan Sunan Drajat, kakak iparnya.
Hingga kini para pengikut ajaran Sunan Kalijaga, Sunan Muria, dan Sunan Kudus dikenal dengan sebutan kelompok ''Islam abangan'' untuk membedakan dengan “Islam Santri”. Julukan ini hingga kini melekat pada masyarakat di sepanjang pesisir utara, dari Demak, Semarang, Tegal, hingga Cirebon.
Babad Demak menyebutkan, masjid itu berdiri pada 1477, berdasarkan candrasengkala ''Lawang Trus Gunaning Janma'', bermakna angka 1399 tahun Saka.
Dia juga adalah arsitek pembangunan Masjid Agung Demak. Dalam Babad Demak disebutkan bahwa, masjid itu berdiri pada 1477.
Tiang "tatal" (pecahan kayu) yang merupakan salah satu dari tiang utama masjid Agung Demak adalah kreasi Sunan Kalijaga. Dalam berdakwah, ia punya pola yang sama dengan mentor sekaligus sahabat dekatnya, Sunan Bonang. Ia juga memilih kesenian dan kebudayaan sebagai sarana untuk berdakwah.
Ia menggunakan seni ukir, wayang, gamelan, serta seni suara suluk sebagai sarana dakwah. Dialah pencipta Baju Takwa, perayaan sekatenan, grebeg maulud, Layang Kalimusada, lakon wayang Petruk Jadi Raja. Lanskap pusat kota berupa Kraton, alun-alun dengan dua beringin, serta masjid diyakini sebagai karya Sunan Kalijaga.
Metode dakwah tersebut sangat efektif. Sebagian besar adipati di Jawa memeluk Islam melalui Sunan Kalijaga. Di antaranya adalah Adipati Pandanaran, Kartasura, Kebumen, Banyumas, serta Pajang (sekarang Kotagede - Yogya). Sunan Kalijaga dimakamkan di Kadilangu selatan, Demak.
Sunan Muria(Raden Umar Said)
Ia putra Dewi Saroh, adik kandung Sunan Giri sekaligus anak Syekh Maulana Ishak, yang menikah dengan Sunan Kalijaga. Nama kecilnya adalah Raden Prawoto. Sunan Muria adalah putra Sunan Kalijaga. Sunan Muria berpaman kepada Sunan Giri dan berkakek kepada Syeh Maulana Ishak.
Nama Muria diambil dari tempat tinggal terakhirnya di lereng Gunung Muria, 18 kilometer ke utara kota Kudus. Gaya berdakwahnya banyak mengambil cara ayahnya, Sunan Kalijaga. Namun berbeda dengan sang ayah, Sunan Muria lebih suka tinggal di daerah sangat terpencil dan jauh dari pusat kota untuk menyebarkan agama Islam. Bergaul dengan rakyat jelata, sambil mengajarkan keterampilan-keterampilan bercocok tanam, berdagang, dan melaut adalah kesukaannya.
Sunan Muria seringkali dijadikan pula sebagai penengah dalam konflik internal di Kesultanan Demak (1518-1530), Ia dikenal sebagai pribadi yang mampu memecahkan berbagai masalah betapa pun rumitnya masalah itu. Solusi pemecahannya pun selalu dapat diterima oleh semua pihak yang berseteru. Sunan Muria berdakwah dari Jepara, Tayu, Juana, hingga sekitar Kudus dan Pati. Salah satu hasil dakwahnya lewat seni adalah lagu Sinom dan Kinanti.
Ia putra Dewi Saroh, adik kandung Sunan Giri sekaligus anak Syekh Maulana Ishak, yang menikah dengan Sunan Kalijaga. Nama kecilnya adalah Raden Prawoto. Sunan Muria adalah putra Sunan Kalijaga. Sunan Muria berpaman kepada Sunan Giri dan berkakek kepada Syeh Maulana Ishak.
Nama Muria diambil dari tempat tinggal terakhirnya di lereng Gunung Muria, 18 kilometer ke utara kota Kudus. Gaya berdakwahnya banyak mengambil cara ayahnya, Sunan Kalijaga. Namun berbeda dengan sang ayah, Sunan Muria lebih suka tinggal di daerah sangat terpencil dan jauh dari pusat kota untuk menyebarkan agama Islam. Bergaul dengan rakyat jelata, sambil mengajarkan keterampilan-keterampilan bercocok tanam, berdagang, dan melaut adalah kesukaannya.
Sunan Muria seringkali dijadikan pula sebagai penengah dalam konflik internal di Kesultanan Demak (1518-1530), Ia dikenal sebagai pribadi yang mampu memecahkan berbagai masalah betapa pun rumitnya masalah itu. Solusi pemecahannya pun selalu dapat diterima oleh semua pihak yang berseteru. Sunan Muria berdakwah dari Jepara, Tayu, Juana, hingga sekitar Kudus dan Pati. Salah satu hasil dakwahnya lewat seni adalah lagu Sinom dan Kinanti.
Simpulan:
Para walisongo adalah penyebar agama Islam di
Tanah Jawa dan beberapa daerah lain di Indonesia bagian barat maupun di
Indonesia bagian timur.
Walisongo berdakwah Islam dengan metode yang
tidak persis sama tetapi dakwah mereka berdampak positif bagi penyebaran dan
bertumbuhkembangnya agama Islam di tanah Jawa khususnya.
Dampak lain adalah pemuliaan yang sering
berlebihan terhadap sosok wali dan banyak dibumbui dengan kisah dan dongeng
yang tidak masuk akal.
Para Wali Songo ini satu sama lain memiliki
hubungan saudara. Asal-muasal nenek moyang mereka dari Tanah Arab yang
berkelana meneruskan dakwah ke seluruh penjuru dunia, sampai ke Indonesia. Beberapa
orang dari walisongo menikahi wanita bangsawan dan putra mereka menjadi
keturunan bangsawan, yang mendapat gelar bangsawan pula. Misalnya Maulana Ishak
menikahi putri raja Blambangan, putranya, Raden Paku yang menjadi wali dengan
nama gelar Sunan Giri. Sunan Ampel menikahi putri bangsawan mendapat gelar
Raden Rahmat. Begitu pun Sunan Kalijaga, nama kecilnya adalah Raden Said.
Putranya, Sunan Kudus, nama kecilnya adalah Raden Umar Said. Gelar sunan adalah
gelar untuk para pemuka agama dan juga berdarah bangsawan yang ada di tanah
Jawa saja.
Amatlah wajar jika nenek moyang para
walisongo ini, walaupun dari tanah Arab, karena menikahi wanita setempat tempat
mereka berdakwah, di Campa, Kamboja, Vietnam, atau di Cina. Jadi kalau ada
seorang dari walisongo memiliki darah Campa, Kamboja, Cina, apa lagi Indonesia
tentu sangatlah wajar. Itulah wujud dari persaudaraan antarmanusia antarbangsa
yang diajarkan oleh Islam.
http://kisah-kisahwalisongo.blogspot.com/2012/01/sunan-gunung-jati.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar