pendakwah
Kata
pendakwah dari kata dalam bahasa Arab
dakwah (artinya seruan atau ajakan)
yang dibubuhi awalah pe-. Bahasa Arab
pendakwah adalah da’i yang artinya orang yang menyeru atau mengajak kepada
kebaikan/kebenaran. Pendakwah adalah sebuah profesi atau jalan hidup yang
dipilih oleh seseorang. Lahan seorang pendakwah adalah bidang agama. Dalam
agama Kristen mungkin seorang pendakwah itu disebut rohaniawan dengan sebutan
pastor atau romo. Lahan profesi pendakwah dipersempit hanya terbatas pada
bidang agama Islam saja.
Kalau
kita sedikit berlelah-lelah mau membaca dan memahami Quran dan sejarah
Nabi-nabi atau rasul-rasul, sesungguhnya masa kerasulan mereka adalah sebagai pendakwah
yang diberi tugas menyeru kepada kebenaran berdasarkan wahyu Allah, yang
berarti semua hal kebenaran dalam kehidupan di muka bumi ini. Allah mengatakan
dalam firman-Nya, bahwa para nabi, ambillah contoh Nabi saw, adalah sebagai daa’iyan ilallaah (menyeru dan mengajak
kepada Allah) dalam segala hal. Semua
hal dilakukan oleh Nabi saw: sebagai individu, figur kepala keluarga, pemimpin,
guru, pengajar, panglima perang, manager, mediator, narasumber, dll. Nabi saw
melakukan semua tugas itu dengan sukses pada zaman lima belas abad yang lalu
adalah pendakwah.
Zaman
mutakhir/modern seperti sekarang, tugas pendakwah itu ada di pundak semua
muslim tanpa kecuali. Tak ada keharusan seorang pendakwah itu harus bisa baca
Al Quran atau mengaji atau nglotok
hadis-hadis di luar kepala. Semua profesi bisa dilakoni sekaligus melakoni
dakwah. Seorang B.J. Habibie jauh lebih fasih berdakwah tentang pesawat
daripada orang lain berdakwah tentang pesawat. Seorang Bismar Siregar atau
Benyamin Mangkudilaga jauh lebih baik berdakwah tentang hukum daripada seorang
kiai atau ustaz. Intinya, pendakwah itu kewajiban semua muslim, bukan miliknya
ustaz, kiai, habib, atau mualim saja.
Para
pembicara dalam forum seminar, lokakarya, atau sarasehan adalah pendakwah.
Selama ini, pendakwah itu selalu dihubungkan dengan kegiatan keagamaan. Penyelenggara
kegiatan Maulid Nabi, Isra’ Mi’raj, Kuliah Ramadan, dll. selalu yang diberi
kesempatan adalah para ustaz, kiai, habib, atau mualim. Seakan-akan masalah
keagamaan itu dihubungkan dengan kefasihan melafal ayat-ayat Quran atau hadis
Nabi dan urusan akhirat semata..
Pandangan
seperti itu adalah kekeliruan. Kita harus mengubah pandangan yang seperti itu.
Masalah agama adalah masalah dunia dan akhirat. Jangan lagi dipandang aneh
kalau pada acara Pekan Ramadan pemebicara membahas tentang teknologi,
informasi, atau komunikasi tanpa satu pun teks ayat Quran disampaikan.
Jadi,
kegiatan berdakwah itu memang kewajiban setiap muslim karena dakwah itu lahan
yang sangat luas. Tak perlu capek-capek
memikirkan biaya besar dan harus mengundang ustaz, kiai, habib, atau mualim
hanya sekedar mengadakan acara pengajian mingguan, bulanan, atau acara walimah
ini walimah itu.
Mengapa
begitu?
Para
ustaz, kiai, habib, atau mualim yang biasa berdakwah hampir semuanya memiliki background disiplin ilmunya pendidikan jurusan ilmu
dakwah lisan, baik S-1 (S.Ag.; S.Pdi; Lc), S-2 (M.Ag; M.Pdi.), S-3. Lembaga PT-nya adalah UIN, Ponpes, atau
Institut Ilmu Al Quran atau Darul Hadis. Mereka fasih bicara tekstual Quran dan
hadis, tetapi tidak fasih bicara kontekstual kehidupan masyarakat yang kompleks
dengan berjuta-juta macam ragamnya.
Untuk
ilustrasi, kita bisa lihat kegiatan para ustaz yang dilakukan mereka pada
peristiwa musibah yang menimpa alm. Uje, dari peristiwa kecelakaan, sampai
meninggalnya, penguburannya, dan pascameninggalnya. Lihatlah aktivitas para
ustaz atau kiai menyikapi wafatnya seorang Uje. Eksploitasi berita oleh para
pewarta selama hampir sebulan sangat berlebihan dan bukan lagi sebuah
pembelajaran bagi muslim. Mereka tidak salah sama sekali karena mereka
berbisnis berita yang aktual. Tak bisa dipungkiri muncul kisah atau cerita yang
tak masuk akal dari mulut ke mulut yang diberitakan. Anehnya, berita isapan
jempol diamini oleh para ustaz. Entah
karena yang meninggal dunia adalah ustaz Uje yang kondang dan menjadi idola.
Nah,
para ustaz saja bersikap seperti itu, bagaimana dengan para jemaah yang awam?
Penceramah
Kita
sudah tidak asing dengan profesi penceramah. Ada orang yang benar-benar murni
berprofesi penceramah sebagai jalan hidupnya, ada pula penceramah yang sekedar nyambi atau penceramah sambilan. Tentu
saja, penceramah yang dimaksud di sini adalah penceramah tentang keislaman.
Penceramah itu bisa saja ustaz, kiai, habib, mualim, syeh, atau di luar itu. Contoh penceramah di luar disiplin ilmu
agama Islam misalnya seperti Mario Teguh, Ari Ginanjar, atau anggota Badan
Kehormatan dan Etika KPK Abdullah Hehamahua.
Pencerita
Kata
pencerita merujuk kepada orang yang
suka bercerita atau berprofesi sebagai pencerita. Sah-sah saja dia bercerita
apa saja, mau cerita yang benar atau yang salah tak jadi masalah. Sah-sah saja
kalau cerita disampaikan dengan gaya atau model apa saja. Seorang pencerita
tidak memiliki kewajiban moral untuk mempertanggungjawabkan benar tidaknya
substansi cerita.
Contoh
pencerita di tanah BetawiOrang Betawi suka dengan cerita, apa lagi cerita yang
dibumbui dengan gaya humor dan disisipkan ajaran agama Islam. Mereka mengenal
cerita dengan sebutan hikayat. Orang yang empunya cerita disebut sohibul hikayat. Tradisi bercerita sudah
ada sejak zaman kuda gigit besi. Pada era 60-an sampai era 80-an, tukang cerita
sohibul hikayat yang paling terkenal
di tanah Betawi adalah Jaiz (alm.) Cerita sohibul hikayat dan suara khas, serta
logat Betawi yang kental, terdengar di radio swasta setiap Rabu malam. Tradisi
lisan sohibul hikayat ala Jaiz masih oleh anaknya, namun pamor anaknya tidak
sehebat Jaiz. Tradisi lisan pun hilang pada era 90-an seiring dengan kemajuan
iptek di bidang audio-visual.
Jaiz
dan anaknya hanyalah seorang pencerita soal hikayat. Cerita atau hikayat tidak
dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Bahkan cerita atau hikayat itu lebih
dekat ke dongeng. Jaiz yang kompeten bercerita berhikayat lalu menyisipkan
materi keislaman di dalam hikayat tidak boleh ditelan mentah-mentah dan dianggap
sebagai kebenaran.
Bagaimana
jadinya kalau pencerita itu bergelar ustaz, mualim, atau kiai yang biasa
berceramah di muka umum di mana-mana?
Inilah
masalahnya, cerita membungkus tausiah agama bukan tanpa masalah.
Mungkin
bagi orang yang kurang memahami ajaran agama Islam, misalnya Islam keturunan
dari sononya, atau beragama Islam
turun-temurun, memandang substansi ceramah yang disampaikan oleh pembicara, sudah
cukup memadai dengan apa yang didengar, diiyakan, dan diamini dengan kepala
manggut-manggut tak perlu berpikir panjang sampai kening berkerut. Apa kata
ustaz atau kiai langsung ikut. Opo
omongane Pak Ustaz manut. Pak Ustaz tindak nang sorga pokoke katut. Tak ada
upaya untuk menelaah atau menanyakan kembali/bertanya, mengonfirmasi, apa benar
ajaran Islam seperti itu?
Kita
ambil contoh substansi dari ceramah yang pernah kita dengar. Tiada hari berlalu
tanpa tausiah di segala stasiun tv punya layar. Ceramah dari ustaz muka baru,
muka lama, sampai ustaz yang tenar.
Saking banyaknya kegiatan tausiah digelar, yang muncul adalah suasana keagamaan
yang hingar-bingar.
Dalam
peristiwa isra’ Mi’raj, Nabi diperjalankan dari Masjidil Haram (Mekkah) menuju
Masjid Al Aqsha (Palestina) ditemani oleh malaikat Jibril. Lalu Nabi sampai di
Sidratul Muntaha. Nabi bertemu dengan Allah. Nabi mendapat wahyu berupa
perintah salat lima puluh kali sehari semalam. Nabi pun kembali ke Mekkah.
Dalam perjalanan kembali, Nabi mampir di sorga dengan level-levelnya dan
bertemu dengan penghuni sorga-sorga itu, yakni para nabi terdahulu. Salah
seorang dari nabi itu adalah Musa. Nabi saw berdialog dengan Musa. Salah satu
materi dialog keduanya adalah soal salat lima puluh kali sehari semalam. Nabi
Musa heran, kok Nabi saw menyanggupi
kewajiban salat sebanyak itu. Kata Musa, umatnya yang fisiknya lebih besar dari
fisik umat Muhammad saja tidak mampu karena salat itu berat. Musa menyarankan
agar Nabi saw kembali ke Sidratul Muntaha menghadap Allah minta keringanan.
Lalu beliau minta keringanan. Kembali lagi kepada Musa dan mengatakan ada
keringanan yakni dikurangi lima kali. Musa mengatakan bahwa kewajiban itu masih
sangat berat, dan disarankan agar Nabi saw kembali menghadap Allah. Nabi saw pun menuruti saran
Musa. Begitulah berulang-ulang Nabi saw harus mondar-mandir dari dan ke tempat Musa. Akhirnya Allah menetapkan
salat fardhu menjadi lima kali sehari
semalam.
Begitulah
kisah peristiwa Isra’ Mi’raj diceritakan
dari mulut ke mulut. Cerita/kisah dari mulut ke mulut itu pun ditulis oleh para
penulis. Hasil tulisan adalah, tambahan dan polesan cerita sesuai dengan
persepsi pribadi penulis. Semua berjalan dari waktu ke waktu, sampai kepada
generasi kita sekaran ini.
Para
pembaca yang budiman, bagaimana Anda memandang substansi ceramah seperti ini?
Ada
dua penilaian yang dapat kita berikan tentang substansi, yakni benar dan tidak
benar. Peristiwa terjadinya Isra’
adalah kebenaran ilahiah. Yang tidak benar adalah peristiwa itu banyak polesan
ala kosmetik karena dibumbu-bumbui dengan tambahan cerita yang tidak masuk
akal, tidak logis, dan menyesatkan.
Kejadian
yang benar adalah sebagaimana yang difirmankan Allah dalm QS 17: 1.
Subhaanal ladzii asraa bi ‘abdihii lailan
minal Masjidil Haraami ilal Masjidil Aqsha. Alladzii baaraknaa hawlahuu
linuriyahuu min aayaatinaa, innahuu huwas samii’l bashiir.
Maha
Suci Allah yang telah memperjalankan hambanya (Muhammad), dari Masjidil Haram
ke Masjidil Aqhsa pada malam hari. Dalam
perjalanannya itu, Kami berkati sekelilingnya, Kami perlihatkan kepadanya
sebagian dari tanda-tanda kebesaran Kami. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar dan
Maha Mengawasi.
Kejadian
yang tidak pernah ada (diada-adakan melalui cerita berbumbu) oleh orang yang
tidak bertanggung jawab. Mereka ini adalah kaum fasik yang menjadi biang kerok
yang merusak kemurnian ajaran Islam. Perhatikan berita bohong di atas, yaitu:
Nabi saw menemui Allah di tempat
kediaman Allah, namanya Sidratul
Muntaha. Seakan-akan Allah
itu punya kediaman tetap seperti seorang raja yang menghuni istana.
Nabi melihat Allah dan berdialog
dengan Allah seakan-akan Allah
memperlihatkan wujud-Nya kepada Nabi saw,
seakan-akan Allah itu jelas
tampilan wujud fisik-Nya. Tambahan bumbu
lagi, bahwa satu-satunya manusia yang dapat melihat wujud Allah adalah Nabi
saw. Orang lain, para nabi sekali pun tak mampu melihat wujud Allah. Astagfirullah!
Nabi saw melakukan tawar-menawar tentang
bilangan salat, yakni dari lima puluh kali menjadi 45 kali, empat puluh kali,
sampai terakhir lima kali, seakan-akan Nabi saw dengan Allah Yang Maha Besar
bertransaksi di pasar tradisional.
Nabi saw dengan Nabi Musa yang sudah
meninggal dunia lebih dari seribu tahun diceritakan bisa berdialog. Keduanya berdialog
seperti berdialog di warung kopi.
Cerita yang dibangun mirip cerita penganut animisme, Hindu purba, dan cerita pewayangan.
Inilah
penggalan kisah substansi ceramah yang gede
banget boongnye!
Dasar
rujukan cerita ini adalah hadis (katenye Nabi
saw) yang diambil dari cerita si Anu dan diriwiyatkan oleh si Anu, dari sahabat
Anu, dari isteri Nabi saw, atau dari sahabat Abu Hurairah, atau dari sahabat
yang lain, bahwa Nabi saw ngomongnye begitu.
Untuk
memudahkan kita menilai substansi ceramah itu valid atau gede boongnye, ajukan pertanyaan seperti berikut ini.
(i)
Benarkah
Nabi saw itu teladan terbaik bagi muslim? Jawabnya adalah ya. Ada pernyataan
langsung dari Allah dan wajib bagi setiap muslim meneladani Nabi saw.
(ii)
Benarkah
Nabi saw itu memiliki sifat terpuji: shiddiq,
amanah, fathanah, dan tabligh? Jawabnya adalah ya.
(iii)
Dengan
sifat-sifatnya yang luhur itu, mungkinkah Nabi saw mengajarkan hal-hal yang
tidak masuk akal? Jawabnya adalah tidak mungkin atau mustahil. Impossible lah yaw!
(iv)
Adakah
Nabi saw berbicara seperti itu?Jawabnya adalah ya, untuk substansi berbicara tentang
peristiwa Isra’ yang dialaminya. Wajib bagi Nabi saw menyampaikan wahyu yang
diterimanya (QS 17: 1). Namun yang belum tentu benar adalah redaksional kalimat
atau kata-kata yang digunakan (katenye: kalimat
tidak langsung (indirect speech) atau
kalimat kutipan.
(v)
Siapa
dari para sahabat yang mendengarkan cerita seperti itu? Jawabnya sebagian
sahabat, peristiwa terjadi ketika Nabi saw masih berada di Mekkah (tahun ke-13
masa kerasulan; 612 M; pada tahun yang sama Nabi saw berhijrah ke Madinah).
Sebagian yang hadir ada yang percaya dan sebagian lagi ada meragukan, dan
sebagian lagi bahkan menuding Nabi saw membual, berdongeng ala nenek moyang,
dan lebih parah lagi mengatakan bahwa Nabi saw berhalusinasi terkena sihir
jahat.
(vi)
Siapa
dari para sahabat yang merekam pembicaraan Nabi saw yang redaksionalnya seperti itu? Jawabnya
tidak ada satu pun yang merekam karena tape-recorder
belum diciptakan manusia. Para sahabat yang mendengar hanya mengandalkan daya
ingat saja. Berdasarkan rekaman daya ingat itulah penyampaian dakwah yang
dilakukan para sahabat.
(vii)
Bagaimana
peristiwa Isra’ sebagai kebenaran itu diceritakan dari mulut ke mulut oleh para
sahabat yang tidak hadir? Bagaimana peristiwa Isra’ jika disampaikan oleh orang
Mekkah yang munafik atau yang kafir seperti sosok Abu Lahab atau Abu Jahal?
Bagaimana jika diceritakan oleh tukang cerita atau pendongeng?
Kalau
cerita tak masuk akal seperti itu diajarkan kepada orang lain dan dikatakan
sebagai ajaran Islam, maukah orang percaya begitu mudah, kemudian mereka masuk
Islam?
Apakah
kita, yang sudah muslim dari sononye,
juga percaya cerita yang tak masuk akal seperti cerita di atas?
Apakah
Islam sebagai agama yang rasional, kebenaran ilahiah yang agung, dan menjunjung tinggi pengetahuan yang ilmiah
bisa besar, dan berkembang seperti sekarang ini, dibangun dengan fondasi hal-hal
yang irrational?
Kalau
kita masih saja mengamini cerita model begitu, dan banyak sekali diceritakan
oleh para penceramah, kita tertipu oleh ajaran keliru yang berbungkus Islam.
Kalau
dalam berpengetahuan dan beragama tertipu, maka praktik beragama menjadi sesat, dan kita menjadi terbiasa
membangun kesesatan.
Lihat
saja kelakuan sesat yang sudah tergolong musyrik seperti contoh berikut ini.
Ada
banyak muslim menabur bunga di tempat terjadinya kecelakaan yang menyebabkan
tewasnya Uje, mengusap-usap pohon pinang yang tertabrak mogenya Uje, dan
menciuminya.
Ada
banyak muslim yang mengelus-elus moge milik Uje dan sangat ingin
mengeramatkannya.
Ada
juga muslim peziarah yang mengambil tanah kuburan Uje. Kalau pun tak sempat
bertemu dengan sosok idola, tanah kuburannya pun jadilah.
Ada
sebagian muslim pengidola Uje yang telat tahu berita kematian Uje, datang ke
kuburan Uje, berdoa komat-kamit di depan makam, mengelus papan nisan, dan menangis
berurai air mata.
Ada
lagi satu dua orang muslim membangun cerita ala penganut animisme, katanya, ada awan hitam di atas
langit Pamulang dan Pondok Indah yang muncul menjelang tewasnya Uje.
Ada
seorang ustaz tenar datang bertausiah dan memimpin acara tahlilan para hari
pertama wafatnya Uje. Ada empat orang kiai yang memimpin acara tahlilan pada
hari keempat pascawafatnya Uje, dan tampil tujuh orang ustaz memimpin acara
tahlilan pada hari ketujuh, dan boleh jadi ada empat puluh orang ustaz bakal
hadir pada peringatan empat puluh harinya. Jika banyaknya ustaz sama
bilangannya dengan bilangan hari kepergian Uje, berapa orang ustaz yang hadir
pada acara peringatan satu tahun atau lima tahun pascawafatnya?
Tentu
ada jemaah yang berpraktik begitu karena diajari oleh ustaz atau kiai, ada
pembiaran dari ustaz dan kiai, dan bahkan para ustaz atau kiai mencontohkan,
dan menjadikan semua itu sebagai kebiasaan, yang pada akhirnya diyakini sebagai
ajaran Islam.
Pembual
Pembual adalah sebuah kata turunan dari kata dasar bual (nomina). Bual atau bualan artinya
omong kosong atau omong besar. Pembual
adalah orang yang suka membual atau berbicara omong kosong atau omong besar. Pembual itu bisa asli bakat bawaan dan
bisa juga hasil pendidikan atau pengalaman. Pembual itu usianya sama tuanya
dengan usia manusia.
Tiada
isi bualan dari pembual yang tidak mengandung omong kosong atau omong besar.
Peristiwa biasa-biasa saja jika diberitakan oleh seorang pembual bisa berubah
menjadi peristiwa besar, peristiwa kecil dibesar-besarkan, dan peristiwa besar
diberitakan menjadi peristiwa dahsyat.
Pembual
jika menyatu pada diri badut, pelawak, presenter,
atau the host suatu acara mungkin
bisa menghibur. Tukul Arwana adalah “pembual” kelas wahid sebagai presenter acara Bukan
Empat Mata. Tukul begitu lepas, enteng, dan
enjoy banget “membual” dan itulah gaya dia yang menjadikannya kaya raya.
Tukul dengan enteng mengatakan bahwa dia adalah saudara Presiden, pacar bintang
film tenar, om atau paman dari Gubernur atau pejabat tinggi, dan lain-lain asli
bualan. Bualan Tukul Arwana adalah sumber uang baginya. Tukul membual adalah
situasional atau kondisional karena tuntutan skenario, bukan pembual asli.
Tetapi
percayalah, Tukul Arwana dalam kesehariannya tentu tak suka membual. Isterinya
nan cantik, Susi Similikiti, juga mantan pacar, adalah wanita satu-satunya yang
dia pacari dan dia ambil sebagai isteri.
Bagaimana
kalau pembual menyatu pada sosok ustaz atau kiai yang suka berceramah agama
Islam di mana-mana?
Jawabnya
tidak pantas karena berdampak buruk terutama bagi para jemaah yang awam. Jemaah
sering langsung percaya saja kepada tausiah bercampur-baur dengan bualan karena
yang bertausiah itu seorang ustaz.
Misalnya,
seorang ustaz berceramah tentang anak keturunan yang kelak akan menjadi
penghuni sorga.
Ada
isi ceramah yang mungkin bisa dipetik. Tetapi ketika berbicara tentang anak
keturunan Nabi saw yang pasti manusia utama yang akan menjadi ahli sorga, maka
itulah bentuk bualan. Ustaz itu telah membual. Dia memutarbalikkan fakta wahyu
ilahiah bahwa manusia itu sama di mata Allah, kecuali keutamaan karena
takwanya. Tak ada satu pun ayat Quran yang menyatakan keturunan Nabi saw itu
manusia utama dan pasti penghuni sorga. Walaupun orang itu mengaku keturunan
Nabi saw dan bergelar habib. Bagaimana kalau si Habib itu berbuat cabul atau
maksiat?
Begitu
pun dengan tausiah kematian dan kuburan.
Semua
manusia dan makhluk hidup pasti mati. Asal manusia dari tanah dan kembali
kepada tanah juga. Bisa saja di dataran daratan, bisa juga di puncak gunung
Salak seperti para korban pesawat Sukhoi bulan April 2012, bisa juga di dasar laut
bagi mereka yang tewas tenggelam di laut, bisa juga tubuhnya hancur
berkeping-keping tak berbentuk lagi, dan bisa juga terkubur di tumpukan gunung
es di benua Antartika.
Kuburan
adalah benda mati, Para nabi sudah tak ada satu pun. Sebagian dari kuburan
mereka sudah tak diketahui di mana lokasinya. Nabi Isa pun tak ada kuburannya.
Tak ada umat Nasrani yang tahu. Hanya ada satu saja kuburan nabi yang masih
ada, yakni kuburan Nabi saw. Lokasinya di Madinah.
Kuburan
tetaplah kuburan. Jangan umat Islam punya penafsiran bahwa masih adanya kuburan
Nabi saw karena perlakuan yang berlebihan. Tidak ada perlakuan para sahabat
yang menyamakan kuburan Nabi saw sama dengan memperlakukan beliau semasa masih
hidup. Memperlakukan kuburan seperti memperlakuan orang adalah sebagai tindakan
beragama yang menyesatkan.
Muslim
yang berharap-harap bisa mati di Mekkah dan dikuburkan di komplek Ma’la atau berharap-harap bisa mati di
Madinah dan berharap dikuburkan di komplek Baqi
berdekatan dengan kuburan Nabi saw, dengan keyakinan bahwa dikuburkan di Ma’la atau di Baqi sebanyak 70.000 orang langsung masuk sorga tanpa dihisab
adalah akibat buruk dari tausiah bualan yang menyesatkan.
Makanya,
jangan suka cepat percaya dengan omongan ustaz yang amat sering
mencampuradukkan tausiah dengan bualan. Jangan lagi mencampuradukkan fungsi
pendakwah dengan pembual.
Ajaran
Islam jelas dan terang-benderang.
Pendongeng
Dongeng adalah cerita
tentang sesuatu yang tidak benar-benar terjadi, misalnya cerita tentang
terjadinya gunung, danau, atau penjelmaan makhluk. Misalnya, dongeng tentang
Lutung Kasarung, terjadinya Gunung Tangkuban Perahu, Situ Bagendit, atau candi
Lorojonggrang. Untuk makhluk misalnya dongeng dalam dunia pewayangan seperti
sosok kera putih sang Hanoman, sosok Dewa atau bidadari, atau sosok manusia antagonis berwujud raksasa seperti
Rahwana. Dongeng sarat dengan mythe (mitos/dunia
mistis) dan takhayul yang tersebar dari mulut ke mulut. Contoh dongeng yang
paling masyhur di seluruh dunia adalah dongeng Cinderella yang ditulis oleh Hans
Christian Andersen. Di indonesia, dongeng yang paling sering ditutur atau
ditulis adalah kisah Bawang Putih Bawang Merah dan kisah Timun Mas.
Orang
yang suka mendongeng atau berprofesinya mendongeng disebut pendongeng. Kakek
atau nenek yang biasa berdongeng untuk cucu ketika mau tidur, seorang ibu
berdongeng untuk anaknya yang berusia balita, guru berdongeng untuk para
sisiwanya dalam kegiatan pembelajaran, atau profesional yang hidup dengan
kemampuan berdongeng disebut pendongeng.
Pendongeng
dan pencerita hampir sama dalam kemampuan berlisan dan menutur. Bisa saja sosok
pendongeng adalah juga pencerita. Akan tetapi keduanya, pendongeng dan
pencerita tidak bisa mewakili profesi pendakwah atau mubalig. Substansi cerita
dan dongeng yang tidak faktual, irrational,
dan mistis tidak bisa menyatu dengan substansi dakwah yang faktual,
kontekstual, dan rasional.
Bagi
Islam, akan berbahaya jika seorang pendakwah atau mubalig yang bertausiah suka
mencampuradukkan materi dakwah dengan materi cerita apa lagi materi dongeng.
Banyak contoh telah terjadi, materi dakwah dibumbui dengan bumbu cerita atau
dongeng.
Jangan
sampai dongeng atau cerita penuh bumbu penyedap dikatakan sebagai wahyu Allah
dan ajaran Islam.
Jangan
lupa pula pada perilaku Abu Lahab dan Abu Jahal dkk., ayat Quran malah
dikatakan syair nenek moyang. Mereka berlaku congkak menghina Nabi saw dan
menghina Quran.
QS
31: 7.
Wa idzaa tutlaa ‘alaihi aayaatuna, wallaa
mustakbiran ka’anlam yasma’ha, ka ‘annaa fiihi ‘udzunaihi waqra. Fa bashshirhu
bi ‘adzaabin ‘alim.
Dan
apabila dibacakan kepadanya ayat-ayat Kami, mereka berpaling dengan bersikap
sombong seakan-akan tidak mendengar, seakan-akan pada pendengaran mereka ada penyumbat.
(Oleh karena itu), Beri peringatan
kepadanya tentang azab-Ku yang sangat pedih.
QS
83: 13
Wa idzaa tutlaa alaihi aayaatuna, qaala
asaatiirul awwaluun.
Dan
apabila dibacakan kepadanya ayat-ayat Kami, dia berkata bahwa ayat- ayat itu adalah dongeng nenek moyang.
Jakarta,
27 Mei 2013