Ibrahim menentang ayahnya (anak saleh versus
ayah toleh)
Ibrahim (Nabi Ibrahim as; Abraham) sebelum
diangkat menjadi rasul Allah, bukanlah anak yang suka menentang ayahnya, Tarih,
yang lebih terkenal dengan nama Azar. Ibrahim muda seorang anak yang kritis dan
cerdas. Rasa ingin tahunya terhadap sesuatu sangat besar. Terutama rasa ingin
tahu tentang kebenaran. Ibrahim amat risau hatinya dengan kondisi masyarakat
yang menjadikan berhala/berhala/patung sebagai tuhan-tuhan dan menyembah pula berhala-berhala/patung
tersebut. Lebih-lebih risau hatinya
karena sebagian berhala yang disembah itu adalah berhala buatan ayahnya
sendiri.
Ibrahim tak pernah mau mengikuti ajakan dan
perintah ayahnya agar dia juga menyembah berhala-berhala itu. Tak bisa diterima
akal kalau berhala buatan sendiri tetapi disembah-sembah. Ibrahim sering
membantah perintah ayahnya manakala dia dipaksa untuk menyembah berhala-berhala
itu. Misalnya saja, dia beralasan tidak bisa ikut ritual karena sakit. Ibrahim
tidak mau melakukan perbuatan bodoh tetapi dia tidak ingin bersikap kasar
kepada ayahnya yang sesat itu. Sikap Ibrahim sebagai anak yang saleh yang tidak
perlu taat kepada orang tua yang sesat dapat dilihat dan disimak QS 31: 13.
Ibrahim yakin bahwa ada kekuatan yang maha
besar yang semestinya disembah, bukan benda mati seperti berhala. Dia belajar
dari waktu ke waktu untuk mencari Tuhan yang sebenarnya yang patut disembah,
yakni Tuhan Yang Maha Pencipta alam dan seluruh isinya. Ibrahim meneliti secara
ilmiah tentang benda-benda besar yang dia tahu, bumi, bintang, bulan, dan
matahari. Dia menyaksikan orang-orang menyembah tujuh bintang, bulan, dan juga
matahari. Dia sampai kepada kesimpulan, bahwa bintang bukan Tuhan, bulan juga
bukan Tuhan, dan matahari yang menyinari alam pada waktu siang bukan pula
Tuhan. Semua benda itu makhluk (creatures)
belaka. Semua makhluk pasti ada karena ada yang menciptakan, yaitu Al Khaliq/Maha Pencipta (the creator).
Dia mendapatkan hidayah (rusyd) dari Allah Swt. (QS 19: 42–45; QS 21: 51). Allah kemudian mengangkat
Ibrahim sebagai rasul yang diberi tugas mendakwahkan akidah tauhid/mengesakan
Tuhan dan melanjutkan tugas yang diemban oleh para rasul terdahulu: Adam, Idris,
Nuh, Hud, dan Saleh (QS 37: 85-87; QS 26: 72-74). Tugas pertama kerasulan yang
dilakukan oleh Ibrahim adalah memberi nasihat kepada ayah kandungnya, Azar (QS
19: 42-45).Ibrahim melanjutkan tugasnya dengan mendakwahi kaumnya yang
menyembah berhala, tujuh bintang, dan juga matahari (QS 6: 75-83; QS 21:
64-67).
Sikap Azar (dan juga kaumnya) sangat keras menentang dakwah Ibrahim. Bahkan
Ibrahim diancam dengan ancaman keras oleh sang ayah (QS 19: 46). Tugas Ibrahim
sebagai rasul (semua rasul) adalah hanya sebagai pendakwah, bukan menghukum,
juga bukan memberi pahala, bukan pula berwenang membebaskan orang sesat dari
siksa neraka dengan syafaat. Ibrahim tak mampu menundukkan ayahnya dan dia pun
melepaskan diri (QS 9:114) dari ayahnya. Bahkan dia mendoakan kebaikan buat
ayahnya (QS 19: 47-48).
Ibrahim diwahyukan agar menghancurkan
berhala-berhala. Dia pun datang ke tempat berhala-berhala diletakkan sambil
memanggul sebuah kapak besar. Dia menghancurkan berhala-berhala yang ada
kecuali ditinggalkan satu berhala terbesar.
(QS 21: 58). Tindakannya yang dianggap kurang
ajar itu membuat ayahnya dan orang-orang musyrik itu murka. Mereka menangkap
Ibrahim, mengikatnya, menggelandangnya, dan kemudian melemparkannya ke dalam kumpulan
bara api yang panasnya ribuan derajat Celsius (QS 37: 97-98). Mereka
bersorak-sorak dan bernyanyi-nyanyi melihat kobaran dan jilatan api membakar
tumpukan kayu, serta amat yakin bahwa tubuh Ibrahim akan hangus sambil menunggu sampai api padam.
Ketika kobaran api mulai melemah dan kemudian
padam, mereka pun mendekat untuk memastikan tubuh Ibrahim sudah musnah terbakar
bersama tumpukan kayu. Mata mereka terbelalak dan perasaan terhenyak
terkaget-kaget. Memang mereka tidak melihat lagi batang-batang kayu besar yang
telah mereka siapkan sebagai bahan bakar karena memang sudah menjadi
puing-puing atau abu, tetapi mereka melihat sosok Ibrahim masih tegak berdiri
tak kurang suatu apa pun. Api itu sama sekali tidak membakar tubuhnya bahkan
sehelai benang pun tidak (QS 21: 68-70).
Nuh versus Kan’an (Ayah saleh versus anak
toleh)
Kisah Nabi Nuh adalah kisah nyata tentang
kehidupan manusia. Nuh adalah rasul pertama kali yang diutus oleh Allah Ta’ala
untuk menyadarkan, meluruskan, dan membimbing manusia agar kembali kepada
ajaran Allah dan menjalani kehidupan sesuai dengan ajaran dan perintah-Nya.
Perkembangbiakan manusia semenjak Nabi Adam dan Hawa mendiami bumi sampai
generasi Nuh selama ribuan tahun berakibat populasi manusia bertambah besar.
Nabi Adam, Sits, dan Idris sebagai rasul belum mengalami masa manusia yang
congkak dan ingkar secara massal. Oleh karena itu tugas para rasul ini tidak
seberat para rasul yang diutus sesudahnya.
Nuh tumbuh dan hidup di tengah masyarakat
yang sudah mulai menunjukkan tanda-tanda keingkaran terhadap perintah Allah, manusia
yang congkak, penentang, dan pembangkang terhadap Allah (durhaka). Kisah
tentang kehidupan dan perjuangan Nuh mengajarkan, menyadarkan, dan membimbing
umatnya yang durhaka dinukilkan dalam Quran di beberapa tempat dalam
surat-surat: QS Al A’raf (7): 59-64; QS Yunus (10): 71-73; QS Hud (11): 25-49;
QS Al Anbiyaa’ (21): 76-77; QS Al Mu’minun (23): 23-30; QS As-Su’araa’ (26):
105-122; QS Al Ankabut (29): 14-15; QS Ash-Shaffat (37): 75-82; QS Al Qamar
(54): 9-17; QS Nuh (71): 1-28; QS An-Nisaa’ (4):P 163-165; QS Al An’am (6):
73-87; dan beberapa surat yang lainnya.
Nabi Nuh harus berjuang keras untuk
menyadarkan dan membawa kembali umatnya kepada jalan Allah. Namun perjuangannya
yang keras itu terbentur oleh penentangan umatnya yang keras kepala sekeras
batu. Bahkan anak kandungnya sendiri, Kan’an, justru berseberangan dengannya.
Kan’an justru menjadi motor penentang ajaran Nuh yang mengompor-ngompori
masyarakat agar membangkang ajaran dan ajakan sang ayahnya. Kan’an adalah
provokator/penghasut agar masyarakat tidak mengikuti ajakan ayahnya. Sebagian besar
orang pun terhasut dan hanya segelintir saja yang mengikuti ajakan Nuh.
Nuh adalah manusia biasa yang diberi wahyu
kerasulan. Kesabaran, ketaatan, dan keteguhan hatinya dalam berdakwah sungguh
luar biasa. Allah pun mengganjarnya dengan karunia keselamatan baginya dan
orang-orang yang setia menjadi pengikutnya. Allah memerintahkan Nuh agar
menyiapkan bahtera perahu untuk ditumpangi oleh Nuh dan para pengikutnya. Allah
mewahyukan kepada Nuh bahwa negeri itu dan seluruh manusia pembangkang penghuni
negeri itu akan dilenyapkan dengan air bah yang amat dahsyat.
Janji Allah tiba sudah. Perahu Nuh sudah
terisi oleh Nuh dan para pengikutnya serta binatang-binatang ternak yang turut
serta dimuat di dalamnya. Hujan besar disertai badai dahsyat pun datang
berhari-hari tiada henti. Negeri itu ditenggelamkan oleh lautan banjir dahsyat
yang berampun. Nuh dan para pengikutnya berada di dalam perahu dan kemudian
berlayar dengan tenang meninggalkan negerinya yang telah lenyap. Lalu ke mana
Kan’an si anak toleh anak durhaka?
Dasar congkak tetap saja congkak. Kan’an yang
toleh dan tolol itu, yang berkali-kali menertawai memperolok-olok ayahnya yang
membuat perahu di puncak bukit, bersama bolo dan konco-konconya tewas dilanda
banjir.
Wa makaruu wa
makarallaahu. Wallaahu khairul maakiriin.
Mereka merekayasa dan
Allah pun merekayasa. Dan Allah adalah Maha
Merekayasa.
Simpulan
Dalam ajaran Islam, jelas-jelas dinyatakan
melalui statemen Allah, bahwa faktor keturunan itu bukan ukuran menjadi orang
beriman atau tidak beriman/kafir.
Ibrahim yang rasul dan juga nabi, ayahnya
adalah penyembah berhala tulen.
Nabi Muhammad saw, ayahnya, pamannya,
kakeknya, mbah buyut-nya, adalah
penyembah berhala (jahiliah) tulen.
H. Abdul Karim Oei Tjung Hien, pelopor muslim
mualaf China glodok, Pendiri organisasi PITI, datang dan tumbuh besar di dalam
keluarga dan kalangan nonmuslim.
Seorang da’i
muda, lahir dan tumbuh di tengah keluarga nonmuslim yang membenci Islam.
Ustazah Hjh. Irene Handoyo, mantan biarawati,
datang dan tumbuh dari keluarga nonmuslim.
Seorang laksamana laut purnawirawan (bintang empat,
setara jenderal) yang murtad, orang tuanya muslim dan bertitel haji pula.
Seorang jenderal purnawirawan berbintang dua,
juga murtad dan memusuhi Islam, datang dari kedua orang tua dan keluarga besar
muslim.
Jadi, keliru besar membangga-banggakan diri
sebagai anak hebat orang hebat hanya karena memiliki darah keturunan nabi,
wali, ulama, raja, atau ningrat.
“Saya masih ada darah keturunan Prabu
Siliwangi. Saya saudara sepupu ke-5 dari Raden Kiansantang.”
“Oh, itu mah
Sunan Gunung Jati. Beliau ulama dan orang mulia. Jadi kuburannya harus
diziarahi supaya kita mendapat keberkahan hidup. Apa lagi saya sebentar lagi
ikut Nyaleg Dapil V Jawa Barat!”
“Mbah Priok itu masih termasuk kakek dalam
silsilah keluarga saya. Makanya saya suka menziarahi kuburannya biar saya ada
keberkahan hidup.”
“Maafkan ketololan saya. Ustaz yang baru
meninggal itu ustaz idola saya. Saya jauh-jauh datang dari Bekasi untuk melihat
kuburannya dan ingin menjumput sekepal tanah merah di atas kuburannya itu. Sungguh,
saya tidak tahu bahwa mengidolakan ustaz secara berlebihan itu bakal mendekati
kemusyrikan.”
Kalau anak keturunan/silsilah saja tidak
perlu dibangga-banggakan, tidak perlu dikultus-kultuskan, atau
diagung-agungkan, apatah lagi cuma harta benda, apatah lagi cuma seonggok batu
nisan, sebongkah tanah kuburan.
Ya, bunayya laa
tusyrik billaahi. Innasy syirka lazulmun ‘adziim.
Wahai, anakku. Jangan sekali-kali menyekutukan Allah
(syirik). Sesungguhnya
menyekutukan Allah itu adalah dosa teramat besar (tak
terampuni).
(QS 31: 11)
Kalau sudah tahu dan takut untuk melakukan syirik (hitam pekat), tak perlu lagi membesar-besarkan
acara ziarah kubur (abu-abu dan remang-remang).
Jakarta, 6 Mei 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar