Minggu, 05 Mei 2013

ANAK SALEH VERSUS AYAH TOLEH, ANAK TOLEH VERSUS AYAH SALEH



 Ibrahim menentang ayahnya (anak saleh versus ayah toleh)

Ibrahim (Nabi Ibrahim as; Abraham) sebelum diangkat menjadi rasul Allah, bukanlah anak yang suka menentang ayahnya, Tarih, yang lebih terkenal dengan nama Azar. Ibrahim muda seorang anak yang kritis dan cerdas. Rasa ingin tahunya terhadap sesuatu sangat besar. Terutama rasa ingin tahu tentang kebenaran. Ibrahim amat risau hatinya dengan kondisi masyarakat yang menjadikan berhala/berhala/patung sebagai tuhan-tuhan dan menyembah pula berhala-berhala/patung tersebut.  Lebih-lebih risau hatinya karena sebagian berhala yang disembah itu adalah berhala buatan ayahnya sendiri.

Ibrahim tak pernah mau mengikuti ajakan dan perintah ayahnya agar dia juga menyembah berhala-berhala itu. Tak bisa diterima akal kalau berhala buatan sendiri tetapi disembah-sembah. Ibrahim sering membantah perintah ayahnya manakala dia dipaksa untuk menyembah berhala-berhala itu. Misalnya saja, dia beralasan tidak bisa ikut ritual karena sakit. Ibrahim tidak mau melakukan perbuatan bodoh tetapi dia tidak ingin bersikap kasar kepada ayahnya yang sesat itu. Sikap Ibrahim sebagai anak yang saleh yang tidak perlu taat kepada orang tua yang sesat dapat dilihat dan disimak QS 31: 13.

Ibrahim yakin bahwa ada kekuatan yang maha besar yang semestinya disembah, bukan benda mati seperti berhala. Dia belajar dari waktu ke waktu untuk mencari Tuhan yang sebenarnya yang patut disembah, yakni Tuhan Yang Maha Pencipta alam dan seluruh isinya. Ibrahim meneliti secara ilmiah tentang benda-benda besar yang dia tahu, bumi, bintang, bulan, dan matahari. Dia menyaksikan orang-orang menyembah tujuh bintang, bulan, dan juga matahari. Dia sampai kepada kesimpulan, bahwa bintang bukan Tuhan, bulan juga bukan Tuhan, dan matahari yang menyinari alam pada waktu siang bukan pula Tuhan. Semua benda itu makhluk (creatures) belaka. Semua makhluk pasti ada karena ada yang menciptakan, yaitu Al Khaliq/Maha Pencipta (the creator).

Dia mendapatkan hidayah (rusyd) dari Allah Swt. (QS 19: 42–45; QS 21: 51). Allah kemudian mengangkat Ibrahim sebagai rasul yang diberi tugas mendakwahkan akidah tauhid/mengesakan Tuhan dan melanjutkan tugas yang diemban oleh para rasul terdahulu: Adam, Idris, Nuh, Hud, dan Saleh (QS 37: 85-87; QS 26: 72-74). Tugas pertama kerasulan yang dilakukan oleh Ibrahim adalah memberi nasihat kepada ayah kandungnya, Azar (QS 19: 42-45).Ibrahim melanjutkan tugasnya dengan mendakwahi kaumnya yang menyembah berhala, tujuh bintang, dan juga matahari (QS 6: 75-83; QS 21: 64-67).

Sikap Azar (dan juga kaumnya)  sangat keras menentang dakwah Ibrahim. Bahkan Ibrahim diancam dengan ancaman keras oleh sang ayah (QS 19: 46). Tugas Ibrahim sebagai rasul (semua rasul) adalah hanya sebagai pendakwah, bukan menghukum, juga bukan memberi pahala, bukan pula berwenang membebaskan orang sesat dari siksa neraka dengan syafaat. Ibrahim tak mampu menundukkan ayahnya dan dia pun melepaskan diri (QS 9:114) dari ayahnya. Bahkan dia mendoakan kebaikan buat ayahnya (QS 19: 47-48).

Ibrahim diwahyukan agar menghancurkan berhala-berhala. Dia pun datang ke tempat berhala-berhala diletakkan sambil memanggul sebuah kapak besar. Dia menghancurkan berhala-berhala yang ada kecuali ditinggalkan satu berhala terbesar.
(QS 21: 58). Tindakannya yang dianggap kurang ajar itu membuat ayahnya dan orang-orang musyrik itu murka. Mereka menangkap Ibrahim, mengikatnya, menggelandangnya, dan kemudian melemparkannya ke dalam kumpulan bara api yang panasnya ribuan derajat Celsius (QS 37: 97-98). Mereka bersorak-sorak dan bernyanyi-nyanyi melihat kobaran dan jilatan api membakar tumpukan kayu, serta amat yakin bahwa tubuh Ibrahim  akan hangus sambil menunggu sampai api padam.

Ketika kobaran api mulai melemah dan kemudian padam, mereka pun mendekat untuk memastikan tubuh Ibrahim sudah musnah terbakar bersama tumpukan kayu. Mata mereka terbelalak dan perasaan terhenyak terkaget-kaget. Memang mereka tidak melihat lagi batang-batang kayu besar yang telah mereka siapkan sebagai bahan bakar karena memang sudah menjadi puing-puing atau abu, tetapi mereka melihat sosok Ibrahim masih tegak berdiri tak kurang suatu apa pun. Api itu sama sekali tidak membakar tubuhnya bahkan sehelai benang pun tidak (QS 21: 68-70).


Nuh versus Kan’an (Ayah saleh versus anak toleh)

Kisah Nabi Nuh adalah kisah nyata tentang kehidupan manusia. Nuh adalah rasul pertama kali yang diutus oleh Allah Ta’ala untuk menyadarkan, meluruskan, dan membimbing manusia agar kembali kepada ajaran Allah dan menjalani kehidupan sesuai dengan ajaran dan perintah-Nya. Perkembangbiakan manusia semenjak Nabi Adam dan Hawa mendiami bumi sampai generasi Nuh selama ribuan tahun berakibat populasi manusia bertambah besar. Nabi Adam, Sits, dan Idris sebagai rasul belum mengalami masa manusia yang congkak dan ingkar secara massal. Oleh karena itu tugas para rasul ini tidak seberat para rasul yang diutus sesudahnya.

Nuh tumbuh dan hidup di tengah masyarakat yang sudah mulai menunjukkan tanda-tanda keingkaran terhadap perintah Allah, manusia yang congkak, penentang, dan pembangkang terhadap Allah (durhaka). Kisah tentang kehidupan dan perjuangan Nuh mengajarkan, menyadarkan, dan membimbing umatnya yang durhaka dinukilkan dalam Quran di beberapa tempat dalam surat-surat: QS Al A’raf (7): 59-64; QS Yunus (10): 71-73; QS Hud (11): 25-49; QS Al Anbiyaa’ (21): 76-77; QS Al Mu’minun (23): 23-30; QS As-Su’araa’ (26): 105-122; QS Al Ankabut (29): 14-15; QS Ash-Shaffat (37): 75-82; QS Al Qamar (54): 9-17; QS Nuh (71): 1-28; QS An-Nisaa’ (4):P 163-165; QS Al An’am (6): 73-87; dan beberapa surat yang lainnya.

Nabi Nuh harus berjuang keras untuk menyadarkan dan membawa kembali umatnya kepada jalan Allah. Namun perjuangannya yang keras itu terbentur oleh penentangan umatnya yang keras kepala sekeras batu. Bahkan anak kandungnya sendiri, Kan’an, justru berseberangan dengannya. Kan’an justru menjadi motor penentang ajaran Nuh yang mengompor-ngompori masyarakat agar membangkang ajaran dan ajakan sang ayahnya. Kan’an adalah provokator/penghasut agar masyarakat tidak mengikuti ajakan ayahnya. Sebagian besar orang pun terhasut dan hanya segelintir saja yang mengikuti ajakan Nuh.

Nuh adalah manusia biasa yang diberi wahyu kerasulan. Kesabaran, ketaatan, dan keteguhan hatinya dalam berdakwah sungguh luar biasa. Allah pun mengganjarnya dengan karunia keselamatan baginya dan orang-orang yang setia menjadi pengikutnya. Allah memerintahkan Nuh agar menyiapkan bahtera perahu untuk ditumpangi oleh Nuh dan para pengikutnya. Allah mewahyukan kepada Nuh bahwa negeri itu dan seluruh manusia pembangkang penghuni negeri itu akan dilenyapkan dengan air bah yang amat dahsyat.

Janji Allah tiba sudah. Perahu Nuh sudah terisi oleh Nuh dan para pengikutnya serta binatang-binatang ternak yang turut serta dimuat di dalamnya. Hujan besar disertai badai dahsyat pun datang berhari-hari tiada henti. Negeri itu ditenggelamkan oleh lautan banjir dahsyat yang berampun. Nuh dan para pengikutnya berada di dalam perahu dan kemudian berlayar dengan tenang meninggalkan negerinya yang telah lenyap. Lalu ke mana Kan’an si anak toleh anak durhaka?

Dasar congkak tetap saja congkak. Kan’an yang toleh dan tolol itu, yang berkali-kali menertawai memperolok-olok ayahnya yang membuat perahu di puncak bukit, bersama bolo dan konco-konconya tewas dilanda banjir.

Wa makaruu wa makarallaahu. Wallaahu khairul maakiriin.
Mereka merekayasa dan Allah pun merekayasa. Dan Allah adalah Maha     
Merekayasa.

Simpulan

Dalam ajaran Islam, jelas-jelas dinyatakan melalui statemen Allah, bahwa faktor keturunan itu bukan ukuran menjadi orang beriman atau tidak beriman/kafir.
Ibrahim yang rasul dan juga nabi, ayahnya adalah penyembah berhala tulen.
Nabi Muhammad saw, ayahnya, pamannya, kakeknya, mbah buyut-nya, adalah penyembah berhala (jahiliah) tulen.
H. Abdul Karim Oei Tjung Hien, pelopor muslim mualaf China glodok, Pendiri organisasi PITI, datang dan tumbuh besar di dalam keluarga dan kalangan nonmuslim.
Seorang da’i muda, lahir dan tumbuh di tengah keluarga nonmuslim yang membenci Islam.
Ustazah Hjh. Irene Handoyo, mantan biarawati, datang dan tumbuh dari keluarga nonmuslim.

Seorang laksamana laut purnawirawan (bintang empat, setara jenderal) yang murtad, orang tuanya muslim dan bertitel haji pula.
Seorang jenderal purnawirawan berbintang dua, juga murtad dan memusuhi Islam, datang dari kedua orang tua dan keluarga besar muslim.

Jadi, keliru besar membangga-banggakan diri sebagai anak hebat orang hebat hanya karena memiliki darah keturunan nabi, wali, ulama, raja, atau ningrat.
“Saya masih ada darah keturunan Prabu Siliwangi. Saya saudara sepupu ke-5 dari Raden Kiansantang.”
“Oh, itu mah Sunan Gunung Jati. Beliau ulama dan orang mulia. Jadi kuburannya harus diziarahi supaya kita mendapat keberkahan hidup. Apa lagi saya sebentar lagi ikut Nyaleg Dapil V Jawa Barat!”
“Mbah Priok itu masih termasuk kakek dalam silsilah keluarga saya. Makanya saya suka menziarahi kuburannya biar saya ada keberkahan hidup.”

“Maafkan ketololan saya. Ustaz yang baru meninggal itu ustaz idola saya. Saya jauh-jauh datang dari Bekasi untuk melihat kuburannya dan ingin menjumput sekepal tanah merah di atas kuburannya itu. Sungguh, saya tidak tahu bahwa mengidolakan ustaz secara berlebihan itu bakal mendekati kemusyrikan.”

Kalau anak keturunan/silsilah saja tidak perlu dibangga-banggakan, tidak perlu dikultus-kultuskan, atau diagung-agungkan, apatah lagi cuma harta benda, apatah lagi cuma seonggok batu nisan, sebongkah tanah kuburan.

Ya, bunayya laa tusyrik billaahi. Innasy syirka lazulmun ‘adziim.
Wahai, anakku. Jangan sekali-kali menyekutukan Allah (syirik). Sesungguhnya
menyekutukan Allah itu adalah dosa teramat besar (tak terampuni).
          (QS 31: 11)
Kalau sudah tahu dan takut untuk melakukan syirik (hitam pekat), tak perlu lagi membesar-besarkan acara ziarah kubur (abu-abu dan remang-remang).

Jakarta, 6 Mei 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar