Bisnisnya pabrik
panci dan kuali. Lokasinya di Desa Lebakwangi, Kecamatan Sepatan, Kabupaten
Tangerang. Nama pengusahanya (bos dan pemilik pabrik) Yuki Irawan, 41 tahun.
Selasa, 7 Mei 2013, pabrik itu diserbu para buruh dari organisasi serikat buruh
SPSI, FPS-TSK, dan GSBI. Ruangan pabrik yang pengap itu diluluhlantakkan oleh
para buruh penyerbu puluhan orang. Bukan hanya pabrik panci saja yang dirusak,
rumah mewah milik Yuki Irawan yang berada di lokasi bersebelahan dengan pabrik
pun dirusak massa. Bahkan para penyerbu belum berhenti sampai di situ saja.
Mereka pun bergerak menuju rumah Mursan, Kepala Desa Lebakwangi, yang letaknya
tak berjauhan dengan lokasi pabrik. Pagar rumah Mursan dirusak diobrak-abrik.
Ada apa gerangan para
penyerbu itu sedemikian murkanya terhadap pabrik panci itu?
Mereka, para buruh
penyerbu itu pantas murka dan darah menggelegak naik ke ubun-ubun. Rekan mereka
sesama buruh, ada 36 orang (dari Cianjur, Bandung, dan Lampung) yang
dipekerjakan oleh Yuki Irawan di pabriknya, diperlakukan seperti hewan kelinci.
Mereka dijadikan pekerja ala romusha zaman Nippon, kerja berat tanpa istirahat,
18 jam minimal, tanpa gaji atau upah yang layak, disekap pula. Mereka “disiksa”
berbulan-bulan (delapan bulan). Mereka diancam dan disiksa jika output tak sesuai
dengan target. Tak ada satu pun yang luput dari siksaan itu. Bukti siksaan
masih bersisa di bagian tubuh mereka yang bernasib malang itu.
Kok bisa ya, si Yuki
Irawan itu berlaku kejam terhadap buruh yang sudah berjasa membuat dirinya
kaya-raya sampai berbulan-bulan? Si Yuki itu manusia, tikus, atau manusia
berhati srigala?
Fakta-fakta yang
terungkap mungkin dapat menyingkap pertanyaan-pertanyaan di atas.
Pertama, para buruh
itu orang yang tak terpelajar/berpendidikan rendah yang berkeinginan
mendapatkan pekerjaan. Karena itu wajarlah mereka itu begitu polos, berterima
kasih bisa diterima bekerja, dan pasrah mengerjakan pekerjaan kasar sebagai
kuli di pabrik kuali/panci.
Kedua, kepolosan
mereka beriringan dengan ketidaktahuan tentang seluk-beluk hak dan kewajiban
sebagai tenaga kerja, hal-ikhwal peraturan/regulasi, UMR, bonus, sanksi/hukuman,
buta hukum, dan tentu saja sangat awam karakter manusia.
Ketiga, perasaan dan
kondisi pihak yang inferior/dikalahkan/direndahkan akan memberi peluang mudah untuk
diintimidasi, diancam, dihukum, dan juga disiksa serta diperlakukan sewenang-wenang
oleh majikan bengis kayak si Yuki Irawan. Sulit bagi mereka untuk melakukan
perlawanan fisik, kecuali memikirkan satu-satunya jalan, yakni cara melarikan
diri.
Mereka, para buruh
yang malang di pabrik panci itu, dijadikan budak dan hewan kelinci yang siap
dipotong untuk hidangan makan malam atau sebagai kelinci percobaan di
laboratorium si Yuki berhati serigala berotak panci. Si Yuki itu mungkin
hatinya hitam berkarat, akal pikirannya singkat sehingga dia menyamakan kuali
punya pantat dengan dia punya jidat dengan cara bengis nan laknat.
Ke mana saja aparat
desa dan aparat kepolisian?
Aparat itu idealnya jabatan
mulia. Kepala Desa itu orang mulia jika bekerja dengan hati dan menggunakan
akal. Tak ada kemulian di atas kemulian orang yang bekerja dengan hati dan
akal. Itulah ibadah yang berdimensi dua, dimensi dunia dan dimensi akhirat.
Betapa mulianya si aparat!
Si Mursan, Kepala
Desa (Kades) Lebakwangi, Sepatan, adalah aparat desa dan orang nomor satu di
desa Lebakwangi. Konon, berkat jasa si Yuki Irawan si Mursan nasibnya
terangkat, dari orang biasa menjadi kepala desa berpangkat. Kok mau-maunya si
Yuki Irawan berkorban menggelontorkan uang berjuta-juta demi memenangkan Mursan
sebagai Kades. Rupanya, antara Mursan dan Yuki ada hubungan beripar asli bukan
saudara angkat.
Mursan berkeliling desanya
adalah wajar dan mulia. Mau siang, sore,
malam, atau tengah malam boleh-boleh saja. Model blusukanlah! Jokowi yang
Gubernur DKI Jakarta saja suka blusukan, agar tahu perut rakyatnya, apa sudah
kenyang atau lapar. Begitulah yang semestinya seorang aparat yang mulia
berderajat.
Mursan sang Kades
suka berkeliling, tetapi mungkin waktunya amat singkat. Boleh jadi benar apa
yang dia utarakan dalam wawancara dengan reporter tv, dia suka datang ke rumah
Yuki. Wong masih ada hubungan ipar
dan saudara dekat! Tetapi dia hanya sampai di ruang tamu saja. Ngobrol ngalor ngidul dengan Yuki, sekedar
basa-basi sambil minum teh atau kopi kental hangat. Lalu dia salaman dan berpamitan
dan kemudian angkat pantat berangkat.
Ya, pantas saja dia nggak tau kalau ada 36 orang buruh di
pabrik panci yang berbulan-bulan sedang sekarat!
Lalu aparat
kepolisian sedang berada di mana?
Aparat kepolisian itu
idealnya jabatan mulia. Aparat kepolisian menjaga kamtibmas itu merupakan
kewajiban mulia. Aparat kepolisian melakukan patroli berkeliling dengan berjalan
kaki, bersepeda, bermotor, atau bermobil itu adalah tugas mulia dan sebuah
bentuk ibadah yang sangat besar pahalanya. Para pembaca tak perlu
bertanya-tanya berapa ribu butir pahala yang mereka dapat dengan ibadah
berpatroli, karena urusan memberi pahala hak mutlak Allah. Polisi tak perlu
bawa-bawa tasbeh atau pencet biji-biji tasbeh untuk menghitung frekuensi
patroli berkeliling. Tanpa kesalahan yang mencatat yakni Malaikat dan Allah
Yang Maha Mengganjar pahala berlipat-lipat.
Tetapi kalau
berpatroli hanya tertuju ke suatu rumah suatu tempat, tentu ada terkandung niat
dan maksud tersirat. Ada satu dua anggota Polisi berpatroli dan kemudian
beranjangsana ke rumah Yuki, ada satu dua anggota TNI juga suka mampir dan
merapat, tetapi sebegitu seringnya merapat, tidak tahu secuil pun nasib buruk
para buruh pabrik panci yang sekarat, itu juga dalam rangka PatRoLi, yakni
kegiatan merapat (Pat), dapat uang rokok (Ro) dan uang beli oli (Li).
Apakah ada aparat
yang seperti itu? Ada. Karena ada satu atau dua, namanya oknum aparat. Nama
inisialnya HS (polisi) dan S (TNI). Konon kedua oknum itu teman baiknya si Yuki
Irawan. Keduanya sering merapat ke rumah si Yuki, sering merapat ke ruang
pengap nan kumuh pabrik panci dan melihat yang bening kuali-kuali punya pantat.
Hanya sampai di ruang tamukah keduanya duduk dengan kaki berlipat?
Ternyata tidak juga. Keduanya juga melihat dan menyaksikan
wajah-wajah kuyu dan kucel para buruh yang tubuhnya semakin luruh dengan
pakaian nan lusuh. Bahkan yang paling membuat jantung berguruh, kedua oknum
aparat ini dengan sukarela mau diperalat
oleh si Yuki untuk mengancam, menempeleng, menendang, menyundut, dan
memperlakukan buruh seperti musuh. Jangankan terdengar mengeluh, jangankan bisa
menegakkan salat Subuh, badan nan luruh pun tak boleh mereka basuh! Hati kedua
oknum itu sama sekali tak tersentuh!
Untungnya Polisi dan
TNI tetap menjaga kamtibmas selaku aparat yang mulia berderajat berharkat
bermartabat. Akan halnya HS dan S, keduanya hanyalah oknum yang menodai kemulian
aparat, pantasnya keduanya disebut si oknum keparat!
Untunglah para buruh
yang selalu disuruh-suruh yang upahnya dibayar cuma separuh itu bisa dibebaskan
lebih cepat berkat ikhtiar dan perjuangan dan jihad yang sungguh-sungguh.
Oh, berakhirlah
riwayat pabrik kuali atau panci, ditinggalkan oleh para buruh bak kelinci, dihancurkan
oleh sebagian orang yang merasa amat kadung benci, karena oknum aparat berlaku
bagai banci.
Sunnatullah manusia
itu homo socius. Laknatullah kalau
manusia itu homo homeni lupus karena
lupus itu bellium omium contra ommes (manusia adalah serigala bagi
sesamanya dan akan saling memangsa serigala-serigala itu sampai ada yang
mampus). Si Yuki Irawan dan begundalnya adalah idem dengan lupus, sifat
suka merampas karena rakus. Hobi mengerat menggerogot bak tikus. Rezeki orang
atas nama hak pribadi pun dia rampas bahkan kalau perlu sampai ke lobang kakus.
Jakarta, 7 Mei 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar