Rabu, 01 Mei 2013

ANAK SALEH ANAK TOLEH, ORANG SALEH ORANG TOLEH



ANAK SALEH ANAK TOLEH, ORANG SALEH ORANG TOLEH

Anak Saleh (soleh), dari definisi ke definisi

Kata saleh (sesuai dengan kaidah penulisan kata; orang lebih sering menyebut dalam ucapan soleh) terambil dari kata dalam bahasa Arab yaitu kata shalih,shalihun, shalaha, tergolong kelas kata adjektiva yang artinya baik. Frasa waladun salihun artinya anak (yang) saleh; frasa amalan shalihan artinya amal baik; frasa man aamila shaalihan artinya barangsiapa yang berbuat kebaikan.

Frasa anak saleh itu tak perlu didefinisikan atau memberi definisi yang rumit. Tak perlu kita buka-buka kamus, ensiklopedi, atau kitab kuning untuk mendefinisikan frasa anak saleh. Kegiatan model begitu bukannya membuat kita, umat Islam lebih mudah dalam beragama, melainkan membuat kita tambah susah, ribet, dan bikin mumet dalam beragama.

Supaya mudah, mari kita turunkan konsep anak saleh menjadi indikator yang lebih operasional dan mudah diukur. Ada seribu satu indikator yang langsung bisa dijadikan ukuran wujud anak saleh, contoh sebagai berikut:

Orang tua menyuruh anaknya bangun pukul 5 pagi, anaknya bangun pukul 5 pagi;
Orang tua menyuruh anaknya pergi ke sekolah, anaknya pun pergi ke sekolah;
Ayah menyuruh anaknya menutup pintu gerbang, anaknya melakukannya;
Ibu melarang anaknya menonton tv sampai pukul 10 malam, anaknya mematuhi.
Kakak menyuruh adik mencuci gelas, adik pun mencuci gelas.
Guru menyuruh siswa menulis, siswa menulis.
Guru melarang siswa memelihara kuku sampai panjang-panjang, siswa mematuhi.
Guru melarang mencontek pekerjaan temannya, siswa pun tidak mencontek.
Guru mengajak salat Zuhur berjamaah, siswa pun salat berjamaah.
Guru menyuruh siswa belajar kelompok, siswa pun belajar dalam kelompok.

Anak, apa pun sebutan yang biasa dipakai (adik, adek, dede, abang, kakak, siswa, murid, dll.) disebut anak saleh kalau mematuhi dan menaati perintah dan larangan seperti contoh di atas. Wujud kesalehan si anak jelas dan terukur. Mudah sekali, bukan?

Ya, mudah dan indah tentunya memiliki anak saleh! Orang tua senang dan bangga. Kakak, paman, bibi, nenek, dan kakek senang. Guru kelas atau semua guru dibuat senang. Orang-orang di sekitar merasa nyaman bersama anak saleh. Sorga di dunia dirasakan orang tua dan orang lain karena keberadaan anak saleh. Apatah lagi ada jutaan anak saleh yang menjadi cikal-bakal orang-orang saleh!

Bukankah Ustaz sering mengatakan bahwa anak yang saleh itu ialah anak yang selalu mendoakan kedua orang tuanya? Pernyataan ustaz itu bisa dikembangkan, seperti: anak yang tidak saleh berarti tidak mendoakan orang tuanya; atau dengan kalimat lain: anak yang tidak mendoakan orang tuanya  bukanlah anak (yang) saleh. Ustaz mendefinisikan anak saleh tetapi melahirkan definisi baru, yakni anak yang selalu mendoakan kedua orang tuanya.

Pernyataan dan definisi model beginilah yang membikin tambah rancu benak orang Islam. Dari definisi ke definisi baru. Lelah dan capek deh! Kerancuan pertama, cukup diketahui dengan mengajukan pertanyaan dari 5W1H: kapan, bagaimana, dan di mana anak itu berdoa. Kerancuan kedua, bagaimana bisa kita menggelari si anak dengan gelar anak saleh jika kita tidak belihat si anak berdoa? Bagaimana kita menggelari anak sebagai anak saleh kalau kita tak pernah mendengar anak itu berdoa? Pertanyaan berikutnya, bagaimana kalau anak itu tunarungu dan bisu?

Yang lebih parah lagi rancunya memaknai anak yang saleh versi ustaz itu ketika orang tuanya sudah meninggal. Definisinya dibumbui: anak yang selalu mendoakan orang tuanya yang sudah meninggal.

Apa dampak dari kerancuan definisi ustaz dimaknai dan disikapi umat Islam? Perhatikan rangkaian kerancuan berikut: Anak yang ditinggalkan orang tua nggak pede berdoa sendiri karena merasa tak bisa berdoa. Karena berdoa diartikan harus dalam bahasa Arab. Karena nggak pede lalu memanggil tetangga sebelah dan tentu saja mengundang ustaz yang dianggapnya pandai berdoa dan menurut pandangannya hanya ustaz yang mampu memimpin doa. Kesempatan bagi ustaz untuk memimpin ritual berdoa,pentingnya berdoa bagi anak saleh, dan berpanjang-panjanglah ustaz berdoa dalam bahasa Arab. Bertambah-tambah nggak pedenya si anak, bertambah-tambah takutnya bakal dicap anak durhaka, bertambah-tambah besar saja ketergantungan kepada ustaz dan orang-orangnya.

Berhubung ada perasaan takut dicap anak durhaka, ditambah lagi isi tausiah ustaz yang menakut-nakuti, makin terlilit si anak dengan ketakutan. Si anak pun ikut-ikutan bikin acara doa ini doa itu, hari-hari berdoa, hari kesekian-kesekian, tambah mumet kepalanya karena harus memikirkan dana untuk doa dan tetek-bengek. Lama-lama badan si anak tambah kurus dan  sakit bengek karena menderita tekanan batin!

“Semenjak bapakmu meninggal, kamu kok tambah kurus saja. Masih sedih?” tanya Ali kepada Budi yang baru saja kehilangan ayah.
“Bukan saja sedih loh, Ali! Saya lagi mikir cari dana untuk acara niga dan nujuh harinya almarhum bapakku.” jawab Budi dengan wajah lesu.
“Apa pula itu niga dan nujuh hari?”
“Tiga hari dan tujuh hari meninggalnya bapak dengan acara doa untuk almarhum.”
“Maksud dan tujuannya?”
“Katanya ustaz bukti dan bakti anak saleh itu selalu mendoakan orang tuanya.”
“Oalah! Maaf, ya, Budi. Itu praktik beragama Islam yang salah. Praktik umat zaman jahiliah di negeri antah-berantah. Itu sama artinya dengan berburuk sangka kepada Allah. Lebih baik dana yang kamu miliki digunakan untuk bersedekah. Orang miskin terbantu dan bisa tertawa sumringah, anak yatim bisa beli seragam sekolah, rezekimu akan ditambah dan akan jauh lebih berkah!”

“Begitukah? Tetapi, kupikir-pikir, benar juga semua yang kamu katakan itu, Ali. Saranmu itu benar dan indah sekali. Sungguh, mudah dicerna dan merasuk ke dalam sanubari. Terima kasih karena kamu sudi berbagi. Orang Islam seharusnya menyadari, menggunakan akal dan menggunakan hati secara serasi.”

Ya, Budi dan mungkin juga sebagian muslim yang lain, selama ini lebih menggunakan hati daripada mengedepankan logika Quran. Seperti itulah frasa anak (yang) saleh dimaknai pada umumnya. Orang Islam yang awam menerima mentah-mentah makna seperti itu tanpa menelaah. Bahkan, ironisnya, tak sedikit mereka yang bergelar ustaz justru mengajarkan dan menganjurkan perlunya perhelatan doa arwahan tiga hari, tujuh hari, empat puluh hari, seratus hari, setahun, seribu hari, dan sekian-sekian yang menjiplak praktik agama era jahiliah. Jadi tidaklah aneh kalau definisi aneh praktiknya ya, nyeleneh.

Anak toleh
Anak toleh sebenarnya tak ada dan tidak dikenal umum. Frasa ini cuma bikinan penulis. Di sini penulis menggunakan analogi dengan frasa anak saleh yang artinya sudah diketahui: anak yang taat, patuh, dan lurus terarah memandang serta melakukan sesuatu dengan baik sesuai dengan keinginan orang dewasa: orang tua, guru, atau pelatih. Anak toleh itu artinya berkebalikan dengan pengertian anak saleh. Anak toleh itu suka menoleh, melengos, membuang muka, membantah, membangkang, melanggar, menentang, dan bahkan menantang. Mari kita simak contoh-contoh sosok anak toleh berikut ini.

Orang tua menyuruh anaknya bangun pukul 5 pagi, anaknya bangun kesiangan terus;
Orang tua menyuruh anaknya pergi ke sekolah, anaknya malas pergi ke sekolah, sering membolos, dan bermain play station di rumah sebelah;
Ayah menyuruh anaknya menutup pintu gerbang, anaknya malah duduk ongkang-ongkang;
Ibu melarang anaknya menonton tv sampai pukul 10 malam, anaknya malah menonton sampai larut malam;
Kakak menyuruh adik mencuci gelas, adik malah marah dan membanting gelas.
Guru menyuruh siswa menulis dan menyalin, siswa malah jajan di kantin;
Guru menyuruh siswa memotong kuku, siswa malah memelihara kuku sampai panjang-panjang;
Guru melarang mencontek pekerjaan temannya, siswa malah menyobek pekerjaan temannya.
Guru mengajak salat Zuhur berjamaah, siswa malah menghilang ke mana entah.
Guru menyuruh siswa belajar kelompok, siswa malah bersembunyi di kantin pojok.

Kita mengenali anak toleh itu mudah sekali, bukan? Jelas sekali indikatornya dan mudah mengukurnya dalam menilai. Itulah pentingnya mempelajari indikator. Terutama bagi para guru yang setiap hari berada di kelas atau di sekolah. Tentu amat penting para ustaz, kiai, dan pendakwah memahami indikator agar bertausiah itu contextual membumi karena jemaah dan ustaz sama-sama berada di bumi, tidak mengawang-awang, membayang-bayangkan sejarah nenek moyang, apa lagi melangit. Mana sih contoh tausiah ustaz yang mengawang-awang atau melangit?

Yuk, kita simak contoh berikut ini!

Topik tausiah: Pemimpin yang peduli dengan rakyat
Contoh pemimpin yang peduli dengan rakyat dipilihnya Umar Ibnul Khattab. Sang ustaz mungkin tahu sosok Umar karena pernah membaca biografinya, mungkin juga sekedarnya, mungkin juga cuma dengar dari mulut ke mulut. Apakah jemaahnya tahu, sekedar tahu, atau tidak tahu sama sekali tentang sosok Umar? Supaya kelihatan sebagai ustaz yang keren, dia kutip kisah berbahasa asing/Arab kitab kuning karangan ahli zaman dulu. Karena contoh tidak contextual, ya ceramahnya melayang di awang-awang. Pikiran para jemaah cuma menerawang membayang-bayang sosok Umar yang tak pernah mata memandang, tak ada lukisan terpampang, dan  tak pernah tertayang.
Coba si Ustaz pilih dan ambil sosok Jokowi atau Dahlan Iskan sebagai contoh seorang pemimpin yang peduli rakyat yang sebagian bernasib malang. Dijamin jemaah senang dan hati riang. Bagi jemaah, wajah Jokowi dan Dahlan Iskandar itu wajah kondang. Wajah keduanya di layar tv tiada hari tanpa tayang. Hampir semua rakyat paham dan bersetuju kepada kedua pemimpin itu dalam bersepak terjang.

Topik tausiah: Wanita salihah
Ustaz malah pilih dan ambil sosok Fatimah sebagai contoh wanita salihah yang digadang-gadang. Paling-paling jemaah yang tahu sosok Fatimah itu satu dua orang. Kalau si Ustaz dari kalangan nasionalis, sosok R.A. Kartini yang ditampilkan sebagai contoh wanita terpandang. Kedua sosok wanita yang dicontohkan adalah wanita zaman dahulu zaman kuda tunggang. Si Ustaz memaksakan kehendak membawa jemaah kembali ke zaman dahulu zaman rambut wanita dikepang. Tausiah tak ada greget. Jadinya, tausiah is out of context yang berdampak out of target. Padahal, sosok wanita solihah untuk bahan contoh tausiah ribuan banyaknya di sekitar kita di zaman sekarang ini, ketika wanita itu hidup pada zaman, situasi, dan kondisi yang sama dengan para jemaah.

Orang saleh dan orang toleh

Anak saleh sudah kita ketahui dan pahami artinya serta sederhana sekali: anak (yang) baik, titik. Kalau sosok orang dewasa yang selalu berbuat baik disebut orang saleh: orang (yang) baik, titik. Apa cocok-galecok kalau didefinisikan orang saleh adalah orang yang selalu mendoakan orang tuanya? Dia saja sudah menjadi orang tua!  
Bahasa kerennya orang saleh itu memiliki dua kesalehan, yakni kesalehan individual dan kesalehan sosial. Mudah saja mendapatkan indikator dan mengukur kesalehan sosial dan kesalehan individual yang bersinergi kuat pada sosok orang saleh.
Contoh:
Orang saleh itu selalu menunaikan puasa pada bulan Ramadan. Dalam kondisi berpuasa dia mengundang orang lain untuk berbuka, mentraktir teman, membagikan takjil, mengantarkan hidangan berbuka kepada orang miskin di sekitar rumah, membangunkan anggota keluarga atau tetangga untuk bersahur, dia tetap bekerja dengan baik, masuk kerja, datang dan pulang kerja tepat waktu, sesuai dengan profesinya masing-masing, dll.

Tidak semua orang yang berpuasa memiliki dua kesalehan itu. Ada orang mencampuradukkan kesalehan dengan ketidaksalehan.  Ada orang Islam telat masuk kerja dan lebih cepat pulang dengan alasan berpuasa atau memasak. Ada yang sering menguap, mengantuk, bermalasan, dan tidur pada jam kerja karena malam kurang tidur dengan alasan qiyaamul lail, membaca Quran, atau i’tiqaf. Berpuasa tetapi berfoya-foya. Berbuka puasa tetapi hidangannya melimpah-ruah. Berpuasa tetapi suka berkata dusta. Berpuasa tetapi sering mencaci-maki bersumpah serapah. Berpuasa tetapi membuat suasana hingar-bingar Bertaraweh tetapi suasana tercipta seperti pasar malam dan bazar obral murah. Mau bersahur tetapi bikin acara trek-rekan motor. Maksud ingin ngabuburit tetapi mojok berduaan atau dekap-dekapan dengan pacar. Dll.

Jika kita sudah tahu semua yang baik-baik yang sesuai dengan ajaran Allah dan rasul-Nya: perasaan, tutur kata, sikap, dan perbuatan, kemudian kita mewujudkan secara nyata dalam kehidupan, berarti kita layak disebut orang saleh. Sebaliknya jika kita berbuat yang bertentangan dengan nilai-nilai kesalehan, kita layak disebut orang toleh.

Jakarta, 1 Mei 2013

1 komentar:

  1. Assalamualaikum, bagus tulisannya akhi, update lagi dong biar banyak yg baca!!, Jazakallahukhairan..., Wassalam

    BalasHapus