ANAK SALEH ANAK TOLEH, ORANG SALEH ORANG
TOLEH
Anak Saleh (soleh), dari definisi ke definisi
Kata saleh
(sesuai dengan kaidah penulisan kata; orang lebih sering menyebut dalam ucapan soleh) terambil dari kata dalam bahasa
Arab yaitu kata shalih,shalihun, shalaha,
tergolong kelas kata adjektiva yang artinya baik. Frasa waladun salihun artinya anak (yang)
saleh; frasa amalan shalihan artinya
amal baik; frasa man aamila shaalihan
artinya barangsiapa yang berbuat kebaikan.
Frasa anak saleh itu tak perlu didefinisikan
atau memberi definisi yang rumit. Tak perlu kita buka-buka kamus, ensiklopedi,
atau kitab kuning untuk mendefinisikan frasa anak saleh. Kegiatan model begitu
bukannya membuat kita, umat Islam lebih mudah dalam beragama, melainkan membuat
kita tambah susah, ribet, dan bikin mumet dalam beragama.
Supaya mudah, mari kita turunkan konsep anak
saleh menjadi indikator yang lebih operasional dan mudah diukur. Ada seribu
satu indikator yang langsung bisa dijadikan ukuran wujud anak saleh, contoh
sebagai berikut:
Orang tua menyuruh anaknya bangun pukul 5
pagi, anaknya bangun pukul 5 pagi;
Orang tua menyuruh anaknya pergi ke sekolah,
anaknya pun pergi ke sekolah;
Ayah menyuruh anaknya menutup pintu gerbang,
anaknya melakukannya;
Ibu melarang anaknya menonton tv sampai pukul
10 malam, anaknya mematuhi.
Kakak menyuruh adik mencuci gelas, adik pun
mencuci gelas.
Guru menyuruh siswa menulis, siswa menulis.
Guru melarang siswa memelihara kuku sampai
panjang-panjang, siswa mematuhi.
Guru melarang mencontek pekerjaan temannya,
siswa pun tidak mencontek.
Guru mengajak salat Zuhur berjamaah, siswa
pun salat berjamaah.
Guru menyuruh siswa belajar kelompok, siswa
pun belajar dalam kelompok.
Anak, apa pun sebutan yang biasa dipakai
(adik, adek, dede, abang, kakak, siswa, murid, dll.) disebut anak saleh kalau
mematuhi dan menaati perintah dan larangan seperti contoh di atas. Wujud
kesalehan si anak jelas dan terukur. Mudah sekali, bukan?
Ya, mudah dan indah tentunya memiliki anak
saleh! Orang tua senang dan bangga. Kakak, paman, bibi, nenek, dan kakek
senang. Guru kelas atau semua guru dibuat senang. Orang-orang di sekitar merasa
nyaman bersama anak saleh. Sorga di dunia dirasakan orang tua dan orang lain
karena keberadaan anak saleh. Apatah lagi ada jutaan anak saleh yang menjadi
cikal-bakal orang-orang saleh!
Bukankah Ustaz sering mengatakan bahwa anak
yang saleh itu ialah anak yang selalu mendoakan kedua orang tuanya? Pernyataan
ustaz itu bisa dikembangkan, seperti: anak yang tidak saleh berarti tidak
mendoakan orang tuanya; atau dengan kalimat lain: anak yang tidak mendoakan
orang tuanya bukanlah anak (yang) saleh.
Ustaz mendefinisikan anak saleh tetapi melahirkan definisi baru, yakni anak
yang selalu mendoakan kedua orang tuanya.
Pernyataan dan definisi model beginilah yang
membikin tambah rancu benak orang Islam. Dari definisi ke definisi baru. Lelah
dan capek deh! Kerancuan pertama, cukup
diketahui dengan mengajukan pertanyaan dari 5W1H: kapan, bagaimana, dan di mana
anak itu berdoa. Kerancuan kedua, bagaimana bisa kita menggelari si anak dengan
gelar anak saleh jika kita tidak belihat si anak berdoa? Bagaimana kita
menggelari anak sebagai anak saleh kalau kita tak pernah mendengar anak itu
berdoa? Pertanyaan berikutnya, bagaimana kalau anak itu tunarungu dan bisu?
Yang lebih parah lagi rancunya memaknai anak
yang saleh versi ustaz itu ketika orang tuanya sudah meninggal. Definisinya
dibumbui: anak yang selalu mendoakan orang tuanya yang sudah meninggal.
Apa dampak dari kerancuan definisi ustaz
dimaknai dan disikapi umat Islam? Perhatikan rangkaian kerancuan berikut: Anak
yang ditinggalkan orang tua nggak pede
berdoa sendiri karena merasa tak bisa berdoa. Karena berdoa diartikan harus
dalam bahasa Arab. Karena nggak pede
lalu memanggil tetangga sebelah dan tentu saja mengundang ustaz yang
dianggapnya pandai berdoa dan menurut pandangannya hanya ustaz yang mampu
memimpin doa. Kesempatan bagi ustaz untuk memimpin ritual berdoa,pentingnya
berdoa bagi anak saleh, dan berpanjang-panjanglah ustaz berdoa dalam bahasa
Arab. Bertambah-tambah nggak pedenya
si anak, bertambah-tambah takutnya bakal dicap anak durhaka, bertambah-tambah
besar saja ketergantungan kepada ustaz dan orang-orangnya.
Berhubung ada perasaan takut dicap anak
durhaka, ditambah lagi isi tausiah ustaz yang menakut-nakuti, makin terlilit si
anak dengan ketakutan. Si anak pun ikut-ikutan bikin acara doa ini doa itu,
hari-hari berdoa, hari kesekian-kesekian, tambah mumet kepalanya karena harus memikirkan dana untuk doa dan
tetek-bengek. Lama-lama badan si anak tambah kurus dan sakit bengek karena menderita tekanan batin!
“Semenjak bapakmu meninggal, kamu kok tambah kurus saja. Masih sedih?”
tanya Ali kepada Budi yang baru saja kehilangan ayah.
“Bukan saja sedih loh, Ali! Saya lagi mikir cari dana untuk acara niga dan nujuh harinya almarhum bapakku.” jawab Budi dengan wajah lesu.
“Apa pula itu niga dan nujuh hari?”
“Tiga hari dan tujuh hari meninggalnya bapak
dengan acara doa untuk almarhum.”
“Maksud dan tujuannya?”
“Katanya ustaz bukti dan bakti anak saleh itu
selalu mendoakan orang tuanya.”
“Oalah! Maaf, ya, Budi. Itu praktik beragama
Islam yang salah. Praktik umat zaman jahiliah di negeri antah-berantah. Itu
sama artinya dengan berburuk sangka kepada Allah. Lebih baik dana yang kamu
miliki digunakan untuk bersedekah. Orang miskin terbantu dan bisa tertawa
sumringah, anak yatim bisa beli seragam sekolah, rezekimu akan ditambah dan
akan jauh lebih berkah!”
“Begitukah? Tetapi, kupikir-pikir, benar juga
semua yang kamu katakan itu, Ali. Saranmu itu benar dan indah sekali. Sungguh,
mudah dicerna dan merasuk ke dalam sanubari. Terima kasih karena kamu sudi
berbagi. Orang Islam seharusnya menyadari, menggunakan akal dan menggunakan
hati secara serasi.”
Ya, Budi dan mungkin juga sebagian muslim
yang lain, selama ini lebih menggunakan hati daripada mengedepankan logika
Quran. Seperti itulah frasa anak (yang) saleh dimaknai pada umumnya. Orang
Islam yang awam menerima mentah-mentah makna seperti itu tanpa menelaah.
Bahkan, ironisnya, tak sedikit mereka yang bergelar ustaz justru mengajarkan
dan menganjurkan perlunya perhelatan doa arwahan tiga hari, tujuh hari, empat
puluh hari, seratus hari, setahun, seribu hari, dan sekian-sekian yang
menjiplak praktik agama era jahiliah. Jadi tidaklah aneh kalau definisi aneh praktiknya
ya, nyeleneh.
Anak
toleh
Anak
toleh
sebenarnya tak ada dan tidak dikenal umum. Frasa ini cuma bikinan penulis. Di
sini penulis menggunakan analogi dengan frasa anak saleh yang artinya sudah
diketahui: anak yang taat, patuh, dan lurus terarah memandang serta melakukan sesuatu
dengan baik sesuai dengan keinginan orang dewasa: orang tua, guru, atau
pelatih. Anak toleh itu artinya berkebalikan dengan pengertian anak saleh. Anak
toleh itu suka menoleh, melengos, membuang muka, membantah, membangkang, melanggar,
menentang, dan bahkan menantang. Mari kita simak contoh-contoh sosok anak toleh
berikut ini.
Orang tua menyuruh anaknya bangun pukul 5
pagi, anaknya bangun kesiangan terus;
Orang tua menyuruh anaknya pergi ke sekolah,
anaknya malas pergi ke sekolah, sering membolos, dan bermain play station di rumah sebelah;
Ayah menyuruh anaknya menutup pintu gerbang,
anaknya malah duduk ongkang-ongkang;
Ibu melarang anaknya menonton tv sampai pukul
10 malam, anaknya malah menonton sampai larut malam;
Kakak menyuruh adik mencuci gelas, adik malah
marah dan membanting gelas.
Guru menyuruh siswa menulis dan menyalin,
siswa malah jajan di kantin;
Guru menyuruh siswa memotong kuku, siswa
malah memelihara kuku sampai panjang-panjang;
Guru melarang mencontek pekerjaan temannya,
siswa malah menyobek pekerjaan temannya.
Guru mengajak salat Zuhur berjamaah, siswa malah
menghilang ke mana entah.
Guru menyuruh siswa belajar kelompok, siswa malah
bersembunyi di kantin pojok.
Kita mengenali anak toleh itu mudah sekali,
bukan? Jelas sekali indikatornya dan mudah mengukurnya dalam menilai. Itulah
pentingnya mempelajari indikator. Terutama bagi para guru yang setiap hari
berada di kelas atau di sekolah. Tentu amat penting para ustaz, kiai, dan
pendakwah memahami indikator agar bertausiah itu contextual membumi karena jemaah dan ustaz sama-sama berada di bumi,
tidak mengawang-awang, membayang-bayangkan sejarah nenek moyang, apa lagi
melangit. Mana sih contoh tausiah ustaz yang mengawang-awang atau melangit?
Yuk, kita simak contoh berikut ini!
Topik tausiah: Pemimpin yang peduli dengan
rakyat
Contoh pemimpin yang peduli dengan rakyat
dipilihnya Umar Ibnul Khattab. Sang ustaz mungkin tahu sosok Umar karena pernah
membaca biografinya, mungkin juga sekedarnya, mungkin juga cuma dengar dari
mulut ke mulut. Apakah jemaahnya tahu, sekedar tahu, atau tidak tahu sama
sekali tentang sosok Umar? Supaya kelihatan sebagai ustaz yang keren, dia kutip
kisah berbahasa asing/Arab kitab kuning karangan ahli zaman dulu. Karena contoh
tidak contextual, ya ceramahnya
melayang di awang-awang. Pikiran para jemaah cuma menerawang membayang-bayang
sosok Umar yang tak pernah mata memandang, tak ada lukisan terpampang, dan tak pernah tertayang.
Coba si Ustaz pilih dan ambil sosok Jokowi atau
Dahlan Iskan sebagai contoh seorang pemimpin yang peduli rakyat yang sebagian
bernasib malang. Dijamin jemaah senang dan hati riang. Bagi jemaah, wajah
Jokowi dan Dahlan Iskandar itu wajah kondang. Wajah keduanya di layar tv tiada
hari tanpa tayang. Hampir semua rakyat paham dan bersetuju kepada kedua
pemimpin itu dalam bersepak terjang.
Topik tausiah: Wanita salihah
Ustaz malah pilih dan ambil sosok Fatimah
sebagai contoh wanita salihah yang digadang-gadang. Paling-paling jemaah yang
tahu sosok Fatimah itu satu dua orang. Kalau si Ustaz dari kalangan nasionalis,
sosok R.A. Kartini yang ditampilkan sebagai contoh wanita terpandang. Kedua
sosok wanita yang dicontohkan adalah wanita zaman dahulu zaman kuda tunggang.
Si Ustaz memaksakan kehendak membawa jemaah kembali ke zaman dahulu zaman
rambut wanita dikepang. Tausiah tak ada greget. Jadinya, tausiah is out of context yang berdampak out of target. Padahal, sosok wanita
solihah untuk bahan contoh tausiah ribuan banyaknya di sekitar kita di zaman
sekarang ini, ketika wanita itu hidup pada zaman, situasi, dan kondisi yang
sama dengan para jemaah.
Orang
saleh dan orang toleh
Anak saleh sudah kita ketahui dan pahami
artinya serta sederhana sekali: anak (yang) baik, titik. Kalau sosok orang
dewasa yang selalu berbuat baik disebut orang saleh: orang (yang) baik, titik.
Apa cocok-galecok kalau didefinisikan
orang saleh adalah orang yang selalu mendoakan orang tuanya? Dia saja sudah
menjadi orang tua!
Bahasa kerennya orang saleh itu memiliki dua
kesalehan, yakni kesalehan individual dan kesalehan sosial. Mudah saja
mendapatkan indikator dan mengukur kesalehan sosial dan kesalehan individual
yang bersinergi kuat pada sosok orang saleh.
Contoh:
Orang saleh itu selalu menunaikan puasa pada
bulan Ramadan. Dalam kondisi berpuasa dia mengundang orang lain untuk berbuka,
mentraktir teman, membagikan takjil, mengantarkan hidangan berbuka kepada orang
miskin di sekitar rumah, membangunkan anggota keluarga atau tetangga untuk
bersahur, dia tetap bekerja dengan baik, masuk kerja, datang dan pulang kerja
tepat waktu, sesuai dengan profesinya masing-masing, dll.
Tidak semua orang yang berpuasa memiliki dua
kesalehan itu. Ada orang mencampuradukkan kesalehan dengan ketidaksalehan. Ada orang Islam telat masuk kerja dan lebih cepat
pulang dengan alasan berpuasa atau memasak. Ada yang sering menguap, mengantuk,
bermalasan, dan tidur pada jam kerja karena malam kurang tidur dengan alasan qiyaamul lail, membaca Quran, atau i’tiqaf. Berpuasa tetapi berfoya-foya.
Berbuka puasa tetapi hidangannya melimpah-ruah. Berpuasa tetapi suka berkata
dusta. Berpuasa tetapi sering mencaci-maki bersumpah serapah. Berpuasa tetapi
membuat suasana hingar-bingar Bertaraweh tetapi suasana tercipta seperti pasar
malam dan bazar obral murah. Mau bersahur tetapi bikin acara trek-rekan motor.
Maksud ingin ngabuburit tetapi mojok berduaan
atau dekap-dekapan dengan pacar. Dll.
Jika kita sudah tahu semua yang baik-baik
yang sesuai dengan ajaran Allah dan rasul-Nya: perasaan, tutur kata, sikap, dan
perbuatan, kemudian kita mewujudkan secara nyata dalam kehidupan, berarti kita
layak disebut orang saleh. Sebaliknya jika kita berbuat yang bertentangan
dengan nilai-nilai kesalehan, kita layak disebut orang toleh.
Jakarta, 1 Mei 2013
Assalamualaikum, bagus tulisannya akhi, update lagi dong biar banyak yg baca!!, Jazakallahukhairan..., Wassalam
BalasHapus