Kamis, 10 Oktober 2013

SABDA BAGINDA RASUL SAYYIDINA MUHAMMAD SAW

Bahasa, Agama, dan Sejarah

Pantaskah atribut bahasa feodalistis disematkan kepada nama Nabi saw?
Islam dan persamaan
Agama Islam adalah agama yang mengajarkan umat manusia tentang kesamaan derajat dan perlakuan serta sangat mengedepankan persamaan (equality) secara universal di belahan bumi mana pun manusia berada. Islam adalah untuk umat manusia walaupun hanya sebagian saja yang memeluk dan menjadikannya sebagai agama/keyakinan yang diimani (muslim, mukmin). Segala seluk-beluk kehidupan manusia di bumi yang heterogen/amat beragam. Salah satu bidang kehidupan itu adalah bahasa. Bidang bahasa lahir seiring dengan kelahiran manusia di bumi. Bahasa tumbuh seiring dengan pertumbuhan manusia penggunanya, baik bahasa lisan yang pertama kali dipakai maupun bahasa tulis yang tumbuh kemudian. Begitu pun dengan bahasa Indonesia yang dipakai oleh bangsa Indonesia.
Hidup matinya bahasa, maju mundurnya, atau pasang surutnya, tergantung kepada masyarakat/suku/bangsa pemakainya. Bahasa bisa mati, stagnan, hilang, atau pudar tergantung kepada pemakainya. Bahasa bisa tumbuh berkembang,dinamis, maju, dan modern juga demikian prosesnya. Jadi melihat proses pasang – surut bahasa tak bisa dipisahkan dari proses dinamika kehidupan manusia.
Negeri koloni, negara kolonial, dan praktik feodalisme
Sejarah mencatat bahwa Indonesia ini pernah menjadi negeri koloni selama ratusan tahun (pemerintah kolonial Belanda, 350 tahun). Penjajahan amat bertentangan dengan ajaran Islam karena penjajahan menghilangkan persamaan bahkan dapat dikatakan bahwa persamaan adalah kemustahilan. Penjajahan menciptakan iklim perbedaan yang tajam antara bangsa kolonial (Belanda) dengan penduduk koloni (Indonesia). Bangsa kolonial menjadi bangsa pemerintah, penguasa/superior, atau tuan/majikan, sementara bangsa koloni adalah bangsa yang diperintah, dikuasai/inferior, dijadikan hamba/budak, atau kelas/strata pembantu. Hak-hak bangsa kolonial selalu saja istimewa/diistimewakan  sementara bangsa koloni tak memiliki hak/dirampas haknya, bahkan hak yang paling azasi sekalipun.
Dalam suasana/iklim penjajahan itu muncullah sikap dan perilaku yang terkenal dengan feodalisme. Apa sih feodalisme? Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI, 2008: 390) memberi arti kata feodalisme (nomina) sebagai berikut: 1) sistem sosial atau politik yang memberikan kekuasaan yang besar kepada golongan bangsawan; 2) sistem sosial yang mengagungkan-agungkan jabatan atau pangkat dan bukan mengagung-agungkan prestasi kerja; 3) sistem sosial di Eropa pada Abad Pertengahan yang ditandai oleh kekuasaan yang besar di tangan tuan tanah.
Bangsa kolonial Belanda membawa feodalisme ke negeri koloninya dan sekaligus mempraktikkannya terhadap bangsa Indonesia. Sistem feodalisme menjadi tambah subur karena dipraktikkan secara sistemis (kultural) dan sistematis (political system) dalam kurun waktu 350-an tahun. Penyuburan feodalisme di bidang kultural merambah ke bidang bahasa Indonesia. Kata-kata, frasa, dan kalimat dalam bahasa Indonesia tak urung disusupi feodalisme.
Contoh:
Feodalisme dalam kata:
 hamba, patik, duli tuanku, sabda, baginda, paduka, dll.
Feodalisme dalam frasa:
duli tuanku yang mulia, paduka yang mulia, sembah 
           sungkem hamba, titah baginda hamba junjung, dll.
Feodalisme dalam kalimat:
    Hamba haturkan sembah bakti kepada duli Tuanku Baginda yang mulia.
    Patih pertaruhkan jiwa dan raga demi menjunjung titah Tuanku.
    Tuanku Putri, perkenankan hamba berdatang sembah membawa diri 
           patik yang hina-dina ini ke hadapan duli Tuanku Putri.
Kata, frasa, dan kalimat feodalisme menerangkan dengan jelas betapa besar gap posisi pembicara dengan lawan bicara (jomplang; perbedaan strata sosial kawula-gusti; juragan-jongos; majikan-pembantu; tuan-budak/hamba).
Feodalisme yang merasuk dalam bahasa Indonesia (juga bahasa Jawa dan Sunda) melahirkan bahasa feodalistis yang bertumbuh dan bertahan lama karena dipelihara oleh sistem pemerintah kolonial yang feodalistis. Belum lagi suburnya sistem pemerintahan kerajaan yang beriringan dengan pemerintahan kolonialisme yang amat nyata mempraktikkan dan menyuburkan feodalisme. Kata-kata baginda, sabda, titah, paduka, dan duli tuanku adalah contoh bahasa feodal. Seorang Soekarno pun terbuai dan ikut larut dengan gaya feodalisme. Sebutan Paduka Yang Mulia (PYM) Presiden Soekarno adalah contoh nyata betapa Soekarno yang presiden sebuah negara dengan sistem pemerintahan presidensial enjoyed dengan sebutan itu. Belum lagi ada embel-embel di belakang frasa PYM itu ada frasa feodal menyertai, yaitu Pemimpin Besar Revolusi, Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, dan Presiden Seumur Hidup. Soekarno pun menjadi lengah oleh manisnya buaian kata/frasa feodalistis yang begitu bombastis. Kita semua tahu akhir dari rezim Soekarno. Dia pun terjungkal melalui peristiwa pemberontakan G 30 S/PKI.
Jadi, begitu besar dampak negatif bahasa feodalistis.
Islam antifeodalisme
Feodalisme dalam segala bidang itu tidak baik. Feodalisme menciptakan gap/jurang pemisah antara rakyat/kawula dengan raja/pemimpin/gusti yang berdampak kepada ketidakharmonisan (disharmony) dalam kehidupan masyarakat. Feodalisme menciptakan ketaatan semu/kepura-puraan, ketidaktulusan, kedengkian, fanatisme buta, dan kebencian antara sesama manusia. Semua hal yang buruk itu jelas bertentangan dengan sunnatullah yang diajarkan dan amat dianjurkan oleh Islam. Itulah sebabnya, Islam itu antifeodalisme, termasuk feodalisme beratribut bahasa.
Dalam bidang bahasa Indonesia, para pemakainya adalah bangsa Indonesia yang mayoritas beragama Islam, berlaku juga larangan untuk tidak berbahasa Indonesia yang feodalistis.
Mari kita lihat contoh.
Muhammad Rasulullah saw menyuruh para sahabatnya agar membiasakan memanggilnya dengan namanya, Muhammad ibnu Abdullah atau Muhammad Rasulullah.
“Jangan kalian memperlakukan aku seperti umat Nasrani memperlakukan Isa Al Masih. Panggillah aku dengan Muhammad ibnu Abdullah!” katanya kepada para sahabatnya.
Larangan Nabi saw itu bukan sekedar larangan remeh-temeh, tetapi merupakan sebuah koreksi besar ajaran Islam yang haq, bahwa bahasa feodalistis itu secara sistemis bisa berdampak kepada pengultusan/pendewaan/penuhanan kepada manusia.
(Umat Nasrani menyebut Isa Al Masih (Jesus Kristus) dengan bahasa feodalistis yang berdampak pengultusan kepada Isa, misalnya, “Jesus sang Penebus Dosa”, “Jesus Putra Allah”, dan/atau “Tuhan Jesus”)
Allah memanggil Nabi saw dengan namanya, misalnya “Hai Muhammad, ….” Quran mencontohkan perkataan para umat kepada nabinya dalam hal menyebut atau memanggil nama nabi, misalnya umat Nabi Ibrahim memanggil nabinya “Hai Ibrahim,…” Umat Nabi Musa memanggil nabinya, “Hai Musa, ….” Atau umat Nabi Nuh, “Hai Nuh ….”, dll.
Muhammad saw itu adalah seorang nabi, seorang rasul/utusan Allah, dan seorang penganjur/pembawa risalah tauhid, dan pemimpin agama Islam yang dihormati dan disegani di segala penjuru oleh siapa pun selama hayatnya, baik kawan maupun lawan. Dia dikenang oleh manusia sepanjang masa setelah dia tiada. Dan wahyu Allah, doktrin Islam yang dibawanya itu bukanlah berwujud sebuah kerajaan/monarkhi/kesultanan/emirat/imperium, melainkan sebuah doktrin ilahiah yang universal tanpa sekat wilayah, perbatasan, atau teritori.
Muhammad saw bukanlah raja/kaisar, bukan juga emperor/emir/sultan yang biasa hidup bergelimang feodalisme, penyembahan, sembah sungkem, dan segala tetek-bengek bentuk pengultusan (cultus individu). Jangan samakan Muhammad saw dengan Raja Hayam Wuruk, Kaisar Nero, Khu Bilai Khan, Sultan Akbar, Raja Fahd, Sultan Agung, Sultan Khairun, Sultan Hassanal Balqiah di Brunei Darussalam, Sultan Hamengkubuwono, dll.
Kata “firman” untuk frasa “firman Allah” atau “firman Tuhan” masih pantas dipakai dalam berbahasa Indonesia untuk menunjukkan bahwa kata //firman// hanya untuk Allah/Tuhan saja. Tetapi untuk kata “sabda” pada frasa “sabda Nabi saw” dan kata “baginda” untuk frasa “baginda Rasul” sepertinya tidak pantas disematkan kepada Nabi Muhammad saw karena frasa //baginda rasul// itu mengecilkan Nabi saw, bahkan melecehkan, menyamakan Nabi saw dengan raja/ratu yang sarat dengan feodalisme.
Frasa “kata Nabi saw dalam salah satu hadis” jauh lebih baik, jauh dari feodalisme, jauh dari pengultusan, ketimbang frasa “sabda Nabi saw dalam salah satu hadis” yang kental dengan pengultusan.
Begitu pun frasa “baginda Rasul” atau “baginda Nabi” sepertinya tak layak dibahasakan. Mungkin maksudnya/alasan ingin memuliakan Nabi saw dan juga demi etika berbahasa, karena Nabi saw itu mulia (maksudnya ingin kromo-kromoan, bahasa kromo inggil), tetapi sama sekali tidak kontekstual, karena seperti yang telah dijelaskan, Nabi saw yang mulia itu bukanlah raja/kaisar atau sultan. Kalau frasa “baginda Raja” atau “baginda Ratu” ya tak apa-apa, karena raja atau ratu itu memang harus diperlakukan seperti itu, atau si pembicara dihukum karena tidak bersikap sopan kepada raja/ratu.
Dalam bahasa Arab, bentuk feodalisme dalam bahasa, terlihat kental sekali penghormatan/pemuliaan yang berlebihan yang ditujukan khusus kepada Nabi saw. Lihat saja frasa/kalimat mukaddimah para habaib/kiai/ustaz ketika mengawali tausiah:
“junjungan umat”, “sayyidina Muhammad”, “sayyidina wa maulana Muhammad”, “sayyidina wa habibina”, “sayyidil mursalin, Muhammad saw”, dll.
(katanya, makin banyak kata memuji Nabi Muhammad saw, makin banyak pahala, kelak umat Islam akan mendapat syafaat dari Nabi Muhammad saw di akhirat).
Seperti itulah penampilan segelintir orang Islam yang pandai berucap dengan fasih tetapi menafikan konteks ajaran Islam dalam segala aspek kehidupan, aspek budaya, bahasa, dan kesejarahan.
Padahal puja-puji dan kata-kata sanjungan itu cuma milik Allah semata, Muhammad saw tidak membutuhkan pujian dan sanjungan karena dia adalah seorang hamba yang berakhlak terpuji/mulia (akhlaknya terpuji; kalau kita cuma berakhlak biasa-biasa saja, bahkan seringkali berakhlak buruk). Perhatikan firman Allah dalam QS Al Qalam (68): 4.
    “Wa innaka la’alaa khuluqin ‘adziim.”
    Dan sungguh, engkau (Muhammad) berakhlak mulia.
Lihat juga QS Al Ahzab (33): 21
    “Laqad kaana lakum fii rasuulillaahi uswatun hasanah. ….”
    Sungguh, pada dirimu (Muhammad) terdapat contoh teladan terbaik.
Jadi, //Muhammad saw berkata//, //Muhammad saw berujar//, atau //Muhammad saw berucap// tepat dan sesuai dengan kaidah bahasa Indonesia dan sama sekali tidak ada unsur feodalisme berbahasa di situ. Akan berbeda kalau dibahasakan “Muhammad saw bersabda”, “baginda Nabi”, atau “baginda Rasul”. Sejak kapan dan di mana Muhammad Rasulullah saw itu menjadi raja atau emir?
Jakarta, 11 Oktober 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar