Bahasa, Agama, dan Politik
Rujukan:
QS Al Baqarah (2): 44, 45 dan 153.
Ayat
44:
Ata’muruunan naasa
bil birri wa tansauna anfusakum wa antum
tatluunal kitaaba
afalaa ta’qiluun.
“Apakah kamu menyuruh orang melakukan aneka kebajikan dan
melupakan diri kamu sendiri, padahal kamu membaca kitab suci. Tidakkah kamu
berakal?”
Ayat 45:
Wasta’iinu bish
shabri washshalaah wa innahaa lakaabiratun illa ‘alal khaasyi’iin.
“Mintalah pertolongan dengan sabar dan salat. Dan
sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang
khusyu’”.
Ayat 153:
Yaa ayyuhal ladziina
aamanu sta’iinuu bishshabri washshalaah, innallaaha ma’ash shaabiriin.
“Hai orang-orang yang beriman, mintalah pertolongan
(kepada Allah) dengan sabar dan (mengerjakan) salat, sesungguhnya Allah bersama
orang-orang yang sabar.”
Terkait dengan judul tulisan ini, penulis
ingin menyampaikan empat hal penting untuk menjadi pembelajaran bersama bagi
semua dengan merujuk kepada wahyu Allah dalam kitab suci-Nya, Al Quran, sebagaimana
ayat yang penulis nukilkan di atas (kita mayoritas muslim, rakyatnya mayoritas
muslim, pembesar negeri pun mayoritas muslim, presidennya pun muslim).
Pertama, al Islaamu ya’luu wa laa yu’laa alaihi
(Islam itu paling tinggi/mulia dan tak ada yang dapat menandingi
ketinggian/kemuliaannya). Kemuliaan Islam (sebagai konsep yang abstrak) itu
terlihat dan dapat dirasakan oleh semua umat secara konkret dengan perwujudan
kinerja pemeluknya dalam ucapan, sikap, dan perbuatan dalam sebuah
harmoni/kesesuaian/keselarasan. Para pemimpin atau pembesar negeri bukan
sekedar berpidato menganjurkan dan mengajak berbuat baik (berakhlak baik/mulia)
kepada rakyat sesuai dengan profesi masing-masing, tetapi mereka juga menjadi
contoh dan meneladankan secara nyata wujud berbuat baik. Perhatikan bagaimana
Allah menyindir para pemimpin umat (QS 2: 44) dengan kalimat pertanyaan: Apakah
kalian bisanya menyuruh (saja) manusia berbuat baik tetapi kalian tidak
melakukannya?
Nabi saw dan para sahabat jelas-jelas
menyampaikan kebenaran, menganjurkan untuk selalu berbuat baik, dan jelas-jelas
beliau dan para sahabat yang paling dahulu melakukannya dan meneladankan semua
perbuatan baik itu secara konkret, dilihat, dirasakan, dan dialami oleh umat,
sehingga Islam bertumbuh besar dan meluas ke seluruh dunia karena diyakini
sebagai kebenaran yang paling tinggi tak tertandingi. Kita lihat manusia dari
segala penjuru berbondong-bondong masuk ke dalam Islam. Ini fakta nyata dan
sejarah, bukan sekedar dongeng, bukan bualan, bukan cerita, bukan berita isapan
jempol.
Mengapa
Islam bisa seperti itu?
Nabi dan para sahabatnya mempraktikkan
perintah iqra’ (bacalah) itu dengan
keharmonisan hati, ucapan, dan perbuatan, baik wahyu yang tertulis di dalam
kitab suci maupun yang tidak tertulis (kehidupan manusia dengan segala aspek
dan makhluk dan benda di sekelilingnya). Iqra’
tidak sekedar diterjemahkan secara harfiah cukup dengan membaca ayat-ayat
Quran, menghafal, dan melafal berulang-ulang sambil menghitung-hitung
sekian-sekian sudah khatam bacaan Quran tanpa memahami konteksnya.
Kedua,
Islam itu ilmiah dan sangat mementingkan ilmu.
Ada sebuah hadis yang artinya kurang lebih
sebagai berikut:
Siapa saja yang menghendaki (kehidupan) dunia yang sukses
hendaklah ia berilmu. Siapa yang menghendaki (kehidupan) akhirat yang damai,
hendaklah ia berilmu. Siapa yang menghendaki kehidupan yang baik di dunia dan
di akhirat, hendaklah ia berilmu.
Memaknai perintah iqra’ secara sederhana adalah perintah kepada manusia, khususnya
mukmin/muslim agar menuntut ilmu secara terus-menerus sampai ajal tiba
(sepanjang hayat). Nabi saw mencontohkan dalam perbuatan nyata bersama para
sahabat {(bukankah Nabi saw dan sebagian sahabat adalah ummiy/buta huruf dan Nabi saw di utus di tengah masyarakat yang ummiyyiin? Simak QS Al Jumu’ah (62): 2)}
.
Nabi saw hanya butuh waktu 23 tahun berdakwah
dengan metode ilmiah mewujudkan perintah iqra.
Berkat kekuatan iqra itulah Islam
bisa mengubah dunia dan peradabannya ke arah modern/progres/kemajuan yang pesat
dengan tuntunan wahyu ilahiah.
Kekuatan iqra’
itu bukanlah membaca/melafal ayat-ayat Quran dan menghafal berulang-ulang
sampai bibir menebal dan suara menyerak kering.
Rabiatul Adawiyyah jangan disamakan dengan
tokoh dongeng.
(Dua orang da’I muda pemberi tausiah pada
acara Damai Indonesiaku-nya TV-One,
namanya ustaz Fikri Haikal (anaknya Zainuddin MZ) dan M. Syarif M., pada
kesempatan berbeda, bertausiah (sebagiannya dongeng dan cerita berbumbu)
tentang memaknai keutamaan membaca Quran. Materi cerita dan dongeng ada kemiripan,
yakni dua wanita yang berstatus janda yang hidupnya dihiasi dengan membaca
Quran. Fikri Haikal menyorot wanita janda yang dikenal sebagai ahli sufi,
Rabi’atul Adawiyyah, sementara Syarif M. bercerita tentang wanita bernama
Annisa (?), berdiam di Mesir. Keduanya hidup pada masa dan tempat yang berbeda.
Persamaan cerita dan dongeng kedua ustaz itu
adalah, kedua wanita janda itu lebih memilih hidup menjanda saja dengan selalu
membaca Quran sepanjang hari, ketimbang menikah tetapi tidak bisa beribadah.
Lalu, demi menjaga kenyamanannya membaca Quran agar tidak terganggu oleh suami
atau siapa pun, demi sebuah kesiapan menemui dan selalu ingat akan kematian,
keduanya menggali kuburannya sendiri. Lalu di kuburan itu masing-masing wanita
itu (beribadah) membaca Quran sampai khatam berkali-kali. Konon kata Fikri
Haikal, Rabiatul Adawiyyah mengkhatamkan bacaan Quran puluhan ribu kali. Mirip
pula ustaz Syarif M. menceritakan kegiatan wanita janda yang satunya, Cuma dia
tidak menyebutkan bilangannya. Persamaan cerita/dongeng keduanya adalah, bahwa
kedua janda itu membaca Quran di kuburannya dengan harapan keduanya mati dengan
menggenggam Quran, supaya malaikat pencatat tahu. Alamak!!
Penulis iseng-iseng melafal tujuh ayat Quran
Surah Al Fatihah secara normal. Penulis butuh waktu satu setengah menit untuk
menyelesaikannya. Quran itu mengandung 6.236 ayat, yang berarti penulis butuh waktu
9.340 menit atau kurang empat menit dari 155 jam atau lebih dari enam hari
tambah empat jam untuk mengkhatamkan bacaan Quran sekali tanpa rehat. Bagaimana
kalau khatam tiga puluh kali? Bagaimana kalau khatam ribuan kali seperti
dongengnya Fikri Haikal? Rabiatul Adawiyyah kan manusia juga. Dia pasti
merasakan lelah, letih, pegal-pegal, lapar, haus, dan pasti ingin buang hajat. Masakan
dia buang hajat di kuburan tempat dia membaca Quran! Logiskah dia mampu
mengkhatamkan Quran ribuan kali di kuburan yang sempit itu?
Sunnatullah-kah manusia hidup sendiri, demi
membaca Quran sampai khatam berkali-kali yang dikatakan sebagai ibadah
berpahala besar itu, jauh dari orang lain, tidak bergaul, tidak memiliki
kepedulian sosial?
Kapan dia membeli bahan makanan dan minuman?
Kalau dia tidak berbelanja, memasak, mencuci, menjemur, dan menyeterika, bagaimana
dia makan dan bersalin pakaian? Bukankah Rabiatul Adawiyah itu manusia biasa?
Menjadi orang Islam itu harus konsisten
dengan ajaran Islam. Masakan Rabiatul Adawiyyah yang cerdas itu meniru gaya
hidup pertapa wanita ala Hindu atau meniru gaya hidup suster/biarawati Nasrani?
Very impossible-lah yaw!
Mana ada seorang manusia bisa membangun
masyarakat yang maju secara individual dan hanya mengandalkan membaca Quran
secara lisan?
Para ustaz, terutama yang muda-muda,
bertausiah ya bertausiahlah dengan baik dengan rujukan Quran, jangan bertausiah
menggunakan rujukan kitab dongeng dan jangan mencampuradukkan tausiah dengan
bumbu-bumbu dongeng ala Cinderella ala Ketimun Mas atau Bawang Putih Bawang
merah.)
Ketiga, kemakmuran itu hanya dapat dicapai
melalui pendekatan hablum minallah
dan hablum minan naas.
Manusia hanya bisa sukses hidup di dunia ini
jika menghidupkan hablum minallah dan
hablum minan naas (kehidupan yang
damai di akhirat di dalam sorga adalah buah dari kesuksesan hidup di dunia).
Simak saja QS 3: 112. Contoh tentang sejarah orang-orang besar dan sukses:
politikus, pebisnis, ulama, negarawan, ilmuwan, guru besar, wartawan, dll.
adalah karena mereka selama hidupnya memelihara dua hal itu dan mengalaminya,
jasmaniah dan rohaniah, fisik dan mental. Seorang Paus Benedictus atau Paus
Franciskus, seorang yogawan, seorang rohaniawan, atau seorang pedanda, seorang
biksu Shaolin sekali pun tetap memiliki jemaat, murid, dan pengikut. Soerang tokoh
wayang pandita Dorna yang empunya perguruan/padepokan Sokalima pun sama, punya
murid ilmu kanuragan, mengajarkan ilmu, dan menyembah Tuhan.
Bagaimana mungkin seorang kiai tanpa murid
tanpa pesantren. Bagaimana bisa dikatakan guru silat tanpa biara, padepokan,
dan murid persilatan. Bagaimana dikatakan Paus Pemimpin Gereja tertinggi tanpa
umat. Bagaimana seseorang dapat disebut kaya raya kalau tak ada orang miskin.
Keempat,
sabar dan salat untuk kedamaian
Sabar dan salat begitu penting dalam
mengelola kehidupan, baik secara individual maupun sosial. Damainya hati dan
damainya masyarakat adalah dampak dari sabar dan salat. Itulah sebabnya Allah
mewajibkan mukmin/muslim untuk selalu menghidupkan sabar dan salat dalam setiap
langkah dalam mengelola kehidupannya.
Kalau seorang pegawai memiliki “sabar dan salat”
dia tidak akan tergoda dengan rayuan akan jabatan dengan jalan yang
instan/tidak prosedural (menyuap/menyogok atasan).
Kalau seorang wanita sekretaris yang memiliki
“sabar dan salat”, dia tidak akan bersedia diajak bos ke tempat-tempat tertentu
di luar urusan dinas walaupun dijanjikan akan diberi hadiah uang, harta, atau
jabatan.
Seorang legislator di rumah rakyat yang
memiliki “sabar dan salat” tidak akan bersedia bikin “deal abal-abal” mark-up/menggelembungkan anggaran demi kantong dan
perut sendiri.
Seorang presiden partai yang memiliki “sabar
dan salat”, konon bergelar ustaz pula, tentu seharusnya jauh dari hobi
suap-menyuap dan melalap/melahap “daun muda” dan berbohong secara sistemis.
Seorang siswa sekolah menengah, seorang
mahasiswa, seorang warga kampung, seorang fans maniac suatu klub sepakbola,
jika memiliki “sabar dan salat”, tentu tidak akan pernah sekali pun terlibat
dalam tawuran.
Apatah lagi seseorang yang bergelar ustaz, kiai
haji, mualim, habib, hakim, rahib, pendeta, atau biksu, jika memiliki “sabar
dan salat”, tentu very impossible
larut dalam tindakan korup dan jahat lainnya.
Sayangnya, “sabar dan salat” tidak dimiliki
secara bersamaan/tidak sinkron. Salat mah iya, sabar mah nteu. Salat mah dibawa
ke mana-mana, sabarnya mah dicuekin. Berhaji lebih dari sekali, korupsi
berulang kali. Peci dan ghamis busana sehari-hari, perbuatan seringkali
berwujud anarkhi.
Kalau iqra’, sabar, dan salat diwujudkan oleh
setiap individu, hidup akan senantiasa damai.
Semoga semua yang buruk itu terhenti hari
ini. Esok kita semua hidup yang damai di bumi pertiwi. Amin.
Jakarta, 16 Oktober 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar