Selasa, 15 Oktober 2013

IQRA’, SABAR, SALAT, DAN MASYARAKAT MADANI



Bahasa, Agama, dan Politik

Rujukan:
QS Al Baqarah (2): 44, 45 dan 153.
Ayat 44:
Ata’muruunan naasa bil birri wa tansauna anfusakum wa antum
tatluunal kitaaba afalaa ta’qiluun.
“Apakah kamu menyuruh orang melakukan aneka kebajikan dan melupakan diri kamu sendiri, padahal kamu membaca kitab suci. Tidakkah kamu berakal?”
Ayat 45:
Wasta’iinu bish shabri washshalaah wa innahaa lakaabiratun illa ‘alal khaasyi’iin.
“Mintalah pertolongan dengan sabar dan salat. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu’”.
Ayat 153:
Yaa ayyuhal ladziina aamanu sta’iinuu bishshabri washshalaah, innallaaha ma’ash shaabiriin.
“Hai orang-orang yang beriman, mintalah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan (mengerjakan) salat, sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang sabar.”
Terkait dengan judul tulisan ini, penulis ingin menyampaikan empat hal penting untuk menjadi pembelajaran bersama bagi semua dengan merujuk kepada wahyu Allah dalam kitab suci-Nya, Al Quran, sebagaimana ayat yang penulis nukilkan di atas (kita mayoritas muslim, rakyatnya mayoritas muslim, pembesar negeri pun mayoritas muslim, presidennya pun muslim).
Pertama, al Islaamu ya’luu wa laa yu’laa alaihi (Islam itu paling tinggi/mulia dan tak ada yang dapat menandingi ketinggian/kemuliaannya). Kemuliaan Islam (sebagai konsep yang abstrak) itu terlihat dan dapat dirasakan oleh semua umat secara konkret dengan perwujudan kinerja pemeluknya dalam ucapan, sikap, dan perbuatan dalam sebuah harmoni/kesesuaian/keselarasan. Para pemimpin atau pembesar negeri bukan sekedar berpidato menganjurkan dan mengajak berbuat baik (berakhlak baik/mulia) kepada rakyat sesuai dengan profesi masing-masing, tetapi mereka juga menjadi contoh dan meneladankan secara nyata wujud berbuat baik. Perhatikan bagaimana Allah menyindir para pemimpin umat (QS 2: 44) dengan kalimat pertanyaan: Apakah kalian bisanya menyuruh (saja) manusia berbuat baik tetapi kalian tidak melakukannya?
Nabi saw dan para sahabat jelas-jelas menyampaikan kebenaran, menganjurkan untuk selalu berbuat baik, dan jelas-jelas beliau dan para sahabat yang paling dahulu melakukannya dan meneladankan semua perbuatan baik itu secara konkret, dilihat, dirasakan, dan dialami oleh umat, sehingga Islam bertumbuh besar dan meluas ke seluruh dunia karena diyakini sebagai kebenaran yang paling tinggi tak tertandingi. Kita lihat manusia dari segala penjuru berbondong-bondong masuk ke dalam Islam. Ini fakta nyata dan sejarah, bukan sekedar dongeng, bukan bualan, bukan cerita, bukan berita isapan jempol.
Mengapa  Islam bisa seperti itu?
Nabi dan para sahabatnya mempraktikkan perintah iqra’ (bacalah) itu dengan keharmonisan hati, ucapan, dan perbuatan, baik wahyu yang tertulis di dalam kitab suci maupun yang tidak tertulis (kehidupan manusia dengan segala aspek dan makhluk dan benda di sekelilingnya). Iqra’ tidak sekedar diterjemahkan secara harfiah cukup dengan membaca ayat-ayat Quran, menghafal, dan melafal berulang-ulang sambil menghitung-hitung sekian-sekian sudah khatam bacaan Quran tanpa memahami konteksnya.
Kedua, Islam itu ilmiah dan sangat mementingkan ilmu.
Ada sebuah hadis yang artinya kurang lebih sebagai berikut:
Siapa saja yang menghendaki (kehidupan) dunia yang sukses hendaklah ia berilmu. Siapa yang menghendaki (kehidupan) akhirat yang damai, hendaklah ia berilmu. Siapa yang menghendaki kehidupan yang baik di dunia dan di akhirat, hendaklah ia berilmu.
Memaknai perintah iqra’ secara sederhana adalah perintah kepada manusia, khususnya mukmin/muslim agar menuntut ilmu secara terus-menerus sampai ajal tiba (sepanjang hayat). Nabi saw mencontohkan dalam perbuatan nyata bersama para sahabat {(bukankah Nabi saw dan sebagian sahabat adalah ummiy/buta huruf dan Nabi saw di utus di tengah masyarakat yang ummiyyiin? Simak QS Al Jumu’ah (62): 2)} .
Nabi saw hanya butuh waktu 23 tahun berdakwah dengan metode ilmiah mewujudkan perintah iqra. Berkat kekuatan iqra itulah Islam bisa mengubah dunia dan peradabannya ke arah modern/progres/kemajuan yang pesat dengan tuntunan wahyu ilahiah.
Kekuatan iqra’ itu bukanlah membaca/melafal ayat-ayat Quran dan menghafal berulang-ulang sampai bibir menebal dan suara menyerak kering.
Rabiatul Adawiyyah jangan disamakan dengan tokoh dongeng.
(Dua orang da’I muda pemberi tausiah pada acara Damai Indonesiaku-nya TV-One, namanya ustaz Fikri Haikal (anaknya Zainuddin MZ) dan M. Syarif M., pada kesempatan berbeda, bertausiah (sebagiannya dongeng dan cerita berbumbu) tentang memaknai keutamaan membaca Quran. Materi cerita dan dongeng ada kemiripan, yakni dua wanita yang berstatus janda yang hidupnya dihiasi dengan membaca Quran. Fikri Haikal menyorot wanita janda yang dikenal sebagai ahli sufi, Rabi’atul Adawiyyah, sementara Syarif M. bercerita tentang wanita bernama Annisa (?), berdiam di Mesir. Keduanya hidup pada masa dan tempat yang berbeda.
Persamaan cerita dan dongeng kedua ustaz itu adalah, kedua wanita janda itu lebih memilih hidup menjanda saja dengan selalu membaca Quran sepanjang hari, ketimbang menikah tetapi tidak bisa beribadah. Lalu, demi menjaga kenyamanannya membaca Quran agar tidak terganggu oleh suami atau siapa pun, demi sebuah kesiapan menemui dan selalu ingat akan kematian, keduanya menggali kuburannya sendiri. Lalu di kuburan itu masing-masing wanita itu (beribadah) membaca Quran sampai khatam berkali-kali. Konon kata Fikri Haikal, Rabiatul Adawiyyah mengkhatamkan bacaan Quran puluhan ribu kali. Mirip pula ustaz Syarif M. menceritakan kegiatan wanita janda yang satunya, Cuma dia tidak menyebutkan bilangannya. Persamaan cerita/dongeng keduanya adalah, bahwa kedua janda itu membaca Quran di kuburannya dengan harapan keduanya mati dengan menggenggam Quran, supaya malaikat pencatat tahu. Alamak!!
Penulis iseng-iseng melafal tujuh ayat Quran Surah Al Fatihah secara normal. Penulis butuh waktu satu setengah menit untuk menyelesaikannya. Quran itu mengandung 6.236 ayat, yang berarti penulis butuh waktu 9.340 menit atau kurang empat menit dari 155 jam atau lebih dari enam hari tambah empat jam untuk mengkhatamkan bacaan Quran sekali tanpa rehat. Bagaimana kalau khatam tiga puluh kali? Bagaimana kalau khatam ribuan kali seperti dongengnya Fikri Haikal? Rabiatul Adawiyyah kan manusia juga. Dia pasti merasakan lelah, letih, pegal-pegal, lapar, haus, dan pasti ingin buang hajat. Masakan dia buang hajat di kuburan tempat dia membaca Quran! Logiskah dia mampu mengkhatamkan Quran ribuan kali di kuburan yang sempit itu?
Sunnatullah-kah manusia hidup sendiri, demi membaca Quran sampai khatam berkali-kali yang dikatakan sebagai ibadah berpahala besar itu, jauh dari orang lain, tidak bergaul, tidak memiliki kepedulian sosial?
Kapan dia membeli bahan makanan dan minuman? Kalau dia tidak berbelanja, memasak, mencuci, menjemur, dan menyeterika, bagaimana dia makan dan bersalin pakaian? Bukankah Rabiatul Adawiyah itu manusia biasa?
Menjadi orang Islam itu harus konsisten dengan ajaran Islam. Masakan Rabiatul Adawiyyah yang cerdas itu meniru gaya hidup pertapa wanita ala Hindu atau meniru gaya hidup suster/biarawati Nasrani? Very impossible-lah yaw!
Mana ada seorang manusia bisa membangun masyarakat yang maju secara individual dan hanya mengandalkan membaca Quran secara lisan?
Para ustaz, terutama yang muda-muda, bertausiah ya bertausiahlah dengan baik dengan rujukan Quran, jangan bertausiah menggunakan rujukan kitab dongeng dan jangan mencampuradukkan tausiah dengan bumbu-bumbu dongeng ala Cinderella ala Ketimun Mas atau Bawang Putih Bawang merah.)
Ketiga, kemakmuran itu hanya dapat dicapai melalui pendekatan hablum minallah dan hablum minan naas.
Manusia hanya bisa sukses hidup di dunia ini jika menghidupkan hablum minallah dan hablum minan naas (kehidupan yang damai di akhirat di dalam sorga adalah buah dari kesuksesan hidup di dunia). Simak saja QS 3: 112. Contoh tentang sejarah orang-orang besar dan sukses: politikus, pebisnis, ulama, negarawan, ilmuwan, guru besar, wartawan, dll. adalah karena mereka selama hidupnya memelihara dua hal itu dan mengalaminya, jasmaniah dan rohaniah, fisik dan mental. Seorang Paus Benedictus atau Paus Franciskus, seorang yogawan, seorang rohaniawan, atau seorang pedanda, seorang biksu Shaolin sekali pun tetap memiliki jemaat, murid, dan pengikut. Soerang tokoh wayang pandita Dorna yang empunya perguruan/padepokan Sokalima pun sama, punya murid ilmu kanuragan, mengajarkan ilmu, dan menyembah Tuhan.
Bagaimana mungkin seorang kiai tanpa murid tanpa pesantren. Bagaimana bisa dikatakan guru silat tanpa biara, padepokan, dan murid persilatan. Bagaimana dikatakan Paus Pemimpin Gereja tertinggi tanpa umat. Bagaimana seseorang dapat disebut kaya raya kalau tak ada orang miskin.
Keempat, sabar dan salat untuk kedamaian
Sabar dan salat begitu penting dalam mengelola kehidupan, baik secara individual maupun sosial. Damainya hati dan damainya masyarakat adalah dampak dari sabar dan salat. Itulah sebabnya Allah mewajibkan mukmin/muslim untuk selalu menghidupkan sabar dan salat dalam setiap langkah dalam mengelola kehidupannya.
Kalau seorang pegawai memiliki “sabar dan salat” dia tidak akan tergoda dengan rayuan akan jabatan dengan jalan yang instan/tidak prosedural (menyuap/menyogok atasan).
Kalau seorang wanita sekretaris yang memiliki “sabar dan salat”, dia tidak akan bersedia diajak bos ke tempat-tempat tertentu di luar urusan dinas walaupun dijanjikan akan diberi hadiah uang, harta, atau jabatan.
Seorang legislator di rumah rakyat yang memiliki “sabar dan salat” tidak akan bersedia bikin “deal abal-abal” mark-up/menggelembungkan anggaran demi kantong dan perut sendiri.
Seorang presiden partai yang memiliki “sabar dan salat”, konon bergelar ustaz pula, tentu seharusnya jauh dari hobi suap-menyuap dan melalap/melahap “daun muda” dan berbohong secara sistemis.
Seorang siswa sekolah menengah, seorang mahasiswa, seorang warga kampung, seorang fans maniac suatu klub sepakbola, jika memiliki “sabar dan salat”, tentu tidak akan pernah sekali pun terlibat dalam tawuran.
Apatah lagi seseorang yang bergelar ustaz, kiai haji, mualim, habib, hakim, rahib, pendeta, atau biksu, jika memiliki “sabar dan salat”, tentu very impossible larut dalam tindakan korup dan jahat lainnya.
Sayangnya, “sabar dan salat” tidak dimiliki secara bersamaan/tidak sinkron. Salat mah iya, sabar mah nteu. Salat mah dibawa ke mana-mana, sabarnya mah dicuekin. Berhaji lebih dari sekali, korupsi berulang kali. Peci dan ghamis busana sehari-hari, perbuatan seringkali berwujud anarkhi.
Kalau iqra’, sabar, dan salat diwujudkan oleh setiap individu, hidup akan senantiasa damai.
Semoga semua yang buruk itu terhenti hari ini. Esok kita semua hidup yang damai di bumi pertiwi. Amin.
Jakarta, 16 Oktober 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar