Bahasa Indonesia
Bahasa gusti dan bahasa kawula: perbedaan
antara murka dan sewot
Presiden
Murka
Indonesia
Lawyers Club (ILC) yang
di-presiden-I oleh Karni Ilyas, adalah acara yang paling banyak ditonton
pemirsa tv (ratingnya tinggi) yang ditayangkan melalui TV-One setiap minggu pada
hari Selasa malam, dan ditayang ulang pula pada hari Minggu malam pada minggu
yang sama. Karni Ilyas, sang
presidennya, Selasa, 29 Oktober 2013, menampilkan judul, Presiden Murka, yang ditayangkan secara live dari Batam, Kep. Riau.
Penulis tidak akan membahas tentang materi
acara tersebut karena para pemirsa yang menonton langsung tentu dapat menangkap
dan memahaminya, baik sebagian maupun seluruh materi. Para narasumber yang
berbicara adalah orang-orang pilihan dan memiliki kapabilitas untuk menjadi
narasumber. Sebutlah misalnya Anas Urbaningrum, H. Sujiwo Tejo, Bung Fajrul, dan Bang Efendi Gazali. Penulis ingin
mengomentari acara kali ini itu adalah dari sudut pandang kebahasa-Indonesia-an
saja. Benarkah judul itu dari sudut pandang kebahasaan, khsususnya dalam ilmu
semantik tentang frasa atau kalimat singkat (S-P) Presiden Murka?
Judul Presiden
Murka hanya sebuah frasa yang terdiri dua kata, yakni kata presiden dan kata murka. Mari kita cermati bersama makna kedua kata itu.
presiden
Kata presiden
memiliki arti: 1. kepala (lembaga, kantor, jawatan, klub), misalnya pada
frasa: presiden direktur; presiden ILC; presiden komisaris; presiden klub; dll.
2. kepala negara, misalnya pada frasa Presiden RI; Presiden Amerika; Presiden
Filipina; dll.
murka
Kata murka
memiliki arti: marah atau sangat marah. Sebagai kelas kata verba, kata murka yang artinya sangat marah
ditempatkan secara khusus untuk subjek tertentu, yakni untuk raja, ratu,
mahapatih, patih, dan pejabat-pejabat tinggi dan utama pada zaman kerajaan tempo
dulu yang sarat dengan feodalisme {(perbedaan strata sosial atas-bawah antara
gusti dengan kawula (gusti-kawula)}.
Dari sudut pandang sosiologis, kata murka dihadirkan dan berlaku hanya untuk
subjek dengan jabatan tinggi kepada objek dengan jabatan di bawahnya sampai
kepada kawula/rakyat.
Contohnya:
Baginda
Raja murka (kepada punggawa atau tumenggung)
Sri
Ratu murka (kepada kepala dayang istana)
Sri
Sultan HB X murka (kepada abdi dalem)
Pangeran
Mahkota murka (kepada istrinya)
Mahapatih
Gajah Mada murka (kepada adipati Ronggolawe)
Adipati
Pajang murka (kepada kepala pengawalnya), dll.
Tak pernah terjadi frasa seperti berikut ini:
Tumenggung
Jayadrata murka kepada Prabu Duryudana
Mahapatih
Gajah Mada murka kepada Prabu Hayam Wuruk
Abdi
dalem murka kepada Gusti Putri Hayu
Selir
baginda murka kepada Baginda Prabu
Mas
Mangun murka kepada Gubernur DKI Jakarta
Zaman kerajaan yang menghidupkan,
menyuburkan, dan merawat feodalisme di negeri ini sudah tamat riwayatnya sejak
17 Agustus 1945. Sistem pemerintahan monarkhi absolut atau monarkhi parlementer
tidak dianut oleh negeri kita (sudah ditinggalkan dan dikubur dalam-dalam).
Indonesia menganut sistem pemerintahan presidensial yang demokratis, di mana
pemerintah adalah subjek pelayan dan rakyat adalah objek yang dilayani (public service).
Oleh karena itu, penggunaan bahasa Indonesia
masa kini, tuntutannya adalah penggunaannya yang baik dan benar. Termasuk di
dalamnya dalam pemakaian dan penggunaan kata per kata, frasa, anak kalimat, dan
kalimat.
Kata murka yang penulis anggap berbau
feodalisme itu sudah jarang digunakan dalam pergaulan sehari-hari. Pilihan kata
(diksi) yang digunakan sekarang ini dianjurkan yang mudah diterima oleh masyarakat
dan tidak menonjolkan gap strata sosial ala zaman dahulu (gusti-kawula).
Frasa Presiden
Murka pada judul diskusi ILC, Selasa, 29 Oktober 2013 yang lalu kurang
tepat. Presiden (SBY) bukanlah seorang raja atau kaisar. Judul diskusi itu semestinya
diganti dengan frasa baru dalam judul Presiden
(SBY) Marah Besar.
Ratu
Atut Sewot
Harian Pos
Kota, Rabu, 6 November 2013, menurunkan tulisan jurnalisnya pada kolom di
halaman 1dengan judul Ratu Atut Sewot.
Secara semantis, tidak ada yang salah dengan frasa Ratu Atut Sewot. Secara sosiologis, frasa Ratu Atut Sewot ini menarik untuk dibahas.
Ratu Atut tentu umum sudah mengenal dengan
baik sebagai sosok terkenal. Dia adalah seorang wanita hebat yang berhasil
menjadi gubernur, yakni Gubernur Provinsi Banten. Masih langka di Indonesia
ini, wanita bisa menjadi gubernur
sewot
Kata
sewot (kelas kata adjektiva; kata serapan dari bahasa Betawi), artinya
marah, gusar, jengkel, dongkol.
Contoh:
Si Ali tampak sewot karena ban sepedanya ada yang mengempesi.
Mpok Lela
kelihatan sewot karena jemurannya
terkena kotoran ayam.
Gue
yang dapet arisan, kok lu yang sewot?
(kalimat dengan logat Betawi)
sewot dan
murka
Persamaan kedua kata ini adalah pada maknanya
yang hampir sama, yakni menunjukkan perasaan yang sangat tidak senang dari
pelakunya.
Peerbedaan keduanya, kata sewot jauh lebih hidup dan sering dipakai oleh masyarakat dalam
pergaulan sehari-hari dibandingkan dengan kata murka. Kata sewot itu demokratis dan merakyat sementara kata murka
itu feodalistis. Frasa Presiden Sewot
lebih baik daripada Presiden Murka. Ratu Atut sewot lebih baik dari Ratu Atut murka.
Akan tetapi, sebaik-baik karakter dalam bersikap
adalah menghindari perangai sedikit-sedikit sewot.
Sebab, kalau sedikit-sedikit sewot,
nanti cepat tua dan pipi cepat peyot.
Bukankah bahasa Indonesia juga harus bebas
dari feodalisme.
Jakarta, 6 November 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar