Rabu, 06 November 2013

PRESIDEN MURKA DAN RATU ATUT SEWOT




Bahasa Indonesia


Bahasa gusti dan bahasa kawula: perbedaan antara murka dan sewot
Presiden Murka
Indonesia Lawyers Club (ILC) yang di-presiden-I oleh Karni Ilyas, adalah acara yang paling banyak ditonton pemirsa tv (ratingnya tinggi) yang ditayangkan melalui TV-One setiap minggu pada hari Selasa malam, dan ditayang ulang pula pada hari Minggu malam pada minggu yang sama.  Karni Ilyas, sang presidennya, Selasa, 29 Oktober 2013, menampilkan judul, Presiden Murka, yang ditayangkan secara live dari Batam, Kep. Riau.
Penulis tidak akan membahas tentang materi acara tersebut karena para pemirsa yang menonton langsung tentu dapat menangkap dan memahaminya, baik sebagian maupun seluruh materi. Para narasumber yang berbicara adalah orang-orang pilihan dan memiliki kapabilitas untuk menjadi narasumber. Sebutlah misalnya Anas Urbaningrum, H. Sujiwo Tejo,  Bung Fajrul, dan Bang Efendi Gazali. Penulis ingin mengomentari acara kali ini itu adalah dari sudut pandang kebahasa-Indonesia-an saja. Benarkah judul itu dari sudut pandang kebahasaan, khsususnya dalam ilmu semantik tentang frasa atau kalimat singkat (S-P) Presiden Murka?
Judul Presiden Murka hanya sebuah frasa yang terdiri dua kata, yakni kata presiden dan kata murka. Mari kita cermati bersama makna kedua kata itu.
presiden
Kata presiden memiliki arti: 1. kepala (lembaga, kantor, jawatan, klub), misalnya pada frasa: presiden direktur; presiden ILC; presiden komisaris; presiden klub; dll. 2. kepala negara, misalnya pada frasa Presiden RI; Presiden Amerika; Presiden Filipina; dll.
murka
Kata murka memiliki arti: marah atau sangat marah. Sebagai kelas kata verba, kata murka yang artinya sangat marah ditempatkan secara khusus untuk subjek tertentu, yakni untuk raja, ratu, mahapatih, patih, dan pejabat-pejabat tinggi dan utama pada zaman kerajaan tempo dulu yang sarat dengan feodalisme {(perbedaan strata sosial atas-bawah antara gusti dengan kawula (gusti-kawula)}.
Dari sudut pandang sosiologis, kata murka dihadirkan dan berlaku hanya untuk subjek dengan jabatan tinggi kepada objek dengan jabatan di bawahnya sampai kepada kawula/rakyat.
Contohnya:
            Baginda Raja murka (kepada punggawa atau tumenggung)
            Sri Ratu murka (kepada kepala dayang istana)
            Sri Sultan HB X murka (kepada abdi dalem)
            Pangeran Mahkota murka (kepada istrinya)
            Mahapatih Gajah Mada murka (kepada adipati Ronggolawe)
            Adipati Pajang murka (kepada kepala pengawalnya), dll.
Tak pernah terjadi frasa seperti berikut ini:
            Tumenggung Jayadrata murka kepada Prabu Duryudana
            Mahapatih Gajah Mada murka kepada Prabu Hayam Wuruk
            Abdi dalem murka kepada Gusti Putri Hayu
            Selir baginda murka kepada Baginda Prabu
            Mas Mangun murka kepada Gubernur DKI Jakarta
Zaman kerajaan yang menghidupkan, menyuburkan, dan merawat feodalisme di negeri ini sudah tamat riwayatnya sejak 17 Agustus 1945. Sistem pemerintahan monarkhi absolut atau monarkhi parlementer tidak dianut oleh negeri kita (sudah ditinggalkan dan dikubur dalam-dalam). Indonesia menganut sistem pemerintahan presidensial yang demokratis, di mana pemerintah adalah subjek pelayan dan rakyat adalah objek yang dilayani (public service).
Oleh karena itu, penggunaan bahasa Indonesia masa kini, tuntutannya adalah penggunaannya yang baik dan benar. Termasuk di dalamnya dalam pemakaian dan penggunaan kata per kata, frasa, anak kalimat, dan kalimat.
Kata murka yang penulis anggap berbau feodalisme itu sudah jarang digunakan dalam pergaulan sehari-hari. Pilihan kata (diksi) yang digunakan sekarang ini dianjurkan yang mudah diterima oleh masyarakat dan tidak menonjolkan gap strata sosial ala zaman dahulu (gusti-kawula).
Frasa Presiden Murka pada judul diskusi ILC, Selasa, 29 Oktober 2013 yang lalu kurang tepat. Presiden (SBY) bukanlah seorang raja atau kaisar. Judul diskusi itu semestinya diganti dengan frasa baru dalam judul Presiden (SBY) Marah Besar.

Ratu Atut Sewot
Harian Pos Kota, Rabu, 6 November 2013, menurunkan tulisan jurnalisnya pada kolom di halaman 1dengan judul Ratu Atut Sewot. Secara semantis, tidak ada yang salah dengan frasa Ratu Atut Sewot. Secara sosiologis, frasa Ratu Atut Sewot ini menarik untuk dibahas.
Ratu Atut tentu umum sudah mengenal dengan baik sebagai sosok terkenal. Dia adalah seorang wanita hebat yang berhasil menjadi gubernur, yakni Gubernur Provinsi Banten. Masih langka di Indonesia ini, wanita bisa menjadi gubernur
sewot
Kata sewot (kelas kata adjektiva; kata serapan dari bahasa Betawi), artinya marah, gusar, jengkel, dongkol.
Contoh:
Si Ali tampak sewot karena ban sepedanya ada yang mengempesi.
Mpok Lela kelihatan sewot karena jemurannya terkena kotoran ayam.
Gue yang dapet arisan, kok lu yang sewot?
(kalimat dengan logat Betawi)
sewot dan murka
Persamaan kedua kata ini adalah pada maknanya yang hampir sama, yakni menunjukkan perasaan yang sangat tidak senang dari pelakunya.
Peerbedaan keduanya, kata sewot jauh lebih hidup dan sering dipakai oleh masyarakat dalam pergaulan sehari-hari dibandingkan dengan kata murka. Kata sewot itu demokratis dan merakyat sementara kata murka itu feodalistis. Frasa Presiden Sewot lebih baik daripada Presiden Murka. Ratu Atut sewot lebih baik dari Ratu Atut murka.
Akan tetapi, sebaik-baik karakter dalam bersikap adalah menghindari perangai sedikit-sedikit sewot. Sebab, kalau sedikit-sedikit sewot, nanti cepat tua dan pipi cepat peyot.
Bukankah bahasa Indonesia juga harus bebas dari feodalisme.
Jakarta, 6 November 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar