Minggu, 26 Mei 2013



pendakwah
Kata pendakwah dari kata dalam bahasa Arab dakwah (artinya seruan atau ajakan) yang dibubuhi awalah pe-. Bahasa Arab pendakwah adalah da’i yang artinya orang yang menyeru atau mengajak kepada kebaikan/kebenaran. Pendakwah adalah sebuah profesi atau jalan hidup yang dipilih oleh seseorang. Lahan seorang pendakwah adalah bidang agama. Dalam agama Kristen mungkin seorang pendakwah itu disebut rohaniawan dengan sebutan pastor atau romo. Lahan profesi pendakwah dipersempit hanya terbatas pada bidang agama Islam saja.
Kalau kita sedikit berlelah-lelah mau membaca dan memahami Quran dan sejarah Nabi-nabi atau rasul-rasul, sesungguhnya masa kerasulan mereka adalah sebagai pendakwah yang diberi tugas menyeru kepada kebenaran berdasarkan wahyu Allah, yang berarti semua hal kebenaran dalam kehidupan di muka bumi ini. Allah mengatakan dalam firman-Nya, bahwa para nabi, ambillah contoh Nabi saw, adalah sebagai daa’iyan ilallaah (menyeru dan mengajak kepada Allah) dalam segala hal. Semua hal dilakukan oleh Nabi saw: sebagai individu, figur kepala keluarga, pemimpin, guru, pengajar, panglima perang, manager, mediator, narasumber, dll. Nabi saw melakukan semua tugas itu dengan sukses pada zaman lima belas abad yang lalu adalah pendakwah.
Zaman mutakhir/modern seperti sekarang, tugas pendakwah itu ada di pundak semua muslim tanpa kecuali. Tak ada keharusan seorang pendakwah itu harus bisa baca Al Quran atau mengaji atau nglotok hadis-hadis di luar kepala. Semua profesi bisa dilakoni sekaligus melakoni dakwah. Seorang B.J. Habibie jauh lebih fasih berdakwah tentang pesawat daripada orang lain berdakwah tentang pesawat. Seorang Bismar Siregar atau Benyamin Mangkudilaga jauh lebih baik berdakwah tentang hukum daripada seorang kiai atau ustaz. Intinya, pendakwah itu kewajiban semua muslim, bukan miliknya ustaz, kiai, habib, atau mualim saja.
Para pembicara dalam forum seminar, lokakarya, atau sarasehan adalah pendakwah. Selama ini, pendakwah itu selalu dihubungkan dengan kegiatan keagamaan. Penyelenggara kegiatan Maulid Nabi, Isra’ Mi’raj, Kuliah Ramadan, dll. selalu yang diberi kesempatan adalah para ustaz, kiai, habib, atau mualim. Seakan-akan masalah keagamaan itu dihubungkan dengan kefasihan melafal ayat-ayat Quran atau hadis Nabi dan urusan akhirat semata..
Pandangan seperti itu adalah kekeliruan. Kita harus mengubah pandangan yang seperti itu. Masalah agama adalah masalah dunia dan akhirat. Jangan lagi dipandang aneh kalau pada acara Pekan Ramadan pemebicara membahas tentang teknologi, informasi, atau komunikasi tanpa satu pun teks ayat Quran disampaikan.
Jadi, kegiatan berdakwah itu memang kewajiban setiap muslim karena dakwah itu lahan yang sangat luas. Tak perlu capek-capek memikirkan biaya besar dan harus mengundang ustaz, kiai, habib, atau mualim hanya sekedar mengadakan acara pengajian mingguan, bulanan, atau acara walimah ini walimah itu.
Mengapa begitu?
Para ustaz, kiai, habib, atau mualim yang biasa berdakwah hampir semuanya memiliki background  disiplin ilmunya pendidikan jurusan ilmu dakwah lisan, baik S-1 (S.Ag.; S.Pdi; Lc), S-2 (M.Ag; M.Pdi.), S-3.  Lembaga PT-nya adalah UIN, Ponpes, atau Institut Ilmu Al Quran atau Darul Hadis. Mereka fasih bicara tekstual Quran dan hadis, tetapi tidak fasih bicara kontekstual kehidupan masyarakat yang kompleks dengan berjuta-juta macam ragamnya.
Untuk ilustrasi, kita bisa lihat kegiatan para ustaz yang dilakukan mereka pada peristiwa musibah yang menimpa alm. Uje, dari peristiwa kecelakaan, sampai meninggalnya, penguburannya, dan pascameninggalnya. Lihatlah aktivitas para ustaz atau kiai menyikapi wafatnya seorang Uje. Eksploitasi berita oleh para pewarta selama hampir sebulan sangat berlebihan dan bukan lagi sebuah pembelajaran bagi muslim. Mereka tidak salah sama sekali karena mereka berbisnis berita yang aktual. Tak bisa dipungkiri muncul kisah atau cerita yang tak masuk akal dari mulut ke mulut yang diberitakan. Anehnya, berita isapan jempol  diamini oleh para ustaz. Entah karena yang meninggal dunia adalah ustaz Uje yang kondang dan menjadi idola.
Nah, para ustaz saja bersikap seperti itu, bagaimana dengan para jemaah yang awam?


Penceramah
Kita sudah tidak asing dengan profesi penceramah. Ada orang yang benar-benar murni berprofesi penceramah sebagai jalan hidupnya, ada pula penceramah yang sekedar nyambi atau penceramah sambilan. Tentu saja, penceramah yang dimaksud di sini adalah penceramah tentang keislaman. Penceramah itu bisa saja ustaz, kiai, habib, mualim, syeh, atau di luar itu. Contoh penceramah di luar disiplin ilmu agama Islam misalnya seperti Mario Teguh, Ari Ginanjar, atau anggota Badan Kehormatan dan Etika KPK Abdullah Hehamahua.
Pencerita
Kata pencerita merujuk kepada orang yang suka bercerita atau berprofesi sebagai pencerita. Sah-sah saja dia bercerita apa saja, mau cerita yang benar atau yang salah tak jadi masalah. Sah-sah saja kalau cerita disampaikan dengan gaya atau model apa saja. Seorang pencerita tidak memiliki kewajiban moral untuk mempertanggungjawabkan benar tidaknya substansi cerita.
Contoh pencerita di tanah BetawiOrang Betawi suka dengan cerita, apa lagi cerita yang dibumbui dengan gaya humor dan disisipkan ajaran agama Islam. Mereka mengenal cerita dengan sebutan hikayat. Orang yang empunya cerita disebut sohibul hikayat. Tradisi bercerita sudah ada sejak zaman kuda gigit besi. Pada era 60-an sampai era 80-an, tukang cerita sohibul hikayat yang paling terkenal di tanah Betawi adalah Jaiz (alm.) Cerita sohibul hikayat dan suara khas, serta logat Betawi yang kental, terdengar di radio swasta setiap Rabu malam. Tradisi lisan sohibul hikayat ala Jaiz masih oleh anaknya, namun pamor anaknya tidak sehebat Jaiz. Tradisi lisan pun hilang pada era 90-an seiring dengan kemajuan iptek di bidang audio-visual.
Jaiz dan anaknya hanyalah seorang pencerita soal hikayat. Cerita atau hikayat tidak dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Bahkan cerita atau hikayat itu lebih dekat ke dongeng. Jaiz yang kompeten bercerita berhikayat lalu menyisipkan materi keislaman di dalam hikayat tidak boleh ditelan mentah-mentah dan dianggap sebagai kebenaran.
Bagaimana jadinya kalau pencerita itu bergelar ustaz, mualim, atau kiai yang biasa berceramah di muka umum di mana-mana?
Inilah masalahnya, cerita membungkus tausiah agama bukan tanpa masalah. 
Mungkin bagi orang yang kurang memahami ajaran agama Islam, misalnya Islam keturunan dari sononya, atau beragama Islam turun-temurun, memandang substansi ceramah yang disampaikan oleh pembicara, sudah cukup memadai dengan apa yang didengar, diiyakan, dan diamini dengan kepala manggut-manggut tak perlu berpikir panjang sampai kening berkerut. Apa kata ustaz atau kiai langsung ikut. Opo omongane Pak Ustaz manut. Pak Ustaz tindak nang sorga pokoke katut. Tak ada upaya untuk menelaah atau menanyakan kembali/bertanya, mengonfirmasi, apa benar ajaran Islam seperti itu?
Kita ambil contoh substansi dari ceramah yang pernah kita dengar. Tiada hari berlalu tanpa tausiah di segala stasiun tv punya layar. Ceramah dari ustaz muka baru, muka lama,  sampai ustaz yang tenar. Saking banyaknya kegiatan tausiah digelar, yang muncul adalah suasana keagamaan yang hingar-bingar.
Dalam peristiwa isra’ Mi’raj, Nabi diperjalankan dari Masjidil Haram (Mekkah) menuju Masjid Al Aqsha (Palestina) ditemani oleh malaikat Jibril. Lalu Nabi sampai di Sidratul Muntaha. Nabi bertemu dengan Allah. Nabi mendapat wahyu berupa perintah salat lima puluh kali sehari semalam. Nabi pun kembali ke Mekkah. Dalam perjalanan kembali, Nabi mampir di sorga dengan level-levelnya dan bertemu dengan penghuni sorga-sorga itu, yakni para nabi terdahulu. Salah seorang dari nabi itu adalah Musa. Nabi saw berdialog dengan Musa. Salah satu materi dialog keduanya adalah soal salat lima puluh kali sehari semalam. Nabi Musa heran, kok Nabi saw menyanggupi kewajiban salat sebanyak itu. Kata Musa, umatnya yang fisiknya lebih besar dari fisik umat Muhammad saja tidak mampu karena salat itu berat. Musa menyarankan agar Nabi saw kembali ke Sidratul Muntaha menghadap Allah minta keringanan. Lalu beliau minta keringanan. Kembali lagi kepada Musa dan mengatakan ada keringanan yakni dikurangi lima kali. Musa mengatakan bahwa kewajiban itu masih sangat berat, dan disarankan agar Nabi saw kembali  menghadap Allah. Nabi saw pun menuruti saran Musa. Begitulah berulang-ulang Nabi saw harus mondar-mandir dari  dan ke tempat Musa. Akhirnya Allah menetapkan salat fardhu menjadi lima kali sehari semalam.
Begitulah kisah peristiwa Isra’ Mi’raj diceritakan dari mulut ke mulut. Cerita/kisah dari mulut ke mulut itu pun ditulis oleh para penulis. Hasil tulisan adalah, tambahan dan polesan cerita sesuai dengan persepsi pribadi penulis. Semua berjalan dari waktu ke waktu, sampai kepada generasi kita sekaran ini.
Para pembaca yang budiman, bagaimana Anda memandang substansi ceramah seperti ini?
Ada dua penilaian yang dapat kita berikan tentang substansi, yakni benar dan tidak benar. Peristiwa terjadinya Isra’ adalah kebenaran ilahiah. Yang tidak benar adalah peristiwa itu banyak polesan ala kosmetik karena dibumbu-bumbui dengan tambahan cerita yang tidak masuk akal, tidak logis, dan menyesatkan.
Kejadian yang benar adalah sebagaimana yang difirmankan Allah dalm QS 17: 1.
Subhaanal ladzii asraa bi ‘abdihii lailan minal Masjidil Haraami ilal Masjidil Aqsha. Alladzii baaraknaa hawlahuu linuriyahuu min aayaatinaa, innahuu huwas samii’l bashiir.
Maha Suci Allah yang telah memperjalankan hambanya (Muhammad), dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqhsa pada malam hari. Dalam perjalanannya itu, Kami berkati sekelilingnya, Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda kebesaran Kami. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar dan Maha Mengawasi.
Kejadian yang tidak pernah ada (diada-adakan melalui cerita berbumbu) oleh orang yang tidak bertanggung jawab. Mereka ini adalah kaum fasik yang menjadi biang kerok yang merusak kemurnian ajaran Islam. Perhatikan berita bohong di atas, yaitu:
            Nabi saw menemui Allah di tempat kediaman Allah, namanya Sidratul  
Muntaha. Seakan-akan Allah itu punya kediaman tetap seperti seorang raja yang menghuni istana.
            Nabi melihat Allah dan berdialog dengan Allah seakan-akan Allah
memperlihatkan wujud-Nya kepada Nabi saw, seakan-akan Allah itu jelas
tampilan wujud fisik-Nya. Tambahan bumbu lagi, bahwa satu-satunya manusia yang dapat melihat wujud Allah adalah Nabi saw. Orang lain, para nabi sekali pun tak mampu melihat wujud Allah. Astagfirullah!
Nabi saw melakukan tawar-menawar tentang bilangan salat, yakni dari lima puluh kali menjadi 45 kali, empat puluh kali, sampai terakhir lima kali, seakan-akan Nabi saw dengan Allah Yang Maha Besar bertransaksi di pasar tradisional.
Nabi saw dengan Nabi Musa yang sudah meninggal dunia lebih dari seribu tahun diceritakan bisa berdialog. Keduanya berdialog seperti berdialog di warung kopi.
Cerita yang dibangun mirip cerita penganut  animisme, Hindu purba, dan cerita pewayangan.
Inilah penggalan kisah substansi ceramah yang gede banget boongnye!
Dasar rujukan cerita ini adalah hadis (katenye Nabi saw) yang diambil dari cerita si Anu dan diriwiyatkan oleh si Anu, dari sahabat Anu, dari isteri Nabi saw, atau dari sahabat Abu Hurairah, atau dari sahabat yang lain,  bahwa Nabi saw ngomongnye begitu.
Untuk memudahkan kita menilai substansi ceramah itu valid atau gede boongnye, ajukan pertanyaan seperti berikut ini.
(i)            Benarkah Nabi saw itu teladan terbaik bagi muslim? Jawabnya adalah ya. Ada pernyataan langsung dari Allah dan wajib bagi setiap muslim meneladani Nabi saw.
(ii)          Benarkah Nabi saw itu memiliki sifat terpuji: shiddiq, amanah, fathanah, dan tabligh? Jawabnya adalah ya.
(iii)         Dengan sifat-sifatnya yang luhur itu, mungkinkah Nabi saw mengajarkan hal-hal yang tidak masuk akal? Jawabnya adalah tidak mungkin atau mustahil. Impossible lah yaw!
(iv)         Adakah Nabi saw berbicara seperti itu?Jawabnya adalah ya, untuk substansi berbicara tentang peristiwa Isra’ yang dialaminya. Wajib bagi Nabi saw menyampaikan wahyu yang diterimanya (QS 17: 1). Namun yang belum tentu benar adalah redaksional kalimat atau kata-kata yang digunakan (katenye: kalimat tidak langsung (indirect speech) atau kalimat kutipan.
(v)          Siapa dari para sahabat yang mendengarkan cerita seperti itu? Jawabnya sebagian sahabat, peristiwa terjadi ketika Nabi saw masih berada di Mekkah (tahun ke-13 masa kerasulan; 612 M; pada tahun yang sama Nabi saw berhijrah ke Madinah). Sebagian yang hadir ada yang percaya dan sebagian lagi ada meragukan, dan sebagian lagi bahkan menuding Nabi saw membual, berdongeng ala nenek moyang, dan lebih parah lagi mengatakan bahwa Nabi saw berhalusinasi terkena sihir jahat.
(vi)         Siapa dari para sahabat yang merekam pembicaraan Nabi saw  yang redaksionalnya seperti itu? Jawabnya tidak ada satu pun yang merekam karena tape-recorder belum diciptakan manusia. Para sahabat yang mendengar hanya mengandalkan daya ingat saja. Berdasarkan rekaman daya ingat itulah penyampaian dakwah yang dilakukan para sahabat.
(vii)        Bagaimana peristiwa Isra’ sebagai kebenaran itu diceritakan dari mulut ke mulut oleh para sahabat yang tidak hadir? Bagaimana peristiwa Isra’ jika disampaikan oleh orang Mekkah yang munafik atau yang kafir seperti sosok Abu Lahab atau Abu Jahal? Bagaimana jika diceritakan oleh tukang cerita atau pendongeng?
Kalau cerita tak masuk akal seperti itu diajarkan kepada orang lain dan dikatakan sebagai ajaran Islam, maukah orang percaya begitu mudah, kemudian mereka masuk Islam?
Apakah kita, yang sudah muslim dari sononye, juga percaya cerita yang tak masuk akal seperti cerita di atas?
Apakah Islam sebagai agama yang rasional, kebenaran ilahiah yang agung, dan  menjunjung tinggi pengetahuan yang ilmiah bisa besar, dan berkembang seperti sekarang ini, dibangun dengan fondasi hal-hal yang irrational?
Kalau kita masih saja mengamini cerita model begitu, dan banyak sekali diceritakan oleh para penceramah, kita tertipu oleh ajaran keliru yang berbungkus Islam.
Kalau dalam berpengetahuan dan beragama tertipu, maka praktik beragama  menjadi sesat, dan kita menjadi terbiasa membangun kesesatan.
Lihat saja kelakuan sesat yang sudah tergolong musyrik seperti contoh berikut ini.
Ada banyak muslim menabur bunga di tempat terjadinya kecelakaan yang menyebabkan tewasnya Uje, mengusap-usap pohon pinang yang tertabrak mogenya Uje, dan menciuminya.
Ada banyak muslim yang mengelus-elus moge milik Uje dan sangat ingin mengeramatkannya.
Ada juga muslim peziarah yang mengambil tanah kuburan Uje. Kalau pun tak sempat bertemu dengan sosok idola, tanah kuburannya pun jadilah.
Ada sebagian muslim pengidola Uje yang telat tahu berita kematian Uje, datang ke kuburan Uje, berdoa komat-kamit di depan makam, mengelus papan nisan, dan menangis berurai air mata.
Ada lagi satu dua orang muslim membangun cerita ala penganut  animisme, katanya, ada awan hitam di atas langit Pamulang dan Pondok Indah yang muncul menjelang tewasnya Uje.
Ada seorang ustaz tenar datang bertausiah dan memimpin acara tahlilan para hari pertama wafatnya Uje. Ada empat orang kiai yang memimpin acara tahlilan pada hari keempat pascawafatnya Uje, dan tampil tujuh orang ustaz memimpin acara tahlilan pada hari ketujuh, dan boleh jadi ada empat puluh orang ustaz bakal hadir pada peringatan empat puluh harinya. Jika banyaknya ustaz sama bilangannya dengan bilangan hari kepergian Uje, berapa orang ustaz yang hadir pada acara peringatan satu tahun atau lima tahun pascawafatnya?
Tentu ada jemaah yang berpraktik begitu karena diajari oleh ustaz atau kiai, ada pembiaran dari ustaz dan kiai, dan bahkan para ustaz atau kiai mencontohkan, dan menjadikan semua itu sebagai kebiasaan, yang pada akhirnya diyakini sebagai ajaran Islam.

Pembual
Pembual  adalah sebuah kata turunan dari kata dasar bual (nomina). Bual atau bualan artinya omong kosong atau omong besar. Pembual adalah orang yang suka membual atau berbicara omong kosong atau omong besar. Pembual itu bisa asli bakat bawaan dan bisa juga hasil pendidikan atau pengalaman. Pembual itu usianya sama tuanya dengan usia manusia.
Tiada isi bualan dari pembual yang tidak mengandung omong kosong atau omong besar. Peristiwa biasa-biasa saja jika diberitakan oleh seorang pembual bisa berubah menjadi peristiwa besar, peristiwa kecil dibesar-besarkan, dan peristiwa besar diberitakan menjadi peristiwa dahsyat.
Pembual jika menyatu pada diri badut, pelawak, presenter, atau the host suatu acara mungkin bisa menghibur. Tukul Arwana adalah “pembual” kelas wahid sebagai presenter  acara Bukan Empat Mata. Tukul begitu lepas, enteng, dan enjoy banget “membual” dan itulah gaya dia yang menjadikannya kaya raya. Tukul dengan enteng mengatakan bahwa dia adalah saudara Presiden, pacar bintang film tenar, om atau paman dari Gubernur atau pejabat tinggi, dan lain-lain asli bualan. Bualan Tukul Arwana adalah sumber uang baginya. Tukul membual adalah situasional atau kondisional karena tuntutan skenario, bukan pembual asli.
Tetapi percayalah, Tukul Arwana dalam kesehariannya tentu tak suka membual. Isterinya nan cantik, Susi Similikiti, juga mantan pacar, adalah wanita satu-satunya yang dia pacari dan dia ambil sebagai isteri.
Bagaimana kalau pembual menyatu pada sosok ustaz atau kiai yang suka berceramah agama Islam di mana-mana?
Jawabnya tidak pantas karena berdampak buruk terutama bagi para jemaah yang awam. Jemaah sering langsung percaya saja kepada tausiah bercampur-baur dengan bualan karena yang bertausiah itu seorang ustaz.
Misalnya, seorang ustaz berceramah tentang anak keturunan yang kelak akan menjadi penghuni sorga.
Ada isi ceramah yang mungkin bisa dipetik. Tetapi ketika berbicara tentang anak keturunan Nabi saw yang pasti manusia utama yang akan menjadi ahli sorga, maka itulah bentuk bualan. Ustaz itu telah membual. Dia memutarbalikkan fakta wahyu ilahiah bahwa manusia itu sama di mata Allah, kecuali keutamaan karena takwanya. Tak ada satu pun ayat Quran yang menyatakan keturunan Nabi saw itu manusia utama dan pasti penghuni sorga. Walaupun orang itu mengaku keturunan Nabi saw dan bergelar habib. Bagaimana kalau si Habib itu berbuat cabul atau maksiat?
Begitu pun dengan tausiah kematian dan kuburan.
Semua manusia dan makhluk hidup pasti mati. Asal manusia dari tanah dan kembali kepada tanah juga. Bisa saja di dataran daratan, bisa juga di puncak gunung Salak seperti para korban pesawat Sukhoi bulan April 2012, bisa juga di dasar laut bagi mereka yang tewas tenggelam di laut, bisa juga tubuhnya hancur berkeping-keping tak berbentuk lagi, dan bisa juga terkubur di tumpukan gunung es di benua Antartika.
Kuburan adalah benda mati, Para nabi sudah tak ada satu pun. Sebagian dari kuburan mereka sudah tak diketahui di mana lokasinya. Nabi Isa pun tak ada kuburannya. Tak ada umat Nasrani yang tahu. Hanya ada satu saja kuburan nabi yang masih ada, yakni kuburan Nabi saw. Lokasinya di Madinah.
Kuburan tetaplah kuburan. Jangan umat Islam punya penafsiran bahwa masih adanya kuburan Nabi saw karena perlakuan yang berlebihan. Tidak ada perlakuan para sahabat yang menyamakan kuburan Nabi saw sama dengan memperlakukan beliau semasa masih hidup. Memperlakukan kuburan seperti memperlakuan orang adalah sebagai tindakan beragama yang menyesatkan.
Muslim yang berharap-harap bisa mati di Mekkah dan dikuburkan di komplek Ma’la atau berharap-harap bisa mati di Madinah dan berharap dikuburkan di komplek Baqi berdekatan dengan kuburan Nabi saw, dengan keyakinan bahwa dikuburkan di Ma’la atau di Baqi sebanyak 70.000 orang langsung masuk sorga tanpa dihisab adalah akibat buruk dari tausiah bualan yang menyesatkan.
Makanya, jangan suka cepat percaya dengan omongan ustaz yang amat sering mencampuradukkan tausiah dengan bualan. Jangan lagi mencampuradukkan fungsi pendakwah dengan pembual.
Ajaran Islam jelas dan terang-benderang.

Pendongeng
Dongeng adalah cerita tentang sesuatu yang tidak benar-benar terjadi, misalnya cerita tentang terjadinya gunung, danau, atau penjelmaan makhluk. Misalnya, dongeng tentang Lutung Kasarung, terjadinya Gunung Tangkuban Perahu, Situ Bagendit, atau candi Lorojonggrang. Untuk makhluk misalnya dongeng dalam dunia pewayangan seperti sosok kera putih sang Hanoman, sosok Dewa atau bidadari, atau sosok  manusia antagonis berwujud raksasa seperti Rahwana. Dongeng sarat dengan mythe (mitos/dunia mistis) dan takhayul yang tersebar dari mulut ke mulut. Contoh dongeng yang paling masyhur di seluruh dunia adalah dongeng Cinderella yang ditulis oleh Hans Christian Andersen. Di indonesia, dongeng yang paling sering ditutur atau ditulis adalah kisah Bawang Putih Bawang Merah dan kisah Timun Mas.
Orang yang suka mendongeng atau berprofesinya mendongeng disebut pendongeng. Kakek atau nenek yang biasa berdongeng untuk cucu ketika mau tidur, seorang ibu berdongeng untuk anaknya yang berusia balita, guru berdongeng untuk para sisiwanya dalam kegiatan pembelajaran, atau profesional yang hidup dengan kemampuan berdongeng disebut pendongeng.
Pendongeng dan pencerita hampir sama dalam kemampuan berlisan dan menutur. Bisa saja sosok pendongeng adalah juga pencerita. Akan tetapi keduanya, pendongeng dan pencerita tidak bisa mewakili profesi pendakwah atau mubalig. Substansi cerita dan dongeng yang tidak faktual, irrational, dan mistis tidak bisa menyatu dengan substansi dakwah yang faktual, kontekstual, dan rasional.
Bagi Islam, akan berbahaya jika seorang pendakwah atau mubalig yang bertausiah suka mencampuradukkan materi dakwah dengan materi cerita apa lagi materi dongeng. Banyak contoh telah terjadi, materi dakwah dibumbui dengan bumbu cerita atau dongeng.
Jangan sampai dongeng atau cerita penuh bumbu penyedap dikatakan sebagai wahyu Allah dan ajaran Islam.
Jangan lupa pula pada perilaku Abu Lahab dan Abu Jahal dkk., ayat Quran malah dikatakan syair nenek moyang. Mereka berlaku congkak menghina Nabi saw dan menghina Quran.
QS 31: 7.
Wa idzaa tutlaa ‘alaihi aayaatuna, wallaa mustakbiran ka’anlam yasma’ha, ka ‘annaa fiihi ‘udzunaihi waqra. Fa bashshirhu bi ‘adzaabin ‘alim.
Dan apabila dibacakan kepadanya ayat-ayat Kami, mereka berpaling dengan bersikap sombong seakan-akan tidak mendengar, seakan-akan pada pendengaran mereka ada penyumbat.  (Oleh karena itu), Beri peringatan kepadanya tentang azab-Ku yang sangat pedih.
QS 83: 13
            Wa idzaa tutlaa alaihi aayaatuna, qaala asaatiirul awwaluun.
            Dan apabila dibacakan kepadanya ayat-ayat Kami, dia berkata bahwa ayat-          ayat itu adalah dongeng nenek moyang.   

Jakarta, 27 Mei 2013




 

Jumat, 10 Mei 2013

SEMUA RAKYAT INDONESIA KAYA SEMUA RAKYAT INDONESIA TIDAK MISKIN



Bahasa Indonesia

Pernalaran

SEMUA RAKYAT INDONESIA KAYA SEMUA RAKYAT INDONESIA TIDAK MISKIN

Term, Proposisi, dan Lingkaran Euler
term

Term adalah kata atau frasa/kelompok kata yang dapat dijadikan subyek atau predikat dalam kalimat proposisi.
Contoh:
            rakyat; rakyat Indonesia; semua rakyat Indonesia
           tiga; tiga orang; tiga orang guru; tiga orang guru matematika
           kopi; kopi bubuk; kopi bubuk lampung

proposisi

Proposisi adalah pernyataan tengtang hubungan yang terdapat di antara subyek dan predikat. Sebuah proposisi mempunyai subjek dan predikat, atau dengan kata lain sebuah proposisi pasti berbentuk kalimat.
Contoh:
            Semua rakyat Indonesia kaya.     
           Bulan adalah satelit bumi.
            Singa adalah hewan buas.
            Ras Mongolid berkulit kuning.

Akan tetapi, tidak semua kalimat adalah proposisi. Kalimat tanya, kalimat perintah, kalimat harapan, dan kalimat inversi tidak dapat disebut proposisi.
Contoh:
           Binatang buaskah singa?
            Semoga engkau selamat sampai tujuan.
            Lakukan saja perintahnya!
            Minum air susu itu, Nak!

Lingkaran Euler
E. Zainal Arifin dan S. Amran Tasai (2010: 139), dalam hal hubungan kelompok subjek dan kelompok predikat dalam proposisi memberikan penjelasan dengan mengutip pendapat  seorang ahli logika berkebangsaan Swiss, Euler namanya. Dia  mengemukakan konsepnya  tentang hal ini dengan empat jenis proposisi dengan lima macam posisi lingkaran yang kemudian dikenal dengan nama Lingkaran Euler.
Keempat jenis proposisi itu adalah sebagai berikut:

1)    Suatu perangkat yang tercakup dalam subjek sama dengan perangkat yang terdapat dalam predikat.
Semua S adalah semua P:

Semua bankir kaya.
Semua rakyat kaya adalah semua rakyat tidak miskin.
S = P
 




2)    Suatu perangkat yang tercakup dalam subjek menjadi bagian dari perangkat predikat.
Semua S adalah P:

Semua budak tidak merdeka.
Semua anggota DPR dicalonkan parpol.

        
S
P
 




            Sebaliknya, suatu perangkat predikat merupakan bagian dari perangkat  
           subjek.
            Sebagian S adalah P
          
           Sebagian mahasiswa hidup hemat.
            Sebagian jenderal berekening gendut.

3)    Suatu perangkat yang tercakup dalam subjek berada di luar perangkat predikat. Dengan kata lain, antara subjek dan predikat tidak terdapat relasi.

        
S
P
 




Tidak satu pun S adalah P
Tidak seorang pun manusia berkaki empat.

S
P
 




4)    Sebagian perangkat yang tercakup dalam subjek berada di luar perangkat predikat.

Sebagian S tidaklah P

Sebagian direktur tidaklah kaya.
Sebagian reptil bukanlah buaya.

P
S
 



Proposisi dan kriterianya
Tentang proposisi dan kriteria, E. Zainal Arifin dan S. Amran Tasai (2010: 142), menjelaskan bahwa ada empat kriteria untuk mengenali proposisi:
1)    berdasarkan bentuknya;
2)    berdasarkan sifatnya;
3)    berdasarkan kualitasnya; dan
4)    berdasarkan kuantitasnya.

1.    Proposisi berdasarkan bentuknya:
a.    Proposisi tunggal, yakni proposisi yang hanya mengandung satu pernyataan.
Contoh:
Semua rakyat Indonesia kaya.
Semua petani hidup makmur.
Semua buruh harus bekerja keras.
Setiap guru harus profesional.

b.    Proposisi majemuk, yakni proposisi yang mengandung lebih dari satu pernyataan.
Contoh:
Semua buruh harus bekerja keras dan rajin.
Proposisi di atas terdiri atas dua proposisi tunggal, yaitu:
Semua buruh harus bekerja keras; dan
Semua buruh harus (bekerja) rajin.

2.    Proposisi berdasarkan sifatnya:
a.    Proposisi kategorial; hubungan antara subjek dan predikat terjadi dengan tidak bersyarat.
Contoh:
Semua becak beroda tiga.
Sebagian binatang tidak berekor.
Setiap pegawai negeri sipil memiliki NIP.

b.    Proposisi kondisional; hubungan antara subjek dan predikat terjadi dengan suatu syarat tertentu. Ada dua unsur dalam proposisi ini, yaitu unsur sebab dan unsur akibat.
Contoh:

Jika buruh pabrik tidak masuk kerja, gajinya dipotong.
Jika guru sudah bersertifikasi profesional, tunjangan profesionalnya dibayarkan.
Jika buruh pabrik tidak masuk kerja dan jika guru sudah bersertifikasi profesional  merupakan unsur sebab yang disebut anteseden.
Gajinya dipotong dan tunjangan profesionalnya dibayarkan merupakan unsur akibat yang disebut konsekuen.
3.    Proposisi berdasarkan kualitasnya:
a.    Proposisi positif (afirmatif), yakni proposisi yang membernarkan adanya penyesuaian hungan antara subjek dan predikat.
Contoh:

Semua dokter lulus fakultas kedokteran.
Sebagian hewan buas berkawan dengan manusia.

b.    Proposisi negatif, yakni proposisi yang menyatakan bahwa antara subjek dan predikat tidak mempunyai hubungan/meniadakan hubungan antara subjek dan predikat.
Contoh:

Semua dokter bukanlah insinyur.
Sebagian tunanetra bukanlah tunaaksara.

4.    Proposisi berdasarkan kuantitasnya;
a.    Proposisi universal (umum), yakni predikat proposisi membenarkan atau mengingkari seluruh subjeknya. Proposisi universal ini dapat dinyatakan dalam dua cara, yaitu universal afirmatif dan universal negatif.
1)    Universal afirmatif diwakili oleh kata-kata: semua, setiap, masing-masing, apa pun.

Contoh:

Semua orang tunanetra tidak dapat melihat.
Setiap manusia memiliki otak.
Masing-masing penonton sudah mengantongi tiket.
Apa pun hasil pertandingan, semua ofisial sudah pasrah.

2)    Universal negatif diwakili oleh frasa: tidak satu pun, takseorang pun.
Contoh:

Tidak satu pun tiket konser Lady Gagal terjual.
Tak ada seorang pun yang bisa lolos dari jeratan hukum.

Jakarta, 10 Mei 2013