Minggu, 06 April 2014

ADANYA ALIRAN SESAT: QURAN CUMA DIBACA SESAAT


ADANYA ALIRAN SESAT: QURAN CUMA DIBACA SESAAT
(Kata Cecep Solihin, mengutip ayat Quran, “Allahu rabbi wa rabbukum, fa’buduuhu, haadzaa shiraathim mustaqiim.”
Dia bagus dan wajar berkata begitu.
Kata Cecep Solihin, katenye die dewek, “Ana rasuulum minkum!”
Dia kurang ajar!)
Pengantar
Kita umat Islam di Indonesia kembali terkaget-kaget dengan adanya berita yang dilansir oleh media massa cetak maupun elektronika. Berita apa gerangan?
Ada lagi muncul aliran sesat yang menyesatkan yang dibawa oleh seorang pendusta (al-kazzab) yang bernama Cecep Solihin, berdomisili di Kota Bandung, Jawa Barat.
(ingatan kita kembali muncul kepada sosok Agus Solihin, berdomisili di Jagakarsa, Jakarta Selatan. Juga meluncurkan ajaran sesat yang mirip. Masih ingat pula kita dengan sosok Musaddeq alias Abdul Salam, berpraktik di Cisarua, Bogor. Kelakuannya juga mirip dengan Cecep Solihin maupun Agus Solihin: mengajarkan aliran sesat yang berpotensi menyesatkan umat Islam, minimal beberapa gelintir pengikut setianya).
Kok bisa ya, sosok penyesat/pendusta agama (Al-Kazzab) punya pengikut yang siap sesat pula?
Apakah sosok Al-Kazzab ini mempunyai kelebihan, mendapat wangsit, atau cahaya keajaiban, atau bukan manusia biasa?
Jangan terkecoh dengan istilah bukan manusia biasa! Mereka ini punya istri dan anak-anak, punya libido seksual, doyan makan nasi, minum air, dan pasti kentut, kencing, atau buang hajat!
Hari gini masih ada orang Islam yang percaya kepada nabi palsu dan rasul abal-abal!
Ada yang salah dengan kita umat Islam di Indonesia. Lia Eden yang mengaku malaikat Jibril sudah dihukum tetapi masih belum jera juga dan dia masih saja punya pengikut yang edan.
Ahmad Musaddeq sudah bertobat (2007). Cecep Solihin sudah mengakui semua kekeliruannya. Dia bertobat. Istrinya yang tiga orang pun lmengikuti jejaknya, bertobat pula.
Hukuman yang setimpal harus diberlakukan bagi siapa pun yang menistakan agama (Islam).
Apakah kita dapat menjamin tidak bakal muncul lagi nabi palsu atau rasul abal-abal menyebarkan ajaran sesat kelak?
Apakah kita dapat menjamin tidak akam muncul sosok Cecep Solihin yang lain kelak?
Apa yang salah dan di mana kesalahan itu?
Yuk, kita diskusikan! Moga-moga umat Islam bertambah cerdas dan nabi palsu atau rasul abal-abal tidak akan pernah punya pengikut lagi.

Sinkretisme yang abu-abu
Sinkretisme (syncretism: penyesuaian/penyelarasan/penyeimbangan dua aliran atau mazhab yang berbeda). Itu arti kata sinkretisme dalam kitab kamus (KBBI: 2008).
Sinkretisme dalam budaya dan tradisi atau mazhab/aliran sih sah-sah saja, wong budaya, kok!
Sinkretisme dalam budaya antara Hindu dengan Buddha, Buddha dengan Konghucu, atau Buddha dengan Shinto sih sah-sah saja. Wong semua itu agama dunia/agama budaya!
Orang Hindu suka menyembah berhala/patung/arca di samping suka membakar dupa dan kemenyan. Orang Buddha juga suka menyembah berhala/patung/arca. Orang Konghucu juga suka berlaku begitu, ditambah lagi dengan membakar hio.
Mereka pun memadukan tradisi itu: menyembah berhala dan membakar kemenyan atau hio. Pabrik atau home industry ( industri rumahan) berbisnis dupa dan hio. Itulah wujud sinkretisme.
Sinkretisme tradisi Syi’ah dengan Sunny, atau Sunny dengan Ahmadiyah, atau sinkretisme antara NU dengan Muhammadiyah ya sah-sah saja, kok! Wong semua itu lembaga budaya buatan manusia.
Orang NU bikin ponpes di daerah perkotaan padahal ponpes itu identik dengan pendidikan nonformal, nyantri, dan daerah rural/perdesaan, bagus! Orang Muhammadiyah bikin lembaga pendidikan model pesantren padahal Muhammadiyah tradisinya membangun sekolah formal, bagus juga!
NU dan Muhammadiyah tampak tambah kompak. Tentu saja bagus buat umat Islam.
Sinkretisme dalam Islam, bagaimana? Bolehkah?
Haram!
Ya, haram dong!
Islam itu agama wahyu (samawy). Tonents (doktrin; ajaran) Islam itu dasarnya adalah wahyu-wahyu Allah yang haq (benar; tidak ada keraguan sedikit pun). Sementara Hindu, Buddha, Shinto, Konghucu, dan Kejawen, adalah agama dunia (hasil ideologi dan budaya para ideolog dan pemuka agama masing-masing). Bagaimana mungkin mensinkretisasikan doktrin Allah Yang Maha Pencipta dengan budaya manusia yang notabene hanya makhluk ciptaan Allah?
Pantaskah seorang muslim yang salat atau berdoa tetapi ada media patung di hadapannya atau memegang hio atau membakar dupa di ruang salat?
Tidak pantas dan haram!
Orang-orang primitif kaum animis tradisinya mendoakan arwah leluhur dan menyambangi kuburan leluhur, lalu bersembahyang di depan kuburan.
Pantaskah seorang muslim yang ber-syahadatain membaca ayat-ayat Quran yang agung wahyu Allah Swt. di depan makam/kuburan mengatasnamakan berdoa?
Itu bukan praktik yang ditelandankan Rasulullah! Itulah wujud sinkretisme.
Sangat tidak pantas dan haram!
Orang-orang primitif dan penganut Hindu punya budaya berkhalwat/bersemedi di gua atau pertapaan yang sepi dengan dalih menjauhi urusan duniawi demi mendekatkan diri kepada Tuhan. Makin lama bertapa, makin kuat keyakinannya, makin sakti, Tuhan pun makin sayang, begitu katanya, loh!
Orang Nasrni punya keyakinan bahwa menjadi biarawan atau biarawati itu adalah mulia untuk menjadi gembala-gembala Tuhan.
Muhammad bin Abdullah bin Abdul Muththalib bin Hasyim bin Abdil Manaf bin Qusay bin Kilab bin Fulan, …, bin Ismail bin Ibrahim sebelum ditunjuk sebagai Rasul Allah melalui wahyu Allah yang pertama kali, dia pernah melakukan khalwat di Gua Hira’ beberapa kali.
Akan tetapi setelah menerima wahyu Allah, Muhammad Rasulullah tidak pernah lagi berkhalwat. Tidak pantas lagi dia melakukan kegiatan seperti itu.
Allah memerintahkan Muhammad agar menegakkan ubudiyah (hablum minallah) dan muamalah (hablum minan nas) secara serempak, tidak parsial.
Kalau Muhammad Rasulullah tidak pernah lagi berkhalwat atau bertapa di Gua Hira’ atau di Jabal Rahmah.
Mengapa kita, sebagian muslim, masih doyan bertapa, pergi menyepi, meninggalkan suami/istri dan anak-anak, demi keyakinan animisme yang berbau takhyul atau klenik?
Pantaskah kita berbuat sinkretisasi yang bertentangan dengan perbuatan Rasulullah Muhammad saw. Pantaskah kita menyelaraskan doktrin Islam tentang dakwah yang lurus dengan budaya animisme dan agama ideologi buatan manusia?
Tidak pantas dan haram!
Silakan bersinkretisasi dalam hal budaya dan ideologi. Silakan membangun masjid dengan gaya arsitektur Viking. Silakan bermusik gambus dan kasidah dengan bumbu koplo atau rap.
Akan tetapi jangan bersinkretisasi doktrin ilahiah Islam dengan budaya, sebab sinkretisasi itu sangat berbahaya dan menyesatkan umat.
Korban pertama sinkretisasi itu adalah umat Islam yang awam. Mereka tidak bisa lagi membedakan mana praktik islami dengan praktik nonislami.
Itulah yang banyak terjadi dan fenomenal banget pada masa pileg dan pilpres yang sekarang sedang berlangsung di tanah air.
Lihat saja kelakuan banyak caleg yang membesarkan praktik mimpi tetapi tidak mempraktikan realitas kehidupan sehari-hari.
Sinkretisme itu abu-abu, campuran hitam dan putih. Hitam tidak, putih pun tidak!

Majelis taklim bertaklim tradisional
Sebenarnya, kita bangga dengan banyaknya majelis taklim bertumbuh subur di tengah masyarakat, baik di perkampungan kumuh, di perkotaan, maupun di perdesaan.
Sebenarnya, kita bersenang hati diajak untuk mengikuti taklim yang diselenggarakan oleh majelis taklim di tengah lingkungan kita.
Sekali, dua kali, dan tiga kali kita mengikuti kegiatan taklim, kita masih bisa ikuti dan toleran karena ada pencerahan di sana. Akan tetapi, seterusnya tidak lagi tertarik. Mengapa?
Tidak ada yang baru, tidak ada yang menarik, model taklim tetap saja monoton tidak ada perubahan yang greget. Materi taklim adalah ribuan hadis sahih Bukhari dikupas.
Ustaz atau habibnya keturunan superman kali!
Jemaahnya yang tukang parker, montir, sopir angkot, PKL, ibu rumah tangga, OB, pensiunan, dll. dicekoki ilmu hadis, buat apa?
Memangnya umat mau dibawa ke mana dengan belajar materi ribuan hadis?
Materi tambahan adalah nyanyian pujian dan sanjungan.
Ya, materi-materi taklim yang kuno dan usang tentu tidak menarik lagi.
Malah justru membosankan bikin peserta taklim bête!
Jangan salahkan umat yang sudah tak tertarik dengan kegiatan taklim dari majelis taklim yang ada.
Para pengurus atau pemimpin majelis taklimnya yang doyan status quo dan ke-pede-an banget! Ukuran pede-nya pemimpin taklim karena peserta taklim membludak. Ukurannya PKL banyak berdagang. Ukurannya para Polantas tambah sibuk. Ukurannya jalan-jalan pada macet.
Ada efek domino terhadap sebuah majelis taklim yang “sukses” dari seorang pendiri dan pemimpin taklim mengumpulkan Jemaah membludak.
Misalnya alm. Habib Munzir Al Musawwa yang mendirikan dan sekaligus memimpin Majelis Rasulullah di Pancoran, Jakarta Selatan.
Habib Munzir dianggap dan dipandang sukses. Habib Munzir sukses me-Majelis Rasulullahkan” masyarakat Jakarta Selatan.
Efek dominonya menggerakkan sosok Habib Hassan Assegaf yang mendirikan majelis taklim Nurul Musthafa di Ciganjur, Jakarta Selatan.
Habib Hassan dianggap sukses me-Nurul Musthafa-kan masyarakat Jakarta Selatan untuk beberapa bulan.
Jemaahnya pun bejibun.
Itu sih pada awal-awal!
Para ustaz yang kebetulan bergelar habib dan konon punya organisasi habaib, ramai-ramai bikin majelis taklim meniru Habib Munzir dengan Majelis Rasulullah-nya dan Habib Hassan Assegaf dengan Nurul Mustahafa-nya.
Harapan mereka  mungkin mencapai hasil yang menyamai atau mungkin melebihi prestasi Habib Munzir dan Habib Hassan.
Cara, modus operandi, dan media yang dipakai mereka seperti meng-copy caranya Habib Munzir dan Habib Hassan. Pasang tanda gambar dan bikin baliho besar dan dibumbui iklan nama diri, nama majelis, dan kegiatan.
Hasil yang dicapai tentu saja tidak sama dengan kedua habib terdahulu.
Peserta taklim tidak bertambah banyak, boro-boro membludak. Yah, namanya juga meng-copy, mana bisa sama dengan aslinya.
Kemudiannya?
Semua yang namanya taklim tradisional dan tetap dalam “status quo” bertaklim akan bernasib sama di mana pun juga: tetap ada sih, tetapi hidup segan, mati pun tak hendak.
Majelis Rasulullah masih berjalan meskipun sang pendiri dan sekaligus pemimpinnya, habib Munzir sudah wafat. Majelis masih berbunyi tetapi sudah tidak nyaring. Majelis masih aktif tetapi berjalan di tempat.
Akan halnya majelis taklim Nurul Musthafa-nya Habib Hassan, sudah tak terdengar lagi namanya disebut. Jemaah dan para pengikut pengajian sudah membubarkan diri atau ikut majelis taklim yang lain.
Mereka, para penggiat pewaris taklim ini lupa, bahwa Jakarta adalah kota besar dengan populasi terpadat, kota metropolitan dan juga cosmopolitan, heteroginitas menonjol, masalahnya amat kompleks, dan tingkat kemacetan transportasi tertinggi di Indonesia.
Heterogenitas beragama, artinya penduduk Jakarta bukan muslim 100%!
Lalu, harap diingat, tidak semua muslim doyan ikut taklim, bahkan ada muslim yang antitaklim berjamaah, mereka cukup bertaklim atau berdiskusi dalam jemaah kecil yang lebih fokus tetapi lebih besar manfaatnya.
Jalan raya, lapangan terbuka, taman, bahkan Monas itu milik seluruh warga kota. Apa mereka sudi tempat rekreasi dipakai buat perhelatan taklim.
Jangan punya anggapan, bahwa yang kita sukai itu juga orang pasti suka, tentu itu anggapan yang salah.
Misalnya, para CEO penggiat taklim bangga dengan banyaknya atau bejibunnya peserta taklim yang hadir yang tumpah ruah memenuhi jalan raya. Akan tetapi, sungguh! Anda pasti mengernyitkan kening dan menutup telinga ketika para pemakai jalan justru mengeluarkan/mengucapkan sumpah-serapah karena gara-gara ada taklim mereka harus tersiksa berlama-lama bermacet-macet letih fisik dan mental.
Majelis taklim itu semestinya menghadirkan banyak umat yang ingin pencerahan mental spiritual di atas kesehatan fisik dan sosial, bukan malah mengundang kebencian dan antipati. Datangkan rahmat Allah dan hindari laknat dan sumpah-serapah!



Ustaz dan Guru Mengaji yang andal
Ustaz dan Guru Mengaji yang punya murid atau pengikut itu harus andal. Orang yang kepingin belajar mengaji akan bersimpati dan akan setia belajar mengaji kepadanya. Insya Allah mereka menjadi murid dan menjadi jemaah/  pengikutnya. Mereka akan bertambah banyak.
Akan tetapi, tentu kondisi mempunyai murid atau pengikut yang banyak itu bukan datang sekonyong-konyong, ujug-ujug, mendadak banyak, serba ajaib, atau serba instan.
Modal utama ustaz atau Guru Mengaji itu ada pada akhlak kesehariannya: jujur, amanah, peramah, rendah hati,pandai bergaul, kawan bagi siapa pun, dan punya hubungan baik dengan tetangga.
Modal berikutnya adalah kompetensi keilmuan (hal-ikhwal Islam utamanya) dan syukur-syukur dikombinasikan dengan disiplin ilmu yang lainnya.
Kalau seorang ustaz atau Guru Mengaji punya modal keilmuan tentang keislaman thok, tak ada jaminan kontrak mengajarnya diperpanjang, jemaahnya bisa betah mengaji, dan pengikutnya bertambah banyak.
Apa lagi kalau seorang ustaz cuma mengajar metode Iqra atau ilmu Tajwid, atau ilmu Qiraat, dijamin pesertanya berilmu mentok.
Modal penting berikutnya adalah pendekatan dan metode mengajar. Guru-guru di sekolah formal, memiliki pendekatan yang sudah dijamin jitu. Guru bidang studi Matematika yang mengajar materi Geometri punya model pendekatan yang namanya ELPSA (experience, language, picture, symbol, application). Guru SMP dan Guru SD punya model AJEL (active, joyful, effective, learning), Guru SMP ber-AJEL dengan CTL (contextual teaching-learning) dan Guru SD berkutet dengan pendekatan PAKEM ({pembelajaran (yang) aktif, kreatif, efektif, dan menyenangkan}).
Ustaz atau Guru Mengaji pun tidak salah mengadopsi pendekatan yang dipakai oleh para guru di lembaga pendidikan formal. Toh sangat bagus dan membawa manfaat. Ustaz dan Guru Mengaji juga sama dengan tugas guru di sekolah formal, mentransfer ilmu pengetahuan, nilai-nilai dan sikap, dan meneladankan praktik ajaran Islam dalam proses pembelajaran nonformal di majelis taklim. Guru Mengaji tidak mencekoki para murid atau pengikutnya dengan materi pengetahuan semata, atau penguasaan hafalan semata tanpa dibekali dengan pemaknaan maupun pemahaman.
Keliru dan salah besar kalau seorang ustaz atau Guru Mengaji tidak mengubah strategi mengajar para murid atau jemaahnya.
Jangan disalahkan jika para murid atau Jemaah tidak mendapatkan apa-apa padahal mereka setia hadir dan ikut mengaji.
Jangan disalahkan para murid atau jemaah satu per satu meninggalkan ustaz jika ustaz masih mengajar dengan cara monoton dan tradisional.

Jemaah pengajian seharusnya cerdas
Jemaah atau murid pengajian atau pengikut yang mengikuti transformasi ilmu pengetahuan, nilai-nilai dan sikap, serta keterampilan dalam kegiatan pengajian dengan baik, ditrasnfer dengan baik oleh ustaz yang baik, dengan pendekatan yang baik pula, sejatinya akan menjadi peserta atau murid yang cerdas: berpengatahuan, memiliki sikap dan nilai-nilai, dan tentu juga mampu mempraktikkan ajaran Islam dengan baik dan lurus.
Sayangnya, harapan itu sering tidak diraih. Bahkan jauh dari harapan. Para peserta pengajian rajin mengaji (hadir) tetapi tidak mendapatkan apa-apa. Tidak ada peningkatan pengetahuan, perbaikan nilai-nilai dan sikap, dan praktik beragama tetap saja sebagai sesuatu yang rutinitas semata.
Yang dibutuhkan peserta pengajian itu adalah pengetahuan dan pemahaman tentang Islam, yang diberikan oleh ustaz adalah hafalan doa-doa, teks hadis, atau pengetahuan tajwid. Sering nggak konek!
“Saya sudah usia 40-an tahun masih diajari ilmu tajwid, apa gunanya untuk saya?” gerutu seorang peserta pengajian mengeluh.
“Iya! Saya tuh butuh pemahaman tentang Quran, tetapi Pak Ustaz malah suruh saya menghafal teks hadis. Saya kan belum lancar membaca tulisan huruf Arab. Pak Ustaz kayaknya ingin menyiksa saya.” balas seorang jemaah di sebelahnya dengan nada kesal.
“Kok mempelajari Islam jadi susah amat sih, Mas?” timpal yang lain.
“Iya, ya! Kita sudah ikut pengajian sudah puluhan kali. Pengetahuan dan pemahaman kita terhadap Islam tidak nambah-nambah!”
“Apa iya, sih, ajaran Islam itu susah dipahami?”
“Yang penting dapat pahala, Mas! Asal hadir saja, mau mengantuk atau menyimak pahalanya mengaji itu besar!”
Buntut-buntutnya, rutin ikut pengajian, meskipun tidak mendapatkan sesuatu yang konkret, yang dikejar akhirnya pahala. Lagi pula, ustaznya getol banget ngomongin pahala.
Apa sih pahala?
Tidak ada penjelasannya. Tak usah bertanya, telan saja itu pahala!
Hasil mengaji yang tidak jelas seperti ini banyak terjadi di kota Jakarta dan kota-kota besar lain yang notabene SDM ustaznya jauh lebih banyak.
Kalau di Jakarta dan Bandung saja seperti itu hasilnya, bagaimana halnya dengan hasil pengajian di perkampungan atau perdesaan di kota-kota kecil?
Korban ajaran sesat: Jemaah yang awam
Jelaslah bagi kita sekarang, bahwa korban ajaran sesat oleh sosok Al Kazzab nabi palsu dan rasul abal-abal seperti Cecep Solihin, Agus Solihin, atau Lia Eden itu adalah muslim/muslimah yang awam terhadap Islam.
Awamnya mereka ini bukanlah karena kedangkalan iman, tetapi lebih kepada tidak paham tentang Islam. Ajaran Islam sepertinya amat susah dipahami padahal ajaran Islam itu sangat mudah dipahami dan ringan diterapkan.
Beriman dengan kuat itu berkorelasi dengan pemahaman yang tinggi. Orang yang punya pemahaman yang tinggi tentang Islam, tidak akan termakan oleh ajaran sesat dari nabi palsu atau rasul abal-abal.
Pemahaman yang tinggi tentang Islam itu diperoleh dengan mempelajari Quran sebagai wahyu Allah dengan cermat, teliti, dan seksama, serta berkelanjutan dan melalui proses yang panjang.
Mempelajari Quran dengan cermat dan berkelanjutan akan menuntun kita kepada kebenaran dari awal hingga akhir. Pengetahuan dan pemahaman tentang kebenaran itu tidak akan dibantah oleh siapa pun. Jangankan cuma seorang ustaz bergelar Sarjana Agama (S.Ag. atau S.Pd.I.), seorang ulama besar bergelar Profesor Doktor pun tidak akan membantah kebenaran yang datang dari Quran.
Bandingkan jika kita melontarkan sebuah hadis sahih riwayat Bukhari sekali pun. Belum apa-apa, seorang pembelajar keislaman akan menanya, bahkan akan mengebom kita dengan pertanyaan-pertanyaan, misalnya:
Siapa perawi pertama?
Siapa perawi berikutnya?
Bagaimana akhlak perawinya?
Apa begitu redaksionalnya?
Cocokkah pernyataan hadis itu dengan ayat Quran?
Dll.
Jika pernyataan sebuah hadis bersesuaian dengan pernyataan ayat Quran, hadis masih bisa ditoleransi, bisa diterima, meskipun sering dikatakan hadis kurang sahih, hadis bukan dari sahih Bukhari, atau dalih perawinya hanya seorang.
Jika pernyataan sebuah hadis bertolak belakang/bertentangan dengan pernyataan ayat-ayat Quran, langsung saja hadis itu dicampakkan, tak layak dibahas, dan pasti tak layak untuk dirujuk. Mau hadis sahih Bukhari, Muslim, hadis mutawatir, mau hadis hasan, kek!
Kalau hadis saja bisa dibantah, Apatah lagi cuma pernyataan seorang imam yang empunya mazhab, kata-kata seorang kiai, seorang mujtahid, seorang mualim, atau kate kiai ane atau kate ustaz ane!
Adanya mazhab/aliran, adanya mazhab Syi’ah, Sunni, Ja’fariah, Hanafi, Maliki, Syafi’I, dll.membuktikan bahwa pendapat manusia itu berbeda-beda dan sebagai sesuatu hal yang manusiawi belaka. Intinya kita jangan terlalu fanatik terhadap mazhab/isme/aliran. Orang berbeda dengan kita dalam mazhab itu sah-sah saja, manusiawi belaka.
Gampang, kan?
Nah, agar belajar Islam itu tidak njelimet, angel, dan ribet, segera ambil Quran, pelajari dengan seksama, libatkan akal, logika, nalar, dan nurani.
Kitab-kitab yang lain?
Kitab-kitab karangan para imam bisa dipelajari belakangan untuk melengkapi.
Mudah sekali, bukan?
Katanya Quran itu diyakini sebagai pedoman hidup bagi muslim. Konsekuensi Quran sebagai pedoman hidup, ya, harus dipelajari dan dipahami. Bukan sekedar fasih terucap di bibir dan diimingi pahala. (Quran dalam Bahasa Arab jangan dijadikan alasan atau kendala. Penjelasan tentang Quran itu ada di dalam Quran pula.)
Mantap sudah!
Ajaran sesat, siapa pun yang membawa dan menyebarkan, siap dicampakkan!
Nabi palsu atau rasul abal-abal?
Langsung tangkap dan giring saja ke kantor polisi terdekat.
Kalau mereka sudah sampai pada tingkat penistaan agama (Islam), adili saja dengan dasar hukum positif yang berlaku di wilayah NKRI.
Tiada tempat bagi orang Islam yang mempelajari Quran dengan cermat bakal kemasukan ajaran sesat!
Allahu Akbar, Maha Benar Allah!
Jakarta, 6 April 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar