ADANYA ALIRAN SESAT: QURAN CUMA DIBACA SESAAT
(Kata Cecep Solihin, mengutip ayat Quran, “Allahu
rabbi wa rabbukum, fa’buduuhu, haadzaa shiraathim mustaqiim.”
Dia bagus dan wajar berkata begitu.
Kata Cecep Solihin, katenye die dewek, “Ana
rasuulum minkum!”
Dia kurang ajar!)
Pengantar
Kita umat Islam di Indonesia kembali
terkaget-kaget dengan adanya berita yang dilansir oleh media massa cetak maupun
elektronika. Berita apa gerangan?
Ada lagi muncul aliran sesat yang menyesatkan
yang dibawa oleh seorang pendusta (al-kazzab) yang bernama Cecep Solihin,
berdomisili di Kota Bandung, Jawa Barat.
(ingatan kita kembali muncul kepada sosok
Agus Solihin, berdomisili di Jagakarsa, Jakarta Selatan. Juga meluncurkan
ajaran sesat yang mirip. Masih ingat pula kita dengan sosok Musaddeq alias
Abdul Salam, berpraktik di Cisarua, Bogor. Kelakuannya juga mirip dengan Cecep
Solihin maupun Agus Solihin: mengajarkan aliran sesat yang berpotensi
menyesatkan umat Islam, minimal beberapa gelintir pengikut setianya).
Kok bisa ya, sosok penyesat/pendusta agama
(Al-Kazzab) punya pengikut yang siap sesat pula?
Apakah sosok Al-Kazzab ini mempunyai
kelebihan, mendapat wangsit, atau cahaya keajaiban, atau bukan manusia biasa?
Jangan terkecoh dengan istilah bukan manusia
biasa! Mereka ini punya istri dan anak-anak, punya libido seksual, doyan makan
nasi, minum air, dan pasti kentut, kencing, atau buang hajat!
Hari gini masih ada orang Islam yang percaya
kepada nabi palsu dan rasul abal-abal!
Ada yang salah dengan kita umat Islam di
Indonesia. Lia Eden yang mengaku malaikat Jibril sudah dihukum tetapi masih
belum jera juga dan dia masih saja punya pengikut yang edan.
Ahmad Musaddeq sudah bertobat (2007). Cecep
Solihin sudah mengakui semua kekeliruannya. Dia bertobat. Istrinya yang tiga
orang pun lmengikuti jejaknya, bertobat pula.
Hukuman yang setimpal harus diberlakukan bagi
siapa pun yang menistakan agama (Islam).
Apakah kita dapat menjamin tidak bakal muncul
lagi nabi palsu atau rasul abal-abal menyebarkan ajaran sesat kelak?
Apakah kita dapat menjamin tidak akam muncul
sosok Cecep Solihin yang lain kelak?
Apa yang salah dan di mana kesalahan itu?
Yuk, kita diskusikan! Moga-moga umat Islam
bertambah cerdas dan nabi palsu atau rasul abal-abal tidak akan pernah punya
pengikut lagi.
Sinkretisme
yang abu-abu
Sinkretisme (syncretism: penyesuaian/penyelarasan/penyeimbangan dua aliran atau
mazhab yang berbeda). Itu arti kata sinkretisme dalam kitab kamus (KBBI: 2008).
Sinkretisme dalam budaya dan tradisi atau
mazhab/aliran sih sah-sah saja, wong budaya, kok!
Sinkretisme dalam budaya antara Hindu dengan
Buddha, Buddha dengan Konghucu, atau Buddha dengan Shinto sih sah-sah saja.
Wong semua itu agama dunia/agama budaya!
Orang Hindu suka menyembah
berhala/patung/arca di samping suka membakar dupa dan kemenyan. Orang Buddha
juga suka menyembah berhala/patung/arca. Orang Konghucu juga suka berlaku
begitu, ditambah lagi dengan membakar hio.
Mereka pun memadukan tradisi itu: menyembah
berhala dan membakar kemenyan atau hio. Pabrik atau home industry ( industri
rumahan) berbisnis dupa dan hio. Itulah wujud sinkretisme.
Sinkretisme tradisi Syi’ah dengan Sunny, atau
Sunny dengan Ahmadiyah, atau sinkretisme antara NU dengan Muhammadiyah ya
sah-sah saja, kok! Wong semua itu
lembaga budaya buatan manusia.
Orang NU bikin ponpes di daerah perkotaan
padahal ponpes itu identik dengan pendidikan nonformal, nyantri, dan daerah
rural/perdesaan, bagus! Orang Muhammadiyah bikin lembaga pendidikan model
pesantren padahal Muhammadiyah tradisinya membangun sekolah formal, bagus juga!
NU dan Muhammadiyah tampak tambah kompak.
Tentu saja bagus buat umat Islam.
Sinkretisme dalam Islam, bagaimana? Bolehkah?
Haram!
Ya, haram dong!
Islam itu agama wahyu (samawy). Tonents
(doktrin; ajaran) Islam itu dasarnya adalah wahyu-wahyu Allah yang haq (benar; tidak ada keraguan sedikit
pun). Sementara Hindu, Buddha, Shinto, Konghucu, dan Kejawen, adalah agama
dunia (hasil ideologi dan budaya para ideolog dan pemuka agama masing-masing).
Bagaimana mungkin mensinkretisasikan doktrin Allah Yang Maha Pencipta dengan
budaya manusia yang notabene hanya makhluk ciptaan Allah?
Pantaskah seorang muslim yang salat atau
berdoa tetapi ada media patung di hadapannya atau memegang hio atau membakar
dupa di ruang salat?
Tidak pantas dan haram!
Orang-orang primitif kaum animis tradisinya
mendoakan arwah leluhur dan menyambangi kuburan leluhur, lalu bersembahyang di
depan kuburan.
Pantaskah seorang muslim yang ber-syahadatain membaca ayat-ayat Quran yang
agung wahyu Allah Swt. di depan makam/kuburan mengatasnamakan berdoa?
Itu bukan praktik yang ditelandankan
Rasulullah! Itulah wujud sinkretisme.
Sangat tidak pantas dan haram!
Orang-orang primitif dan penganut Hindu punya
budaya berkhalwat/bersemedi di gua atau pertapaan yang sepi dengan dalih
menjauhi urusan duniawi demi mendekatkan diri kepada Tuhan. Makin lama bertapa,
makin kuat keyakinannya, makin sakti, Tuhan pun makin sayang, begitu katanya,
loh!
Orang Nasrni punya keyakinan bahwa menjadi
biarawan atau biarawati itu adalah mulia untuk menjadi gembala-gembala Tuhan.
Muhammad bin Abdullah bin Abdul Muththalib
bin Hasyim bin Abdil Manaf bin Qusay bin Kilab bin Fulan, …, bin Ismail bin
Ibrahim sebelum ditunjuk sebagai Rasul Allah melalui wahyu Allah yang pertama
kali, dia pernah melakukan khalwat di Gua Hira’ beberapa kali.
Akan tetapi setelah menerima wahyu Allah, Muhammad
Rasulullah tidak pernah lagi berkhalwat. Tidak pantas lagi dia melakukan
kegiatan seperti itu.
Allah memerintahkan Muhammad agar menegakkan ubudiyah (hablum minallah) dan muamalah (hablum minan nas) secara
serempak, tidak parsial.
Kalau Muhammad Rasulullah tidak pernah lagi
berkhalwat atau bertapa di Gua Hira’ atau di Jabal Rahmah.
Mengapa kita, sebagian muslim, masih doyan
bertapa, pergi menyepi, meninggalkan suami/istri dan anak-anak, demi keyakinan
animisme yang berbau takhyul atau klenik?
Pantaskah kita berbuat sinkretisasi yang
bertentangan dengan perbuatan Rasulullah Muhammad saw. Pantaskah kita
menyelaraskan doktrin Islam tentang dakwah yang lurus dengan budaya animisme
dan agama ideologi buatan manusia?
Tidak pantas dan haram!
Silakan bersinkretisasi dalam hal budaya dan
ideologi. Silakan membangun masjid dengan gaya arsitektur Viking. Silakan
bermusik gambus dan kasidah dengan bumbu koplo atau rap.
Akan tetapi jangan bersinkretisasi doktrin
ilahiah Islam dengan budaya, sebab sinkretisasi itu sangat berbahaya dan
menyesatkan umat.
Korban pertama sinkretisasi itu adalah umat
Islam yang awam. Mereka tidak bisa lagi membedakan mana praktik islami dengan
praktik nonislami.
Itulah yang banyak terjadi dan fenomenal
banget pada masa pileg dan pilpres yang sekarang sedang berlangsung di tanah
air.
Lihat saja kelakuan banyak caleg yang
membesarkan praktik mimpi tetapi tidak mempraktikan realitas kehidupan
sehari-hari.
Sinkretisme itu abu-abu, campuran hitam dan
putih. Hitam tidak, putih pun tidak!
Majelis
taklim bertaklim tradisional
Sebenarnya, kita bangga dengan banyaknya
majelis taklim bertumbuh subur di tengah masyarakat, baik di perkampungan
kumuh, di perkotaan, maupun di perdesaan.
Sebenarnya, kita bersenang hati diajak untuk
mengikuti taklim yang diselenggarakan oleh majelis taklim di tengah lingkungan
kita.
Sekali, dua kali, dan tiga kali kita
mengikuti kegiatan taklim, kita masih bisa ikuti dan toleran karena ada
pencerahan di sana. Akan tetapi, seterusnya tidak lagi tertarik. Mengapa?
Tidak ada yang baru, tidak ada yang menarik,
model taklim tetap saja monoton tidak ada perubahan yang greget. Materi taklim
adalah ribuan hadis sahih Bukhari dikupas.
Ustaz atau habibnya keturunan superman kali!
Jemaahnya yang tukang parker, montir, sopir
angkot, PKL, ibu rumah tangga, OB, pensiunan, dll. dicekoki ilmu hadis, buat
apa?
Memangnya umat mau dibawa ke mana dengan
belajar materi ribuan hadis?
Materi tambahan adalah nyanyian pujian dan
sanjungan.
Ya, materi-materi taklim yang kuno dan usang
tentu tidak menarik lagi.
Malah justru membosankan bikin peserta taklim
bête!
Jangan salahkan umat yang sudah tak tertarik
dengan kegiatan taklim dari majelis taklim yang ada.
Para pengurus atau pemimpin majelis taklimnya
yang doyan status quo dan ke-pede-an banget! Ukuran pede-nya pemimpin taklim
karena peserta taklim membludak. Ukurannya PKL banyak berdagang. Ukurannya para
Polantas tambah sibuk. Ukurannya jalan-jalan pada macet.
Ada efek domino terhadap sebuah majelis
taklim yang “sukses” dari seorang pendiri dan pemimpin taklim mengumpulkan
Jemaah membludak.
Misalnya alm. Habib Munzir Al Musawwa yang
mendirikan dan sekaligus memimpin Majelis
Rasulullah di Pancoran, Jakarta Selatan.
Habib Munzir dianggap dan dipandang sukses.
Habib Munzir sukses me-Majelis Rasulullahkan” masyarakat Jakarta Selatan.
Efek dominonya menggerakkan sosok Habib
Hassan Assegaf yang mendirikan majelis taklim Nurul Musthafa di Ciganjur, Jakarta Selatan.
Habib Hassan dianggap sukses me-Nurul
Musthafa-kan masyarakat Jakarta Selatan untuk beberapa bulan.
Jemaahnya pun bejibun.
Itu sih pada awal-awal!
Para ustaz yang kebetulan bergelar habib dan
konon punya organisasi habaib, ramai-ramai bikin majelis taklim meniru Habib
Munzir dengan Majelis Rasulullah-nya dan Habib Hassan Assegaf dengan Nurul
Mustahafa-nya.
Harapan mereka mungkin mencapai hasil yang menyamai atau
mungkin melebihi prestasi Habib Munzir dan Habib Hassan.
Cara, modus operandi, dan media yang dipakai mereka
seperti meng-copy caranya Habib
Munzir dan Habib Hassan. Pasang tanda gambar dan bikin baliho besar dan
dibumbui iklan nama diri, nama majelis, dan kegiatan.
Hasil yang dicapai tentu saja tidak sama
dengan kedua habib terdahulu.
Peserta taklim tidak bertambah banyak,
boro-boro membludak. Yah, namanya juga meng-copy,
mana bisa sama dengan aslinya.
Kemudiannya?
Semua yang namanya taklim tradisional dan
tetap dalam “status quo” bertaklim akan bernasib sama di mana pun juga: tetap ada
sih, tetapi hidup segan, mati pun tak hendak.
Majelis Rasulullah masih berjalan meskipun
sang pendiri dan sekaligus pemimpinnya, habib Munzir sudah wafat. Majelis masih
berbunyi tetapi sudah tidak nyaring. Majelis masih aktif tetapi berjalan di
tempat.
Akan halnya majelis taklim Nurul Musthafa-nya
Habib Hassan, sudah tak terdengar lagi namanya disebut. Jemaah dan para
pengikut pengajian sudah membubarkan diri atau ikut majelis taklim yang lain.
Mereka, para penggiat pewaris taklim ini
lupa, bahwa Jakarta adalah kota besar dengan populasi terpadat, kota
metropolitan dan juga cosmopolitan, heteroginitas menonjol, masalahnya amat
kompleks, dan tingkat kemacetan transportasi tertinggi di Indonesia.
Heterogenitas beragama, artinya penduduk
Jakarta bukan muslim 100%!
Lalu, harap diingat, tidak semua muslim doyan
ikut taklim, bahkan ada muslim yang antitaklim berjamaah, mereka cukup
bertaklim atau berdiskusi dalam jemaah kecil yang lebih fokus tetapi lebih
besar manfaatnya.
Jalan raya, lapangan terbuka, taman, bahkan
Monas itu milik seluruh warga kota. Apa mereka sudi tempat rekreasi dipakai
buat perhelatan taklim.
Jangan punya anggapan, bahwa yang kita sukai
itu juga orang pasti suka, tentu itu anggapan yang salah.
Misalnya, para CEO penggiat taklim bangga
dengan banyaknya atau bejibunnya peserta taklim yang hadir yang tumpah ruah
memenuhi jalan raya. Akan tetapi, sungguh! Anda pasti mengernyitkan kening dan
menutup telinga ketika para pemakai jalan justru mengeluarkan/mengucapkan
sumpah-serapah karena gara-gara ada taklim mereka harus tersiksa berlama-lama
bermacet-macet letih fisik dan mental.
Majelis taklim itu semestinya menghadirkan
banyak umat yang ingin pencerahan mental spiritual di atas kesehatan fisik dan
sosial, bukan malah mengundang kebencian dan antipati. Datangkan rahmat Allah
dan hindari laknat dan sumpah-serapah!
Ustaz
dan Guru Mengaji yang andal
Ustaz dan Guru Mengaji yang punya murid atau
pengikut itu harus andal. Orang yang kepingin belajar mengaji akan bersimpati
dan akan setia belajar mengaji kepadanya. Insya Allah mereka menjadi murid dan
menjadi jemaah/ pengikutnya. Mereka akan
bertambah banyak.
Akan tetapi, tentu kondisi mempunyai murid
atau pengikut yang banyak itu bukan datang sekonyong-konyong, ujug-ujug,
mendadak banyak, serba ajaib, atau serba instan.
Modal utama ustaz atau Guru Mengaji itu ada
pada akhlak kesehariannya: jujur, amanah, peramah, rendah hati,pandai bergaul,
kawan bagi siapa pun, dan punya hubungan baik dengan tetangga.
Modal berikutnya adalah kompetensi keilmuan
(hal-ikhwal Islam utamanya) dan syukur-syukur dikombinasikan dengan disiplin
ilmu yang lainnya.
Kalau seorang ustaz atau Guru Mengaji punya
modal keilmuan tentang keislaman thok, tak ada jaminan kontrak mengajarnya
diperpanjang, jemaahnya bisa betah mengaji, dan pengikutnya bertambah banyak.
Apa lagi kalau seorang ustaz cuma mengajar
metode Iqra atau ilmu Tajwid, atau ilmu Qiraat, dijamin pesertanya berilmu
mentok.
Modal penting berikutnya adalah pendekatan
dan metode mengajar. Guru-guru di sekolah formal, memiliki pendekatan yang
sudah dijamin jitu. Guru bidang studi Matematika yang mengajar materi Geometri
punya model pendekatan yang namanya ELPSA (experience,
language, picture, symbol, application). Guru SMP dan Guru SD punya
model AJEL (active, joyful, effective, learning), Guru SMP ber-AJEL dengan CTL
(contextual teaching-learning) dan Guru SD berkutet dengan pendekatan PAKEM
({pembelajaran (yang) aktif, kreatif, efektif, dan menyenangkan}).
Ustaz atau Guru Mengaji pun tidak salah
mengadopsi pendekatan yang dipakai oleh para guru di lembaga pendidikan formal.
Toh sangat bagus dan membawa manfaat. Ustaz dan Guru Mengaji juga sama dengan
tugas guru di sekolah formal, mentransfer ilmu pengetahuan, nilai-nilai dan
sikap, dan meneladankan praktik ajaran Islam dalam proses pembelajaran
nonformal di majelis taklim. Guru Mengaji tidak mencekoki para murid atau
pengikutnya dengan materi pengetahuan semata, atau penguasaan hafalan semata
tanpa dibekali dengan pemaknaan maupun pemahaman.
Keliru dan salah besar kalau seorang ustaz
atau Guru Mengaji tidak mengubah strategi mengajar para murid atau jemaahnya.
Jangan disalahkan jika para murid atau Jemaah
tidak mendapatkan apa-apa padahal mereka setia hadir dan ikut mengaji.
Jangan disalahkan para murid atau jemaah satu
per satu meninggalkan ustaz jika ustaz masih mengajar dengan cara monoton dan
tradisional.
Jemaah
pengajian seharusnya cerdas
Jemaah atau murid pengajian atau pengikut
yang mengikuti transformasi ilmu pengetahuan, nilai-nilai dan sikap, serta
keterampilan dalam kegiatan pengajian dengan baik, ditrasnfer dengan baik oleh
ustaz yang baik, dengan pendekatan yang baik pula, sejatinya akan menjadi
peserta atau murid yang cerdas: berpengatahuan, memiliki sikap dan nilai-nilai,
dan tentu juga mampu mempraktikkan ajaran Islam dengan baik dan lurus.
Sayangnya, harapan itu sering tidak diraih.
Bahkan jauh dari harapan. Para peserta pengajian rajin mengaji (hadir) tetapi
tidak mendapatkan apa-apa. Tidak ada peningkatan pengetahuan, perbaikan
nilai-nilai dan sikap, dan praktik beragama tetap saja sebagai sesuatu yang
rutinitas semata.
Yang dibutuhkan peserta pengajian itu adalah
pengetahuan dan pemahaman tentang Islam, yang diberikan oleh ustaz adalah
hafalan doa-doa, teks hadis, atau pengetahuan tajwid. Sering nggak konek!
“Saya sudah usia 40-an tahun masih diajari
ilmu tajwid, apa gunanya untuk saya?” gerutu seorang peserta pengajian
mengeluh.
“Iya! Saya tuh butuh pemahaman tentang Quran,
tetapi Pak Ustaz malah suruh saya menghafal teks hadis. Saya kan belum lancar
membaca tulisan huruf Arab. Pak Ustaz kayaknya ingin menyiksa saya.” balas
seorang jemaah di sebelahnya dengan nada kesal.
“Kok mempelajari Islam jadi susah amat sih,
Mas?” timpal yang lain.
“Iya, ya! Kita sudah ikut pengajian sudah
puluhan kali. Pengetahuan dan pemahaman kita terhadap Islam tidak
nambah-nambah!”
“Apa iya, sih, ajaran Islam itu susah
dipahami?”
“Yang penting dapat pahala, Mas! Asal hadir
saja, mau mengantuk atau menyimak pahalanya mengaji itu besar!”
Buntut-buntutnya, rutin ikut pengajian,
meskipun tidak mendapatkan sesuatu yang konkret, yang dikejar akhirnya pahala.
Lagi pula, ustaznya getol banget ngomongin pahala.
Apa sih pahala?
Tidak ada penjelasannya. Tak usah bertanya,
telan saja itu pahala!
Hasil mengaji yang tidak jelas seperti ini
banyak terjadi di kota Jakarta dan kota-kota besar lain yang notabene SDM
ustaznya jauh lebih banyak.
Kalau di Jakarta dan Bandung saja seperti itu
hasilnya, bagaimana halnya dengan hasil pengajian di perkampungan atau
perdesaan di kota-kota kecil?
Korban ajaran sesat: Jemaah yang awam
Jelaslah bagi kita sekarang, bahwa korban
ajaran sesat oleh sosok Al Kazzab nabi palsu dan rasul abal-abal seperti Cecep
Solihin, Agus Solihin, atau Lia Eden itu adalah muslim/muslimah yang awam
terhadap Islam.
Awamnya mereka ini bukanlah karena
kedangkalan iman, tetapi lebih kepada tidak paham tentang Islam. Ajaran Islam
sepertinya amat susah dipahami padahal ajaran Islam itu sangat mudah dipahami
dan ringan diterapkan.
Beriman dengan kuat itu berkorelasi dengan
pemahaman yang tinggi. Orang yang punya pemahaman yang tinggi tentang Islam,
tidak akan termakan oleh ajaran sesat dari nabi palsu atau rasul abal-abal.
Pemahaman yang tinggi tentang Islam itu
diperoleh dengan mempelajari Quran sebagai wahyu Allah dengan cermat, teliti,
dan seksama, serta berkelanjutan dan melalui proses yang panjang.
Mempelajari Quran dengan cermat dan
berkelanjutan akan menuntun kita kepada kebenaran dari awal hingga akhir.
Pengetahuan dan pemahaman tentang kebenaran itu tidak akan dibantah oleh siapa
pun. Jangankan cuma seorang ustaz bergelar Sarjana Agama (S.Ag. atau S.Pd.I.),
seorang ulama besar bergelar Profesor Doktor pun tidak akan membantah kebenaran
yang datang dari Quran.
Bandingkan jika kita melontarkan sebuah hadis
sahih riwayat Bukhari sekali pun. Belum apa-apa, seorang pembelajar keislaman
akan menanya, bahkan akan mengebom kita dengan pertanyaan-pertanyaan, misalnya:
Siapa perawi pertama?
Siapa perawi berikutnya?
Bagaimana akhlak perawinya?
Apa begitu redaksionalnya?
Cocokkah pernyataan hadis itu dengan ayat
Quran?
Dll.
Jika pernyataan sebuah hadis bersesuaian
dengan pernyataan ayat Quran, hadis masih bisa ditoleransi, bisa diterima,
meskipun sering dikatakan hadis kurang sahih, hadis bukan dari sahih Bukhari,
atau dalih perawinya hanya seorang.
Jika pernyataan sebuah hadis bertolak
belakang/bertentangan dengan pernyataan ayat-ayat Quran, langsung saja hadis
itu dicampakkan, tak layak dibahas, dan pasti tak layak untuk dirujuk. Mau hadis
sahih Bukhari, Muslim, hadis mutawatir, mau hadis hasan, kek!
Kalau hadis saja bisa dibantah, Apatah lagi
cuma pernyataan seorang imam yang empunya mazhab, kata-kata seorang kiai,
seorang mujtahid, seorang mualim, atau kate
kiai ane atau kate ustaz ane!
Adanya mazhab/aliran, adanya mazhab Syi’ah,
Sunni, Ja’fariah, Hanafi, Maliki, Syafi’I, dll.membuktikan bahwa pendapat
manusia itu berbeda-beda dan sebagai sesuatu hal yang manusiawi belaka. Intinya
kita jangan terlalu fanatik terhadap mazhab/isme/aliran. Orang berbeda dengan
kita dalam mazhab itu sah-sah saja, manusiawi belaka.
Gampang, kan?
Nah, agar belajar Islam itu tidak njelimet, angel, dan ribet, segera
ambil Quran, pelajari dengan seksama, libatkan akal, logika, nalar, dan nurani.
Kitab-kitab yang lain?
Kitab-kitab karangan para imam bisa dipelajari
belakangan untuk melengkapi.
Mudah sekali, bukan?
Katanya Quran itu diyakini sebagai pedoman
hidup bagi muslim. Konsekuensi Quran sebagai pedoman hidup, ya, harus
dipelajari dan dipahami. Bukan sekedar fasih terucap di bibir dan diimingi
pahala. (Quran dalam Bahasa Arab jangan dijadikan alasan atau kendala.
Penjelasan tentang Quran itu ada di dalam Quran pula.)
Mantap sudah!
Ajaran sesat, siapa pun yang membawa dan
menyebarkan, siap dicampakkan!
Nabi palsu atau rasul abal-abal?
Langsung tangkap dan giring saja ke kantor
polisi terdekat.
Kalau mereka sudah sampai pada tingkat
penistaan agama (Islam), adili saja dengan dasar hukum positif yang berlaku di
wilayah NKRI.
Tiada tempat bagi orang Islam yang
mempelajari Quran dengan cermat bakal kemasukan ajaran sesat!
Allahu Akbar, Maha Benar Allah!
Jakarta, 6 April 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar