Minggu, 06 April 2014

NPWP: NOMOR PIRO WANI PIRO?



Menjelang Pileg 9 April 2014
NPWP: NOMOR PIRO WANI PIRO?
Pengantar
Situasi hingar-bingar perpolitikan di Indonesia begitu kentara dalam tiga minggu belakangan. Bagi penulis, situasi ini menyentuh hati dan pikiran untuk menuangkannya dalam tulisan. Penulis ingin menuliskan tingkah-polah orang Indonesia dalam berpolitik setelah berada pada era reformasi. Penulis pun mencari buku sumber dan bahan bacaan. Penulis pun ingat pada sebuah buku yang mengulas tentang manusia Indonesia. Buku itu dibeli sudah lama, sekitar tahun 80-an. Moga-moga saja masih ada lemari perpustakaan.
Rupanya buku yang dimaksud tidak ditemukan. Capek juga mencari sebuah buku tipis di antara ratusan buku yang ada. Penulis beralih kepada koran Kompas di atas meja. Penulis pun membaca koran tersebut.
Memang dasar lagi rezeki penulis! Tadinya hampir puyeng cari buku di lemari perpustakaan pribadi sampai memakan waktu lebih dari sepuluh menit, eeehh, senyampang membaca Kompas,  malah ketemu sebuah artikel bagus yang pas sekali isinya dengan isi buku yang dicari! Pucuk di cinta ulam tiba! Tidak ada rotan, akar pun jadi! Maksud hati hendak memeluk gunung, apa daya tangan tak sampai, pokok pohon jambu di sisi kolam pun jadilah untuk dipeluk!
Rezeki memang tidak bakal ke mana-mana!
Buku apa sih yang penulis cari? Artikel apa pula yang dianggap sebagai sebuah rezeki?
Buku yang penulis cari adalah karya besar wartawan kawakan Mokhtar Lubis. Judul bukunya, Manusia Indonesia (Sebuah Pertanggungan Jawab). Bukunya diterbitkan pada tanggal  6 April 1977.Bukunya tipis, tetapi isinya padat! Isinya menggambarkan wajah manusia Indonesia. Mokhtar Lubis menggambarkan ciri manusia Indonesia dengan enam ciri. Sudah barang tentu ciri-ciri ini penting untuk kita ketahui, apakah ciri-ciri hebat atau ciri-ciri sesat!
Budhiarto Shambazy, wartawan senior Kompas, pengamat politik yang andal, menulis sebuah artikel dalam kolom politik, dengan judul Manusia Indonesia, Kompas, Sabtu, 5 April 2014.
Budhiarto bukan saja mengulas sisi-sisi enam ciri manusia Indonesia-nya Mukhtar Lubis, melainkan juga melengkapinya dengan beberapa ciri tambahan hasil olah pikirnya sendiri. Lalu, dia pun menutup artikelnya dengan sebuah larangan halus untuk kita yang membacanya. Penulis pun bertanggung jawab menyampaikan amanatnya, “Jangan marah ya!”
Selamat membaca dan selamat nyengir!

Manusia Indonesia
Manusia Indonesia versi Mokhtar Lubis: enam ciri penting
Ciri kesatu: munafik.
Munafik itu berwujud “lain kata lain perbuatan”. Lain di mulut lain di hati. Di mulut berucap amanah, di hati dan dalam perbuatan dia khianat. Di mulut dia berucap “katakan tidak dengan korupsi!”, hatinya cenderung kepada korupsi, dan perbuatannya sedikit-sedikit korupsi (mumpung ada kesempatan).
Nabi saw mencirikan manusia munafik itu dengan tiga ciri penting: berkata dusta, dipercaya dia berkhianat, dan menyembunyikan kebenaran. Allah Swt. Menggambarkan tentang orang munafik, “Orang munafik itu najis!” dan “Orang munafik itu pendusta!”
Ciri kedua: enggan bertanggung jawab.
Lihat saja kelakuan Akil Mukhtar. Dia menerima uang suap dari Wawan, lalu terkena OTT-nya KPK, ditahan dan diadili. Sempat-sempatnya dia “lempar batu sembunyi tangan”, melemparkan tuduhan kepada Mahfudz MD.
Ciri ketiga: feodal.
Feodal itu mudah dikenali wujudnya: ABS atau asal bapak senang; apa saja yang Bapak putuskan, kami siap menerima; ewuh-pakewuh; sendiko dawuh; dll.
Ciri keempat: masih percaya kepada takhyul dan jago bikin perlambang tanpa makna.
Lihat saja gaya PDI-P berkampanye. Gambar Bung Karno yang sudah wafat 43 tahun berlalu masih saja diusung ke mana-mana. Lihat saja para partisan parpol pengagum Gus Dur berkampanye. Gambar Gus Dur yang sudah tiada itu diusung ke mana-mana.
Gambar Bung Karno dan Gus Dur dibikin perlambang untuk meraih suara.
Lihat kelakuan caleg dungu yang menyambangi makam di Luar Batang, Jakarta Utara. Mau menjadi anggota legislator kok minta suara ke makam atau dukun! Memangnya ahli kubur dan dukun itu bisa menciptakan suara?
Itulah manusia Indonesia yang lebih percaya kepada takhyul (baca: klenik) dan jago bikin perlambang. Belum lagi dibumbui dengan berbagai macam ritual antah-berantah.
Fatkhul Jannah, seorang caleg, bikin ritual berendam di sungai. Dia itu muslimah, berendam setengah badan dibantu suaminya dan kedua tangannya pun disetangkup berdoa memohon (katanya sih kepada Allah) agar dia bisa sukses terpilih menjadi legislator. Kelakuan Fatkhul Jannah mirip umat animisme zaman purba, bukan kelakuan seorang muslimah.
Alasannya, ingin tahu sejarah seorang tokoh yang pernah hidup di situ.
Dia itu dibohongi orang dan karena ketidaktahuan, mau saja dia melakukan ritual animisme antah-berantah.
Kalau mau memahami sejarah, mbok iyao, Mbak Fatkhul, baca buku-buku sejarah atau berguru kepada ahli sejarah, bukan berendam di sungai!
Lalu, kok mau tahu kehidupan tokoh saja, kok harus merendam badan dengan pakaian lengkap. Kok datang ke sungai pas waktu mau nyaleg?
Niat Mbak Fatkhul dengan kelakuan Mbak itu konek nggak, sih?
Sri Nurweni, muslimah, caleg juga, memimpin rombongan sambil membawa makanan dan lauk-pauk menuju sebuah bukit, nama Lemongan (Lumajang, Jawa Timur, untuk meminta doa kepada kuncen makam. Memang kelebihan kuncen makam di mana, Mbak Sri?
Mbak Sri Nurweni berpendidikan S-1, sementara kuncen makam itu paling-paling juga SSS atau 3S (SD, SMP, SMA).
Memangnya Mbak Sri Nurweni tidak paham ya, tentang ajaran Islam, bahwa berdoa kepada Allah itu dikabulkan atau tidak dikabulkan, bukan karena pangkat dan jabatan yang disandang?
Allah memerintahkan kita muslim/muslimah, berdoa langsung individual/nafsi-nafsi, zonder perantara kiai, kuncen, ustaz, atau mualim!
Kemarin, tahun lalu, masa sebelum menjadi caleg 2014 ini, pernahkah Anda mendatangi kuncen makam sambil membawa makanan dan lauk pauk?
Segeralah bertobat sebelum dilaknat!
Nalar dan logika para caleg model begini macet atau bahkan tidak jalan. Begitu bisa jalan, malah berbelok melenceng!
Jangan Anda coblos gambar caleg yang suka percaya kepada takhyul!

Ciri kelima: artistik
Orang Indonesia itu nyeni. Mau ikut nyaleg, mulai bermatematika menghitung dan utak-atik angka dan tanggal, cari hari dan tanggal baik, bikin acara syukuran, mandi kembang, bikin kegiatan tradisional jagongan, nanggap wayang kulit atau wayang golek semalam suntuk, atau mutih, atau berpuasa senin kamis, puasa Nabi Dawud, atau berkhalwat/bersemedi menyendiri di tempat sepi.
Mau bikin acara ziarah kubur, bikin dulu seragam ziarah.
Mau ikut pengajian, beli dulu baju warna putih, dan belajar nyanyian salawatan.
Intinya, nyeni tapi membuang-buang waktu dan kegiatan yang kontraproduktif yang sering tidak konek antara niat dengan kegiatan.
Ciri keenam: punya watak yang lemah sehingga mudah dipaksa berubah keyakinannya demi kelangsungan hidup.
Dalam jagat perpolitikan, kita mengenal istilah “kutu loncat”, yakni julukan yang diberikan kepada politikus anggota parpol yang doyan pindah dan hinggap di satu parpol ke parpol lain. Contoh politikus “kutu loncat”, siapa, ya?
Lihatlah Ruhut Sitompul “Poltak” yang pindah dari Golkar ke PD. Lihat Ali Mukhtar Ngabalin yang pindah dari PBB ke Golkar. Lihat juga Akbar Faisal yang pindah dari Hanura ke Nasdem. Lihat pula Dede Jusuf yang pindah dari PAN ke PD. Dan contoh terakhir, Harry Tanusoedibijo yang lari dari Nasdem ke Hanura.
Para “kutu loncat” ini mungkin menganggap parpol itu sama dan sebangun dengan rumah kontrakan.
Apakah seperti itu potret watak manusia Indonesia? Lemah dan mudah berubah demi kelangsungan hidup?
Jangankan urusan pindah parpol, pindah keyakinan dan agama pun begitu mudah dengan alasan sepele: urusan perut dan urusan di bawah perut.
Agama dicampuradukkan dengan asmara. Urusan miskin kurus, fulus, muka dan paha mulus  dicampuradukkan dengan urusan pahala.
Seorang muslim/muslimah yang beriman lemah pindah ke agama lain begitu mudah karena tampan dan/atau cantik wajah sang kekasih.
Seorang muslim/muslimah yang beriman lemah pindah ke agama lain begitu mudah karena alasan tak punya fulus (uang), tubuh kurus (miskin kurang makan), atau karena tergiur paha mulus.

Manusia Indonesia versi Budhiarto Shambazy: lima ciri tambahan untuk melengkapi ciri-ciri versi Mokhtar Lubis.
Ciri kesatu: NPWP,  bukan singkatan dari nomor pokok wajib pajak, melainkan singkatan dari “nomor piro wani piro
Selama tiga minggu ke belakang (15 Maret s.d. 5 April 2014) lagi musim kampanye terbuka menjelang pileg (9 April 2014) pada era demokrasi. Para caleg berlomba-lomba meraih simpati rakyat pemilih dengan berbagai cara, baik cara santun, tidak santun, maupun sampai cara-cara yang kasar dalam bentuk black campaign (kampanye hitam). Para caleg yang punya duit banyak, dia mengumbar duit berjuta-juta rupiah setiap saat kampanye. Para caleg itu beranggapan bahwa suara rakyat dapat dibeli dengan uang, dan dia berharap para calon pemilih kelak memilihnya, dan mencoblos tanda gambar/nomornya.
Pada masa pencoblosan, pemilik suara adalah rakyat, dan rakyat merasa pede bahwa suaranya sangat berharga. Rakyat makin cerdas karena era reformasi dan alam demokrasi sudah enam belas tahun dilewati. Rakyat pun bisa bertanya dan sekaligus menohok, “Jenengan ngarep kulo coblos tanda gambar Jenengan, toh? Nomor piro wani piro?” (NPWP).
Ente bayar ane, ane bise nimbang-nimbang buat coblos gambar ente!”
Tambahan pula, rakyat sering mendapatkan sosialisasi tentang kampanye bersih bebas politik transaksional (politik balas jasa; politik uang) dalam bentuk jargon yang tertulis di baliho: ambil duitnya, jangan pilih dia, dan jangan coblos tanda gambarnya.
Asalkan dikasih uang transpor hadir dalam kampanye, dikasih makan, dibelikan rokok, dikasih kaos T-shirt, dan dihibur, kami siap hadir, wani piro?
Ciri kedua: senang nostalgia.
Pernah membaca iklan kampanye yang tertulis seperti ini, “Piye, Le? Enak zamanku toh?
Kalimat dalam Bahasa Jawa itu adalah kalimat imajiner Pak Harto, seolah-olah Pak Harto membangunkan dan mengembalikan ingatan kita bahwa era Pak Harto berkuasa lebih baik buat rakyat Indonesia daripada era reformasi sekarang ini.
Rakyat Indonesia, kita ini, punya penyakit cepat lupa, dan punya moralitas pemaaf. Kita lupa dosa Orde Baru yang membungkam demokrasi selama 32 tahun. Kalau pun kita masih ingat, kita memaafkan dan mengampuni dosa politik Orde Baru. Kita hanya bernostalgia dengan keamanan dan kestabilan politiknya.
Golkar adalah parpol yang diuntungkan dengan nostalgia bersama Orde Baru dan tentu saja terkenang-kenang kepada Pak Harto yang murah senyum. Golkar dan Pak Harto itu ibarat dua sisi mata uang. Membicarakan Golkar tentu membicarakan Pak Harto, begitu juga sebaliknya. Partai Golkar dengan capres ARB-nya berharap meraup untung dengan nostalgia itu.
Ciri ketiga: cepat marah.
Lihat perilaku Prabowo dan orang terdekatnya, Fadli Zon. Prabowo berkampanye tentang pemimpin boneka dan bahayanya jika rakyat Indonesia dipimpin oleh boneka. Fadli Zon pun tak ketinggalan berkicau lewat sosmed (social media; media sosial) menggunakan ragam Bahasa puisi dengan judul Boneka dan Sandiwara.
Prabowo marah dan Fadli Zon sewot kepada seseorang, siapa, ya? Orang yang mencermati politik dan hingar-bingar politik, pastilah paham tentang orang yang dituju dan diserang oleh Prabowo dan Fadli Zon. Orang yang dimaksud adalah Jokowi, sosok capres PDI-P yang telah direstui oleh sang Ketum PDI-P, Megawati Soekarno Putri.
Orang PDI-P pun tak sudi disodok seperti itu. Maruarar Sirait dan teman-teman dari PDI-P pun cepat marah. Mereka tidak defensive, tetapi melakukan counter attack (serangan balik) terhadap Prabowo dan Fadli Zon dengan berkampanye dan berpuisi pula lewat sosmed atau medsos.
Benar, kan, orang Indonesia itu cepat marah?
Ciri keempat: suka SMS. Kata SMS di sini bukan singkatan dari short message service, melainkan, “Senang Melihat yang Susah, Susah Melihat yang Senang”.
Jokowi, “wong ndeso” yang bertubuh kurus krempeng, sang meteor yang melesat dari desa menuju kursi R-1 (capres) senang-senang saja diusung menjadi capres. Wong de-e nggak minta-minta jabatan, kok! Elektabilitasnya selalu berada di peringat tertinggi di atas Prabowo, ARB, atau Wiranto.
Eeehh, ada yang susah hati melihat Jokowi senang. Siapa lagi mereka kalau bukan lawan-lawan politik!
Kalau orang lagi susah hati, buram otaknya, dan butek pula akalnya!
Kelemahan Jokowi pun diangkat, kalau perlu diungkit-ungkit! Jokowi pun dibikinkan karikatur yang bermakna negatif: badan krempeng, wajah ndeso, baju kotak-kotak lusuh, dan bicara tak jelas.
Jika Jokowi benar-benar menang meraih kursi RI-1 lewat pilpres 9 JUli 2014, orang yang susah melihat Jokowi senang alias membenci setengah mati, bisa mati berdiri dia!
Sebaliknya, ada orang senang melihat orang susah.
Para caleg yang ambisius berlomba-lomba mencari lokasi tempat masyarakat miskin dan lingkungan kumuh lagi padat. Mereka senang karena masyarakat miskin dan kumuh hidup susah dan menjadikan orang miskin sebagai ladang meraup suara. Mereka paham sekali bahwa orang miskin itu cukup dikasih uang sedikit dan sembako ala kadar, mereka akan dengan mudah dipengaruhi untuk mencoblos gambar mereka. Mereka datang membawa uang dan sembako ke tempat orang miskin dan membagi-bagikan uang dan sembako. Menyenangkan hati orang susah untuk sesaat
Setelah meraup suara dari orang miskin yang hidup susah, setelah menjadi legislator, mereka tidak pernah datang lagi menyambangi, mereka sudah dapat duduk di kursi empuk dan bersenang hati selama lima tahun. Legislator model begini memang senang melihat orang susah.
“Tetaplah kalian hidup susah! Saya akan datang lagi kepada Saudara-saudara lima tahun yang akan datang. Hehehehe ….”   

Ciri kelima: mudah diadu domba.
Aslinya, adu domba itu tradisi orang Garut, Jawa Barat. Sudut pandang kesejarahan, adu domba itu adalah politik yang dipraktikkan pada zaman penjajahan oleh pemerintah Kolonial (kompeni) Belanda, yaitu kompeni, terhadap pemimpin local negeri koloninya, Indonesia. Kompeni mengadu domba pemimpin yang satu dengan yang lain, antara ayah dengan anak, atau antara adik dengan kakak. Setelah sukses melumpuhkan para pemimpin local, politik kompeni yang berimutnya adalah devide et impera (memecah belah dan kemudian menjajah/menguasai. Politik adu domba kompeni sungguh ampuh. Rakyat Indonesia pun harus mengalami penderitaan selama tiga ratus lima puluh tahun.
Dikira, era adu domba itu sudah berakhir setelah Indonesia merdeka. Dikira, adu domba hanya tinggal tradisi yang tetap dipertahankan di Garut.
Ternyata, pada era reformasi ini, Orang Indonesia masih tetap mudah diadu domba. Apa lagi pada masa kampanye terbuka yang baru saja berakhir.
Megawati Soekarno Putri dan Prabowo “diadu domba” dengan isu bahwa Megawati melanggar konsensus Batu Tulis (2099) yang ditandatangani bersama Prabowo, dan keputusan Megawati mengusung Jokowi sebagai capres PDI-P. Megawati berpaling dari butir-butir konsensus, Jokowi pun ikut berpaling mengikuti “induk semangnya” Megawati. Jokowi yang berjanji kepada Prabowo untuk bersedia memimpin Jakarta selama lima tahun jika terpilih menjadi Gubernur DKI Jakarta, dan memang kemudian menjadi kenyataan menjadi Gubernur, eeehh, malah menjadi Capresnya PDI-P. Artinya menjadi Gubernur DKI selama lima tahun tidak akan terpenuhi dan sekaligus mengkhianati kesepakatan tertulis dengan Prabowo. Jokowi telah menggunting dalam lipatan
Tentu ada orang mengail di air keruh dengan peristiwa ini. Apatah lagi menyangkut konflik tokoh besar seperti Megawati, Prabowo, dan Jokowi.
Nah, ada orang mengompori Prabowo supaya bereaksi dan mereka sukses memanas-manasi Prabowo.
Probowo pun panas hati (marah) dan mengungkit-ungkit Konsensus Batu Tulis. “Megawati dan Jokowi ingkar janji!” tuding Prabowo.
Di pihak lain, ada orang/pihak ketiga yang mengompori Megawati dan Jokowi maupun PDI-P, agar bereaksi terhadap pernyataan dan tudingan Prabowo. Mereka pun sukses memanas-manasi Megawati dan Jokowi. Reaksi Megawati adalah tidak sudi menerima Prabowo yang berhasrat menemui sekaligus mengklarifikasi pencapresan Jokowi oleh Megawati dan PDI-P.
“Dalam politik, tidak ada kawan yang abadi, yang abadi adalah kepentingan.” tangkis orang-orangnya Megawati tak kalah galak.
Tukang adu domba pun bersorak kegirangan karena maksudnya tercapai.
Iya, kan? Orang Indonesia mudah diadu domba!
SBY yang sedang getol berkampanye untuk PD-nya  demi menaikkan pamor PD yang anjlog, tak luput dari sasaran adu domba. SBY pun “diadu domba” dengan mantan Ketum PD yang sekarang sedang meringkuk di balik jeruji Rutan KPK, Anas Urbaningrum.
Anas Urbaningrum (didramatisasi juga oleh media massa dan pastinya ) getol menyerang dan menguliti SBY dan PD melalui korupsi Hambalang, dan SBY dengan orang-orangnya pun menjadi sibuk menangkis dengan bebagai jurus. Jurus yang dianggap ampuh antara lain adalah membantah.
Sebelumnya, anggota DPR yang duduk di KOmisi III yang membidangi Hukum, Fahri Hamzah, dkk, “diadu domba” dengan KPK, Abraham Samad dan jubir KPK, Johan Budi S.P.
Mokhtar Lubis dan Budhiarto Shambazy adalah tokoh beneran, punya kapabilitas, kompeten, dan jelas bukan tokoh dadakan. Tentu saja mereka berdua tidak asal tulis dan asal ngomong tentang Manusia Indonesia.
Jangan marah, ya!
Jakarta, 6 April 2013


Tidak ada komentar:

Posting Komentar