Menjelang Pileg 9 April 2014
NPWP: NOMOR PIRO WANI PIRO?
Pengantar
Situasi hingar-bingar perpolitikan di
Indonesia begitu kentara dalam tiga minggu belakangan. Bagi penulis, situasi
ini menyentuh hati dan pikiran untuk menuangkannya dalam tulisan. Penulis ingin
menuliskan tingkah-polah orang Indonesia dalam berpolitik setelah berada pada
era reformasi. Penulis pun mencari buku sumber dan bahan bacaan. Penulis pun
ingat pada sebuah buku yang mengulas tentang manusia Indonesia. Buku itu dibeli
sudah lama, sekitar tahun 80-an. Moga-moga saja masih ada lemari perpustakaan.
Rupanya buku yang dimaksud tidak ditemukan.
Capek juga mencari sebuah buku tipis di antara ratusan buku yang ada. Penulis
beralih kepada koran Kompas di atas
meja. Penulis pun membaca koran tersebut.
Memang dasar lagi rezeki penulis! Tadinya
hampir puyeng cari buku di lemari perpustakaan pribadi sampai memakan waktu
lebih dari sepuluh menit, eeehh, senyampang membaca Kompas, malah ketemu sebuah
artikel bagus yang pas sekali isinya dengan isi buku yang dicari! Pucuk di
cinta ulam tiba! Tidak ada rotan, akar pun jadi! Maksud hati hendak memeluk
gunung, apa daya tangan tak sampai, pokok pohon jambu di sisi kolam pun jadilah
untuk dipeluk!
Rezeki memang tidak bakal ke mana-mana!
Buku apa sih yang penulis cari? Artikel apa
pula yang dianggap sebagai sebuah rezeki?
Buku yang penulis cari adalah karya besar
wartawan kawakan Mokhtar Lubis. Judul bukunya, Manusia Indonesia (Sebuah Pertanggungan Jawab). Bukunya
diterbitkan pada tanggal 6 April 1977.Bukunya
tipis, tetapi isinya padat! Isinya menggambarkan wajah manusia Indonesia.
Mokhtar Lubis menggambarkan ciri manusia Indonesia dengan enam ciri. Sudah
barang tentu ciri-ciri ini penting untuk kita ketahui, apakah ciri-ciri hebat
atau ciri-ciri sesat!
Budhiarto Shambazy, wartawan senior Kompas, pengamat politik yang andal,
menulis sebuah artikel dalam kolom
politik, dengan judul Manusia
Indonesia, Kompas, Sabtu, 5 April 2014.
Budhiarto bukan saja mengulas sisi-sisi enam
ciri manusia Indonesia-nya Mukhtar Lubis, melainkan juga melengkapinya dengan
beberapa ciri tambahan hasil olah pikirnya sendiri. Lalu, dia pun menutup
artikelnya dengan sebuah larangan halus untuk kita yang membacanya. Penulis pun
bertanggung jawab menyampaikan amanatnya, “Jangan marah ya!”
Selamat membaca dan selamat nyengir!
Manusia
Indonesia
Manusia Indonesia versi Mokhtar Lubis: enam
ciri penting
Ciri kesatu: munafik.
Munafik itu berwujud “lain kata lain
perbuatan”. Lain di mulut lain di hati. Di mulut berucap amanah, di hati dan
dalam perbuatan dia khianat. Di mulut dia berucap “katakan tidak dengan korupsi!”,
hatinya cenderung kepada korupsi, dan perbuatannya sedikit-sedikit korupsi
(mumpung ada kesempatan).
Nabi saw mencirikan manusia munafik itu
dengan tiga ciri penting: berkata dusta, dipercaya dia berkhianat, dan
menyembunyikan kebenaran. Allah Swt. Menggambarkan tentang orang munafik,
“Orang munafik itu najis!” dan “Orang munafik itu pendusta!”
Ciri kedua: enggan bertanggung jawab.
Lihat saja kelakuan Akil Mukhtar. Dia
menerima uang suap dari Wawan, lalu terkena OTT-nya KPK, ditahan dan diadili.
Sempat-sempatnya dia “lempar batu sembunyi tangan”, melemparkan tuduhan kepada
Mahfudz MD.
Ciri ketiga: feodal.
Feodal itu mudah dikenali wujudnya: ABS atau
asal bapak senang; apa saja yang Bapak putuskan, kami siap menerima; ewuh-pakewuh; sendiko dawuh; dll.
Ciri keempat: masih percaya kepada takhyul
dan jago bikin perlambang tanpa makna.
Lihat saja gaya PDI-P berkampanye. Gambar
Bung Karno yang sudah wafat 43 tahun berlalu masih saja diusung ke mana-mana.
Lihat saja para partisan parpol pengagum Gus Dur berkampanye. Gambar Gus Dur
yang sudah tiada itu diusung ke mana-mana.
Gambar Bung Karno dan Gus Dur dibikin
perlambang untuk meraih suara.
Lihat kelakuan caleg dungu yang menyambangi
makam di Luar Batang, Jakarta Utara. Mau menjadi anggota legislator kok minta
suara ke makam atau dukun! Memangnya ahli kubur dan dukun itu bisa menciptakan
suara?
Itulah manusia Indonesia yang lebih percaya
kepada takhyul (baca: klenik) dan jago bikin perlambang. Belum lagi dibumbui
dengan berbagai macam ritual antah-berantah.
Fatkhul Jannah, seorang caleg, bikin ritual
berendam di sungai. Dia itu muslimah, berendam setengah badan dibantu suaminya
dan kedua tangannya pun disetangkup berdoa memohon (katanya sih kepada Allah)
agar dia bisa sukses terpilih menjadi legislator. Kelakuan Fatkhul Jannah mirip
umat animisme zaman purba, bukan kelakuan seorang muslimah.
Alasannya, ingin tahu sejarah seorang tokoh
yang pernah hidup di situ.
Dia itu dibohongi orang dan karena ketidaktahuan,
mau saja dia melakukan ritual animisme antah-berantah.
Kalau mau memahami sejarah, mbok iyao, Mbak
Fatkhul, baca buku-buku sejarah atau berguru kepada ahli sejarah, bukan
berendam di sungai!
Lalu, kok mau tahu kehidupan tokoh saja, kok
harus merendam badan dengan pakaian lengkap. Kok datang ke sungai pas waktu mau
nyaleg?
Niat Mbak Fatkhul dengan kelakuan Mbak itu
konek nggak, sih?
Sri Nurweni, muslimah, caleg juga, memimpin
rombongan sambil membawa makanan dan lauk-pauk menuju sebuah bukit, nama Lemongan
(Lumajang, Jawa Timur, untuk meminta doa kepada kuncen makam. Memang kelebihan
kuncen makam di mana, Mbak Sri?
Mbak Sri Nurweni berpendidikan S-1, sementara
kuncen makam itu paling-paling juga SSS atau 3S (SD, SMP, SMA).
Memangnya Mbak Sri Nurweni tidak paham ya,
tentang ajaran Islam, bahwa berdoa kepada Allah itu dikabulkan atau tidak
dikabulkan, bukan karena pangkat dan jabatan yang disandang?
Allah memerintahkan kita muslim/muslimah,
berdoa langsung individual/nafsi-nafsi, zonder perantara kiai, kuncen, ustaz,
atau mualim!
Kemarin, tahun lalu, masa sebelum menjadi
caleg 2014 ini, pernahkah Anda mendatangi kuncen makam sambil membawa makanan
dan lauk pauk?
Segeralah bertobat sebelum dilaknat!
Nalar dan logika para caleg model begini
macet atau bahkan tidak jalan. Begitu bisa jalan, malah berbelok melenceng!
Jangan Anda coblos gambar caleg yang suka
percaya kepada takhyul!
Ciri kelima: artistik
Orang Indonesia itu nyeni. Mau ikut nyaleg, mulai bermatematika menghitung dan
utak-atik angka dan tanggal, cari hari dan tanggal baik, bikin acara syukuran,
mandi kembang, bikin kegiatan tradisional jagongan, nanggap wayang kulit atau
wayang golek semalam suntuk, atau mutih, atau berpuasa senin kamis, puasa Nabi
Dawud, atau berkhalwat/bersemedi menyendiri di tempat sepi.
Mau bikin acara ziarah kubur, bikin dulu
seragam ziarah.
Mau ikut pengajian, beli dulu baju warna
putih, dan belajar nyanyian salawatan.
Intinya, nyeni
tapi membuang-buang waktu dan kegiatan yang kontraproduktif yang sering tidak
konek antara niat dengan kegiatan.
Ciri keenam: punya watak yang lemah sehingga
mudah dipaksa berubah keyakinannya demi kelangsungan hidup.
Dalam jagat perpolitikan, kita mengenal
istilah “kutu loncat”, yakni julukan yang diberikan kepada politikus anggota
parpol yang doyan pindah dan hinggap di satu parpol ke parpol lain. Contoh
politikus “kutu loncat”, siapa, ya?
Lihatlah Ruhut Sitompul “Poltak” yang pindah
dari Golkar ke PD. Lihat Ali Mukhtar Ngabalin yang pindah dari PBB ke Golkar.
Lihat juga Akbar Faisal yang pindah dari Hanura ke Nasdem. Lihat pula Dede
Jusuf yang pindah dari PAN ke PD. Dan contoh terakhir, Harry Tanusoedibijo yang
lari dari Nasdem ke Hanura.
Para “kutu loncat” ini mungkin menganggap
parpol itu sama dan sebangun dengan rumah kontrakan.
Apakah seperti itu potret watak manusia
Indonesia? Lemah dan mudah berubah demi kelangsungan hidup?
Jangankan urusan pindah parpol, pindah
keyakinan dan agama pun begitu mudah dengan alasan sepele: urusan perut dan
urusan di bawah perut.
Agama dicampuradukkan dengan asmara. Urusan
miskin kurus, fulus, muka dan paha mulus
dicampuradukkan dengan urusan pahala.
Seorang muslim/muslimah yang beriman lemah
pindah ke agama lain begitu mudah karena tampan dan/atau cantik wajah sang
kekasih.
Seorang muslim/muslimah yang beriman lemah
pindah ke agama lain begitu mudah karena alasan tak punya fulus (uang), tubuh
kurus (miskin kurang makan), atau karena tergiur paha mulus.
Manusia
Indonesia versi Budhiarto Shambazy: lima ciri tambahan untuk melengkapi
ciri-ciri versi Mokhtar Lubis.
Ciri kesatu: NPWP, bukan singkatan dari nomor pokok wajib pajak,
melainkan singkatan dari “nomor piro wani
piro”
Selama tiga minggu ke belakang (15 Maret s.d.
5 April 2014) lagi musim kampanye terbuka menjelang pileg (9 April 2014) pada
era demokrasi. Para caleg berlomba-lomba meraih simpati rakyat pemilih dengan
berbagai cara, baik cara santun, tidak santun, maupun sampai cara-cara yang
kasar dalam bentuk black campaign
(kampanye hitam). Para caleg yang punya duit banyak, dia mengumbar duit
berjuta-juta rupiah setiap saat kampanye. Para caleg itu beranggapan bahwa
suara rakyat dapat dibeli dengan uang, dan dia berharap para calon pemilih
kelak memilihnya, dan mencoblos tanda gambar/nomornya.
Pada masa pencoblosan, pemilik suara adalah
rakyat, dan rakyat merasa pede bahwa suaranya sangat berharga. Rakyat makin
cerdas karena era reformasi dan alam demokrasi sudah enam belas tahun dilewati.
Rakyat pun bisa bertanya dan sekaligus menohok, “Jenengan ngarep kulo coblos tanda gambar Jenengan, toh? Nomor piro wani
piro?” (NPWP).
“Ente
bayar ane, ane bise nimbang-nimbang buat coblos gambar ente!”
Tambahan pula, rakyat sering mendapatkan
sosialisasi tentang kampanye bersih bebas politik transaksional (politik balas
jasa; politik uang) dalam bentuk jargon yang tertulis di baliho: ambil duitnya,
jangan pilih dia, dan jangan coblos tanda gambarnya.
Asalkan dikasih uang transpor hadir dalam
kampanye, dikasih makan, dibelikan rokok, dikasih kaos T-shirt, dan dihibur, kami siap hadir, wani piro?
Ciri kedua: senang nostalgia.
Pernah membaca iklan kampanye yang tertulis
seperti ini, “Piye, Le? Enak zamanku toh?”
Kalimat dalam Bahasa Jawa itu adalah kalimat
imajiner Pak Harto, seolah-olah Pak Harto membangunkan dan mengembalikan
ingatan kita bahwa era Pak Harto berkuasa lebih baik buat rakyat Indonesia
daripada era reformasi sekarang ini.
Rakyat Indonesia, kita ini, punya penyakit
cepat lupa, dan punya moralitas pemaaf. Kita lupa dosa Orde Baru yang
membungkam demokrasi selama 32 tahun. Kalau pun kita masih ingat, kita memaafkan
dan mengampuni dosa politik Orde Baru. Kita hanya bernostalgia dengan keamanan
dan kestabilan politiknya.
Golkar adalah parpol yang diuntungkan dengan
nostalgia bersama Orde Baru dan tentu saja terkenang-kenang kepada Pak Harto
yang murah senyum. Golkar dan Pak Harto itu ibarat dua sisi mata uang.
Membicarakan Golkar tentu membicarakan Pak Harto, begitu juga sebaliknya.
Partai Golkar dengan capres ARB-nya berharap meraup untung dengan nostalgia
itu.
Ciri ketiga: cepat marah.
Lihat perilaku Prabowo dan orang terdekatnya,
Fadli Zon. Prabowo berkampanye tentang pemimpin boneka dan bahayanya jika
rakyat Indonesia dipimpin oleh boneka. Fadli Zon pun tak ketinggalan berkicau
lewat sosmed (social media; media sosial) menggunakan ragam Bahasa puisi dengan
judul Boneka dan Sandiwara.
Prabowo marah dan Fadli Zon sewot kepada
seseorang, siapa, ya? Orang yang mencermati politik dan hingar-bingar politik,
pastilah paham tentang orang yang dituju dan diserang oleh Prabowo dan Fadli
Zon. Orang yang dimaksud adalah Jokowi, sosok capres PDI-P yang telah direstui
oleh sang Ketum PDI-P, Megawati Soekarno Putri.
Orang PDI-P pun tak sudi disodok seperti itu.
Maruarar Sirait dan teman-teman dari PDI-P pun cepat marah. Mereka tidak
defensive, tetapi melakukan counter attack (serangan balik) terhadap Prabowo
dan Fadli Zon dengan berkampanye dan berpuisi pula lewat sosmed atau medsos.
Benar, kan, orang Indonesia itu cepat marah?
Ciri keempat: suka SMS. Kata SMS di sini
bukan singkatan dari short message
service, melainkan, “Senang Melihat yang Susah, Susah Melihat yang Senang”.
Jokowi, “wong
ndeso” yang bertubuh kurus krempeng, sang meteor yang melesat dari desa
menuju kursi R-1 (capres) senang-senang saja diusung menjadi capres. Wong de-e nggak minta-minta jabatan, kok! Elektabilitasnya selalu berada di
peringat tertinggi di atas Prabowo, ARB, atau Wiranto.
Eeehh, ada yang susah hati melihat Jokowi
senang. Siapa lagi mereka kalau bukan lawan-lawan politik!
Kalau orang lagi susah hati, buram otaknya,
dan butek pula akalnya!
Kelemahan Jokowi pun diangkat, kalau perlu
diungkit-ungkit! Jokowi pun dibikinkan karikatur yang bermakna negatif: badan
krempeng, wajah ndeso, baju
kotak-kotak lusuh, dan bicara tak jelas.
Jika Jokowi benar-benar menang meraih kursi
RI-1 lewat pilpres 9 JUli 2014, orang yang susah melihat Jokowi senang alias
membenci setengah mati, bisa mati berdiri dia!
Sebaliknya, ada orang senang melihat orang
susah.
Para caleg yang ambisius berlomba-lomba
mencari lokasi tempat masyarakat miskin dan lingkungan kumuh lagi padat. Mereka
senang karena masyarakat miskin dan kumuh hidup susah dan menjadikan orang
miskin sebagai ladang meraup suara. Mereka paham sekali bahwa orang miskin itu
cukup dikasih uang sedikit dan sembako ala kadar, mereka akan dengan mudah
dipengaruhi untuk mencoblos gambar mereka. Mereka datang membawa uang dan
sembako ke tempat orang miskin dan membagi-bagikan uang dan sembako.
Menyenangkan hati orang susah untuk sesaat
Setelah meraup suara dari orang miskin yang
hidup susah, setelah menjadi legislator, mereka tidak pernah datang lagi
menyambangi, mereka sudah dapat duduk di kursi empuk dan bersenang hati selama
lima tahun. Legislator model begini memang senang melihat orang susah.
“Tetaplah kalian hidup susah! Saya akan
datang lagi kepada Saudara-saudara lima tahun yang akan datang. Hehehehe ….”
Ciri kelima: mudah diadu domba.
Aslinya, adu domba itu tradisi orang Garut,
Jawa Barat. Sudut pandang kesejarahan, adu domba itu adalah politik yang dipraktikkan
pada zaman penjajahan oleh pemerintah Kolonial (kompeni) Belanda, yaitu kompeni,
terhadap pemimpin local negeri koloninya, Indonesia. Kompeni mengadu domba
pemimpin yang satu dengan yang lain, antara ayah dengan anak, atau antara adik
dengan kakak. Setelah sukses melumpuhkan para pemimpin local, politik kompeni
yang berimutnya adalah devide et impera (memecah belah dan kemudian
menjajah/menguasai. Politik adu domba kompeni sungguh ampuh. Rakyat Indonesia
pun harus mengalami penderitaan selama tiga ratus lima puluh tahun.
Dikira, era adu domba itu sudah berakhir
setelah Indonesia merdeka. Dikira, adu domba hanya tinggal tradisi yang tetap
dipertahankan di Garut.
Ternyata, pada era reformasi ini, Orang
Indonesia masih tetap mudah diadu domba. Apa lagi pada masa kampanye terbuka
yang baru saja berakhir.
Megawati Soekarno Putri dan Prabowo “diadu
domba” dengan isu bahwa Megawati melanggar konsensus Batu Tulis (2099) yang
ditandatangani bersama Prabowo, dan keputusan Megawati mengusung Jokowi sebagai
capres PDI-P. Megawati berpaling dari butir-butir konsensus, Jokowi pun ikut
berpaling mengikuti “induk semangnya” Megawati. Jokowi yang berjanji kepada
Prabowo untuk bersedia memimpin Jakarta selama lima tahun jika terpilih menjadi
Gubernur DKI Jakarta, dan memang kemudian menjadi kenyataan menjadi Gubernur,
eeehh, malah menjadi Capresnya PDI-P. Artinya menjadi Gubernur DKI selama lima
tahun tidak akan terpenuhi dan sekaligus mengkhianati kesepakatan tertulis
dengan Prabowo. Jokowi telah menggunting dalam lipatan
Tentu ada orang mengail di air keruh dengan
peristiwa ini. Apatah lagi menyangkut konflik tokoh besar seperti Megawati,
Prabowo, dan Jokowi.
Nah, ada orang mengompori Prabowo supaya
bereaksi dan mereka sukses memanas-manasi Prabowo.
Probowo pun panas hati (marah) dan
mengungkit-ungkit Konsensus Batu Tulis. “Megawati dan Jokowi ingkar janji!”
tuding Prabowo.
Di pihak lain, ada orang/pihak ketiga yang
mengompori Megawati dan Jokowi maupun PDI-P, agar bereaksi terhadap pernyataan
dan tudingan Prabowo. Mereka pun sukses memanas-manasi Megawati dan Jokowi.
Reaksi Megawati adalah tidak sudi menerima Prabowo yang berhasrat menemui
sekaligus mengklarifikasi pencapresan Jokowi oleh Megawati dan PDI-P.
“Dalam politik, tidak ada kawan yang abadi,
yang abadi adalah kepentingan.” tangkis orang-orangnya Megawati tak kalah galak.
Tukang adu domba pun bersorak kegirangan
karena maksudnya tercapai.
Iya, kan? Orang Indonesia mudah diadu domba!
SBY yang sedang getol berkampanye untuk
PD-nya demi menaikkan pamor PD yang
anjlog, tak luput dari sasaran adu domba. SBY pun “diadu domba” dengan mantan
Ketum PD yang sekarang sedang meringkuk di balik jeruji Rutan KPK, Anas
Urbaningrum.
Anas Urbaningrum (didramatisasi juga oleh
media massa dan pastinya ) getol menyerang dan menguliti SBY dan PD melalui
korupsi Hambalang, dan SBY dengan orang-orangnya pun menjadi sibuk menangkis
dengan bebagai jurus. Jurus yang dianggap ampuh antara lain adalah membantah.
Sebelumnya, anggota DPR yang duduk di KOmisi
III yang membidangi Hukum, Fahri Hamzah, dkk, “diadu domba” dengan KPK, Abraham
Samad dan jubir KPK, Johan Budi S.P.
Mokhtar Lubis dan Budhiarto Shambazy adalah
tokoh beneran, punya kapabilitas, kompeten, dan jelas bukan tokoh dadakan.
Tentu saja mereka berdua tidak asal tulis dan asal ngomong tentang Manusia
Indonesia.
Jangan marah, ya!
Jakarta, 6 April 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar