TAUSIAH DARI MAS MANGUN UNTUK PARA USTAZ
Pengantar
Yang udah-udah,
yang lazim terjadi di majelis taklim atau pengajian yang dihelat, ustaz atau
kiai atau habib menyampaikan tausiah dan para jemaah yang setia mendengarkan
tausiah. Emang sebenarnya sih begitu. Yang bertausiah itu tentu yang lebih alim
(berilmu agama) daripada yang ditausiahi (jemaah; audiens; pendengar). Orang yang
alim (dalam hal pengetahuan agama Islam) itu lebih kompeten dalam bertausiah daripada
yang awam. Model penyampaiannya, 0ne-way
traffics (satu arah) dan metodenya 99% ceramah. Medianya mulut dan kuping.
Outputnya, sebagian yang didengar tak ingat lagi (lupa). Yah, namanya juga
ngaji kuping. Paling-paling juga hanya kesan: ustaznya kocak, fasih, dan heboh.
Itu tradisi dan paradigma lama.
Mari kita ubah dengan tradisi baru dengan
cara baru. Seorang jemaah yang rajin hadir di pengajian diberi kesempatan,
sebutlah namanya, Mas Mangun begitu. Mas Mangun
menyampaikan tausiah dan jemaahnya adalah para ustaz dan kiai yang biasa
bertausiah. Sekali-sekali mereka disuruh duduk bareng dan disuruh menyimak
materi tausiah. Maksudnya, agar pata ustaz itu ikut merasakan diceramahi orang
lain. Agar mereka dapat belajar/mengalami langsung enak tidak enak, nyaman
tidak nyamannya duduk bareng orang lain sebagai Jemaah.
Model pendekatan tausiah Mas Mangun adalah
pendekatan aktif-partisipatif multi-ways
traffics, dan metodenya tanya jawab dan sharing
ideas and knowledge. Sebagai model pembelajaran dalam kegiatan tausiah itu,
Mas Mangun menghadirkan orang-orang dari berbagai profesi: ada Polantas, ada
petani, sopir, Guru SD, pramugari aktif, dan seorang pensiunan PNS. Mas Mangun
memperkenalkan identitas para model itu.
Para model ini duduk bareng bergabung dengan
para ustaz yang menjadi audiens kegiatan tausiah. Para ustaz agak kikuk juga
dengan kehadiran para model yang hadir. Para ustaz belum paham maksud Mas
Mangun, mengapa mereka, para model itu, dihadirkan dalam kegiatan tausiah.
Tetapi mereka tak bertanya, hanya menyimpan rasa penasaran di dalam hati.
Mas Mangun
membiarkan para ustaz dihinggapi rasa penasaran (rasa ingin tahu). Rasa
ingin tahu itu adalah modal awal dalam proses pembelajaran, meski pembelajaran
bertajuk tausiah.
Tausiah Mas Mangun di hadapan para kiai,
habib, dan ustaz
Kita simak tausiah Mas Mangun.
Mang Mangun memulai tausiahnya dengan ucapan
salam, basmalah, hamdalah singkat (Bahasa lisan agak medhok). Mas Mangun merujuk ayat Quran thok! (tidak menggunakan rujukan hadis sahih dari siapa pun untuk
mencegah adanya kontradiksi dan keraguan jemaah) yang sering dilontarkan oleh
para ustaz dan kiai yang sekarang menjadi audiens tausiahnya.
Mari kita simak materi yang disampaikan oleh
Mas Mangun si pemberi tausiah, QS 3; 133.
“Wa saari’uu ilaa maghfiratun mir rabbikum wa
jannah, ardhuhas samaawaati wal ardhi, ‘u’iddat lil muttaqiin.”
Dan
bersegeralah mencari ampunan Tuhanmu dan (bersegeralah ke) sorga yang luasnya
sama dengan bumi dan langit, disediakan (khusus) bagi orang-orang yang
bertakwa.
Mas Mangun melanjutkan tausiahnya.
“Para hadirin, kebetulan jemaah yang
mendengarkan tausiah saya ini adalah para kiai, habib, dan ustaz yang sudah
malang-melintang berceramah di jagat pengajian, dari pengajian di kampung sampai pengajian
yang ditayang di layar tv.
Materi tausiah ini, yakni ayat Quran yang
saya sampaikan ini sering sekali saya dengar dan begitu fasih dilafal oleh para
kiai, habib, dan ustaz. Akan tetapi materi itu hanya sampai di situ saja. Tak
ada penjelasan tambahan yang membuat Jemaah itu dapat menjabarkannya. Kami,
para Jemaah, dibiarkan tetap dalam ketidakjelasan. Kiai, habib, dan ustaz
kehabisan waktu dan terburu-buru karena harus berceramah lagi di dua atau tiga
tempat lagi di tempat lain.
“Hadirin, kiai mohon maaf tak bisa lama-lama
di sini. Jemaah kiai di taklim anu dan di taklim ono sedang menunggu kiai. Kan
kiai nggak enak hati ditunggu oleh
mereka. Syukron katsiir. Wassalamu
alaikum wr. Wb.”
Mas Mangun menirukan ucapan perpisahan
seorang kiai beken. Mas Mangun tidak lupa memeragakan gaya kiai pamit, menerima
amplop sambil mengucap syukron katsiir
berulang kali sembari melempar senyum, dan bergegas pergi menuju ke tempat
taklim yang baru.
Para ustaz memperhatikan gayanya meniru kiai
beken. Ada yang tersenyum kecut, ada yang cengar-cengir, dan ada yang tersipu
malu dan menunduk.
“Mas Mangun nyindir ane nih!” gumamnya.
Mas Mangun kemudian melanjutkan tausiahnya
berupa materi ayat yang telah dia lafalkan (rada-rada medhok logat Jawa Tengahnya).
“Bersegeralah mencari ampunan Tuhan,
maksudnya bagaimana?"
Mas Mangun bertanya dengan gaya retorika.
Berlarikah? Bermobilkah? Berpesawatkah? Mencari
ampunan Tuhan itu di mana kalau memang harus dikejar? Di Masjidkah? Di seberang
pulaukah? Di rumah kiaikah?”
Para kiai, habib, dan ustaz yang biasa
cuap-cuap terdiam dibombardir dengan pertanyaan seperti itu. Mereka boleh
menjawab dan boleh juga tidak, tetapi mereka seperti ditohok di ulu hati. Mereka
tercenung. Kiai, habib, dan ustaz yang biasa cuap-cuap memimpin salawatan dan
memberi tausiah saling pandang satu sama lain.
“Kenape
Mas Mangun kudu nanyain sampe ngelotok
kayak begitu, ye?” tanya seorang habib berdarah Betawi kelahiran Kwitang.
“Di
mane ye? Ane bingung juga nih ngejawabnye.” ujar seorang kiai muda berdarah
Betawi asli dari Gandaria.
“Iye
ye. Ane kaga nyangke kalo bakal ade pertanyaan kayak gitu,” imbuh kiai tua yang pipinya sudah kempot.
“Mas Mangun, sudahlah, lanjutkan saja. Nanti
di rumah saya buka lagi kitab kuning!” menyela seorang ustaz yang namanya sudah
mulai naik daun.
“Betul, Mas Mangun. Saya penasaran ingin
tahu!” sambut seorang ustazah beken.
“Ya ya ya! Hadirin bingung, ya? Kalau ustaz,
kiai, dan habib saja bingung, bagaimana dengan saya dan Jemaah awan lainnya?”
Mas Mangun bertanya dengan gaya retorika.
“Begitulah yang terjadi dengan saya dan
teman-teman sesama jemaah ketika mengikuti tausiah para kiai, habib, dan ustaz.
Kami hanya menjadi pendengar setiap kali
mengikuti tausiah. Kami tak mampu memahami apatah lagi menjabarkan. Soalnya para kiai, habib, dan
ustaz juga tidak pernah memberi penjelasan!” lanjut Mas Mangun dengan nada
mengkritisi.
Mas Mangun mengumpulkan kekuatan kata-kata
dan kalimat dalam jeda beberapa saat.
“Saya ambil contoh pernyataan tausiah seorang
Habib mengutip ayat Quran dalam kalimat seperti berikut ini. Bersegera mencari/memperoleh ampunan dari
Tuhan dan sorga yang telah disediakan bagi orang-orang yang bertakwa.
Bersegera itu caranya bagaimana, ampunan
Tuhan itu ada di mana dan dalam bentuk apa, kan tidak pernah dijelaskan!”
Kalimat-kalimat Mas Mangun yang terlontar itu
bagai ujung alu yang menumbuk ke ulu hati. Sebuah kritikan yang sangat pedas. Sang
Habib yang pernah bertausiah mengucapkan ayat Quran dan terjemahannya itu ada
di hadapan Mas Mangun. Dia tampak terhenyak disodok dengan kritikan oleh
seorang Mas Mangun yang notabene adalah jemaah biasa.
Ya, selama ini para kiai, habib, dan ustaz
terlena dengan keasyikan sendiri, berceramah dengan gaya masing-masing, metode
satu arah, pendekatan ortodoks sampai selesai, terima honor, lalu pergi.Mereka
kurang peduli ada atau tidaknya output yang bermanfaat dari tausiah mereka.
Mas Mangun melanjutkan dengan semangat yang
masih tetap tinggi. Suaranya masih tetap nyaring berkicau zonder serak-serak
atau parau.
“Hadirin sekalian, para habib, kiai, dan
ustaz yang saya hormati. Meskipun sebuah kegiatan ceramah, semestinya kita
memperhatikan audiens. Para jemaah yang diceramahi itu ada di bumi alias
manusia bumi bukan makhluk penghuni nirwana atau dirgantara. Bumilah tempat
mereka berpijak, mencari nafkah, istirahat, dan bersosialisasi. Ceramah itu
untuk orang bumi, bukan untuk makhluk lain di luar bumi, agar supaya dipahami
dan diamalkan. Ceramah para kiai, habib, ustaz, ya, hadirin yang sekarang
berada di depan saya ini, harusnya membumi. Bahasa yang dipakai, analogi,
contoh-contoh, dll. itu diambil dari kehidupan makhluk bumi. Lebih tepatnya,
manusia sekarang ini, manusia yang hidup pada zaman TIK, kita ini, yang hidup
di kota besar.
Bagaimana mau nyambung kalau isi tausiahnya mengambil rujukan kitab kuning yang
usianya sudah ratusan tahun. Bagaimana mau nyambung
kalau contoh orang-orang teladan atau orang jahat adalah orang-orang yang hidup
pada zaman kuda gigit besi. Para jemaah itu tidak ada yang kenal orang zaman
dulu.Kan banyak manusia teladan atau manusia jahat yang hidup sezaman dengan
kita yang bisa dijadikan contoh tentang manusia teladan dan manusia jahat.
Mengapa tidak mereka ini yang dijadikan contoh dalam tausiah?”
Mas Mangun berhenti sejenak. Dia menjumput
gelas di atas mimbar dan mereguk air putih dari gelas itu untuk membasahi
kerongkongannya. Seorang audiens, seorang ustaz muda yang sedang naik daun tampak
manggut-manggut sambil berpikir.
“Benar juga ya, kata Mas Mangun.” 0cehnya
sambil bergumam.
Si ustaz muda itu merasa disentil. Memang dia
dalam ceramahnya, sering dan doyan mengambil contoh manusia teladan atau jahat
itu manusia yang hidup pada zaman dinasti Umayyah atau Abbasiah. Seteleh mendengar tausiah Mas Mangun, baru
dia paham, bahwa selama ini ceramahnya lebih banyak tak sampai karena tak
dipahami. Dia mengakui bahwa memang dia tidak begitu peduli dengan daya tangkap
audiens.
“Saya memang kompeten tentang ilmu syariah,
tetapi, sumpah, saya miskin psikologi massa!” keluh sang ustaz muda kepada diri
sendiri
Seperti dia juga kelakuan para kiai, habib,
dan ustaz yang ternama berceramah di hadapan para jemaah di majelis taklim atau
yang sering muncul di layar kaca. Mas Mangun sebagai jemaah merasakannya.
Mas Mangun melanjutkan. Waktu yang tersedia
tak lebih dari sepuluh menit lagi.
Penjabaran kalimat perintah ‘bersegera
mencari/memperoleh/menuju ampunan Tuhan dan sorga ….’ itu adalah
sebagai berikut:
’Kita harus tetap hidup (eksis). Oleh karena
itu kita harus bekerja. Profesi apa pun pilihan dan/atau yang kita miliki: :
petani, guru, polisi, tentara, karyawan, sopir, pilot, nelayan, buruh,
pramugari, dll. Para model itu akan saya hadirkan di sini sebagai model
pembelajaran. Kita lebih getol bekerja sesuai dengan profesi dan pekerjaan yang
kita sandang!” (bukan hanya bersegera kepada salat, puasa, berzakat, mengaji,
atau berhaji)
Mas Mangun mengundang beberapa orang model
yang hadir. Mereka diminta berbicara tentang kesibukan masing-masing
sehari-hari. Kesempatan pertama adalah seorang petani, Pak Giman namanya. Pak
Giman pun berbicara.
“Kita harus mencari nafkah agar kita bisa
hidup layak. Saya seorang petani di desa. Seya berangkat pagi-pagi ke sawah
saya, membawa cangkul, sabit, dan parang. Saya mencangkul tanah, menyiangi
rumput, menanam benih, atau menebang. Saya harus merawat dan menjaga tanaman
dengan tekun. Pendek kata, semua pekerjaan di sawah, menjadi petani yang giat
bekerja di sawah. Alhamdulillah, saya selalu sehat dan berkat kerja keras itu,
hasil panen berkualitas dan melimpah. Sebagian hasil panen saya jual dan
sebagiannya lagi disisakan untuk makan dan persiapan bibit. Saya dan keluarga
merasa gembira. Saya merasakan sorga, dan saya yakin itu semua karena rida
Allah.” Dia menghela nafas sejenak dan kemudian dia melanjutkan.
“Waktu untuk mengikuti pengajian hampir tidak
ada yang tersisa. Apakah salah jika saya
dan keluarga tidak bisa ikut pengajian?” ujarnya beretorika.
Giliran seorang Guru SD, namanya Pak Sobir,
diberi kesempatan berbicara.
“Saya seorang Guru SD. Saya mengajar di Kelas
5. Saya berangkat ke SD tempat mengajar pukul 05.30 pagi. Saya berangkat lebih
awal waktu karena khawatir dihadang kemacetan. Itulah sikap hidup dan nilai
yang saya jadikan kebiasaan dan budaya. Saya merasa malu jika kalah cepat
sampai dan lebih malu lagi jika terlambat.Saya selalu sampai di sekolah
terdahulu dari teman-teman guru yang lain. Saya bisa melakukan pekerjaan lain
yang bermanfaat sebelum mengajar. Saya bisa membaca-baca, menulis, menata meja
kerja, menyapa para siswa, menegur, memotivasi siswa, mengobrol dengan orang
tua/wali murid Kelas 1, berdiskusi dengan satu dua teman guru, dan masih sempat
memeriksa kebersihan dan kerapian para siswa setiap pagi.
Alhamdulillah, kegiatan rutin yang menurut
saya baik itu, ditanggapi dengan baik oleh semua warga sekolah. Semua siswa
suka, teman-teman guru menanggapi secara positif, kepala sekolah pun mendukung,
dan orang tua bersimpati. Sikap dan budaya saya menambah motivasi semua warga
sekolah.
Saya tidak merasa bangga apa lagi
membangga-banggakan diri, tetapi saya merasa senang karena tradisi baik yang saya
tegakkan sebagai guru di SD. Saya tidak berharap dipuji dengan pujian dan
memang tak layak dipuji, tetapi tradisi saya dianggap “uswatun hasanah” dan diikuti oleh warga sekolah yang lain. Itulah
“sorga” saya sebagai guru dan saya yakin itu adalah rida Allah.”
“Sekali dua kali saya ikut pengajian kalau
ada waktu luang. Apakah kalau saya jarang ikut pengajian terus kehilangan
pahala kebaikan?” tanya Pak Sobir beretorika pula dan menutup uraiannya.
Model ketiga dan terakhir yang diberi
kesempatan berbagi pengalaman hidup adalah seorang sopir angkot, namanya Bang
Tagor Harahap. Tampilan Bang Tagor tak mirip seorang sopir angkot, tetapi mirip
pegawai kantoran yang biasa bekerja di ruangan ber-AC.
“Hadirin, mari kita simak kisah pengalaman
Bang Tagor sebagai sopir angkot sehari-hari.”
Bang Tagor berdiri tanpa perasaan kikuk atau
grogi. Pede banget die!
“Saya berangkat ke pool usai salat Subuh,
sekitar pukul 5 pagi hari setiap hari. Ketika saya sampai di pool, belum ada
satu pun rekan sopir yang ada. Biasalah, mereka sampai ketika matahari sudah
nongol di ufuk timur sana. Satpam pool sudah hafal sekali dengan kebiasaan
saya. Saya mencuci mobil, mengelap, dan membersihkan bagian dalam,
mengecek berfungsi atau tidak tiap
komponen vital, mengecek solar, air, dan lain-lainnya. Setelah segalanya beres, dengan basmalah dan tawakal, saya pun keluar untuk memulai mencari nafkah yang sesungguhnya, mencari penumpang di jalan dnengan rute yang sudah ditentukan oleh pemerintah setempat.
Saya mengemudikan mobil seperti biasa dan
tidak ada yang istimewa. Saya menarik calon penumpang dan menurunkan penumpang
di halte atau tempat pemberhentian yang diperbolehkan. Saya sangat mengutamakan
keselamatan penumpang, keselamatan saya sendiri, dan juga keselamatan pemakai
jalan lainnya. Saya tidak pernah mengemudi di luar peraturan lalu-lintas, apa
lagi sampai melanggar peraturan. Semua penumpang puas, teman-teman sesama sopir
angkutan umum senang, pengendara atau pemakai jalan yang lain tak pernah mencaci,
menegur, atau mengumpat saya. Pak Polantas pun tak pernah menyemprit, menilang,
boro-boro mengandangkan mobil angkot saya.
Saya medapatkan uang untuk setoran dan uang
lebih untuk dibawa pulang ke rumah. Tentu tidak banyak, tetapi cukuplah untuk
biaya hidup keluarga saya. Saya merasakan kenyamanan dalam hidup sebagai sopir.
Itulah sorga saya dan keluarga. Saya yakin itulah rida dari Allah.”
Bang TAgor jeda sejenak untuk mengatur
pernafasan, mengelap butir-butir keringat, dan mengumpulkan kata-kata. Dia pun
melanjutkan.
“Dengan kondisi seperti itu dan berprofesi
sebagai sopir angkot, jarang sekali saya bisa ikut pengajian di majelis taklim.
Apakah saya keliru jika jarang ikut pengajian? Apakah tidak layak memperoleh
pahala kebaikan di luar kegiatan pengajian?”
Bang Tagor menutup tuturannya dengan beberapa
pertanyaan yang menggelitik kuping para habib, kiai, dan ustaz yang ada di
hadapannya.
Para habib, kiai, dan ustaz pun terpana. Para
model pembelajaran itu adalah manusia, sama dengan mereka, yang butuh hidup
layak, dan pastinya wajib mencari nafkah, bukan kewajiban mereka harus ikut
pengajian.
Mereka yang rajin ikut pengajian tentulah
mereka yang tidak punya banyak kesibukan dalam hidup mereka, boleh jadi para
pensiunan, dan bukan tidak mungkin mereka berada dalam posisi setengah
pengangguran, atau pengangguran mutlak.
Mas Mangun pun mengakhiri tausiahnya di
hadapan ustaz, kiai, dan habib yang menjadi audiensnya hari itu dengan tausiah
penutup yang menjadi simpulan.
“Rida Allah berlaku bagi siapa pun muslim dan
apa pun profesinya. Harus kita yakini bahwa itulah wujud ampunan Allah yang
diperintahkan mencari itu. Mencari ampunan Allah itu dengan bekerja, dengan
berjuang, dan tunduk kepada peraturan yang berlaku di tempat bumi dipijak.
Sebaliknya, jika kita tidak tunduk kepada
peraturan yang ada: petani malas, guru SD malas, dan sopir ogah-ogahan, dan
lain-lain yang negatif itu semua adalah pelanggaran. Apa akibatnya bagi
masing-masing?
Tanaman petani diserang hama, tunjangan profesi
guru dipotong, dan sopir tak dapat uang untuk setoran adalah sanksi nyata dalam
kehidupan sehari-hari. Mungkinkah Allah rida kepada hamba-Nya yang
malas-malasan? Tentu tidak mungkin Allah menurunkan hujan uang atau emas
berlian dari langit untuk hamba-Nya yang pemalas.
Hidup adalah bekerja (praktik amaliah) secara
proporsional sesuai dengan tuntutan profesi dan itulah wujud pengabdian hamba
yang muslim kepada Allah. Tentu rida Allah menyertai dan itu wajib diyakini.
Kita merasakannya secara nyata, bukan lagi utopia, bukan impian, dan bukanlah
khayalan.
Ya, hidup berkeluarga yang mapan dan
berkualitas, ada istri/suami, anak-anak, dan mungkin ada anak yatim atau anak
asuh. Sebuah keluarga yang sejahtera. Kebutuhan keluarga terpenuhi, Perasaan
aman dan nyaman dalam segala kondisi di mana pun berada.
Kehidupan yang baik yang dilakoni di dunia
itu adalah balasan dari Allah (ridanya Allah; ampunan-Nya; dicintai Allah)
karena kita selalu menegakkan perintah-Nya.”
Bagaimana kesan para ustaz yang biasa
berceramah itu terhadap model tausiah Mas Mangun yang notabene hanyalah seorang
peserta pengajian?
Para ustaz yang menjadi audiens kegiatan
tausiah Mas Mangun terkesima. Tak ada satu pun di antara mereka yang bertanya
padahal mereka diberi waktu dalam sesi tanya jawab. Entah karena sudah paham,
entah tidak paham, entah malu hati dan menjaga gengsi, para ustaz hanya saling
pandang, saling bisik-bisik, atau menundukkan wajah.
Boleh jadi, mereka memperoleh pembelajaran
dari tausiah Mas Mangun. Mereka boleh jadi berintrospeksi diri, bahwa tausiah
mereka ala mengaji kuping selama ini kurang efektif. Boleh jadi mereka malu
hati, honor mereka bertausiah, dengan atribut ustaz ternama atau ustaz kondang,
nilainya sangat besar, tak pernah dipotong serupiah pun, tetapi output tausiahnya
tidak jelas.
“Mas Mangun itu jemaah pengajian di taklim
ane, Bib! Ane seneng banget deh jemaah ane pinter-pinter. Kagak sie-sie ane
ngajar!” seorang kiai berusia muda kelahiran Betawi asli nyeletuk dengan rada-rada bangga ke habib yang
berjalan di sampingnya.
“Besok-besok ane mau belajar lagi tentang
cara bertausiah yang efektif. Ane malu ame Mas Mangun. Die emang pernah juga
sih ikut pengajian di majelis taklim ane. Nyatenye ikhwal metode tausiah, die
lebih mahir dari Ane.” oceh Habib yang punya majelis taklim kepada Pak Sobir
dan Bang Tagor Harahap.
“Syukurlah Antum mahfum, Habib!” sambut Bang Tagor Harahap.
“Besok-besok Habib bertausiah bawa model buat
contoh, ye, Bib. Model-model itu dari jemaah aja. Suruh tuh model pade ngomong
semenit dua menit. Habib tausiahnya jadi efisen, kagak kecapean atau
ngos-ngosan kebanyakan ngomong. Eh, maaf ya, Bib. Saya hanya mengkritisi aja.
Jangan marah, ya, Bib!” imbuh Pak Sobir sambil menyalami tangan Habib dengan
penuh kehangatan.
“Iye
dah, Ane mahfum, Antum bener!” jawab Habib.
Jakarta, 12 Februari 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar