Senin, 26 November 2012

KAUL, GAUL, HAUL, DAN HUBUNGANNYA DENGAN PA,UL



Kaul
Ada dua arti dari kata Kaul ini. Pertama,  kata kaul diadop dari bahasa Arab berasa dari Qawl/Qawlan yang artinya perkataan/ucapan. Misalnya qawlan kariimaa artinya ucapan/perkataan yang mulia/agung/santun. Verba imperatifnya adalah Qul yang artinya katakanlah. Verbanya qilaa artinya berkata/mengatakan. Verba qaaluu artinya berkata untuk waktu lampau (past tense), misalnya: Qaaluu subhanak: (Mereka; malaikat ) berkata kepada Allah waktu Adam dihadirkan di hadapan mereka: Maha Suci Engkau ....; Innal ladziina qaaluu: Sesungguhnya orang-orang yang berkata (past tense). Dll.
Kedua, kata kaul dalam bahasa Indonesia artinya ikrar yang teguh (Allah Maha Menyaksikan) dan akan menepati ikrar itu di kemudian hari. Arti lain adalah nazar atau berjanji akan berbuat sesuatu jika .... Contoh: Pasutri muda itu punya kaul, kalau dikaruniai anak laki-laki, mereka akan membiayai kedua pasang orang tua mereka berhaji. Kaul atau nazar itu wajib ditepati. Waktunya kalau situasi dan kondisi memungkinkan. Kaul itu janji dan janji itu utang (wajib ditepati). Bagaimana pada kemudian hari, sampai ajal yang berkaul tiba, sementara kaul belum ditunaikan? Tak apa-apa juga. Allah itu Maha Pemaaf Maha Pengampun. Perhatikan kalimat yang mengawali kaul, Jika ..., maka .... Jangan memberi fatwa keliru, bahwa kaul itu harus dibayar oleh orang lain. Kaul seorang ayah perlu ditunaikan anak, tidak! Berdosakah orang tua yang berkaul tidak mampu dibayar karena ajal lebih dahulu datang menjemput? Tidak! Berdosakah seorang anak tidak membayar kaul orang tua? Tidak! Kaul itu nafsi-nafsi! Ibadat itu nafsi-nafsi!
Tidak ada oper-operan utang-piutang dengan Allah kepada dan dari orang lain. Bapak yang tidak salat atau tidak puasa atau tidak sempat berhaji tidak bisa digantikan oleh anaknya dengan cara apapun. Malaikat sepasang selalu siap sedia mencatat amal setiap hamba, A yang berbuat baik A pula yang dicatat amal kebaikannya. Cucu yang berbuat jahat maka cucu pula yang dicatat amal keburukannya. Keturunan Nabi saw ke-17 atau ke-56 berbuat baik maka mereka yang dicatat amal kebaikannya. Sebaliknya mereka berbuat maksiat mereka pula yang dicatat amal keburukannya. Nggak ada ceritanya Nabi saw dibawa-bawa atau malaikat salah mencatat atau “pilih kasih, ewuh pakewuh, sungkan, dll”  lantaran si Fulan mengaku keturunan Nabi saw! Yang begitu mah dongeng ajaran animisme atau Hinduisme, bukan ajaran Islam! Makhluk yang namanya malaikat itu amt patuh dan taat kepada Allah, tak ada malaikat yang neko-neko kayak kelakukan manusia. Malaikat pencatat yang mulia: Kiraaman kaatibiin. Djoko Susilo yang korupsi tidak bisa Joko Tingkir atau Joko Tarub yang dimasukkan ke penjara. Kalau Joko Tingkir membunuh Dadungawuk, pasti bukan Joko Tarub yang masuk penjara. Kalau terjadi juga, itu namanya kesalahan besar. Bisa saja terjadi polisi salah tangkap, jaksa salah ambil pasal, dan hakim sedang  stress. Namanya: polisi, jaksa, dan hakim keblinger! Namanya juga manusia! Khilaf dan keliru ada pada manusia.
Contoh lain: Orang tua punya niat berhaji (haji kan wajib bagi setiap muslim). Orang tua mulai menabung dari waktu ke waktu. Ternyata Tuhan berkehendak lain. Uang tabungan untuk biaya ONH sudah cukup., eh, orang tua meninggal. Ya sudah, selesai! Tidak ada kewajiban anak yang saleh menghajikan orang tua yang sudah meninggal (haji badal). Kalau ada anak melakukannya supaya disebut anak yang soleh, maka sebenarnya bukan kesalehan yang didapat, melainkan ketolehan (menyimpang). Kewajiban itu diusung dan dipertanggungjawabkan oleh masing-masing, tidak dioper alih kepada orang lain, hatta anak kandung sekalipun. Itulah praktik ajaran Islam yang benar!
Gaul
Gaul arti harfiahnya campur. Bergaul artinya bercampur. Menggauli artinya mencampuri (suami menggauli isteri). Gaul dalam arti istilah adalah berhubungan/berinteraksi dengan sesama makhluk hidup dan dalam keadaan sehat jasmani dan rohani (manusia dengan manusia atau dengan hewan; hewan dengan hewan atau dengan manusia). Berbicara, berdiskusi, bertelepon, ber-sms, ber-BBM, bersurat, berisyarat, bermorse, dll. adalah wujud gaul. Bagaimana kalau berbicara dengan ahli kubur? Anggap saja orang itu kurang waras!  Bagaimana kalau menyeru atau memanggil nama orang yang sudah mati, misalnya memanggil-manggil nama orang tua, leluhur, kekasih, keluarga Nabi saw, atau nama Nabi saw dengan dalih memuliakan beliau? Ya, sami mawon!
Itulah yang membedakan praktik ajaran Islam yang hak dengan praktik ajaran di luar Islam. Tak boleh lagi terjadi praktik Islam yang sempurna dicampuradukkan dengan praktik ajaran non-Islam yang kuno, invalid, dan out of date! Jangan berdalih sekedar tradisi turun-temurun dipraktikkan tetapi tak pelak mencemarkan kesucian ajaran Islam! Na’uu’dzubillaahi min dzaalik!
Kalau demikian, berarti gaul itu perintah agama. Betul! Gaul itu bagian dari silaturahim. Dulu silaturahim itu berwujud sederhana: ketemu, tatap muka, mengobrol, berdiskusi, dll. Kalau domisili berjauhan silaturahim diwujudkan dengan bersurat menggunakan jasa burung merpati, morse, mercu suar, telegraf, sampai pesawat telepon. Zaman sekarang wujud silaturahim adalah media telepon seluler, sms, mms, bbm, internetan via jejaring sosial, dll. Semua media silaturahim dari yang kuno sampai yang modern itu adalah produk akal budi daya manusia yang ulil albab/cerdas, yang selalu tafakkur mewujudkan perintah Allah, manusia ulil albab yang mampu menjawab pertanyaan Allah: Afalaa tatafakkaruun? Afalaa ta’qiluun? Afalla ta’lamuun?
Artinya apa? Muslim itu disuruh belajar. Salah satu metode pembelajaran adalah bergaul dengan sesama manusia yang hidup, bukan dengan orang yang sudah mati atau ahli kubur. Bahkan muslim itu disuruh belajar jauh “overseas” sampai ke negeri Cina, Eropa, atau Amerika. Bergaul dengan semua orang semua etnis, inklusif, dsb. sehingga muslim itu tambah cerdas dari waktu ke waktu: tambah cerdas dan luas wawasan, tambah naik harkat martabat, tambah mulia kedudukan, tambah kaya, makin sukses. Baca saja biografi Soekarno, Hatta, Buya Hamka, B.J. Habibie, Khairul Tanjung “Si Anak Singkong” dan tokoh hebat lainnya untuk menambah keyakinan betapa hanya orang yang aktif bergaul sajalah yang mampu menuai/memanen buah kesuksesan.
Tak ada sesorang pun muslim yang mampu meraih kesuksesan jika dia menafikan gaul, sikap menutup diri/introvert, eksklusif, bermalas-malasan, berwirid khusuk sembari menghitung biji tasbeh, berlama-lama di mesjid, dan membuang waktu efektif yang telah dianugerahkan Allah. Bukankah Allah telah bersumpah untuk “warning” bagi muslim. “Wal ashri”! Ucapan “Wal ashri” itu bukan sekedar hiasan bibir melainkan perintah agar muslim menggunakan waktu seefektif mungkin. Katanya muslim itu teladan terbaik adalah Nabi saw. Nah, Nabi saw adalah sosok manusia yang paling rajin menjalin silaturahim, baik dengan kawan maupun dengan lawan. Nabi saw yang “ummii” itu tahu banget mengelola teori “konflik” dalam praktik jitu, sehingga kekuatan internal bertambah kokoh dan musuh besar pun bertekuk lutut, bahkan mereka yang tadinya musuh besar itu masuk ke dalam Islam secara kaffah. Lihat saja contoh Umar bin Khattab, Abu Sofyan bin Harb, Walid bin Mughirah, Khalid bin Walid, sampai Ikrimah bin Abu Jahal. Belum lagi para panglima perang Persia, Byzantium, sampai Romawi.
Bagaimana sebagian dari kita, muslim sekarang? Yang “Aswaja” merasa diri paling benar Islam-nya pantas sebagai pengikut Muhammad menabuh genderang perang memusuhi “Syiah”, “Ahmadiyah”, atau “Wahabiyah” yang notabene “saudara sendiri”! Begitu pun sebaliknya. Bagaimana mau maju, kalau sesama “saudara seiman” saja saling mencaci saling menyerang!
Makanya bergaullah dengan sesama makhluk hidup dengan sebaik-baiknya. Teman banyak, ilmu tambah, rezeki bertambah, dan panjang umur pula! Subhanallah!
Haul
Haul/haulan artinya peringatan atas wafatnya seseorang. Biasanya orang yang tercinta atau orang yang dihormati. Haul tidak ada ditemukan dalam khasanah Quran dan sunnah Rasulullah saw. Jelasnya, haul bukanlah praktik islami. Bahkan haul/haulan itu digolongkan sebagai tasabbuh (meniru-niru praktik agama lain) dan menyimpang dari kemurnian praktik ajaran Islam. praktik nggak jelas boleh mungut dari sana-sini, lalu dimodifikasi, lalu supaya dibilang praktik islami, diimbuhi pengajian Quran, bertahlil, doa, dan macam-macam seakan-akan itu adalah praktik ajaran Islam. Bukan sama sekali! Kayaknya di Saudi Arabia, tempat kelahiran Islam, nggak ada tuh muslim di sana berhaul-haulan kayak kelakuan sebagian muslim di Indonesia.
Mari kita cermati contoh berikut:
Umat Hindu dan bahkan animisme percaya bahwa roh orang yang meninggal itu masih ada di sekitar keluarga. Karena roh masih ada, maka disediakanlah sesajen berupa dupa/bakar kemenyan dan kembang berupa-rupa (biasanya tujuh rupa/jenis) berikut rokok klobot kesayangan si mati. Supaya roh si mati betah, makamnya diperindah sampai menghabiskan dana milyaran kalau perlu. Bahkan makam si mati pun ditunggui sampai tujuh hari, disambangi setiap tiga hari, tujuh hari, empat puluh hari, seratus hari, seribu hari. Capek deh! Lama-lama kan kecapean. Apa lagi kalau makamnya jauh pula letaknya. Anak menantu cucu capek. Tetangga dan handai tolan apa lagi! Lalu cari solusi, tunggu waktu seribu hari saja. Itu baru satu saja yang mati! Bagaimana kalau yang mati itu sepuluh orang? Kalau mengikuti cara praktik beragama seperti itu, bisa-bisa yang hidup akan cepat mati karena memikirkan biaya yang dikeluarkan tak henti-hentinya. Rumit, bukan?
Agama Nasrani hadir lima ratusan tahun lebih dahulu dari agama Islam. Umat Nasrani tidak mengenal haul/haulan. Tetapi mereka amat paham yang namanya Hari Kenaikan Isa Al Masih. Mereka memperingati hari itu setiap tahun. Mereka yang paling tahu hari wafatnya Isa Al Masih seperti juga mereka amat tahu hari kelahirannya (Hari Natal). Jadi mereka memperingati hari ulang tahun wafatnya Isa Al Masih dan pada hari lain (25 Desember) mereka memperingati hari ulang tahun kelahirannya (Isa Al Masih/ Jesus Kristus sudah tak ada. Isa Al Masih tak tahu hari dan tanggal kelahirannya. Hal itu sama sekali tidak penting bagi seorang rasul. Yang terpenting bagi seorang rasul adalah sampai dan keberterimaan ajaran Allah untuk umatnya).
Lalu, bagaimana dengan ajaran Islam? Adakah Islam, Muhammad saw sebagai rasul, mengajarkan agar menghormati leluhur dengan cara seperti umat Hindu, Animisme, dan Nasrani? Ya, nggaklah! Nabi saw tidak pernah mencontohkan berziarah ke makam pamannya Hamzah Bin Abdul Mutthalib dan puluhan syuhada yang gugur di Bukit Uhud, padahal sang paman adalah orang yang merelakan dada dan nyawanya demi Islam dan membela Muhammad saw. Wahyu Allah yang selalu menuntunnya, Quran identik dengan akhlaknya, Nabi tidak mencontohkan berziarah ke makam istrinya yang amat dicintainya di Mekkah, Khadijah. Tidak juga ke makam pamannya yang amat mencintai dan melindunginya, Abu Thalib. Kalau seorang rasul yang kita cintai, kita ikuti ajaran dan sunnahnya, dan kita teladani hidupnya, maka takkan ada lagi orang bikin acara haulan untuk orang yang sudah mati, dan acara maulidan untuk kelahiran Nabi saw! Itu baru muslim yang ulil albab! Kalau masih memaksa juga ingin tetap melakukan (tasabbuh) lalu berpayah-payah mencari dalil pembenaran (tak bakal ketemu di dalam Quran), atau berdalih tradisi, ya nafsi-nafsi. Toh nanti kita semua berpulang ke hadirat Allah, wa ilaihi turja’uun. Jangan bertanya, siapa yang memulai kegiatan yang tidak ada contoh teladan dari Nabi saw. Anda akan dengan mudah menjawabnya.
Pa’ul
Pa’ul adalah julukan (slang) untuk orang yang melakukan sesuatu tanpa ilmu sehingga proses tak ber-output bagus alias tak bermutu dan tak membawa manfaat/kemaslahatan. Sering kita dengar orang mencaci seseorang yang bekerja dan menghasilkan output buruk/tak bermutu terucap, “Dasar Pa’ul! Kerja kagak becus!”. Kalau ada seseorang yang meraung-raung menangis sehari semalam, niga hari, nuju hari, empat puluh hari, setahun, atau seribu hari karena kehilangan orang yang dikasihi, sering dicela, “Anak Pa’ul! Bukan anak saleh yang kelakuannya seperti itu!” Artinya pa’ul identik dengan kejahilan.
Ada tiga kata yang telah penulis sampaikan pada kesempatan ini, dikaitkan dengan kata pa’ul, yaitu kaul, gaul, dan haul. Kaul, gaul, dan haul adalah bentuk kegiatan manusia yang hidup selama hidupnya di dunia. Salah satu prinsip mendasar dari kegiatan manusia adalah bermanfaat bagi manusia itu sendiri, bagi keluarga, bagi masyarakat, dan juga bagi makhluk hidup lainnya. Jika kegiatan yang dilakukan tidak membawa manfaat, tidak memiliki tuntunan agama, tidak dengan ilmu, dan bahkan membawa mudarat, maka jalan terbaik adalah meninggalkannya untuk selama-lamanya. Masih seabrek kegiatan lain yang lebih bermanfaat. Bukan begitu?
Jadi, mana kegiatan yang bisa dijuluki kegiatan pa’ul? Kaulkah, gaulkah, atau haul?
Muhammad saw membawa Islam itu sebagai pengoreksi ajaran terdahulu yang nyata-nyata melenceng, meluruskan jalan umat yang telah menyimpang, agar segera kembali kepada jalan yang lurus (haniifan musliman). Yang menyimpang diluruskan, yang belum sempurna disempurnakan (simak QS 5: 3).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar