Kaul
Ada dua arti dari kata Kaul ini. Pertama, kata
kaul diadop dari bahasa Arab berasa dari Qawl/Qawlan yang artinya perkataan/ucapan. Misalnya qawlan kariimaa artinya ucapan/perkataan
yang mulia/agung/santun. Verba imperatifnya adalah Qul yang artinya katakanlah. Verbanya qilaa artinya berkata/mengatakan. Verba qaaluu artinya berkata untuk waktu lampau (past tense), misalnya: Qaaluu
subhanak: (Mereka; malaikat ) berkata kepada Allah waktu Adam dihadirkan di
hadapan mereka: Maha Suci Engkau ....; Innal
ladziina qaaluu: Sesungguhnya orang-orang yang berkata (past tense). Dll.
Kedua, kata kaul dalam bahasa Indonesia artinya ikrar yang teguh (Allah Maha
Menyaksikan) dan akan menepati ikrar itu di kemudian hari. Arti lain adalah
nazar atau berjanji akan berbuat sesuatu jika .... Contoh: Pasutri muda itu
punya kaul, kalau dikaruniai anak
laki-laki, mereka akan membiayai kedua pasang orang tua mereka berhaji. Kaul atau nazar itu wajib ditepati.
Waktunya kalau situasi dan kondisi memungkinkan. Kaul itu janji dan janji itu utang (wajib ditepati). Bagaimana pada
kemudian hari, sampai ajal yang berkaul tiba, sementara kaul belum ditunaikan?
Tak apa-apa juga. Allah itu Maha Pemaaf Maha Pengampun. Perhatikan kalimat yang
mengawali kaul, Jika ..., maka .... Jangan memberi fatwa keliru, bahwa kaul itu
harus dibayar oleh orang lain. Kaul seorang ayah perlu ditunaikan anak, tidak! Berdosakah
orang tua yang berkaul tidak mampu dibayar karena ajal lebih dahulu datang
menjemput? Tidak! Berdosakah seorang anak tidak membayar kaul orang tua? Tidak!
Kaul itu nafsi-nafsi! Ibadat itu nafsi-nafsi!
Tidak ada oper-operan
utang-piutang dengan Allah kepada dan dari orang lain. Bapak yang tidak salat
atau tidak puasa atau tidak sempat berhaji tidak bisa digantikan oleh anaknya
dengan cara apapun. Malaikat sepasang selalu siap sedia mencatat amal setiap
hamba, A yang berbuat baik A pula yang dicatat amal kebaikannya. Cucu yang
berbuat jahat maka cucu pula yang dicatat amal keburukannya. Keturunan Nabi saw
ke-17 atau ke-56 berbuat baik maka mereka yang dicatat amal kebaikannya.
Sebaliknya mereka berbuat maksiat mereka pula yang dicatat amal keburukannya.
Nggak ada ceritanya Nabi saw dibawa-bawa atau malaikat salah mencatat atau “pilih
kasih, ewuh pakewuh, sungkan, dll” lantaran
si Fulan mengaku keturunan Nabi saw! Yang begitu mah dongeng ajaran animisme
atau Hinduisme, bukan ajaran Islam! Makhluk yang namanya malaikat itu amt patuh
dan taat kepada Allah, tak ada malaikat yang neko-neko kayak kelakukan manusia.
Malaikat pencatat yang mulia: Kiraaman
kaatibiin. Djoko Susilo yang korupsi tidak bisa Joko Tingkir atau Joko
Tarub yang dimasukkan ke penjara. Kalau Joko Tingkir membunuh Dadungawuk, pasti
bukan Joko Tarub yang masuk penjara. Kalau terjadi juga, itu namanya kesalahan
besar. Bisa saja terjadi polisi salah tangkap, jaksa salah ambil pasal, dan
hakim sedang stress. Namanya: polisi,
jaksa, dan hakim keblinger! Namanya juga manusia! Khilaf dan keliru ada pada
manusia.
Contoh lain: Orang tua punya niat
berhaji (haji kan wajib bagi setiap muslim). Orang tua mulai menabung dari
waktu ke waktu. Ternyata Tuhan berkehendak lain. Uang tabungan untuk biaya ONH
sudah cukup., eh, orang tua meninggal. Ya sudah, selesai! Tidak ada kewajiban
anak yang saleh menghajikan orang tua yang sudah meninggal (haji badal). Kalau
ada anak melakukannya supaya disebut anak yang soleh, maka sebenarnya bukan
kesalehan yang didapat, melainkan ketolehan (menyimpang). Kewajiban itu diusung
dan dipertanggungjawabkan oleh masing-masing, tidak dioper alih kepada orang
lain, hatta anak kandung sekalipun. Itulah praktik ajaran Islam yang benar!
Gaul
Gaul arti harfiahnya campur.
Bergaul artinya bercampur. Menggauli artinya mencampuri (suami menggauli
isteri). Gaul dalam arti istilah adalah berhubungan/berinteraksi dengan sesama
makhluk hidup dan dalam keadaan sehat jasmani dan rohani (manusia dengan
manusia atau dengan hewan; hewan dengan hewan atau dengan manusia). Berbicara,
berdiskusi, bertelepon, ber-sms, ber-BBM, bersurat, berisyarat, bermorse, dll.
adalah wujud gaul. Bagaimana kalau berbicara dengan ahli kubur? Anggap saja
orang itu kurang waras! Bagaimana kalau
menyeru atau memanggil nama orang yang sudah mati, misalnya memanggil-manggil
nama orang tua, leluhur, kekasih, keluarga Nabi saw, atau nama Nabi saw dengan
dalih memuliakan beliau? Ya, sami mawon!
Itulah yang membedakan praktik
ajaran Islam yang hak dengan praktik ajaran di luar Islam. Tak boleh lagi
terjadi praktik Islam yang sempurna dicampuradukkan dengan praktik ajaran
non-Islam yang kuno, invalid, dan out of date! Jangan berdalih sekedar tradisi
turun-temurun dipraktikkan tetapi tak pelak mencemarkan kesucian ajaran Islam!
Na’uu’dzubillaahi min dzaalik!
Kalau demikian, berarti gaul itu
perintah agama. Betul! Gaul itu bagian dari silaturahim. Dulu silaturahim itu
berwujud sederhana: ketemu, tatap muka, mengobrol, berdiskusi, dll. Kalau
domisili berjauhan silaturahim diwujudkan dengan bersurat menggunakan jasa
burung merpati, morse, mercu suar, telegraf, sampai pesawat telepon. Zaman
sekarang wujud silaturahim adalah media telepon seluler, sms, mms, bbm,
internetan via jejaring sosial, dll. Semua media silaturahim dari yang kuno
sampai yang modern itu adalah produk akal budi daya manusia yang ulil albab/cerdas,
yang selalu tafakkur mewujudkan perintah Allah, manusia ulil albab yang mampu
menjawab pertanyaan Allah: Afalaa tatafakkaruun? Afalaa ta’qiluun? Afalla ta’lamuun?
Artinya apa? Muslim itu disuruh
belajar. Salah satu metode pembelajaran adalah bergaul dengan sesama manusia
yang hidup, bukan dengan orang yang sudah mati atau ahli kubur. Bahkan muslim
itu disuruh belajar jauh “overseas” sampai ke negeri Cina, Eropa, atau Amerika.
Bergaul dengan semua orang semua etnis, inklusif, dsb. sehingga muslim itu tambah
cerdas dari waktu ke waktu: tambah cerdas dan luas wawasan, tambah naik harkat
martabat, tambah mulia kedudukan, tambah kaya, makin sukses. Baca saja biografi
Soekarno, Hatta, Buya Hamka, B.J. Habibie, Khairul Tanjung “Si Anak Singkong”
dan tokoh hebat lainnya untuk menambah keyakinan betapa hanya orang yang aktif
bergaul sajalah yang mampu menuai/memanen buah kesuksesan.
Tak ada sesorang pun muslim yang
mampu meraih kesuksesan jika dia menafikan gaul, sikap menutup diri/introvert,
eksklusif, bermalas-malasan, berwirid khusuk sembari menghitung biji tasbeh,
berlama-lama di mesjid, dan membuang waktu efektif yang telah dianugerahkan
Allah. Bukankah Allah telah bersumpah untuk “warning” bagi muslim. “Wal ashri”!
Ucapan “Wal ashri” itu bukan sekedar hiasan bibir melainkan perintah agar
muslim menggunakan waktu seefektif mungkin. Katanya muslim itu teladan terbaik
adalah Nabi saw. Nah, Nabi saw adalah sosok manusia yang paling rajin menjalin silaturahim,
baik dengan kawan maupun dengan lawan. Nabi saw yang “ummii” itu tahu banget
mengelola teori “konflik” dalam praktik jitu, sehingga kekuatan internal
bertambah kokoh dan musuh besar pun bertekuk lutut, bahkan mereka yang tadinya
musuh besar itu masuk ke dalam Islam secara kaffah. Lihat saja contoh Umar bin
Khattab, Abu Sofyan bin Harb, Walid bin Mughirah, Khalid bin Walid, sampai
Ikrimah bin Abu Jahal. Belum lagi para panglima perang Persia, Byzantium,
sampai Romawi.
Bagaimana sebagian dari kita,
muslim sekarang? Yang “Aswaja” merasa diri paling benar Islam-nya pantas
sebagai pengikut Muhammad menabuh genderang perang memusuhi “Syiah”, “Ahmadiyah”,
atau “Wahabiyah” yang notabene “saudara sendiri”! Begitu pun sebaliknya.
Bagaimana mau maju, kalau sesama “saudara seiman” saja saling mencaci saling
menyerang!
Makanya bergaullah dengan sesama
makhluk hidup dengan sebaik-baiknya. Teman banyak, ilmu tambah, rezeki
bertambah, dan panjang umur pula! Subhanallah!
Haul
Haul/haulan artinya peringatan
atas wafatnya seseorang. Biasanya orang yang tercinta atau orang yang
dihormati. Haul tidak ada ditemukan dalam khasanah Quran dan sunnah Rasulullah
saw. Jelasnya, haul bukanlah praktik islami. Bahkan haul/haulan itu digolongkan
sebagai tasabbuh (meniru-niru praktik agama lain) dan menyimpang dari kemurnian
praktik ajaran Islam. praktik nggak jelas boleh mungut dari sana-sini, lalu
dimodifikasi, lalu supaya dibilang praktik islami, diimbuhi pengajian Quran,
bertahlil, doa, dan macam-macam seakan-akan itu adalah praktik ajaran Islam.
Bukan sama sekali! Kayaknya di Saudi Arabia, tempat kelahiran Islam, nggak ada
tuh muslim di sana berhaul-haulan kayak kelakuan sebagian muslim di Indonesia.
Mari kita cermati contoh berikut:
Umat Hindu dan bahkan animisme
percaya bahwa roh orang yang meninggal itu masih ada di sekitar keluarga.
Karena roh masih ada, maka disediakanlah sesajen berupa dupa/bakar kemenyan dan
kembang berupa-rupa (biasanya tujuh rupa/jenis) berikut rokok klobot kesayangan
si mati. Supaya roh si mati betah, makamnya diperindah sampai menghabiskan dana
milyaran kalau perlu. Bahkan makam si mati pun ditunggui sampai tujuh hari,
disambangi setiap tiga hari, tujuh hari, empat puluh hari, seratus hari, seribu
hari. Capek deh! Lama-lama kan kecapean. Apa lagi kalau makamnya jauh pula
letaknya. Anak menantu cucu capek. Tetangga dan handai tolan apa lagi! Lalu
cari solusi, tunggu waktu seribu hari saja. Itu baru satu saja yang mati!
Bagaimana kalau yang mati itu sepuluh orang? Kalau mengikuti cara praktik
beragama seperti itu, bisa-bisa yang hidup akan cepat mati karena memikirkan
biaya yang dikeluarkan tak henti-hentinya. Rumit, bukan?
Agama Nasrani hadir lima ratusan
tahun lebih dahulu dari agama Islam. Umat Nasrani tidak mengenal haul/haulan.
Tetapi mereka amat paham yang namanya Hari Kenaikan Isa Al Masih. Mereka
memperingati hari itu setiap tahun. Mereka yang paling tahu hari wafatnya Isa
Al Masih seperti juga mereka amat tahu hari kelahirannya (Hari Natal). Jadi
mereka memperingati hari ulang tahun wafatnya Isa Al Masih dan pada hari lain
(25 Desember) mereka memperingati hari ulang tahun kelahirannya (Isa Al Masih/
Jesus Kristus sudah tak ada. Isa Al Masih tak tahu hari dan tanggal
kelahirannya. Hal itu sama sekali tidak penting bagi seorang rasul. Yang
terpenting bagi seorang rasul adalah sampai dan keberterimaan ajaran Allah
untuk umatnya).
Lalu, bagaimana dengan ajaran
Islam? Adakah Islam, Muhammad saw sebagai rasul, mengajarkan agar menghormati
leluhur dengan cara seperti umat Hindu, Animisme, dan Nasrani? Ya, nggaklah!
Nabi saw tidak pernah mencontohkan berziarah ke makam pamannya Hamzah Bin Abdul
Mutthalib dan puluhan syuhada yang gugur di Bukit Uhud, padahal sang paman
adalah orang yang merelakan dada dan nyawanya demi Islam dan membela Muhammad
saw. Wahyu Allah yang selalu menuntunnya, Quran identik dengan akhlaknya, Nabi
tidak mencontohkan berziarah ke makam istrinya yang amat dicintainya di Mekkah,
Khadijah. Tidak juga ke makam pamannya yang amat mencintai dan melindunginya,
Abu Thalib. Kalau seorang rasul yang kita cintai, kita ikuti ajaran dan
sunnahnya, dan kita teladani hidupnya, maka takkan ada lagi orang bikin acara haulan
untuk orang yang sudah mati, dan acara maulidan untuk kelahiran Nabi saw! Itu
baru muslim yang ulil albab! Kalau
masih memaksa juga ingin tetap melakukan (tasabbuh)
lalu berpayah-payah mencari dalil pembenaran (tak bakal ketemu di dalam Quran),
atau berdalih tradisi, ya nafsi-nafsi. Toh nanti kita semua berpulang ke
hadirat Allah, wa ilaihi turja’uun.
Jangan bertanya, siapa yang memulai kegiatan yang tidak ada contoh teladan dari
Nabi saw. Anda akan dengan mudah menjawabnya.
Pa’ul
Pa’ul adalah julukan (slang) untuk
orang yang melakukan sesuatu tanpa ilmu sehingga proses tak ber-output bagus
alias tak bermutu dan tak membawa manfaat/kemaslahatan. Sering kita dengar
orang mencaci seseorang yang bekerja dan menghasilkan output buruk/tak bermutu
terucap, “Dasar Pa’ul! Kerja kagak becus!”. Kalau ada seseorang yang
meraung-raung menangis sehari semalam, niga hari, nuju hari, empat puluh hari,
setahun, atau seribu hari karena kehilangan orang yang dikasihi, sering dicela,
“Anak Pa’ul! Bukan anak saleh yang kelakuannya seperti itu!” Artinya pa’ul identik dengan kejahilan.
Ada tiga kata yang telah penulis
sampaikan pada kesempatan ini, dikaitkan dengan kata pa’ul, yaitu kaul, gaul, dan haul. Kaul, gaul, dan haul adalah
bentuk kegiatan manusia yang hidup selama hidupnya di dunia. Salah satu prinsip
mendasar dari kegiatan manusia adalah bermanfaat bagi manusia itu sendiri, bagi
keluarga, bagi masyarakat, dan juga bagi makhluk hidup lainnya. Jika kegiatan
yang dilakukan tidak membawa manfaat, tidak memiliki tuntunan agama, tidak
dengan ilmu, dan bahkan membawa mudarat, maka jalan terbaik adalah
meninggalkannya untuk selama-lamanya. Masih seabrek kegiatan lain yang lebih
bermanfaat. Bukan begitu?
Jadi, mana kegiatan yang bisa
dijuluki kegiatan pa’ul? Kaulkah,
gaulkah, atau haul?
Muhammad saw membawa Islam itu
sebagai pengoreksi ajaran terdahulu yang nyata-nyata melenceng, meluruskan
jalan umat yang telah menyimpang, agar segera kembali kepada jalan yang lurus (haniifan musliman). Yang menyimpang
diluruskan, yang belum sempurna disempurnakan (simak QS 5: 3).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar