Kamis, 29 November 2012

KEGIATAN YANG BERNILAI IBADAH DAN KEGIATAN YANG BUKAN BERNILAI IBADAH Ibadah itu bernilai dua dimensi, dunia dan akhirat. Ibadah itu tidak dikotomis. Syarat utama ibadah itu ada dua, ikhlas dan mutaba’ah. Ikhlas sering dimaknai dengan sukarela, suka hati, willingly, sepi ing pamrih, tanpa mengharapkan balasan atau balas jasa. Seringkali kata ikhlas diikuti dengan frasa lillaahi ta’ala, artinya semata-mata karena Allah. Kalau demikian adanya, apa pun yang kita lakukan, ganjaran atau tidak ada ganjaran, semuanya diserahkan kepada Allah semata. Akan tetapi, jika kita merujuk kepada firman Allah, bahwa segala perbuatan yang baik itu diganjar dengan ganjaran sepuluh kali lipat, maka yakinlah kita, bahwa ibadah yang kita lakukan bernilai dua dimensi, ganjaran kebaikan yang diperoleh di dunia, dan ganjaran kebaikan di akhirat (semuanya ada dalam catatan tanpa cacat dari sepasang malaikat yang berada di sisi kanan dan kiri kita). Keikhlasan itu amat pribadi, hanya orang ybs dan Allah sKEGIATAN YANG BERNILAI IBADAH DAN KEGIATAN YANG BUKAN BERNILAI IBADAHaja yang tahu. Keikhlasan tak bisa diwakili oleh ucapan verbal “Saya ikhlas, kok!” ataupun sikap tawaddu’ atau wujud kinerja orang ybs. Sering kita saksikan di mesjid, seseorang berinfak untuk mesjid dan tak mau namanya disebut kecuali minta disebut sebagai “dari hamba Allah”, menghindari perbuatan berinfaknya diketahui orang banyak (riya’ dan sum’ah). Ada juga seseroang berinfak dengan nama “hamba Allah”, namun ujung-ujungnya minta dibacakan nama-nama anggota keluarga yang meninggal, dan minta dikirimkan Fatihah dan doa untuk seluruh almarhum keluarganya. Perbuatan itu sama saja dengan memberi tahu orang banyak secara tidak langsung dan berujung “pamrih”. Syarat ikhlas saja tidak cukup, harus ada syarat yang kedua, yakni mutaba’ah. Mutaba’ah artinya melakukan sesuatu karena ada perintah atau larangan Allah, atau contoh keteladanan dari Nabi saw. Itu berarti bahwa semua kegiatan yang kita lakukan tidak serta-merta dapat dikatakan bernilai ibadah. Seorang nonmuslim meskipun berbuat kebajikan selama hidup, sikap sosial yang tinggi, dermawan, dst. jika senantiasa merujuk kepada pernyataan Allah dalam Quran, maka tak ada ibadah dari dia, tak bernilai sama sekali, thus takkan pernah ada ganjaran dari Allah, sampai kapan pun, di dunia dan juga di akhirat. Lihat dan simak QS 3: 185. Sekarang kita bicara umat Islam saja. Ibadah kan hanya milik muslim. Kita menyingkirkan paku atau onggokan pecahan kaca di jalanan, membersihkan got atau saluran air yang mampet, menolong orang tua menyeberang jalan, menyediakan payung bagi orang lain pada saat hujan, atau membantu memarkir mobil tamu, dll. adalah ibadah. Ada manfaat bagi siapa pun dengan kegiatan tersebut. Semua kegiatan tersebut sejalan dengan firman Allah yang menyuruh kita saling tolong-menolong dalam kebaikan. Ikhlas dan mutaba’ah ada di dalamnya. Ali dilahirkan di Manggarai, Flores, NTT. Tekad Ali, dengan niat ikhlas dia merantau ke Jakarta. Dia berjuang keras untuk bisa bertahan hidup/survive di ibukota. Dia pun berhasil dan oleh orang sekampungnya, dia dianggap anak muda yang sukses. Usia masih muda namun dia sudah kaya-raya. Sayang, pada usia masih muda, dia meninggal dalam kecelakaan lalu lintas. Atas permintaan kedua orang tuanya di kampung, jenazah Ali diterbangkan ke Manggarai. Ada yang salah dalam peristiwa ini. Apaan tuh? Kesalahan yang dilakukan oleh para muslim adalah membawa jenazah Ali untuk dikuburkan di kampung halamannya. Semata-mata hanya alasan emosional saja. Maka biaya besar pasti dihabiskan untuk kepulangan jenazah. Beban ahli waris tambah berat karena sengaja diperberat. Jangan karena alasan harta kekayaan mendiang Ali lebih dari cukup. Tetaplah perbuatan seperti itu namanya mubazir dan mudarat. Sayang seribu kali sayang, masih banyak orang Islam melakukannya. Tak ada mutaba’ah di situ. Tak ada alasan syariah/ajaran Islam di situ. Membawa jenazah ke kampung halaman tidak ada perintah Allah, dan tidak ada pula contoh teladan dari Nabi saw. Nabi saw dilahirkan dan dibesarkan di Mekkah sampai usia 53 tahun. Sahabat Abu Bakar, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib juga sama-sama asli kelahiran Mekkah, juga sahabat yang lain. Nabi saw d salah kaprah, melawan kehendak Allah Yang Maha Pemurah., dan pastinya membuat Allah murka dan tambah marah. Allah Swt. menciptakan manusia, menyediakan sumber makan dan minum dan segala macam fasilitas serta memberi kehidupan agar dimanfaatkan untuk mempertahankan kehidupan, sehingga manusia tetap hidup, maka mulialah manusia yang berani hidup Firman Allah amatlah jelas: di bumi manusia dihadirkan, bertempat tinggal, beranak-pinak, dan di bumi itu pula manusia dimatikan, di bumi itu pula manusia dikuburkan. Silakan pilih, permukaan bumi yang mana saja! Prosesinya disederhanakan, dipercepat, dan dipermudah. Jangan dikremasi, diolesi formalin, atau ditahan berhari-hari karena Tak ada gunanya sama sekali. Mudah sekali, bukan? Ya, orang Islam itu hidup begitu mudah. Adalah keliru melangkah kalau muslim begitu bersemangat dan sedia berkorban biaya besar yang ‘wah” menegakkan alasan emosi dan tradisi nenek moyang purbakala negeri antah-berantah, bak kita menegakkan benang basah, tetapi di lain pihak merubuhkan alasan ranah syariah.



KEGIATAN YANG BERNILAI IBADAH DAN KEGIATAN YANG BUKAN BERNILAI IBADAH
Ibadah itu bernilai dua dimensi, dunia dan akhirat. Ibadah itu tidak dikotomis.
Syarat utama ibadah itu ada dua, ikhlas dan mutaba’ah. Ikhlas sering dimaknai dengan sukarela, suka hati, willingly, sepi ing pamrih, tanpa mengharapkan balasan atau balas jasa. Seringkali kata ikhlas diikuti dengan frasa lillaahi ta’ala, artinya semata-mata karena Allah. Kalau demikian adanya, apa pun yang kita lakukan, ganjaran atau tidak ada ganjaran, semuanya diserahkan kepada Allah semata. Akan tetapi, jika kita merujuk kepada firman Allah, bahwa segala perbuatan yang baik itu diganjar dengan ganjaran sepuluh kali lipat, maka yakinlah kita, bahwa ibadah yang kita lakukan bernilai dua dimensi, ganjaran kebaikan yang diperoleh di dunia, dan ganjaran kebaikan di akhirat (semuanya ada dalam catatan tanpa cacat dari sepasang malaikat yang berada di sisi kanan dan kiri kita).
Keikhlasan itu amat pribadi, hanya orang ybs dan Allah saja yang tahu. Keikhlasan tak bisa diwakili oleh ucapan verbal “Saya ikhlas, kok!” ataupun sikap tawaddu’ atau wujud kinerja orang ybs. Sering kita saksikan di mesjid, seseorang berinfak untuk mesjid dan tak mau namanya disebut kecuali minta disebut sebagai “dari hamba Allah”, menghindari perbuatan berinfaknya diketahui orang banyak (riya’ dan sum’ah). Ada juga seseroang berinfak  dengan nama “hamba Allah”, namun ujung-ujungnya minta dibacakan nama-nama anggota keluarga yang meninggal, dan minta dikirimkan Fatihah dan doa untuk seluruh almarhum keluarganya. Perbuatan itu sama saja dengan memberi tahu orang banyak secara tidak langsung dan berujung “pamrih”.
Syarat ikhlas saja tidak cukup, harus ada syarat yang kedua, yakni mutaba’ah. Mutaba’ah artinya melakukan sesuatu karena ada perintah atau larangan Allah, atau contoh keteladanan dari Nabi saw. Itu berarti bahwa semua kegiatan yang kita lakukan tidak serta-merta dapat dikatakan bernilai ibadah. Seorang nonmuslim meskipun berbuat kebajikan selama hidup, sikap sosial yang tinggi, dermawan, dst. jika senantiasa merujuk kepada pernyataan Allah dalam Quran, maka tak ada ibadah dari dia, tak bernilai sama sekali,  thus takkan pernah ada ganjaran dari Allah, sampai kapan pun, di dunia dan juga di akhirat. Lihat dan simak QS 3: 185.
Sekarang kita bicara umat Islam saja. Ibadah kan hanya milik muslim. Kita menyingkirkan paku atau onggokan pecahan kaca di jalanan, membersihkan got atau saluran air yang mampet, menolong orang tua menyeberang jalan, menyediakan payung bagi orang lain pada saat hujan, atau membantu memarkir mobil tamu, dll. adalah ibadah. Ada manfaat bagi siapa pun dengan kegiatan tersebut. Semua kegiatan tersebut sejalan dengan firman Allah yang menyuruh kita saling tolong-menolong dalam kebaikan. Ikhlas dan mutaba’ah ada di dalamnya.
Ali dilahirkan di Manggarai, Flores, NTT. Tekad Ali, dengan niat ikhlas dia merantau ke Jakarta. Dia berjuang keras untuk bisa bertahan hidup/survive di ibukota. Dia pun berhasil dan oleh orang sekampungnya, dia dianggap anak muda yang sukses. Usia masih muda namun dia sudah kaya-raya. Sayang, pada usia masih muda, dia meninggal dalam kecelakaan lalu lintas. Atas permintaan kedua orang tuanya di kampung, jenazah Ali diterbangkan ke Manggarai. Ada yang salah dalam peristiwa ini. Apaan tuh? Kesalahan yang dilakukan oleh para muslim adalah membawa jenazah Ali untuk dikuburkan di kampung halamannya. Semata-mata hanya alasan emosional saja. Maka biaya besar pasti dihabiskan untuk kepulangan jenazah. Beban ahli waris tambah berat karena sengaja diperberat. Jangan karena alasan harta kekayaan mendiang Ali lebih dari cukup. Tetaplah perbuatan seperti itu namanya mubazir dan mudarat. Sayang seribu kali sayang, masih banyak orang Islam melakukannya.
Tak ada mutaba’ah di situ. Tak ada alasan syariah/ajaran Islam di situ. Membawa jenazah ke kampung halaman tidak ada perintah Allah, dan tidak ada pula contoh teladan dari Nabi saw. Nabi saw dilahirkan dan dibesarkan di Mekkah sampai usia 53 tahun.  Sahabat Abu Bakar, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib juga sama-sama asli kelahiran Mekkah, juga sahabat yang lain. Nabi saw dan para sahabat kemudian hijrah ke Madinah. Setelah Nabi saw wafat, para sahabatnya wafat, tak ada tuh mobil jenazah yang mengaung-ngaung membawa jenazah dari Madinah mudik ke Mekkah. Itulah contoh yang benar (supaya dicontoh oleh muslim) tentang tata cara Islam mengarungi hidup dan tata cara memperlakukan orang yang wafat.
Muslim di Indonesia, sebagiannya (penganut mazhab tertentu yang terkontaminasi oleh praktik animisme-Hinduisme-kejawen dan masih tersisa sampai sekarang), maunya  jenazah si mati dibawa ke kampung halaman tempat dia dulunya dilahirkan dan dibesarkan (tak ada ajaran syariah Islam sama sekali yang seperti itu). Contoh konkret adalah Bung Karno, Pak Harto, dan Gus Dur. Muslim yang hidupnya pas-pasan pun masih ada saja yang memaksakan diri melakukan hal seperti itu meski harus berutang kanan kiri. Hidup sudah susah, tambah dibikin susah. Tak jarang ada ahli keluarga bunuh diri sebagai tanda setia “sehidup semati” atau karena tak kuasa menanggung beban hidup yang semakin berat. Inilah contoh praktik hidup sebagai muslim pecundang pengecut yang salah kaprah, melawan kehendak Allah Yang Maha Pemurah., dan pastinya membuat Allah murka dan tambah marah.
Allah Swt. menciptakan manusia, menyediakan sumber makan dan minum dan segala macam fasilitas serta memberi kehidupan agar dimanfaatkan untuk mempertahankan kehidupan, sehingga manusia tetap hidup, maka mulialah manusia yang berani hidup
Firman Allah amatlah jelas: di bumi manusia dihadirkan, bertempat tinggal, beranak-pinak, dan di bumi itu pula manusia dimatikan, di bumi itu pula manusia dikuburkan. Silakan pilih, permukaan bumi yang mana saja! Prosesinya disederhanakan, dipercepat, dan dipermudah. Jangan dikremasi, diolesi formalin, atau ditahan berhari-hari karena Tak ada gunanya sama sekali. Mudah sekali, bukan? Ya, orang Islam itu hidup begitu mudah.
Adalah keliru melangkah kalau muslim begitu bersemangat dan sedia berkorban biaya besar yang ‘wah” menegakkan alasan emosi dan tradisi nenek moyang purbakala negeri antah-berantah, bak kita menegakkan benang basah, tetapi di lain pihak merubuhkan alasan ranah syariah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar