Selasa, 27 November 2012

KOREKSI ISLAM TERHADAP DOKTRIN AGAMA NONISLAM



ISLAM ITU MONOTHEIS, BUKAN ANTITHEIS, DAN BUKAN PULA POLITHEIS

Koreksi pertama, Allah, Tuhan Yang Maha Esa.
Rujukan: QS 112: 1. “Katakanlah, Hai Muhammad, (bahwa) Allah itu Esa!”
                   QS 112: 3. “Allah tidak beranak dan tidak diperanakkan.”
                   QS 112: 4. “Tidak ada sesuatu pun yang menyerupai Dia.”
                   QS 72: 3. “Allah tidak beristri dan tidak memiliki anak.”
Islam adalah agama samawi (agama berdasarkan wahyu) yang terakhir dihadirkan untuk manusia, dan Muhammad saw adalah rasul terakhir yang diutus Allah menyampaikan Islam untuk umat manusia. Premis utama yang harus dijadikan pedoman berpikir ilmiah adalah statemen Allah langsung dan mutlak kebenarannya pada peristiwa Haji Wada’ (simak QS 5: 3), bahwa Islam diwahyukan Allah untuk menyempurnakan syariat agama wahyu sebelumnya, yakni syariat para rasul sebelum Muhammad saw, seperti millat Nabi Ibrahim, agama Yahudi bani Israil, dan agama Nasrani dari Isa Al Masih (Jesus Kristus). Kata menyempurnakan (akmal) itu mencakup kata merevisi dan mengoreksi doktrin yang salah, atau syariat yang tidak lengkap dari umat terdahulu, sekaligus mengajak umat manusia untuk kembali kepada satu doktrin yang paling benar diundangkan sejak Nabi Adam, yakni doktrin tauhid, Allahu Ahad.
Beberapa doktrin yang salah yang itu dapat disimak sebagai berikut ini.
Doktrin Hindu bahwa Tuhan adalah Trimurti (tiga dalam satu); Dewa Brahma, Dewa Wisnu, dan Dewa Syiwa).  Doktrin agama Yahudi bani Israil, bahwa Uzair putra Allah. Doktrin Trinitas (Allah Bapa, Jesus, dan Ruhul Kudus) agama Nasrani, dan meyakini bahwa Jesus Kristus (Isa Al Masih) anak Allah. Doktrin Trinitas ini dapat dikatakan sebagai copy-an doktrin Trimurtinya Hindu. Doktrin Jesus anak Allah adalah copy-an doktrin Yahudi, yakni Uzair putra Allah.
Untuk memperkuat premis doktrin tauhid bahwa Allah itu Esa, kita harus merujuk kepada Quran sebagai pedoman lebih dahulu, jangan dulu ambil pedoman lain/panduan lain, supaya konsisten dan selalu connected alias nyambung. Menjadikan Quran sebagai rujukan itu, adalah tugas mulia seorang muslim. Bahasa kerennya, membumikan Quran!
(Selama ini Quran cuma sebagai penghias kata milik bibir kerjaan lidah tak bertulang berlantun indah mendayu-dayu milik para qori/qoriah dan cuma dinikmati telinga. Bahkan hanya untuk sekedar mengedepankan keindahan lantunan tok, eh mengadakan lomba yang bernama MTQ yang manfaatnya nggak jelas! Itu pun tak semua orang doyan mendengarkan. Kitab Quran cuma menjadi penghuni lemari kaca atau bufet di rumah orang Islam atau onggokan di rak-rak di mesjid atau musala. Ayat-ayat Quran cuma milik para kiai atau ustaz atau habib berfasih-fasih bertaushiyah sementara para jemaah sering cuma melongo menjadi pendengar setia tanpa memahami, ora mudheng, mboten ngertos, boro-boro mengamalkan! Yang paling parah ayat-ayat Quran dibaca di depan mayat terbaring atau di depan makam. Astagfirullah! Inilah perbuatan yang melecehkan ayat-ayat Quran. Na’uudzubillaahi min dzaalik! Betul-betul Pa’ul!)
Ayat-ayat Quran itu (sebagian orang sering menyebutnya kitab kering) diwujudkan oleh Allah dengan pencipataan langit dan bumi serta jagat raya, berikut seluruh kejadian (sebagian orang menyebutnya kitab basah; Allah menyebutnya dengan aayaatinaa: tanda-tanda kebesaran Allah) untuk keperluan manusia sebagai khalifah fil ‘ardh.  Agar manusia hidup manusia mudah untuk survive, dikaruniakan akal, hati, indra, dan organ tubuh yang memiliki fungsi yang berbeda-beda, serta semuanya sama pentingnya.
Untuk keperluan membahas, mengkaji, memikirkan, dan mengulas secara ilmiah, fungsi akal amat dominan. Makin sering manusia menggunakan akal, makin dipuji oleh Allah. Manusia yang kurang menggunakan akalnya, kurang nalar, tidak logis/ilmiah, Allah menyindir dengan pertanyaan, Afalaa ta’qiluun? Bahasa Betawinya, culun. Nah lu?
Salah satu cara berpikir ilmiah yang dianjurkan adalah menggunakan analogi atau beranalog. Bahasa lain dari analogi adalah Qiyas. Bahasa hukum kira-kira setara dengan jurisprudensi. Beranalag atau berqiyas itu adalah mengambil contoh/ibarat/sampel dari peristiwa atau fakta yang sudah ada dan pernah terjadi agar memperoleh keputusan baru yang membawa dampak manfaat.
Akan tetapi ada satu hal yang penting, tidak bisa semua bisa dianalogikan. Analogi yang benar mungkin hasilnya benar, mungkin juga salah. Analogi yang salah sudah pasti hasilnya akan salah, bahkan bisa-bisa hasilnya menyesatkan.
Contoh beranalog yang benar
Allah Yang Mahakuasa memperjalankan Muhammad dari Masjidil Haram, Mekkah,  ke Masjidil Aqsha, Jerusalem, yang berjarak ribuan kilometer hanya dalam waktu 3-4 jam saja, padahal moda transportasi waktu itu hanyalah kuda atau onta. Secara normal jarak sejauh itu baru dapat dicapai setelah mengalami perjalanan selama kurang lebih satu bulan. “Impossible!” Umpat Abu Jahal cs. Akal manusia waktu itu (612 M) belum sampai kepada teknologi pesawat.
Abu Jahal cs minta bukti bahwa Muhammad benar-benar mengunjungi Masjidil Aqsha, Jerusalem. Salah seorang dari mereka, dia pernah beberapa kali ke Masjidil Aqsha, menguji Muhammad dengan pertanyaan yang tujuannya ingin menjebak, “Berapa banyaknya pintu masuk Masjidil Aqsha?” tanyanya.
Muhammad tercenung sejenak karena dia tak menyangka akan mendapatkan pertanyaan memojokkan seperti itu. Muhammad berdoa. Malaikat telah berada di sisinya dan secepat kilat menghadirkan tayangan Masjidil Aqsha secara rinci pada sebuah layar. Muhammad dengan cepat menghitung pintu dan bahkan jendela dengan rinci, kemudian menjawab pertanyaan dengan tepat.
Yang jelas dua kejadian penting dalam peristiwa Isra’ Mi’raj di atas benar-benar terjadi dan bukan cerita fiktif seperti dalam cerita wayang tokoh Gatotkaca yang bisa terbang, atau Kresna yang punya pusaka sakti Kaca Lopian.
Teknologi pesawat canggih hasil karya manusia sudah dapat menjawab rahasia peristiwa isra’ mi’raj. Jarak Mekkah – Jerusalem bisa ditempuh dalam 3 – 4 jam pula, bahkan bisa lebih cepat lagi dari itu.
Teknologi informasi dan komunikasi canggih zaman sekarang dapat menayangkan benda atau peristiwa yang berada di tempat lain hanya dalam hitungan menit, bahkan hitungan detik. 
Analog
Mobil angkot yang sedang berlari membawa atau mencari penumpang di jalan cuma ada satu orang sopir dan satu kemudi. Kalau sopir angkot punya dua sopir dan dua kemudi, bisa saja sopir yang satu menginjak pedal gas dan yang satu lagi menginjak pedal rem. Begitu pun dengan pesawat terbang, kapal laut, atau kereta api. Kemudi setiap moda transportasi cuma satu.
Presiden RI cuma SBY saja sekarang ini. Presiden RI zaman orde lama cuma Soekarno, zaman Orde Baru hanya Pak Harto. Negara pasti ricuh dan bahaya kalau presidennya dua orang atau lebih. Gubernur DKI Jakarta cuma Jokowi. Bupati Tangerang Selatan cuma Airin Rahmi Diani seorang.
Kepala sekolah di sekolah hanya satu. Kepala SDN Gunung 05 itu cuma Hasneli.
Jagat raya  yang amat luas dan rumit ini diciptakan oleh satu zat Yang Mahakuasa, Allah Yang Maha Esa. Bumi beredar pada orbitnya, juga planet lain, juga seluruh satelit, beredar dengan amat teratur pada orbitnya masing-masing (falaqin yasbahuun), diatur oleh Allah Yang Maha Esa, sendiri, tanpa ada asisten yang membantu, karena Allah itu Mahakuasa.
Kalau doktrin Trimurtinya umat Hindu, Brahma adalah dewa pencipta. Wisnu adalah dewa pemelihara, dan Syiwa adalah dewa perusak. Gampangnya, Brahma cuma mencipta tetapi tidak bisa memelihara, tak kuasa merusak. Wisnu cuma bisa memelihara, tak kuasa mencipta, tak kuasa merusak. Syiwa tak bisa mencipta, boro-boro memelihara. Kalau Brahma ngambek, generasi sapi dihentikan generasinya. Ayam distop alias mandul tak bertelur lagi. Alamat manusia nggak bisa makan beefsteak atau ayam goreng Mas Mono. Kalau Wisnu lagi ngambek, mata air dimatikan, tumbuhan dibiarkan kering-kerontang, bumi merana. Kalau Syiwa ngambek, belum waktunya jagat semesta dirusak, dirusak saja. Wong dewa lagi ngambek!

Kalau Tuhan memiliki anak, artinya tuhan punya istri, pasti punya mertua, pasti punya ipar, pasti punya cucu, cicit, piyut, canggah, ceger, gantung siwur, dst. Nanti akan ada oknum yang mengaku anak tuhan keturunan ke-50. Sekarang ada oknum baru berani ngomong mengaku keturunan Nabi saw. BUkan tidak mungkin, ada oknum yang lebih berani lagi, mengaku cucu keturunan tuhan. Nanti tuhan mati, anak cucu ribut bagi-bagi warisan. Yang berwatak serakah mau menguasai seluruh warisan. Yang nggak berhak mendapat, cari dan tempuh upaya agar kebagian, kalau perlu cari pengacara berkelas Rolls Royce di atas OC Kaligis. Kwkwkkwk, prek! Capek deh! Oknum-oknum seperti inilah yang melumuri kemurnian doktrin tauhid yang ada dalam Islam.
Jadi, memang doktrin tauhidlah yang paling benar, katakan saja, jangan ragu, Islam. Maka untuk menjaga kemurnian Islam agar tidak terkontaminasi syariat dan praktik agama hasil akal dan budi manusia, selalulah berpedoman kepada Quran. Merujuklah kepada Quran!

diunggah ke http://www.facebook.com/abdulmaliktksd, Sabtu, 20 Oktober 2012

ALLAH SWT MERESTUI, MALAIKAT MENDOAKAN, DAN MUSLIM PUN BERSALAWAT KEPADA NABI SAW.
MUHAMMAD SAW TETAPLAH SEORANG MANUSIA BIASA. TAK LAYAK MUHAMMAD SAW DIKULTUSKAN.
Rujukan: QS 33: 56.
“Innallaaha wa malaaikatahu yushalluuna ‘alan nabiyy. Ya ayyuhal ladziina aamanuu, shalluu ‘alaihi wa sallimuu tasliimaa.”

Sebagian muslim salah kaprah mengamalkan maksud ayat ini. Alasan yang dikemukaan adalah, bahwa Allah Swt. saja bersalawat untuk Nabi saw, Malaikat pun bersalawat kepada Nabi saw, dan orang-orang yang beriman diperintahkan bersalawat pula. Penerjemahannya oleh mereka, bahwa ayat ini bermakna perintah, artinya adalah kewajiban seperti halnya salat, puasa Ramadan, zakat, dan berhaji ke Mekkah. Selanjutnya mereka mengemukakan argumentasi yang kurang lebih begini, betapa tingginya derajat Nabi saw itu. Allah Swt. saja bersalawat, Malaikat pun bersalawat, apatah lagi umatnya, umat Islam! Moga-moga saja tak terpikirkan dalam benak, Muhammad saw disejajarkan dengan Allah Swt. Moga-moga saja tak dipraktikkan, menyembah Al Khaliq, eh menyembah juga Muhammad saw/mengultuskan.
Para pembaca yang budiman,
Bersalawatnya Allah untuk Nabi saw tidak sama dengan malaikat dan kita bersalawat. Malaikat dan kita bersalawat artinya kita meminta kepada Allah agar merestui, memelihara, dan melindungi Nabi saw. Bahkan bukan saja meminta untuk keselamatan dan kesejahteraan Nabi saw saja, melainkan juga untuk keluarganya, bahkan istrinya (wa ‘alaa aalihii wa ashhaabihii). Soal dikabulkan atau tidak dikabulkan doa dan permintaan malaikat dan kita oleh Allah adalah soal lain. Allah yang punya otoritas dan wewenang dengan ke-Mahakuasaan dan ke-Maha Pemurah yang dimiliki-Nya.
Allah Swt. tidak perlu meminta-minta, kalau menerjemahkan bersalawat dengan meminta, meminta kepada siapa? Allah Mahakuasa segala-galanya. Frasa “Sesungguhnya Allah bersalawat kepada Nabi saw” itu artinya merestui, meridoi, memuji, dan tak ada yang salah kalau Allah Swt. memuji Nabi saw, misalnya dengan kalimat-Nya dalam Quran, “Wa innaka la’alaa khuluqin ‘adziim” yang artinya, “Demi, sesungguhnya engkau (Muhammad) berakhlak terpuji (termulia).” (Lihat QS 68: 4).
Analog
Presiden Barrack H. Obama menginstruksikan Menlu Hillary Clinton ke Indonesia untuk menemui Presiden SBY dan Menlu RI Marty Natalegawa. Menlu Hillary Clinton pun menaati instruksi Obama. Hillary meminta doa restu dan Obama merestui. Hillarry menjalankan instruksi Obama, Obama memantau. Hillary melapor, Obama pun memuji.
Perhatikan penggunaan bahasa instruksi hanya untuk Obama (atasan; superior) dan bahasa menaati, menjalankan instruksi, dan melapornya Hillary (bawahan; inferior). Bahasa, sikap, dan tingkah laku kedua subyek ketika berkomunikasi berbeda. Kenapa? Karena posisi keduanya adalah subordinat, tidak sederajat! Obama menginstruksikan sesuatu, Hillary melaporkan sesuatu, tidak boleh terbalik!
 Kata Obama, “Mrs. Hillary, you are The best foreign Minister of USA!”
Hillary membalas, “Thank You, Mr. President!”
Rakyat Amerika memuji Obama dan Hillary.
Para pembaca, begitulah analog yang dapat menjelaskan pengertian frasa Allah Swt., Al Khaliq, bersalawat kepada Nabi saw, makhluk dan juga hamba-Nya. Kita memuja-memuji hanya kepada Allah Swt. Kita hanya diperbolehkan mengikuti sunnahnya Nabi saw, dan tidak boleh mengultuskannya, menyanjung-nyanjungnya dengan cara apa pun juga. Tidak bisa dan tak boleh sama sekali kita, umat Islam, memperlakukan Muhammad saw sejajar dengan Allah Swt.
 Maka, silakan bersalawat, sebagai tanda cinta seorang muslim kepada nabinya. Bersalawat kapan saja, di mana saja. Caranya bersalawan adalah yang santun, sirr, di dalam hati agar lebih khusuk, tak usah membilang dan mengingat hitungan sekian-sekian, tak usahlah bersuara keras. Kalau perlu hanya kita seorang yang tahu bahwa kita bersalawat. Allah Maha Tahu dan Maha Mendengar.
Jadi amat lebay mengajak orang banyak membuang-buang waktu efektif hanya sekedar bersalawat. “Jakarta bersalawat”, “Bogor Bersalawat”, atau “Bumi Priangan Bersalawat”, dsb. adalah ajakan orang yang kurang kerjaan, ustaz kurang kerjaan, kiai dan habib kurang kerjaan. Anggapan mereka, orang lain lalai bersalawat, atau kalaulah bersawalat, haruslah di-organized, diumumkan, dan ditampilkan melalui bersalawat bersama-sama. Intinya, ajakan sejenis itu yang tak jelas manfaatnya.
Memang banyak jemaah yang hadir, tetapi pastilah sebagian besar jemaah yang hadir awam saja. Tak pelak adanya pemandangan para jemaah yang menempatkan para kiai, asatiz, atau habaib yang ada seperti rakyat zaman kerajaan feodal bertemu dengan para bangsawan, pangeran mahkota, atau para wali yang kelewat/lebay dimuliakan/diagungkan. Atau pemandangan pengultusan yang sejenis dapat kita saksikan ketika perayaan Garebek 1 Syuro di keraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Lihatlah, betapa awamnya rakyat di sana, dengan sukarela merebut macam-macam bahan makanan mentah dan yang sudah masak, karena langsung dibagikan oleh sultan, dan berharap keberkahan. Dalam peristiwa itu, sultan dianggap sebagai pembawa keberkahan hidup.
Tentu masih banyak fakta obyektif semacam itu yang terjadi dan dapat diungkapkan, namun tak cukup halaman buku ini untuk dituliskan semuanya.
Kelakuan-kelakuan sebagian saudara-saudara muslim sebagaimana di atas telah menempatkan segelintir orang seperti sultan, kyai, ustadz, wali, habib, orang suci/keramat, dsb. seakan-akan mereka lebih tinggi derajatnya sebagai bentuk pengultusan dan penuhanan terhadap manusia sebagaimana telah dilakukan pula oleh orang-orang jahiliah pada zaman dulu. Allah berfirman dalam QS Ali Imran (3): 80.
Artinya: “Dan tidak pantas Dia menyuruh kalian menjadikan malaikat-malaikat dan para nabi sebagai Tuhan-tuhan. Apakah  pantas Dia menyuruh kalian berbuat kekufuran setelah menjadi muslim?”
Tindakan-tindakan saudara kita sesama muslim sebagaimana yang dituliskan di atas adalah wujud kejahilan yang nyata terpampang di depan mata kita. Kejahilan-kejahilan yang dimaksud adalah perbuatan kufur yang hanya dilakukan oleh orang-orang musyrik, baik kaum musyrikin zaman baheula maupun kaum musyrikin zaman kontemporer, namanya perbuatan jahiliah.
, atau kufur nikmat, atau dalam kalimat lain muslim yang tidak pandai bersyukur! (Lihat, simak, dan pahami QS Ibrahim (14): 7).
Artinya: Dan tatkala Tuhanmu mengumumkan, “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, maka akan kutambah nikmat-Ku. Jika kamu kufur nikmat, maka sesungguhnya azab-Ku amat pedih.”
Perbuatan sejenis yang masuk kategori perbuatan kufur misalnya bunuh diri dengan cara apa pun (lagi ngetren acara bunuh diri dengan cara terjun bebas dari gedung atau apartemen bertingkat; tidak sedikit pelaku bunuh diri adalah muslim/muslimah), mogok makan dengan menjahit mulut (sering para pelaku adalah orang-orang yang mencari suaka politik ke lain negara karena tidak aman dan nyaman lagi tinggal di negara dan tanah air sendiri, atau demonstran yang ter-dzolim-i hak-haknya), bakar diri (kasus oknum demonstran atau dampak dari himpitan kesulitan ekonomi dalam keluarga), bertelanjang tanpa sehelai benang pun yang melekat di badan dengan sengaja di depan orang lain (kasus karena lahan garapan atau tempat tinggalnya dirampas dan dieksekusi atas perintah pengadilan), dll.
Mereka telah melakukan perbuatan keliru jika mereka adalah muslim. Mereka telah mengafiri nikmat Allah dengan karunia kehidupan dan semua fasilitas untuk mempertahankan diri agar tetap survive (hasanah) tetapi justru mereka telah melakukan kebalikannya, berbuat buruk (syayyi’ah). Mereka tidak berani hidup, tetapi berani mati. Tetapi sebenarnya mereka salah karena berani pada Allah! Mereka telah kalah!
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar