ISLAM ITU
MONOTHEIS, BUKAN ANTITHEIS, DAN BUKAN PULA POLITHEIS
Koreksi
pertama, Allah, Tuhan Yang Maha Esa.
Rujukan: QS 112: 1. “Katakanlah, Hai Muhammad, (bahwa) Allah itu Esa!”
QS 112: 3. “Allah tidak beranak dan tidak
diperanakkan.”
QS 112: 4. “Tidak ada sesuatu pun yang
menyerupai Dia.”
QS 72: 3. “Allah tidak beristri dan tidak
memiliki anak.”
Islam adalah agama samawi (agama berdasarkan wahyu) yang terakhir
dihadirkan untuk manusia, dan Muhammad saw adalah rasul terakhir yang diutus
Allah menyampaikan Islam untuk umat manusia. Premis utama yang harus dijadikan
pedoman berpikir ilmiah adalah statemen Allah langsung dan mutlak kebenarannya
pada peristiwa Haji Wada’ (simak QS 5: 3), bahwa Islam diwahyukan Allah untuk
menyempurnakan syariat agama wahyu sebelumnya, yakni syariat para rasul sebelum
Muhammad saw, seperti millat Nabi Ibrahim, agama Yahudi bani Israil, dan agama
Nasrani dari Isa Al Masih (Jesus Kristus). Kata menyempurnakan (akmal) itu mencakup kata merevisi dan
mengoreksi doktrin yang salah, atau syariat yang tidak lengkap dari umat
terdahulu, sekaligus mengajak umat manusia untuk kembali kepada satu doktrin
yang paling benar diundangkan sejak Nabi Adam, yakni doktrin tauhid, Allahu
Ahad.
Beberapa doktrin yang salah yang itu dapat disimak sebagai berikut ini.
Doktrin Hindu bahwa Tuhan adalah Trimurti (tiga dalam satu); Dewa
Brahma, Dewa Wisnu, dan Dewa Syiwa). Doktrin
agama Yahudi bani Israil, bahwa Uzair putra Allah. Doktrin Trinitas (Allah
Bapa, Jesus, dan Ruhul Kudus) agama Nasrani, dan meyakini bahwa Jesus Kristus
(Isa Al Masih) anak Allah. Doktrin Trinitas ini dapat dikatakan sebagai copy-an doktrin Trimurtinya Hindu.
Doktrin Jesus anak Allah adalah copy-an
doktrin Yahudi, yakni Uzair putra Allah.
Untuk memperkuat premis doktrin tauhid bahwa Allah itu Esa, kita harus
merujuk kepada Quran sebagai pedoman lebih dahulu, jangan dulu ambil pedoman
lain/panduan lain, supaya konsisten dan selalu connected alias nyambung. Menjadikan Quran sebagai rujukan itu,
adalah tugas mulia seorang muslim. Bahasa kerennya, membumikan Quran!
(Selama ini Quran cuma sebagai penghias kata milik bibir kerjaan lidah
tak bertulang berlantun indah mendayu-dayu milik para qori/qoriah dan cuma dinikmati
telinga. Bahkan hanya untuk sekedar mengedepankan keindahan lantunan tok, eh
mengadakan lomba yang bernama MTQ yang manfaatnya nggak jelas! Itu pun tak
semua orang doyan mendengarkan. Kitab Quran cuma menjadi penghuni lemari kaca
atau bufet di rumah orang Islam atau onggokan di rak-rak di mesjid atau musala.
Ayat-ayat Quran cuma milik para kiai atau ustaz atau habib berfasih-fasih
bertaushiyah sementara para jemaah sering cuma melongo menjadi pendengar setia
tanpa memahami, ora mudheng, mboten ngertos, boro-boro mengamalkan! Yang paling
parah ayat-ayat Quran dibaca di depan mayat terbaring atau di depan makam.
Astagfirullah! Inilah perbuatan yang melecehkan ayat-ayat Quran. Na’uudzubillaahi min dzaalik!
Betul-betul Pa’ul!)
Ayat-ayat Quran itu (sebagian orang sering menyebutnya kitab kering)
diwujudkan oleh Allah dengan pencipataan langit dan bumi serta jagat raya,
berikut seluruh kejadian (sebagian orang menyebutnya kitab basah; Allah
menyebutnya dengan aayaatinaa:
tanda-tanda kebesaran Allah) untuk keperluan manusia sebagai khalifah fil ‘ardh. Agar manusia hidup manusia mudah untuk
survive, dikaruniakan akal, hati, indra, dan organ tubuh yang memiliki fungsi
yang berbeda-beda, serta semuanya sama pentingnya.
Untuk keperluan membahas, mengkaji, memikirkan, dan mengulas secara
ilmiah, fungsi akal amat dominan. Makin sering manusia menggunakan akal, makin
dipuji oleh Allah. Manusia yang kurang menggunakan akalnya, kurang nalar, tidak
logis/ilmiah, Allah menyindir dengan pertanyaan, Afalaa ta’qiluun? Bahasa Betawinya, culun. Nah lu?
Salah satu cara berpikir ilmiah yang dianjurkan adalah menggunakan
analogi atau beranalog. Bahasa lain dari analogi adalah Qiyas. Bahasa hukum
kira-kira setara dengan jurisprudensi. Beranalag atau berqiyas itu adalah
mengambil contoh/ibarat/sampel dari peristiwa atau fakta yang sudah ada dan
pernah terjadi agar memperoleh keputusan baru yang membawa dampak manfaat.
Akan tetapi ada satu hal yang penting, tidak bisa semua bisa dianalogikan.
Analogi yang benar mungkin hasilnya benar, mungkin juga salah. Analogi yang
salah sudah pasti hasilnya akan salah, bahkan bisa-bisa hasilnya menyesatkan.
Contoh beranalog yang benar
Allah Yang Mahakuasa memperjalankan Muhammad dari Masjidil Haram,
Mekkah, ke Masjidil Aqsha, Jerusalem,
yang berjarak ribuan kilometer hanya dalam waktu 3-4 jam saja, padahal moda
transportasi waktu itu hanyalah kuda atau onta. Secara normal jarak sejauh itu
baru dapat dicapai setelah mengalami perjalanan selama kurang lebih satu bulan.
“Impossible!” Umpat Abu Jahal cs. Akal manusia waktu itu (612 M) belum sampai kepada
teknologi pesawat.
Abu Jahal cs minta bukti bahwa Muhammad benar-benar mengunjungi
Masjidil Aqsha, Jerusalem. Salah seorang dari mereka, dia pernah beberapa kali
ke Masjidil Aqsha, menguji Muhammad dengan pertanyaan yang tujuannya ingin
menjebak, “Berapa banyaknya pintu masuk Masjidil Aqsha?” tanyanya.
Muhammad tercenung sejenak karena dia tak menyangka akan mendapatkan
pertanyaan memojokkan seperti itu. Muhammad berdoa. Malaikat telah berada di
sisinya dan secepat kilat menghadirkan tayangan Masjidil Aqsha secara rinci
pada sebuah layar. Muhammad dengan cepat menghitung pintu dan bahkan jendela
dengan rinci, kemudian menjawab pertanyaan dengan tepat.
Yang jelas dua kejadian penting dalam peristiwa Isra’ Mi’raj di atas
benar-benar terjadi dan bukan cerita fiktif seperti dalam cerita wayang tokoh
Gatotkaca yang bisa terbang, atau Kresna yang punya pusaka sakti Kaca Lopian.
Teknologi pesawat canggih hasil karya manusia sudah dapat menjawab
rahasia peristiwa isra’ mi’raj. Jarak Mekkah – Jerusalem bisa ditempuh dalam 3
– 4 jam pula, bahkan bisa lebih cepat lagi dari itu.
Teknologi informasi dan komunikasi canggih zaman sekarang dapat
menayangkan benda atau peristiwa yang berada di tempat lain hanya dalam
hitungan menit, bahkan hitungan detik.
Analog
Mobil angkot yang sedang berlari membawa atau mencari penumpang di
jalan cuma ada satu orang sopir dan satu kemudi. Kalau sopir angkot punya dua
sopir dan dua kemudi, bisa saja sopir yang satu menginjak pedal gas dan yang
satu lagi menginjak pedal rem. Begitu pun dengan pesawat terbang, kapal laut,
atau kereta api. Kemudi setiap moda transportasi cuma satu.
Presiden RI cuma SBY saja sekarang ini. Presiden RI zaman orde lama
cuma Soekarno, zaman Orde Baru hanya Pak Harto. Negara pasti ricuh dan bahaya
kalau presidennya dua orang atau lebih. Gubernur DKI Jakarta cuma Jokowi.
Bupati Tangerang Selatan cuma Airin Rahmi Diani seorang.
Kepala sekolah di sekolah hanya satu. Kepala SDN Gunung 05 itu cuma
Hasneli.
Jagat raya yang amat luas dan
rumit ini diciptakan oleh satu zat Yang Mahakuasa, Allah Yang Maha Esa. Bumi
beredar pada orbitnya, juga planet lain, juga seluruh satelit, beredar dengan
amat teratur pada orbitnya masing-masing (falaqin yasbahuun), diatur oleh Allah
Yang Maha Esa, sendiri, tanpa ada asisten yang membantu, karena Allah itu
Mahakuasa.
Kalau doktrin Trimurtinya umat Hindu, Brahma adalah dewa pencipta.
Wisnu adalah dewa pemelihara, dan Syiwa adalah dewa perusak. Gampangnya, Brahma
cuma mencipta tetapi tidak bisa memelihara, tak kuasa merusak. Wisnu cuma bisa
memelihara, tak kuasa mencipta, tak kuasa merusak. Syiwa tak bisa mencipta,
boro-boro memelihara. Kalau Brahma ngambek, generasi sapi dihentikan
generasinya. Ayam distop alias mandul tak bertelur lagi. Alamat manusia nggak
bisa makan beefsteak atau ayam goreng Mas Mono. Kalau Wisnu lagi ngambek, mata
air dimatikan, tumbuhan dibiarkan kering-kerontang, bumi merana. Kalau Syiwa
ngambek, belum waktunya jagat semesta dirusak, dirusak saja. Wong dewa lagi
ngambek!
Kalau Tuhan memiliki anak, artinya tuhan punya istri, pasti punya
mertua, pasti punya ipar, pasti punya cucu, cicit, piyut, canggah, ceger,
gantung siwur, dst. Nanti akan ada oknum yang mengaku anak tuhan keturunan
ke-50. Sekarang ada oknum baru berani ngomong mengaku keturunan Nabi saw. BUkan
tidak mungkin, ada oknum yang lebih berani lagi, mengaku cucu keturunan tuhan. Nanti
tuhan mati, anak cucu ribut bagi-bagi warisan. Yang berwatak serakah mau
menguasai seluruh warisan. Yang nggak berhak mendapat, cari dan tempuh upaya
agar kebagian, kalau perlu cari pengacara berkelas Rolls Royce di atas OC
Kaligis. Kwkwkkwk, prek! Capek deh! Oknum-oknum seperti inilah yang melumuri
kemurnian doktrin tauhid yang ada dalam Islam.
Jadi, memang doktrin tauhidlah yang paling benar, katakan saja, jangan
ragu, Islam. Maka untuk menjaga kemurnian Islam agar tidak terkontaminasi
syariat dan praktik agama hasil akal dan budi manusia, selalulah berpedoman
kepada Quran. Merujuklah kepada Quran!
diunggah ke http://www.facebook.com/abdulmaliktksd,
Sabtu, 20 Oktober 2012
ALLAH SWT MERESTUI, MALAIKAT MENDOAKAN, DAN MUSLIM PUN BERSALAWAT
KEPADA NABI SAW.
MUHAMMAD SAW TETAPLAH SEORANG MANUSIA BIASA. TAK LAYAK MUHAMMAD SAW
DIKULTUSKAN.
Rujukan: QS 33: 56.
“Innallaaha wa malaaikatahu yushalluuna ‘alan nabiyy. Ya ayyuhal
ladziina aamanuu, shalluu ‘alaihi wa sallimuu tasliimaa.”
Sebagian muslim salah kaprah mengamalkan maksud ayat ini. Alasan yang
dikemukaan adalah, bahwa Allah Swt. saja bersalawat untuk Nabi saw, Malaikat
pun bersalawat kepada Nabi saw, dan orang-orang yang beriman diperintahkan
bersalawat pula. Penerjemahannya oleh mereka, bahwa ayat ini bermakna perintah,
artinya adalah kewajiban seperti halnya salat, puasa Ramadan, zakat, dan
berhaji ke Mekkah. Selanjutnya mereka mengemukakan argumentasi yang kurang
lebih begini, betapa tingginya derajat Nabi saw itu. Allah Swt. saja
bersalawat, Malaikat pun bersalawat, apatah lagi umatnya, umat Islam! Moga-moga
saja tak terpikirkan dalam benak, Muhammad saw disejajarkan dengan Allah Swt.
Moga-moga saja tak dipraktikkan, menyembah Al Khaliq, eh menyembah juga
Muhammad saw/mengultuskan.
Para pembaca yang budiman,
Bersalawatnya Allah untuk Nabi saw tidak sama dengan malaikat dan kita
bersalawat. Malaikat dan kita bersalawat artinya kita meminta kepada Allah agar
merestui, memelihara, dan melindungi Nabi saw. Bahkan bukan saja meminta untuk
keselamatan dan kesejahteraan Nabi saw saja, melainkan juga untuk keluarganya,
bahkan istrinya (wa ‘alaa aalihii wa ashhaabihii). Soal dikabulkan atau tidak
dikabulkan doa dan permintaan malaikat dan kita oleh Allah adalah soal lain.
Allah yang punya otoritas dan wewenang dengan ke-Mahakuasaan dan ke-Maha
Pemurah yang dimiliki-Nya.
Allah Swt. tidak perlu meminta-minta, kalau menerjemahkan bersalawat
dengan meminta, meminta kepada siapa? Allah Mahakuasa segala-galanya. Frasa
“Sesungguhnya Allah bersalawat kepada Nabi saw” itu artinya merestui, meridoi,
memuji, dan tak ada yang salah kalau Allah Swt. memuji Nabi saw, misalnya
dengan kalimat-Nya dalam Quran, “Wa innaka la’alaa khuluqin ‘adziim” yang
artinya, “Demi, sesungguhnya engkau (Muhammad) berakhlak terpuji (termulia).”
(Lihat QS 68: 4).
Analog
Presiden Barrack H. Obama menginstruksikan Menlu Hillary Clinton ke
Indonesia untuk menemui Presiden SBY dan Menlu RI Marty Natalegawa. Menlu
Hillary Clinton pun menaati instruksi Obama. Hillary meminta doa restu dan
Obama merestui. Hillarry menjalankan instruksi Obama, Obama memantau. Hillary
melapor, Obama pun memuji.
Perhatikan penggunaan bahasa instruksi hanya untuk Obama (atasan;
superior) dan bahasa menaati, menjalankan instruksi, dan melapornya Hillary
(bawahan; inferior). Bahasa, sikap, dan tingkah laku kedua subyek ketika
berkomunikasi berbeda. Kenapa? Karena posisi keduanya adalah subordinat, tidak
sederajat! Obama menginstruksikan sesuatu, Hillary melaporkan sesuatu, tidak
boleh terbalik!
Kata Obama, “Mrs. Hillary, you
are The best foreign Minister of USA!”
Hillary membalas, “Thank You, Mr. President!”
Rakyat Amerika memuji Obama dan Hillary.
Para pembaca, begitulah analog yang dapat menjelaskan pengertian frasa
Allah Swt., Al Khaliq, bersalawat kepada Nabi saw, makhluk dan juga hamba-Nya.
Kita memuja-memuji hanya kepada Allah Swt. Kita hanya diperbolehkan mengikuti
sunnahnya Nabi saw, dan tidak boleh mengultuskannya, menyanjung-nyanjungnya
dengan cara apa pun juga. Tidak bisa dan tak boleh sama sekali kita, umat
Islam, memperlakukan Muhammad saw sejajar dengan Allah Swt.
Maka, silakan bersalawat, sebagai
tanda cinta seorang muslim kepada nabinya. Bersalawat kapan saja, di mana saja.
Caranya bersalawan adalah yang santun, sirr, di dalam hati agar lebih khusuk,
tak usah membilang dan mengingat hitungan sekian-sekian, tak usahlah bersuara
keras. Kalau perlu hanya kita seorang yang tahu bahwa kita bersalawat. Allah
Maha Tahu dan Maha Mendengar.
Jadi amat lebay mengajak orang banyak membuang-buang waktu efektif hanya
sekedar bersalawat. “Jakarta bersalawat”, “Bogor Bersalawat”, atau “Bumi
Priangan Bersalawat”, dsb. adalah ajakan orang yang kurang kerjaan, ustaz
kurang kerjaan, kiai dan habib kurang kerjaan. Anggapan mereka, orang lain
lalai bersalawat, atau kalaulah bersawalat, haruslah di-organized, diumumkan,
dan ditampilkan melalui bersalawat bersama-sama. Intinya, ajakan sejenis itu yang
tak jelas manfaatnya.
Memang banyak jemaah yang hadir, tetapi pastilah sebagian besar jemaah
yang hadir awam saja. Tak pelak adanya pemandangan para jemaah yang menempatkan
para kiai, asatiz, atau habaib yang ada seperti rakyat zaman kerajaan feodal
bertemu dengan para bangsawan, pangeran mahkota, atau para wali yang
kelewat/lebay dimuliakan/diagungkan. Atau pemandangan pengultusan yang sejenis
dapat kita saksikan ketika perayaan Garebek 1 Syuro di keraton Ngayogyakarta
Hadiningrat. Lihatlah, betapa awamnya rakyat di sana, dengan sukarela merebut
macam-macam bahan makanan mentah dan yang sudah masak, karena langsung
dibagikan oleh sultan, dan berharap keberkahan. Dalam peristiwa itu, sultan
dianggap sebagai pembawa keberkahan hidup.
Tentu masih banyak fakta obyektif semacam itu
yang terjadi dan dapat diungkapkan, namun tak cukup halaman buku ini untuk
dituliskan semuanya.
Kelakuan-kelakuan sebagian saudara-saudara
muslim sebagaimana di atas telah menempatkan segelintir orang seperti sultan, kyai,
ustadz, wali, habib, orang suci/keramat, dsb. seakan-akan mereka lebih tinggi derajatnya
sebagai bentuk pengultusan dan penuhanan terhadap manusia sebagaimana telah
dilakukan pula oleh orang-orang jahiliah pada zaman dulu. Allah berfirman dalam
QS Ali Imran (3): 80.
Artinya: “Dan tidak pantas Dia menyuruh kalian
menjadikan malaikat-malaikat dan para nabi sebagai Tuhan-tuhan. Apakah pantas Dia menyuruh kalian berbuat kekufuran
setelah menjadi muslim?”
Tindakan-tindakan saudara kita sesama muslim
sebagaimana yang dituliskan di atas adalah wujud kejahilan yang nyata
terpampang di depan mata kita. Kejahilan-kejahilan yang dimaksud adalah
perbuatan kufur yang hanya dilakukan oleh orang-orang musyrik, baik kaum
musyrikin zaman baheula maupun kaum musyrikin zaman kontemporer, namanya
perbuatan jahiliah.
, atau kufur nikmat, atau dalam kalimat lain
muslim yang tidak pandai bersyukur! (Lihat, simak, dan pahami QS Ibrahim (14):
7).
Artinya: Dan tatkala Tuhanmu mengumumkan,
“Sesungguhnya jika kamu bersyukur, maka akan kutambah nikmat-Ku. Jika kamu
kufur nikmat, maka sesungguhnya azab-Ku amat pedih.”
Perbuatan sejenis yang masuk kategori perbuatan
kufur misalnya bunuh diri dengan cara apa pun (lagi ngetren acara bunuh diri dengan cara terjun bebas dari gedung atau
apartemen bertingkat; tidak sedikit pelaku bunuh diri adalah muslim/muslimah),
mogok makan dengan menjahit mulut (sering para pelaku adalah orang-orang yang
mencari suaka politik ke lain negara karena tidak aman dan nyaman lagi tinggal
di negara dan tanah air sendiri, atau demonstran yang ter-dzolim-i hak-haknya), bakar diri (kasus oknum demonstran atau
dampak dari himpitan kesulitan ekonomi dalam keluarga), bertelanjang tanpa
sehelai benang pun yang melekat di badan dengan sengaja di depan orang lain
(kasus karena lahan garapan atau tempat tinggalnya dirampas dan dieksekusi atas
perintah pengadilan), dll.
Mereka telah melakukan perbuatan keliru jika
mereka adalah muslim. Mereka telah mengafiri nikmat Allah dengan karunia
kehidupan dan semua fasilitas untuk mempertahankan diri agar tetap survive (hasanah) tetapi justru mereka telah
melakukan kebalikannya, berbuat buruk (syayyi’ah).
Mereka tidak berani hidup, tetapi berani mati. Tetapi sebenarnya mereka salah
karena berani pada Allah! Mereka telah kalah!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar