Bahasa Indonesia Mengikuti
Perkembangan Zaman
Berhubung kita sedang disibukkan dengan
hiruk-pikuk jagat politik di tanah air, istilah nya tiada hari tanpa
perbincangan politik (memang manusia itu homo
politicus), maka penulis ingin mengingatkan kembali memori kita dengan
singkatan-singkatan baku yang telah kita kenal dalam jagat politik.
Singkatan-singkatan baku/akronim yang ditampilkan berikut ini, baik nama diri
individu, nama institusi resmi, lembaga politik, atau partai politik, yang semuanya bersinggungan dengan jagat politik di
tanah air.
1. Singkatan-singkatan/akronim
baku: setiap huruf mewakili singkatan kata
Akronim
nama orang
AB Aburizal
Bakrie
BHD Bambang
Hendarso Danuri
JK Jusuf
Kalla
SB Soetrisno
Bachir
SBY Susilo
Bambang Yudhoyono
Semua akronim yang tertulis di atas sudah
memasyarakat dan dikenal luas oleh masyarakat tanah air.
Akronim nama lembaga politik, partai politik,
dan lembaga birokrasi yang bersinggungan dengan politik
Akronim
partai politik
PAN Partai
Amanat Nasional
PBB Partai
Bulan Bintang
PD Partai Demokrat
PDIP Partai
Demokrasi Indonesia Perjuangan
PDS Partai
Damai Sejahtera
PKB Partai
Kebangkitan Bangsa
PKS Partai
Keadilan Sejahtera
PPP Partai
Persatuan Pembangunan
Akronim
lembaga politik
DPR Dewan
Perwakilan Rakyat
BUMN Badan Usaha Milik Negara
MK Mahkamah
Konstitusi
MA Mahkamah
Agung
KY Komisi
Yudisial
Akronim organisasi massa (ormas) yang
dijadikan lahan parpol atau politisi untuk menggalang konstituen
AMPI Angkatan
Muda Pembaharuan Indonesia
HMI Himpunan
Mahasiswa Islam
HKTI Himpunan
Kerukunan Tani Indonesia
KNPI Komite
Nasional Pemuda Indonesia
NU Nahdhatul
Ulama
1. Akronim berdasarkan
suku kata
cabup calon
bupati
cawabup calon
wakil bupati
cagub calon
gubernur
cawagub calon
wakil gubernur
caleg calon
legislator
capres calon
presiden
golkar golongan
karya
golput golongan
putih
gerindra gerakan
rakyat indonesia raya
hanura hati
nurani rakyat
Luber langsung,
umum, bebas, rahasia
Nasdem nasional
demokrat
2. Inisial
Inisial adalah singkatan sederhana dari nama
seseorang. Inisial nama diri diciptakan oleh seseorang adalah lumrah untuk
dirinya sendiri dan merupakan hak pribadi. Inisial juga bisa diciptakan oleh
aparat kepolisian, kejaksaan, atau KPK, dan bisa lahir dari para wartawan.
Inisial nama seseorang digunakan dalam
komunikasi terkait dengan privacy
atau kerahasiaan karena adanya kode etik yang menyangkut nama baik sesorang.
Biasanya seorang yang disangkakan telah melakukan tindak kriminal dan belum
dihadapkan ke pengadilan, inisial nama tetap dipertahankan untuk menggantikan
nama lengkap. inisial nama seseorang tetap dipakai karena menjunjung tinggi asas
pre-assumption of innocence (praduga
tak bersalah). Penjahat dengan kekerasan, penjahat seksual, atau koruptor yang
tertangkap tangan atau disangkakan melakukan kejahatan namanya dimunculkan
dalam pemberitaan tetap dengan inisial.
Namun sering pula terjadi kemudiannya, inisial akan diganti dengan nama lengkap
jika memang dikehendaki demikian.
Contoh inisial yang sudah diketahui publik:
AM
untuk Andi Mallarangeng
AS
untuk Angelina Sondakh
AU
untuk Anas Urbaningrum
WON
untuk Wa Ode Nurhayati
LHI
untuk Luthfi Hasan Ishaq
DS
untuk Djoko Susilo
RA
untuk Raffi Ahmad
3. Inisial hasil
rekayasa (siapa pun boleh merekayasa inisial: individual rights all reserved; baru sama sekali, analog, atau satire/sindiran ataupun humor)
Ger-Mo Gerakan
Moral
Granat Gerakan
anti narkoba dan zat adiktif
Ger-Mo PKS Gerakan
Moral Peduli Kasus Suap
PDS Partai
Dagang Sapi
PKS DASI Partai
Koalisi Sapi Domestik Anti Sapi Impor
Jakarta, 7 Februari 2013
Obrolan Santai
KAMI MEMBENTUK ORGANISASI GERAKAN MORAL
PEDULI KASUS SUAP (GER-MO PKS) DAN PARTAI KOALISI SAPI DOMESTIK ANTI SAPI IMPOR
(PKS DASI)
Nasdem, dari Ger-mo ke Parpol
Hampir dua bulan terakhir, Januari dan
Februari 2013 ini, saya dan teman dekat, sebut saja Bang Jepri, sering bertemu
di kafe LC. Saya dan Bang Jepri setiap bertemu mengobrol ngalor ngidul tanpa fokus kepada satu topik. Obrolan kami
mengalir seperti air Sungai Ciliwung.
Biasalah, tawa dan canda kami berdua lepas tanpa beban namun tetap dalam batas
etika yang hidup di tengah masyarakat.
Kafe kopi LC bagi kami berdua, dan mungkin
juga pengunjung yang lain, adalah tempat yang nyaman untuk menikmati suasana di
situ. Aroma dan rasa kopi kental racikan karyawan kafe sangat cocok dengan
selera kami berdua, dan mungkin juga bagi pengunjung yang lain. Buktinya saya
sering datang ke situ, baik datang sendiri maupun berdua dengan bang Jepri.
Kalau saya sendirian tanpa dia, saya bikin kesibukan sendiri, membuka laptop,
membuka internet, membuka akun jejaring sosial facebook atau blog pribadi. Saya
membaca artikel, komen yang singgah di blog, atau menulis/mengetik. kalau ada
Bang Jepri bersamaku, saya menghentikan kegiatan mengetik/menulis. Kami berdua
lebih asyik mengobrol dalam suasana santai. Topik obrolan bermacam-macam dan
tak jelas mana awal mana akhir, mana ujung mana pangkal. Namun topik dalam dua
bulan terakhir ini, tanpa disengaja atau direkayasa, kok topik bahasan
perbincangan kami adalah masalah politik aktual yang terjadi di tanah air?
Ketika pada awal-awal bulan Januari, kami
berdua berbincang hangat tentang organisasi atau gerakan sosial yang berubah
bentuk menjadi sebuah partai politik. Bang Jepri pesan dan ingatkan saya, agar
tidak menuangkan komentar soal gerakan sosial atau gerakan moral yang berubah
itu dalam bentuk tulisan. Bang Jepri tahu betul tentang diriku yang suka
menulis apa saja.
“Pak Haji, Antum tahu nggak organisasi
gerakan moral yang digagas dua tahun yang lalu sekarang berganti baju menjadi
organisasi politik?” tanya Bang Jepri.
“Maksud Bang Jepri, Partai Nasdem?” jawabku
balik bertanya.
“Ya, betul!”
“Ya, taulah,
Bang! Emang kenapa dengan Nasdem?”
“Antum
sudah tahu, kan, bahwa tadinya Nasdem itu digagas sebagai organisasi
kemasyarakatan dengan landasan
perjuangan yang cita-cita aslinya adalah menegakkan moralitas bangsa Indonesia
setinggi-tingginya sehingga menjadi bangsa yang bermartabat dan bisa hidup
setara berdampingan dengan bangsa lain di dunia luar sana. Begitulah yang
didengungkan oleh inisiator Nasdem, Surya Paloh (SP) dkk. Banyak tokoh nasional
pun tertarik dan ikut bergabung di dalam tubuh Nasdem karena kemuliaan yang
diusung dalam niat awalnya. Misalnya saja Sri Sultan HB X. Mereka mau bergabun
g dalam Nasdem karena Nasdem tidak bersyahwat politik seperti yang sering
diucapkan oleh SP sang inisiatornya. Tapi sayang ...!”
Bang Jepri tak melanjutkan uraiannya karena
kerongkongannya kering. Dia meraih cangkir dan mereguk kopi kentalnya dua kali
reguk. Aku membiarkan dia rehat sejenak dan mengumpulkan memorinya. Uraiannya
menarik.
“Bisa dilanjutkan, Bang?” tuntutku untuk
mengetahui lebih dalam lagi.
“Sebagai sebuah gerakan moral nonpolitik,
gerakan dalam rangka amar ma’ruf nahi
munkar, dan didukung oleh beberapa tokoh nasional, Nasdem memperoleh banyak
dukungan dari mana-mana, dari berbagai kalangan, baik di Jakarta maupun di
daerah-daerah. Nasdem tumbuh berkembang cepat dan meraih popularitas. Massa
akar rumput pun mengamini dan ikut bergabung meramaikan Nasdem. Eh, begitu
punya nama, punya banyak massa, dan popularitas menjulang, Nasdem kok punya
syahwat politik? Kelanjutannya, Nasdem dijadikan partai politik. Siapa lagi
yang paling depan menggagas Nasdem sebagai partai politik kalau bukan SP dan
beberapa orang rekan yang juga punya syahwat politik yang harus disalurkan.
Namanya yang tadinya Gerakan Moral (Germo) berubah menjadi Partai Nasdem,
lengkap dengan atribut sebagai partai politik (parpol). Supaya kaki tambah kuat
sebagai sebuah parpol, Nasdem pun di daftarkan di Kemhumkam untuk mendapatkan legitimasi
yuridis dan politik. Puncak kesuksesan (sementara) kehadiran Partai Nasdem
sebagai parpol adalah lolos verifikasi Pemilu 2014 dan sah dinyatakan sebagai
parpol peserta pemilu. Harry Tannu, raja dan komisaris korporasi media, yang
bergabung di Nasdem, sering berkampanye lewat media massa yang berada di bawah
kekuasaannya. Agar kita tambah wawasan, saya perlu menginformasikan kepada para
pembaca, kedudukan nomor urut Partai Nasdem dan parpol lainnya yang akan ikut
serta dalam pesta Pemilu 2014.”
Kemudian Bang Jepri mengeluarkan secarik
kertas yang terlipat dari saku bajunya dan membacakan isinya.
“Pak
Haji, inilah info tentang hasil
pengundian nomor urut parpol oleh KPU, tanggal 14 Januari 2013:
Nomor urut 1: Partai Nasional Demokrat
(Partai Nasdem)
Nomor urut 2: Partai Kebangkitan Bangsa (PKB)
Nomor urut 3: Partai Keadilan Sejahtera (PKS)
Nomor urut 4: Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P)
Nomor urut 5: Partai Golongan Karya (Partai Golkar)
Nomor urut 6: Partai Gerakan Indonesia Raya (Partai Gerindra)
Nomor urut 7: Partai Demokrat
Nomor urut 8: Partai Amanat Nasional (PAN)
Nomor urut 9: Partai Persatuan Pembangunan (PPP)
Nomor urut 2: Partai Kebangkitan Bangsa (PKB)
Nomor urut 3: Partai Keadilan Sejahtera (PKS)
Nomor urut 4: Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P)
Nomor urut 5: Partai Golongan Karya (Partai Golkar)
Nomor urut 6: Partai Gerakan Indonesia Raya (Partai Gerindra)
Nomor urut 7: Partai Demokrat
Nomor urut 8: Partai Amanat Nasional (PAN)
Nomor urut 9: Partai Persatuan Pembangunan (PPP)
Nomor urut 10: Partai Hati Nurani Rakyat
(Partai Hanura)
“Hebat jugalah, Bang! Nomor urut 1 itu paling
mudah diingat orang. Tentu berimbas kepada pelaku pemilih di level grass root yang sukanya yang
simpel-simpel saja, tradisional, dan sering
irrasional!”
Bukan SP namanya kalau hanya berhenti sampai
kepada keberhasilan partai Nasdem sah menjadi peserta pemilu 2014! Boleh saja
(dulunya) Nasdem hanya sebagai Ger-Mo yang mengusung amar ma’ruf nahi munkar dalam hal moralitas bangsa yang membuat
kita semua galau.
Rambut boleh sama hitam, hati orang tak
seorang pun tahu. Publik tahu hasrat politik seseorang setelah orang itu
memproklamasikan hasratnya. Itulah yang dipertontonkan SP. Dia bilang secara
tegas di berbagai forum dan kesempatan, adalah irrasional dan impossible
sang inisiator Nasdem mau menjadi Ketua Umum Partai Nasdem. Maksudnya, ya dia
itu, SP, gitu loh!
Eh, begitu Nasdem sudah punya kaki yang
kokoh, SP bikin rekayasa politik. Apa yang telah berkali-kali dia omongkan, dia
ralat dengan action. Dia menelan
ludahnya sendiri. Intinya dia kepingin menjadi Ketua Umum Nasdem. Rekayasa
politiknya berhasil. Jadilah SP menjadi Ketua Umum Nasdem menggantikan Capella.
“Kudeta” halus? Puncak gunung yang (mungkin; pasti mungkin) diinginkan oleh SP
tentunya adalah kursi RI-1 atau RI-2. Bukankah dia “menjadi pecundang” kalah
saing dengan JK dalam posisi merebut Golkar-1 pada tahun 2004 dan kalah saing lagi
dengan ARB pada tahun 2019?
Tak usah heran! Itulah panggung politik yang
sebenarnya. Politisi itu di Indonesia itu “manusia aneh tetapi nyata”. Hari ini
dia bilang merah, besok dia bilang putih. Hari ini berbaju dan berjaket Nasdem,
berorasi sambil mengepalkan tinju, berjuang membela Nasdem, minggu depan jaket Nasdem-nya dilepas, diucel-ucel,
dibuang, dan kemudian berganti jaket partai lain. Kalau dia tokoh nasional, nama
amat layak “dijual”, apa lagi berduit pula, dia pasti banyak dilamar partai
lain. Dia pun pasang harga tinggi sambil balik bertanya, “wani piro?”
Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Kasus
Suap Daging Sapi Impor
Orang Indonesia yang melek politik telah
paham banget dengan PKS: partai politik berlabel Islam yang so pasti mengusung moral “bersih dan
jujur”. Sejak awal diprokalamasikan, sejak bernama PK (Partai Keadilan) hingga
menjadi PKS, namanya makin lama makin melekat di hati rakyat. Elektabilitasnya
sebagai sebuah parpol makin tinggi sejak ikut Pemilu (1994, 1999). Atribut “bersih
dan jujur” dan ditunjukkan dalam aksi di panggung politik dan kehidupan
masyarakat tetap dirawat dan dipertahankan, sampai terjadi sebuah peristiwa
yang menghebohkan, Presiden PKS, Luthfi Hasan Ishaq (LHI) ditangkap, diselidik,
disidik, dan ditahan oleh KPK! Sigap sekali KPK beraksi.
Apa kasusnya?
LHI terlibat dalam kasus suap impor daging
sapi. Hah! Jangan kaget dulu! KPK tidak sembarangan menangkap seseroang yang
disangkakan (tersangka)! KPK melakukan penangkapan dengan dasar hukum dan
prosedural.
Presiden PKS terilbat suap? LHI menerima
suap?
“Atribut “bersih dan jujur” yang diusung PKS
selama ini hanya dusta rupanya! Wujud asli/belangnya ketahuan sekarang!” gerutu
seseorang di kedai warteg.
“Bukan PKS-nya yang korup, tetapi oknumnya,
Mas!” timpal seseorang yang menjadi lawan bicaranya.
“Mana bisa memisahkan status and role, Pak! Status
and role itu ibarat dua sisi mata uang! Coba buka lagi buku manajemen
kepemimpinan dalam organisasi!”
“Kalau memang seperti itu, saya mau
mendirikan organisasi nonpolitik gerakan moral peduli kasus suap. Namanya saya
singkat menjadi Ger-Mo PKS. Saya dan teman-teman dalam Ger-Mo PKS akan berjuang
melawan korupsi, khusus pada kasus suap!”
“Setuju, Mas!. Saya pun akan membentuk partai
politik yang bebas korupsi suap. Saya akan memperjuangkan peternak sapi dalam
negeri agar mampu bersaing dengan sapi impor. Saya akan mengumpulkan para
peternak sapi seluruh Indonesia. Partai politik yang akan kami gagas diberi
nama Partai Koalisi Sapi Domestik Anti Sapi Impor yang disingkat PKS DASI!”
Jakarta, 8 Fabruari 2013
Obrolan santai nya izin re-blog yah mas :))
BalasHapus