USTAZ DI KAMPUNG MALING
Judul tulisan saya ini, Ustaz di Kampung Maling, saya copy-paste dari tulisan Mang Ayat
(Ayatrohaedi), 5 Maret 2005, di sebuah kolom nomor 63 dalam buku suntingan
Salomo Simanungkalit, 111 Kolom Bahasa
Kompas (2006: 87). Ungkapan Ustaz di
Kampung Maling ini terlontar dari mulut seorang legislator di gedung DPR dalam
sebuah acara resmi dengar pendapat pihak
legislatif dengan eksekutif. Rapat Kerja Gabungan Komisi II dan Komisi III
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dengan Pemerintah yang diwakili oleh Jaksa Agung Agung
Abdul Rahman Saleh (17/02). Sasaran ungkapan sang legislator, Anhar Nasution
(Anhar) namanya, ditujukan kepada sang
mitra kerjanya, Jaksa Agung, dengan sebuah pertanyaan bernuansa retorika, “'Masih
adakah kemampuan Bapak untuk menegakkan benang basah, sehingga tidak seperti
ustaz di kampung maling?” (Media Indonesia, 18/02).
Lain maksud Anhar sang legislator yang
melontarkan ungkapan, lain pula tanggapan Jaksa Agung.
Jaksa Agung marah. Ada
dasarnya dia marah. menurut Jaksa Agung, kalimat 'ustaz di kampung maling'
bukan yang pertama disampaikan oleh anggota DPR bersangkutan. Rapat pun
berlangsung ricuh. Pernyataan Anhar menjadi pemicu kemarahan dan Jaksa
Agung.Tetapi Jaksa Agung lupa mengingatkan Ketua Rapat untuk memberikan
peringatan, menghentikan, atau menskors rapat beberapa saat jika ada seorang
legislator mengeluarkan kata atau pernyataan yang tidak layak. Terlebih-lebih
mengandung penghinaan. Jalan yang ditempuh oleh Ketua Rapat adalah menutup
rapat lebih cepat
Jaksa Agung mungkin lupa,
bahwa legislator itu punya hak imunitas sebagaimana yang diatur pada ketentuan Pasal
28 huruf f Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan
Anggota Legislatif (UU Susduk) yang menegaskan bahwa anggota DPR mempunyai hak
imunitas. Penjelasan Pasal 28 huruf f menyebutkan hak imunitas atau hak
kekebalan hukum anggota DPR adalah hak untuk tidak dapat dituntut di muka
pengadilan karena pernyataan dan pendapat yang disampaikan dalam rapat-rapat
DPR dengan pemerintah dan rapat-rapat DPR lainnya sesuai dengan peraturan
perundang-undangan. Ada hak imunitas, pasti ada kewajiban pula atas legislator
terkait dengan urusan resmi rapat-berapat.
Pasal 29
huruf j UU Susduk bahwa anggota DPR mempunyai kewajiban menjaga etika dan norma
dalam hubungan kerja dengan lembaga terkait. Jadi, pernyataan “ustaz di kampung
maling” lebih merupakan etika. Apalagi, Pasal 7 Kode Etik DPR menentukan bahwa
selama rapat berlangsung setiap anggota DPR
bersikap sopan santun, bersungguh-sungguh.
Apakah Anhar
sang legislator bermaksud menghina?
Tak ada
penjelasan lebih lanjut? Media massa tidak berusaha menggali apa maksud Anhar
dengan ustaz dan kampung maling.
Akan tetapi
jika orang sedikit menyediakan waktu untuk membaca sejarah dan riwayat hidup
sang Jaksa Agung itu, mungkin orang akan menangkap makna positif akan ungkatan
yang dilontarkan oleh Anhar.
Jaksa Agung
yang “Ustaz”
Abdurrahman
Saleh, sang Jaksa Agung kita ini, mantan wartawan berpengalaman sebelum
memasuki karir di lembaga birokrasi. Dia punya pens name (nama pena) Arman. Bukan saja mantan wartawan hebat, dia
juga mantan advokat/pembela, notaris, dan bintang film!
Orang dengan
banyak profesi yang digeluti sepanjang hidup memang tidaklah aneh. Profesi bisa
saja gonta-ganti, apa lagi di zaman modern ini. Sebelum menduduki tahta nomor 1
di Gedung Bunder (Kejaksaan Agung), dia pernah menduduki jabatan Ketua Muda
Mahkamah Agung.
Sosok
Abdurrahman Saleh adalah sosok yang penuh integritas, dedikatif, dan selalu berada
di pihak yang lemah, berada di pihak mereka yang dilupakan, berada di
tengah-tengah rakyat kecil pencari keadilan dan ia tidak pernah bergeser
sedikitpun dari cita-cita awalnya, pendekar penegak kebenaran dan keadilan.
Anhar sang
legislator (mungkin) tahu banyak sosok Abdurrahman Saleh sang Jaksa Agung.
Pantaslah Anhar menjulukinya dengan gelar ustaz. Anhar (mungkin) berharap
banyak dengan lontaran ungkapan “ustaz di kampung maling” itu agar Abdurrahman
Saleh yang dedikatif dan punya integritas ini dapat memperbaiki lingkungan
kerjanya, Kejaksaan Agung, yang diduga sebagai tempat busuk dengan analog “Kampung
Maling”.
Kejaksaan Agung “Kampung
Maling”
Kenapa Anhar menganalogkan
Kejaksaan Agung sebagai Kampung Maling?
Oknum Kejaksaan Agung Jual-Beli Perkara
Kasus Jaksa Urip Tri Gunawan, yang didakwa menerima suap sebesar 660.000 dollar AS adalah kasus besar dan menarik perhatian khalayak ramai. Dia ditangkap tangan oleh KPK dan disidang di Pengadilan Khusus Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, karena menerima suap perkara dari tersangka Artalyta Suryani (yang kemudian menjadi terdakwa karena didakwa memberikan suap) merupakan bukti nyata bahwa lembaga kejaksaan masih sebagai lembaga yang kotor dan tidak bisa diharapkan memberantas korupsi. Banyak warga menyaksikan dan merasakan, Kejaksaan adalah lembaga jual-beli perkara, serta terdiri dari kumpulan orang yang tega memeras pihak-pihak yang berperkara. Banyak penghuni kejaksaan yang memiliki kekuasaan berlaku korup alias maling. Sehingga kejaksaan layak digelari “Kampung Maling”. Kondisi itulah yang kemudian mendorong pemerintah dan DPR membentuk KPK pada 2003. Undang-Undang 30/2002 tentang KPK, dalam pertimbangan poin b, menyatakan KPK dibentuk karena lembaga negara (Kejaksaan dan Polri) yang menangani korupsi tidak berfungsi efektif dan efisien.
Mengapa Kejaksaan tetap kotor?
Dari berbagai analisis dan
pendapat pakar ilmu hukum, politik, dan ilmu sosial, paling tidak ada dua hal
yang menyebabkan Kejaksaan masih sebagai "Kampung Maling". Kasus Jaksa Urip Tri Gunawan, yang didakwa menerima suap sebesar 660.000 dollar AS adalah kasus besar dan menarik perhatian khalayak ramai. Dia ditangkap tangan oleh KPK dan disidang di Pengadilan Khusus Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, karena menerima suap perkara dari tersangka Artalyta Suryani (yang kemudian menjadi terdakwa karena didakwa memberikan suap) merupakan bukti nyata bahwa lembaga kejaksaan masih sebagai lembaga yang kotor dan tidak bisa diharapkan memberantas korupsi. Banyak warga menyaksikan dan merasakan, Kejaksaan adalah lembaga jual-beli perkara, serta terdiri dari kumpulan orang yang tega memeras pihak-pihak yang berperkara. Banyak penghuni kejaksaan yang memiliki kekuasaan berlaku korup alias maling. Sehingga kejaksaan layak digelari “Kampung Maling”. Kondisi itulah yang kemudian mendorong pemerintah dan DPR membentuk KPK pada 2003. Undang-Undang 30/2002 tentang KPK, dalam pertimbangan poin b, menyatakan KPK dibentuk karena lembaga negara (Kejaksaan dan Polri) yang menangani korupsi tidak berfungsi efektif dan efisien.
Mengapa Kejaksaan tetap kotor?
Pertama, tidak adanya kemauan politik penguasa. Kotornya lembaga Kejaksaan mencerminkan kemauan penguasa, dalam hal ini Presiden dan Wakil Presiden. Pendapat ini, tidaklah berlebihan karena Jaksa Agung dipilih oleh Presiden. Oleh karena itu, Jaksa Agung bertanggung jawab kepada Presiden.
Kedua, lembaga pengawasan internal Kejaksaan tidak berfungsi maksimal. Banyak warga dan pakar ilmu hukum berpendapat, JAM Pengawasan Kejagung hanyalah lembaga stempel belaka. "Pengawasan internal Kejagung hanya lembaga stempel saja, bahkan justru menjadi pelindung bagi jaksa-jaksa yang bersalah," kata Direktur Indonesian Legal Resource Centre, Uli Parulian Sihombing.
Karena pengawasan internal kurang berfungsi efektif, begitu pun lembaga pengawasan eksternal Kejaksaan, yakni Komisi Kejaksaan. Namun, Komisi Kejaksaan ini, sejak berdiri sampai sekarang, hanya lembaga yang banci. Pasalnya, honor untuk anggotanya tidak ada, apalagi sarana dan prasarana untuk menunjang pekerjaan lembaga ini. "Lembaga ini terbentuk 2006, namun dana keluar untuk kami dan menunjang pekerjaan kami baru cair tahun 2008. Bagaimana kami bisa kerja, kalau dana tidak ada," kata anggota Komisi Kejaksaan, Maria Ulfah Rombot.
Anggota Badan Pekerja ICW, Emerson Yuntho mengatakan keberadaan lembaga pengawasan internal Kejagung dan Komisi Kejaksaan tidak mengurangi praktik menyimpang yang dilakukan oleh oknum Kejaksaan. Hal ini terbukti dari semakin meningkatnya laporan masyarakat mengenai perilaku jaksa yang menyimpang.
Total jaksa yang diberi sanksi pada 2007 adalah 89 orang. Sebanyak 25 orang dijatuhi sanksi ringan, 51 jaksa sanksi sedang berupa sanksi administrasi, dan 13 jaksa dikenai sanksi berat, seperti penurunan pangkat, gaji, hingga pemberhentian secara tidak hormat.
Menurut Emerson, tindakan pemeriksaan yang dilakukan oleh kalangan internal Kejaksaan, meskipun perlu mendapat respons positif, yang disayangkan hanya sebatas pada pemeriksaan ada atau tidak adanya pelanggaran kode etik atau disiplin pegawai negeri sipil. Pemberian sanksi juga terbatas hanya bersifat administratif, meski dengan kategori berat berupa pencopotan jabatan, mutasi, hingga non-job dan penurunan pangkat, serta penundaan kenaikan gaji.
Meski hasil pemeriksaan menyatakan terbukti adanya pemerasan yang dilakukan oknum jaksa, sangat langka kasusnya berlanjut ke proses hukum. Hal demikian dapat dilihat dari sejumlah dugaan pemerasan atau gratifikasi oleh oknum jaksa. Dalam pantauan ICW selama 2005-2007, dari 10 kasus suap yang melibatkan jaksa, baru jaksa Cecep dan Burdju yang telah diproses hingga ke pengadilan dan akhirnya dijatuhi vonis bersalah oleh hakim. Ironisnya, setelah menjalani masa tahanan selama dua tahun, kedua orang ini dapat kembali berdinas di lingkungan Kejaksaan.
Tindakan nyata memang sudah diambil, tetapi kenyataannya persoalan korupsi di jajaran Kejaksaan tetap saja tak kunjung usai. Selain karena faktor kesejahteraan jaksa yang rendah, terdapat beberapa faktor lain yang menyebabkan kalangan internal Kejaksaan gagal menyelesaikan persoalan korupsi yang dilakukan oleh oknum jaksa.
Pertama, persoalan kultural. Terdapat kondisi di mana adanya keengganan (ewuh pakewuh) di kalangan jaksa untuk memeriksa sesama rekan seprofesi dan semangat untuk melindungi korps (espirit de corps) yang berlebihan.
Kedua, sering kali terjadi praktik kolusi dalam proses pemeriksaan, sehingga melahirkan kesimpulan dugaan penyimpangan tak terbukti.
Selain kedua faktor itu, kata Emerson, juga karena penjatuhan sanksi administratif terhadap jaksa-jaksa yang dinilai bermasalah, khususnya melakukan korupsi, pada akhirnya tidak memberikan efek kejut (shock therapy) bagi jaksa-jaksa nakal lainnya. Sanksi tersebut tidak akan memutus mata rantai praktik mafia peradilan, khususnya yang melibatkan jaksa. Jika sanksinya hanya mutasi, jaksa yang bersangkutan justru akan menyebarkan bibit penyakit korupsi baru di daerah yang ditempati. Dapat dipastikan akan selalu muncul oknum-oknum jaksa yang kembali melakukan tindakan serupa pada masa yang akan datang.
Tindakan yang tidak tegas dari pimpinan Kejaksaan juga akan melahirkan aktor-aktor korupsi baru di lingkungan Kejaksaan. Seharusnya ada sinergi antara bidang pengawasan dan bidang pidana khusus di lingkungan Kejaksaan. "Artinya, apabila dari hasil pemeriksaan yang dilakukan oleh bagian pengawasan ditemukan adanya indikasi suap atau pemerasan yang dilakukan oleh oknum jaksa, hal ini seharusnya ditindaklanjuti oleh bagian pidana khusus untuk memproses secara pidana," kata Emerson.
Ketiga, proses mutasi dan promosi di lingkungan Kejaksaan yang penuh KKN.
Keempat, perekrutan anggota jaksa yang penuh KKN. Pendapat ini dibantah Jaksa Agung Muda Pengawasan, M Slamet Rahardjo. Ia mengatakan, beberapa kali pihaknya datang ke kampus terkenal untuk mencari lulusan Fakultas Hukum yang cerdas untuk menjadi jaksa. "Yang pintar-pintar tidak mau jadi jaksa. Mereka ingin menjadi pengacara, kerja di BUMN-BUMN," kata Rahardjo.
Selain itu, kata dia, pimpinan Kejaksaan menginginkan perekrutan anggota Kejaksaan dilakukan lembaga independen, seperti oleh perguruan tinggi terkemuka. Namun, karena untuk menggunakan jasa lembaga independen itu mahal, keinginan itu tidak dilaksanakan.
Kelima, rendahnya gaji para jaksa. "Tidak bisa disangkal, sebagian jaksa jual-beli perkara, karena rendahnya gaji dan tekanan ekonomi," kata Maria Ulfah Rombot.
Abdul Rahman Saleh (Arman) dalam bukunya, Bukan
Kampung Maling, Bukan Desa Ustadz: Memoar
930 Hari di Puncak Gedung Bundar, mengatakan, ketentuan yang tidak tertulis
sebelum dia menjadi Jaksa Agung adalah Jaksa Agung memiliki wewenang penuh
untuk memutuskan promosi seluruh aparat Kejaksaan. Siapa yang menjadi Kepala Kejaksaan
Negeri atau Kepala Kejaksaan Tinggi, ditentukan sepenuhnya oleh Jaksa Agung.
"Dengan kata lain, Jaksa Agung adalah penentu tunggal keberlangsungan
karier seseorang. Sampai-sampai ada seloroh, hidup mati para jaksa dan aparat
kejaksaan ada di tangan Jaksa Agung,"
Ketika Arman menjadi Jaksa Agung, ia mengubah
aturan itu, karena menurutnya, aturan seperti itu membuka pintu bagi terjadinya
penyalahgunaan wewenang.
Arman menciptakan sebuah mekanisme baru, yakni pengangkatan melalui rapat
pimpinan (rapim). Mekanisme yang dibuat Arman ini membuat banyak pihak di
Kejaksaan kecewa. Tetapi, tidak sedikit juga yang menyambut dengan antusias.
Mereka yang selama ini menjalankan tugas dengan lurus, jujur, dan bersih,
mendapat peluang untuk berkembang maju.
"Walaupun demikian, masih ada saja yang mencoba main-main. Masih ada yang
membawa tradisi lama, bahwa untuk mengisi pos seperti Kajari, Kajati, harus
menyetor kepada 'orang Jakarta'," kata Arman.
Terlepas dari masih ada jaksa yang bermain kotor, mekanisme rapim dan sikap
tegasnya untuk membersihkan internal Kejaksaan dari sogok-menyogok,
suap-menyuap, bergema ke seluruh jajaran Kejaksaan. Untuk bisa naik pangkat atau
jabatan, tidak perlu ada lagi sogok, suap, upeti dan uang terima kasih, dan
sejenisnya.
Untuk seorang Arman yang menjadi orang nomor
1 di Gedung Bunder selama 930 hari, judul tulisan Mang Ayatrohaedi, Ustaz di Kampung Maling, cocok sekali!
Arman tidak lupa mengilustrasi perkataan mantan bawahannya, yang kemudian
menjadi Jaksa Agung, Hendarman Supandji, Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus
waktu itu, mengatakan era Arman adalah era gratisan.
Ustaz,
siapakah dia?
Kata ustaz itu diterjemahkan
dengan guru. Ustaz sama dengan guru. Ustaz itu tugas utamanya mendidik dan mengajar.
Memang ada perbedaan antara ustaz dan guru di tengah masyarakat, yakni
perbedaan subject/mata pelajaran/bahan
ajar. Guru itu mengajar pelajaran umum di luar pelajaran Agama Islam dan ustaz
pastilah mengajar khusus mata pelajaran Agama Islam.
Dalam pandangan dan
penilaian masyarakat umum, ustaz itu, di samping mendidik dan mengajar, dia
juga membimbing, memberi nasihat, dan menjaga akhlak. Ustaz identik dengan
kebaikan/kebajikan. “Pakaian” ustaz pun berbeda dengan orang kebanyakan:
berbaju koko, berkopiah, bersarung, dan bersorban, dan membawa kitab. Karena
itu, ustaz adalah orang yang (seharusnya) menjunjung tinggi akhlak dan
meneladankan akhlak mulia dalam tata pergaulan di tengah masyarakat. Kedudukan
ustaz di tengah masyarakat adalah kedudukan pilihan/istimewa. “Cium tangan” ustaz ketika bertemu dan
berpisah adalah budaya yang hidup di tengah masyarakat kita, bangsa Indonesia,
khususnya bagi umat Islam, sebagai wujud penghargaan masyarakat terhadap ustaz.
Gelar ustaz menjadi jaminan kebaikan akhlak orang yang mendapatkannya. Banyak
orang yang berzakat/muzakki lebih
memilih menyerahkan zakat kepada ustaz daripada mereka menyerahkan kepada bazis
atau takmir masjid.
Kebanyakan orang tetap
percaya bahwa ustaz selalu terjaga kemuliaan akhlaknya. Zaman boleh bergulir
dari era tradisional ke era modern. Ustaz
tetaplah diyakini berakhlak mulia sebagaimana ajaran agama yang
disampaikannya, baik di kelas maupun di majelis taklim. Kondisi kepercayaan
masyarakat terkadang irrasional/tak
nalar. Asal ada saja seseorang yang fasih berucap ayat-ayat Quran walaupun
hanya beberapa ayat, pandai membaca Quran dengan suara merdu, pandai memimpin
salat berjamaah, masyarakat pun bermurah hati memanggilnya sebagai ustaz.
Begitu sudah santer dipanggil namanya dengan imbuhan ustaz, pemuliaan orang pun
dimulai.
Kondisi kepercayaan
masyarakat yang irrasional ini adalah
salah kaprah dan berujung dimanfaatkan oleh oknum-oknum yang memiliki maksud
terselubung. Para pembaca akan dengan mudah melihat surat kabar tertentu yang
punya halaman iklan, ada pengiklan tukang obat, tukang ramal/paranormal/dukun,
atau tukang pijat menampilkan gambar dirinya dalam busana muslim/muslimah. Supaya
meyakinkan calon konsumen, di depan namanya diimbuhi Ustaz/Ustazah, Kiai, Kiai
Haji, Haji, Al Habib, atau As Syeh, padahal aslinya tukang obat, tukang urut, dukun,
atau tabib.
(Tahukah pembaca, apakah
profesi asli Ustaz Haryono yang buka praktik di Jakarta Timur dan kadang-kadang
buka praktik di tempat lain? Ustazkah, guru spiritual, motivator, kiai, tukang
obat, atau dukun?)
(Tahukah pembaca, apakah
profesi Ucil (ustaz kecil) Guntur Bumi yang tiba-tiba menjadi bahan berita
karena dan tiba-tiba digelari ustaz oleh tulisan di media massa? Ustaz figuran
atau figuran ustaz, calon ustaz, atau calon dukun? Yang jelas dia pernah di
pesantren, yakni pesantren kilat! Kemudian dia diikutkan main dalam film serba
samar-samar “Pemburu Hantu” yang lakonnya nggak
jelas seperti nggak jelasnya gambar
hantu. Dia sering muncul dengan tampilan busana muslim).
Kata ustaz yang aslinya berarti orang yang baik selalu berbuat baik bernilai
penuh kebajikan. Hampir semua orang percaya, memandang, dan menilai ustaz itu
memang mengawal akhlak mulia. Paling tidak kepercayaan masyarakat itu masih
kental sampai akhir abad XX. Sejak awal abad XXI (2000 – 2013), kita sudah
mulai bertanya-tanya, masihkah ustaz seperti dulu?
Nyaris orang tak percaya
kepada fakta kenyataan jika seorang ustaz adalah maling, pemabok, penjudi, apa
lagi menjadi koruptor. Apa iya, status ustaz tetapi role-nya maling? Bukankah status dan role itu seiring sejalan?
Maling
Budaya Jawa yang dimiliki
etnis Jawa mengajarkan nasihat luhur tentang menghindari diri dan harus
menjauhi sejauh-jauhnya penyakit mo limo (lima
ma): maling, madat, madon, main, dan mabok.
Satu dari mo dari limo mo adalah maling.
Penganut agama apa pun, kitab suci umat mana pun, budaya mana pun, kepercayaan
asasi apa pun, profesi dan perbuatan maling itu terlarang. Forum diskusi di
hotel berbintang, di kampus prestisius, atau omongan di warteg pun, kesimpulan
semua orang pasti bersetuju: maling itu haram!
Asasi manusiawi, fitrahnya,
takkan ada seorang pun yang punya niat menjadi maling sebersit pun di dalam
benak. Namun, perjalanan hidup manusia tak bisa diprediksi dengan tepat oleh
empunya diri karena banyak faktor yang memengaruhi dan ikut andil
mengintervensi perjalanan hidup. Tuhan Yang Maha Pencipta makhluk, salah
satunya adalah manusia, memberi kesempatan untuk mengelola bumi dengan
sebaik-baiknya, namun disediakan dua jalan saja untuk dipilih salah satu, jalan
takwa dan jalan jahat.
Tentu kita selalu ingat,
selain kita, manusia ini, Tuhan Yang Mahakuasa juga mencipta iblis yang dikenal
dengan julukan syetan/setan. Tuhan, para rasul dan nabi, serta para ulama
menyuruh/mengajak manusia kepada jalan takwa, tetapi setan justru berusaha
membelokkan arah jalan kita kepada jalan jahat. Setan bisa gagal dan bisa juga
sukses dalam upayanya. Setan tidak pilih bulu tidak pilih kasih tidak pilih
status manusia dalam mencari mangsa: rasul, nabi, ulama, pastor, pendeta,
suster, kiai, habib, syeh, ustaz, raja atau rakyat, menteri atau staf, presiden
parpol atau ketua umum, dll. Modus operandi setan pun seribu satu macam,
tujuannya adalah menjerumuskan manusia kepada jalan jahat.
Tak ada yang aneh toh! Nabi
Ayyub yang penyayang kepada isteri bisa juga murka kepada isterinya. Nabi Musa
bisa murka kepada saudaranya Nabi Harun dan sempat menarik janggut Nabi Harun.
Nabi Adam dan Hawa bernasib malang terusir dari surga. Istri Nabi Ibrahim,
Sarah, bisa juga cemburu berat kepada madunya Hajar.
Nabi-nabi pun tak luput dari
rayuan dan godaan setan. Ulama pun disesatkan. Apatah lagi kita yang cuma
bergelar ustaz! Apatah lagi seseorang yang cuma status Ketua Umum Parpol,
Presiden Parpol, Bendahara Umum Parpol, legislator, Ketua Majelis Syuro Parpol,
saudaranya, anak isterinya, dsb! Bukankah kondisi yang kondusif: kekuasaan,
kekuatan, dan harta dimiliki dan tersedia?
Mau jadi Ketum Parpol, masalah
kecil sepele kalau cuma menggelontorkan uang m-m-an rupiah! Mau jadi caleg,
uang DP puluhan atau ratusan juta rupiah tak masalah! Mau punya isteri cantik
putri Solo menghadiahi rumah mewah mah
tak seberapa dikemas dengan identitas palsu yang penting Miss Solo bisa digaet!
Mau dapat kiriman daging sapi impor, kasih/terima suap dengan menjual pengaruh mah nteu naon-naon!
Semua itu kecil dibandingkan
dengan syahwat keinginan nafsu memiliki meski bukan milik. Kitab Suci yang
berisi wahyu Tuhan ditaruh saja di bufet untuk pajangan. Ajaran dan teladan
para rasul kan urusan di masjid, gereja, atau kuil saja diberlakukan! Taushiyah
yang sering didengar lewat layar tv kan sekedar pelipur hati sekali seminggu
saja. Biarkan saja mulut ustaz yang juga saudara saya itu berbusa-busa.
Ketua Parpol X yang
elektabilitasnya gurem saja ke mana-mana pake Alphard! Isterinya Bendahara
Parpol yang saya pimpin saja tas tangannya merk Louis Vuitton yang harganya
hampir 1 m rupiah dan jam tangannya Richar Mille yang harganya 2 m rupiah. Anggota
DPR dari Parpol saya yang dulu saya usung, sekarang dia sering mondar-mandir
berkunjung ke kota Mode Milan, Paris, dan Barcelona demi memanjakan sang isteri
yang gila mode. Dia sendiri memang borjuis banget. Jasnya banyak dan bermerk
pula, misalnya Zegna yang harganya US$ 45.000.
Tak salah juga, kan, kalau
saya tampil seperti mereka? Bahkan semestinya lebih dari mereka. Saya tahu
mereka tidak bersih-bersih, tidak jujur, sering menelikung selagi ada
kesempatan, bukan begitu?
Mengambil hak atau milik
orang lain itu namanya maling! Mau kecil mau besar nilainya, tetap saja
perbuatan maling.
Anda kan seorang ustaz,
seorang kiai, seorang mualim, seorang tokoh agama, kok Anda mengkhianati status
dan peran sebagai pengawal akhlak mulia, kok Anda menjadi maling?
Anda kan bekerja di
Kementerian Negara yang membutuhkan dana membangun pusat olah raga untuk meningkatkan
prestasi olah raga anak Indonesia? Anda kan bekerja di Kementerian Negara yang
mengelola dana untuk pendidikan anak-anak Indonesia? Anda kan bekerja di Kantor
Kementerian negara yang namanya bagus banget
dengan berlabel agama, kok kitab Quran sempat-sempatnya dikorupsi? Anda kan
seorang kiai beken, tetapi kok bisa-bisanya ada di satu kamar hotel
berdua-duaan dengan gadis ABG? Memang anak yatim yang disantuni cuma satu orang
saja?
Mengorupsi, menilep,
menerima suap, atau menerima gratifikasi itu dilarang oleh undang-undang. Jika
larangan dilanggar juga, namanya maling. Itu artinya haram.
Ssssssssssstttttttttttttttttttttttttttt!
Ya, benar! Saya seorang ustaz! Ya, benar saya seorang kiai. Ya, saya benar sering
menyampaikan taushiyah tentang akhlaqul
karimah. Ya, benar, saya bekerja di bagian Pembinaan Mental (Bintal)
pegawai dan sering melaksanakan bina mental bagi para pegawai dan menjadi
khatib salat Jumat!
Iya sih! Saya paham betul,
Saudara. Tapi, sssssssttttttttttttttt!Ttolong juga dipahami, ustaz juga
manusia, bukan?
Jadi, judul tulisan ini
harusnya diubah menjadi, Di Kampung
Maling Ada Ustaz Tersesat.
Jakarta, 17 Februari 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar