Senin, 18 Februari 2013

USTAZ DAN MALING




USTAZ DI KAMPUNG MALING
Judul tulisan saya ini, Ustaz di Kampung Maling, saya copy-paste dari tulisan Mang Ayat (Ayatrohaedi), 5 Maret 2005, di sebuah kolom nomor 63 dalam buku suntingan Salomo Simanungkalit, 111 Kolom Bahasa Kompas (2006: 87). Ungkapan Ustaz di Kampung Maling ini terlontar dari mulut seorang legislator di gedung DPR dalam sebuah acara resmi dengar pendapat  pihak legislatif dengan eksekutif. Rapat Kerja Gabungan Komisi II dan Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dengan Pemerintah yang diwakili oleh Jaksa Agung Agung Abdul Rahman Saleh (17/02). Sasaran ungkapan sang legislator, Anhar Nasution (Anhar) namanya,  ditujukan kepada sang mitra kerjanya, Jaksa Agung, dengan sebuah pertanyaan bernuansa retorika, “'Masih adakah kemampuan Bapak untuk menegakkan benang basah, sehingga tidak seperti ustaz di kampung maling?” (Media Indonesia, 18/02).
 Lain maksud Anhar sang legislator yang melontarkan ungkapan, lain pula tanggapan Jaksa Agung.
Jaksa Agung marah. Ada dasarnya dia marah. menurut Jaksa Agung, kalimat 'ustaz di kampung maling' bukan yang pertama disampaikan oleh anggota DPR bersangkutan. Rapat pun berlangsung ricuh. Pernyataan Anhar menjadi pemicu kemarahan dan Jaksa Agung.Tetapi Jaksa Agung lupa mengingatkan Ketua Rapat untuk memberikan peringatan, menghentikan, atau menskors rapat beberapa saat jika ada seorang legislator mengeluarkan kata atau pernyataan yang tidak layak. Terlebih-lebih mengandung penghinaan. Jalan yang ditempuh oleh Ketua Rapat adalah menutup rapat lebih cepat
Jaksa Agung mungkin lupa, bahwa legislator itu punya hak imunitas sebagaimana yang diatur pada ketentuan Pasal 28 huruf f Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan Anggota Legislatif (UU Susduk) yang menegaskan bahwa anggota DPR mempunyai hak imunitas. Penjelasan Pasal 28 huruf f menyebutkan hak imunitas atau hak kekebalan hukum anggota DPR adalah hak untuk tidak dapat dituntut di muka pengadilan karena pernyataan dan pendapat yang disampaikan dalam rapat-rapat DPR dengan pemerintah dan rapat-rapat DPR lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Ada hak imunitas, pasti ada kewajiban pula atas legislator terkait dengan urusan resmi rapat-berapat.
Pasal 29 huruf j UU Susduk bahwa anggota DPR mempunyai kewajiban menjaga etika dan norma dalam hubungan kerja dengan lembaga terkait. Jadi, pernyataan “ustaz di kampung maling” lebih merupakan etika. Apalagi, Pasal 7 Kode Etik DPR menentukan bahwa selama rapat berlangsung setiap anggota DPR bersikap sopan santun, bersungguh-sungguh.
Apakah Anhar sang legislator bermaksud menghina?
Tak ada penjelasan lebih lanjut? Media massa tidak berusaha menggali apa maksud Anhar dengan ustaz dan kampung maling.
Akan tetapi jika orang sedikit menyediakan waktu untuk membaca sejarah dan riwayat hidup sang Jaksa Agung itu, mungkin orang akan menangkap makna positif akan ungkatan yang dilontarkan oleh Anhar.
Jaksa Agung yang “Ustaz”
Abdurrahman Saleh, sang Jaksa Agung kita ini, mantan wartawan berpengalaman sebelum memasuki karir di lembaga birokrasi. Dia punya pens name (nama pena) Arman. Bukan saja mantan wartawan hebat, dia juga mantan advokat/pembela, notaris, dan bintang film!
Orang dengan banyak profesi yang digeluti sepanjang hidup memang tidaklah aneh. Profesi bisa saja gonta-ganti, apa lagi di zaman modern ini. Sebelum menduduki tahta nomor 1 di Gedung Bunder (Kejaksaan Agung), dia pernah menduduki jabatan Ketua Muda Mahkamah Agung.
Sosok Abdurrahman Saleh adalah sosok yang penuh integritas, dedikatif, dan selalu berada di pihak yang lemah, berada di pihak mereka yang dilupakan, berada di tengah-tengah rakyat kecil pencari keadilan dan ia tidak pernah bergeser sedikitpun dari cita-cita awalnya, pendekar penegak kebenaran dan keadilan.
Anhar sang legislator (mungkin) tahu banyak sosok Abdurrahman Saleh sang Jaksa Agung. Pantaslah Anhar menjulukinya dengan gelar ustaz. Anhar (mungkin) berharap banyak dengan lontaran ungkapan “ustaz di kampung maling” itu agar Abdurrahman Saleh yang dedikatif dan punya integritas ini dapat memperbaiki lingkungan kerjanya, Kejaksaan Agung, yang diduga sebagai tempat busuk dengan analog “Kampung Maling”.
Kejaksaan Agung “Kampung Maling”
Kenapa Anhar menganalogkan Kejaksaan Agung sebagai Kampung Maling?
Oknum Kejaksaan Agung Jual-Beli Perkara

Kasus Jaksa Urip Tri Gunawan, yang didakwa menerima suap sebesar 660.000 dollar AS adalah kasus besar dan menarik perhatian khalayak ramai. Dia ditangkap tangan oleh KPK dan disidang di Pengadilan Khusus Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, karena menerima suap perkara dari tersangka Artalyta Suryani (yang kemudian menjadi terdakwa karena didakwa memberikan suap) merupakan bukti nyata bahwa lembaga kejaksaan masih sebagai lembaga yang kotor dan tidak bisa diharapkan memberantas korupsi. Banyak warga menyaksikan dan merasakan, Kejaksaan adalah lembaga jual-beli perkara, serta terdiri dari kumpulan orang yang tega memeras pihak-pihak yang berperkara. Banyak penghuni kejaksaan yang memiliki kekuasaan berlaku korup alias maling. Sehingga kejaksaan layak digelari “Kampung Maling”. Kondisi itulah yang kemudian mendorong pemerintah dan DPR membentuk KPK pada 2003. Undang-Undang 30/2002 tentang KPK, dalam pertimbangan poin b, menyatakan KPK dibentuk karena lembaga negara (Kejaksaan dan Polri) yang menangani korupsi tidak berfungsi efektif dan efisien.

Mengapa Kejaksaan tetap kotor?
Dari berbagai analisis dan pendapat pakar ilmu hukum, politik, dan ilmu sosial, paling tidak ada dua hal yang menyebabkan Kejaksaan masih sebagai "Kampung Maling".

Pertama, tidak adanya kemauan politik penguasa. Kotornya lembaga Kejaksaan mencerminkan kemauan penguasa, dalam hal ini Presiden dan Wakil Presiden. Pendapat ini, tidaklah berlebihan karena Jaksa Agung dipilih oleh Presiden. Oleh karena itu, Jaksa Agung bertanggung jawab kepada Presiden.

Kedua, lembaga pengawasan internal Kejaksaan tidak berfungsi maksimal. Banyak warga dan pakar ilmu hukum berpendapat, JAM Pengawasan Kejagung hanyalah lembaga stempel belaka. "Pengawasan internal Kejagung hanya lembaga stempel saja, bahkan justru menjadi pelindung bagi jaksa-jaksa yang bersalah," kata Direktur Indonesian Legal Resource Centre, Uli Parulian Sihombing.

Karena pengawasan internal kurang berfungsi efektif, begitu pun lembaga pengawasan eksternal Kejaksaan, yakni Komisi Kejaksaan. Namun, Komisi Kejaksaan ini, sejak berdiri sampai sekarang, hanya lembaga yang banci. Pasalnya, honor untuk anggotanya tidak ada, apalagi sarana dan prasarana untuk menunjang pekerjaan lembaga ini. "Lembaga ini terbentuk 2006, namun dana keluar untuk kami dan menunjang pekerjaan kami baru cair tahun 2008. Bagaimana kami bisa kerja, kalau dana tidak ada," kata anggota Komisi Kejaksaan, Maria Ulfah Rombot.

Anggota Badan Pekerja ICW, Emerson Yuntho mengatakan keberadaan lembaga pengawasan internal Kejagung dan Komisi Kejaksaan tidak mengurangi praktik menyimpang yang dilakukan oleh oknum Kejaksaan. Hal ini terbukti dari semakin meningkatnya laporan masyarakat mengenai perilaku jaksa yang menyimpang.

Total jaksa yang diberi sanksi pada 2007 adalah 89 orang. Sebanyak 25 orang dijatuhi sanksi ringan, 51 jaksa sanksi sedang berupa sanksi administrasi, dan 13 jaksa dikenai sanksi berat, seperti penurunan pangkat, gaji, hingga pemberhentian secara tidak hormat.

Menurut Emerson, tindakan pemeriksaan yang dilakukan oleh kalangan internal Kejaksaan, meskipun perlu mendapat respons positif, yang disayangkan hanya sebatas pada pemeriksaan ada atau tidak adanya pelanggaran kode etik atau disiplin pegawai negeri sipil. Pemberian sanksi juga terbatas hanya bersifat administratif, meski dengan kategori berat berupa pencopotan jabatan, mutasi, hingga non-job dan penurunan pangkat, serta penundaan kenaikan gaji.

Meski hasil pemeriksaan menyatakan terbukti adanya pemerasan yang dilakukan oknum jaksa, sangat langka kasusnya berlanjut ke proses hukum. Hal demikian dapat dilihat dari sejumlah dugaan pemerasan atau gratifikasi oleh oknum jaksa. Dalam pantauan ICW selama 2005-2007, dari 10 kasus suap yang melibatkan jaksa, baru jaksa Cecep dan Burdju yang telah diproses hingga ke pengadilan dan akhirnya dijatuhi vonis bersalah oleh hakim. Ironisnya, setelah menjalani masa tahanan selama dua tahun, kedua orang ini dapat kembali berdinas di lingkungan Kejaksaan.

Tindakan nyata memang sudah diambil, tetapi kenyataannya persoalan korupsi di jajaran Kejaksaan tetap saja tak kunjung usai. Selain karena faktor kesejahteraan jaksa yang rendah, terdapat beberapa faktor lain yang menyebabkan kalangan internal Kejaksaan gagal menyelesaikan persoalan korupsi yang dilakukan oleh oknum jaksa.

Pertama, persoalan kultural. Terdapat kondisi di mana adanya keengganan (ewuh pakewuh) di kalangan jaksa untuk memeriksa sesama rekan seprofesi dan semangat untuk melindungi korps (espirit de corps) yang berlebihan.

Kedua, sering kali terjadi praktik kolusi dalam proses pemeriksaan, sehingga melahirkan kesimpulan dugaan penyimpangan tak terbukti.

Selain kedua faktor itu, kata Emerson, juga karena penjatuhan sanksi administratif terhadap jaksa-jaksa yang dinilai bermasalah, khususnya melakukan korupsi, pada akhirnya tidak memberikan efek kejut (shock therapy) bagi jaksa-jaksa nakal lainnya. Sanksi tersebut tidak akan memutus mata rantai praktik mafia peradilan, khususnya yang melibatkan jaksa. Jika sanksinya hanya mutasi, jaksa yang bersangkutan justru akan menyebarkan bibit penyakit korupsi baru di daerah yang ditempati. Dapat dipastikan akan selalu muncul oknum-oknum jaksa yang kembali melakukan tindakan serupa pada masa yang akan datang.

Tindakan yang tidak tegas dari pimpinan Kejaksaan juga akan melahirkan aktor-aktor korupsi baru di lingkungan Kejaksaan. Seharusnya ada sinergi antara bidang pengawasan dan bidang pidana khusus di lingkungan Kejaksaan. "Artinya, apabila dari hasil pemeriksaan yang dilakukan oleh bagian pengawasan ditemukan adanya indikasi suap atau pemerasan yang dilakukan oleh oknum jaksa, hal ini seharusnya ditindaklanjuti oleh bagian pidana khusus untuk memproses secara pidana," kata Emerson.

Ketiga, proses mutasi dan promosi di lingkungan Kejaksaan yang penuh KKN.

Keempat, perekrutan anggota jaksa yang penuh KKN. Pendapat ini dibantah Jaksa Agung Muda Pengawasan, M Slamet Rahardjo. Ia mengatakan, beberapa kali pihaknya datang ke kampus terkenal untuk mencari lulusan Fakultas Hukum yang cerdas untuk menjadi jaksa. "Yang pintar-pintar tidak mau jadi jaksa. Mereka ingin menjadi pengacara, kerja di BUMN-BUMN," kata Rahardjo.

Selain itu, kata dia, pimpinan Kejaksaan menginginkan perekrutan anggota Kejaksaan dilakukan lembaga independen, seperti oleh perguruan tinggi terkemuka. Namun, karena untuk menggunakan jasa lembaga independen itu mahal, keinginan itu tidak dilaksanakan.

Kelima, rendahnya gaji para jaksa. "Tidak bisa disangkal, sebagian jaksa jual-beli perkara, karena rendahnya gaji dan tekanan ekonomi," kata Maria Ulfah Rombot.

Abdul Rahman Saleh (Arman) dalam bukunya,  Bukan Kampung Maling, Bukan Desa Ustadz: Memoar 930 Hari di Puncak Gedung Bundar, mengatakan, ketentuan yang tidak tertulis sebelum dia menjadi Jaksa Agung adalah Jaksa Agung memiliki wewenang penuh untuk memutuskan promosi seluruh aparat Kejaksaan. Siapa yang menjadi Kepala Kejaksaan Negeri atau Kepala Kejaksaan Tinggi, ditentukan sepenuhnya oleh Jaksa Agung. "Dengan kata lain, Jaksa Agung adalah penentu tunggal keberlangsungan karier seseorang. Sampai-sampai ada seloroh, hidup mati para jaksa dan aparat kejaksaan ada di tangan Jaksa Agung,"

Ketika Arman menjadi Jaksa Agung, ia mengubah aturan itu, karena menurutnya, aturan seperti itu membuka pintu bagi terjadinya penyalahgunaan wewenang.

Arman menciptakan sebuah mekanisme baru, yakni pengangkatan melalui rapat pimpinan (rapim). Mekanisme yang dibuat Arman ini membuat banyak pihak di Kejaksaan kecewa. Tetapi, tidak sedikit juga yang menyambut dengan antusias. Mereka yang selama ini menjalankan tugas dengan lurus, jujur, dan bersih, mendapat peluang untuk berkembang maju.

"Walaupun demikian, masih ada saja yang mencoba main-main. Masih ada yang membawa tradisi lama, bahwa untuk mengisi pos seperti Kajari, Kajati, harus menyetor kepada 'orang Jakarta'," kata Arman.

Terlepas dari masih ada jaksa yang bermain kotor, mekanisme rapim dan sikap tegasnya untuk membersihkan internal Kejaksaan dari sogok-menyogok, suap-menyuap, bergema ke seluruh jajaran Kejaksaan. Untuk bisa naik pangkat atau jabatan, tidak perlu ada lagi sogok, suap, upeti dan uang terima kasih, dan sejenisnya.

Untuk seorang Arman yang menjadi orang nomor 1 di Gedung Bunder selama 930 hari, judul tulisan Mang Ayatrohaedi, Ustaz di Kampung Maling, cocok sekali!

Arman tidak lupa mengilustrasi perkataan mantan bawahannya, yang kemudian menjadi Jaksa Agung, Hendarman Supandji, Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus waktu itu, mengatakan era Arman adalah era gratisan.


Ustaz, siapakah dia?
Kata ustaz itu diterjemahkan dengan guru. Ustaz sama dengan guru. Ustaz itu tugas utamanya mendidik dan mengajar. Memang ada perbedaan antara ustaz dan guru di tengah masyarakat, yakni perbedaan subject/mata pelajaran/bahan ajar. Guru itu mengajar pelajaran umum di luar pelajaran Agama Islam dan ustaz pastilah mengajar khusus mata pelajaran Agama Islam.
Dalam pandangan dan penilaian masyarakat umum, ustaz itu, di samping mendidik dan mengajar, dia juga membimbing, memberi nasihat, dan menjaga akhlak. Ustaz identik dengan kebaikan/kebajikan. “Pakaian” ustaz pun berbeda dengan orang kebanyakan: berbaju koko, berkopiah, bersarung, dan bersorban, dan membawa kitab. Karena itu, ustaz adalah orang yang (seharusnya) menjunjung tinggi akhlak dan meneladankan akhlak mulia dalam tata pergaulan di tengah masyarakat. Kedudukan ustaz di tengah masyarakat adalah kedudukan pilihan/istimewa.  “Cium tangan” ustaz ketika bertemu dan berpisah adalah budaya yang hidup di tengah masyarakat kita, bangsa Indonesia, khususnya bagi umat Islam, sebagai wujud penghargaan masyarakat terhadap ustaz. Gelar ustaz menjadi jaminan kebaikan akhlak orang yang mendapatkannya. Banyak orang yang berzakat/muzakki lebih memilih menyerahkan zakat kepada ustaz daripada mereka menyerahkan kepada bazis atau takmir masjid.
Kebanyakan orang tetap percaya bahwa ustaz selalu terjaga kemuliaan akhlaknya. Zaman boleh bergulir dari era tradisional ke era modern. Ustaz  tetaplah diyakini berakhlak mulia sebagaimana ajaran agama yang disampaikannya, baik di kelas maupun di majelis taklim. Kondisi kepercayaan masyarakat terkadang irrasional/tak nalar. Asal ada saja seseorang yang fasih berucap ayat-ayat Quran walaupun hanya beberapa ayat, pandai membaca Quran dengan suara merdu, pandai memimpin salat berjamaah, masyarakat pun bermurah hati memanggilnya sebagai ustaz. Begitu sudah santer dipanggil namanya dengan imbuhan ustaz, pemuliaan orang pun dimulai.
Kondisi kepercayaan masyarakat yang irrasional ini adalah salah kaprah dan berujung dimanfaatkan oleh oknum-oknum yang memiliki maksud terselubung. Para pembaca akan dengan mudah melihat surat kabar tertentu yang punya halaman iklan, ada pengiklan tukang obat, tukang ramal/paranormal/dukun, atau tukang pijat menampilkan gambar dirinya dalam busana muslim/muslimah. Supaya meyakinkan calon konsumen, di depan namanya diimbuhi Ustaz/Ustazah, Kiai, Kiai Haji, Haji, Al Habib, atau As Syeh, padahal aslinya tukang obat, tukang urut, dukun, atau tabib.
(Tahukah pembaca, apakah profesi asli Ustaz Haryono yang buka praktik di Jakarta Timur dan kadang-kadang buka praktik di tempat lain? Ustazkah, guru spiritual, motivator, kiai, tukang obat, atau dukun?)
(Tahukah pembaca, apakah profesi Ucil (ustaz kecil) Guntur Bumi yang tiba-tiba menjadi bahan berita karena dan tiba-tiba digelari ustaz oleh tulisan di media massa? Ustaz figuran atau figuran ustaz, calon ustaz, atau calon dukun? Yang jelas dia pernah di pesantren, yakni pesantren kilat! Kemudian dia diikutkan main dalam film serba samar-samar “Pemburu Hantu” yang lakonnya nggak jelas seperti nggak jelasnya gambar hantu. Dia sering muncul dengan tampilan busana muslim).
Kata ustaz yang aslinya berarti orang yang baik selalu berbuat baik bernilai penuh kebajikan. Hampir semua orang percaya, memandang, dan menilai ustaz itu memang mengawal akhlak mulia. Paling tidak kepercayaan masyarakat itu masih kental sampai akhir abad XX. Sejak awal abad XXI (2000 – 2013), kita sudah mulai bertanya-tanya, masihkah ustaz seperti dulu?
Nyaris orang tak percaya kepada fakta kenyataan jika seorang ustaz adalah maling, pemabok, penjudi, apa lagi menjadi koruptor. Apa iya, status ustaz tetapi role-nya maling? Bukankah status dan role itu seiring sejalan?
Maling
Budaya Jawa yang dimiliki etnis Jawa mengajarkan nasihat luhur tentang menghindari diri dan harus menjauhi sejauh-jauhnya penyakit mo limo (lima ma): maling, madat, madon, main, dan mabok.
Satu dari mo dari limo mo adalah maling. Penganut agama apa pun, kitab suci umat mana pun, budaya mana pun, kepercayaan asasi apa pun, profesi dan perbuatan maling itu terlarang. Forum diskusi di hotel berbintang, di kampus prestisius, atau omongan di warteg pun, kesimpulan semua orang pasti bersetuju: maling itu haram!
Asasi manusiawi, fitrahnya, takkan ada seorang pun yang punya niat menjadi maling sebersit pun di dalam benak. Namun, perjalanan hidup manusia tak bisa diprediksi dengan tepat oleh empunya diri karena banyak faktor yang memengaruhi dan ikut andil mengintervensi perjalanan hidup. Tuhan Yang Maha Pencipta makhluk, salah satunya adalah manusia, memberi kesempatan untuk mengelola bumi dengan sebaik-baiknya, namun disediakan dua jalan saja untuk dipilih salah satu, jalan takwa dan jalan jahat.
Tentu kita selalu ingat, selain kita, manusia ini, Tuhan Yang Mahakuasa juga mencipta iblis yang dikenal dengan julukan syetan/setan. Tuhan, para rasul dan nabi, serta para ulama menyuruh/mengajak manusia kepada jalan takwa, tetapi setan justru berusaha membelokkan arah jalan kita kepada jalan jahat. Setan bisa gagal dan bisa juga sukses dalam upayanya. Setan tidak pilih bulu tidak pilih kasih tidak pilih status manusia dalam mencari mangsa: rasul, nabi, ulama, pastor, pendeta, suster, kiai, habib, syeh, ustaz, raja atau rakyat, menteri atau staf, presiden parpol atau ketua umum, dll. Modus operandi setan pun seribu satu macam, tujuannya adalah menjerumuskan manusia kepada jalan jahat.
Tak ada yang aneh toh! Nabi Ayyub yang penyayang kepada isteri bisa juga murka kepada isterinya. Nabi Musa bisa murka kepada saudaranya Nabi Harun dan sempat menarik janggut Nabi Harun. Nabi Adam dan Hawa bernasib malang terusir dari surga. Istri Nabi Ibrahim, Sarah, bisa juga cemburu berat kepada madunya Hajar.
Nabi-nabi pun tak luput dari rayuan dan godaan setan. Ulama pun disesatkan. Apatah lagi kita yang cuma bergelar ustaz! Apatah lagi seseorang yang cuma status Ketua Umum Parpol, Presiden Parpol, Bendahara Umum Parpol, legislator, Ketua Majelis Syuro Parpol, saudaranya, anak isterinya, dsb! Bukankah kondisi yang kondusif: kekuasaan, kekuatan, dan harta dimiliki dan tersedia?
Mau jadi Ketum Parpol, masalah kecil sepele kalau cuma menggelontorkan uang m-m-an rupiah! Mau jadi caleg, uang DP puluhan atau ratusan juta rupiah tak masalah! Mau punya isteri cantik putri Solo menghadiahi rumah mewah mah tak seberapa dikemas dengan identitas palsu yang penting Miss Solo bisa digaet! Mau dapat kiriman daging sapi impor, kasih/terima suap dengan menjual pengaruh mah nteu naon-naon!
Semua itu kecil dibandingkan dengan syahwat keinginan nafsu memiliki meski bukan milik. Kitab Suci yang berisi wahyu Tuhan ditaruh saja di bufet untuk pajangan. Ajaran dan teladan para rasul kan urusan di masjid, gereja, atau kuil saja diberlakukan! Taushiyah yang sering didengar lewat layar tv kan sekedar pelipur hati sekali seminggu saja. Biarkan saja mulut ustaz yang juga saudara saya itu berbusa-busa.
Ketua Parpol X yang elektabilitasnya gurem saja ke mana-mana pake Alphard! Isterinya Bendahara Parpol yang saya pimpin saja tas tangannya merk Louis Vuitton yang harganya hampir 1 m rupiah dan jam tangannya Richar Mille yang harganya 2 m rupiah. Anggota DPR dari Parpol saya yang dulu saya usung, sekarang dia sering mondar-mandir berkunjung ke kota Mode Milan, Paris, dan Barcelona demi memanjakan sang isteri yang gila mode. Dia sendiri memang borjuis banget. Jasnya banyak dan bermerk pula, misalnya Zegna yang harganya US$ 45.000.
Tak salah juga, kan, kalau saya tampil seperti mereka? Bahkan semestinya lebih dari mereka. Saya tahu mereka tidak bersih-bersih, tidak jujur, sering menelikung selagi ada kesempatan, bukan begitu?
Mengambil hak atau milik orang lain itu namanya maling! Mau kecil mau besar nilainya, tetap saja perbuatan maling.
Anda kan seorang ustaz, seorang kiai, seorang mualim, seorang tokoh agama, kok Anda mengkhianati status dan peran sebagai pengawal akhlak mulia, kok Anda menjadi maling?
Anda kan bekerja di Kementerian Negara yang membutuhkan dana membangun pusat olah raga untuk meningkatkan prestasi olah raga anak Indonesia? Anda kan bekerja di Kementerian Negara yang mengelola dana untuk pendidikan anak-anak Indonesia? Anda kan bekerja di Kantor Kementerian negara yang namanya bagus banget dengan berlabel agama, kok kitab Quran sempat-sempatnya dikorupsi? Anda kan seorang kiai beken, tetapi kok bisa-bisanya ada di satu kamar hotel berdua-duaan dengan gadis ABG? Memang anak yatim yang disantuni cuma satu orang saja?
Mengorupsi, menilep, menerima suap, atau menerima gratifikasi itu dilarang oleh undang-undang. Jika larangan dilanggar juga, namanya maling. Itu artinya haram.
Ssssssssssstttttttttttttttttttttttttttt! Ya, benar! Saya seorang ustaz! Ya, benar saya seorang kiai. Ya, saya benar sering menyampaikan taushiyah tentang akhlaqul karimah. Ya, benar, saya bekerja di bagian Pembinaan Mental (Bintal) pegawai dan sering melaksanakan bina mental bagi para pegawai dan menjadi khatib salat Jumat!
Iya sih! Saya paham betul, Saudara. Tapi, sssssssttttttttttttttt!Ttolong juga dipahami, ustaz juga manusia, bukan?
Jadi, judul tulisan ini harusnya diubah menjadi, Di Kampung Maling Ada Ustaz Tersesat.

Jakarta, 17 Februari 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar