Jumat, 01 Maret 2013

HIDUP DALAM TOLERANSI







ALANGKAH INDAHNYA TOLERANSI DI NEGERI TERCINTA

Belajar Toleran melalui Mengetahui, Memahami, Menghayati, dan Mempraktikkan

Toleransi adalah penghargaan manusia satu sama lain dalam kehidupan. Masyarakat, bangsa, dan kelompok menjalani hidup yang nyaman dan indah. Warna kehidupan bak pelangi warna-warni bak harmoni sebuah orkestra.
Itu gambaran idealnya sebuah toleransi dalam kehidupan bernegara.

Bangsa Indonesia adalah bangsa yang dibangun di atas heterogenitas atau keberagaman: suku, golongan, agama, budaya, adat-istiadat, bahasa, dan ragam keyakinan. Perangkat hukum, peraturan perundang-undangan, dari mulai level konstitusi sampai kepada level tata tertib pun dibuat demi menciptakan keharmonisan dalam hidup berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara di negeri tercinta ini.

Menyadari akan kondisi keberagaman itu, para tokoh pendiri bangsa menggagas ideologi yang mempersatukan bangsa Indonesia, itulah Pancasila. Kita menjadi tambah menyatu dalam praktik kehidupan berbangsa setelah kita menjadi sebuah bangsa yang merdeka dan berdaulat penuh usai diproklamasikan oleh proklamator kemerdekaan, Soekarno –Hatta, 17 Agustus 1945.
Ada frasa indah yang digemakan dalam mukaddimah UUD 1945, tertera sebagai tujuan bernegara, pada alinea keempat,  yakni frasa “mencerdaskan kehidupan bangsa”.

Mencerdaskan kehidupan bangsa artinya menyangkut dua hal kecerdasan. Pertama, kecerdasan akan kompetensi iptek dan imtak. Kedua, kecerdasan mempraktikkan iptek dan imtak dalam kehidupan yang penuh dengan toleransi.
Mari kita simak beberapa pernyataan berikut ini menyangkut makna toleransi.
Saya, Kamu, Agnes, Wayan, Aryana, dan Wiryo bersahabat baik. Kita bergaul akrab dalam kebersamaan meskipun pada beberapa sisi kita berbeda.

Agamaku agamaku, agamamu agamamu, agamanya ya agamanya!
Saya seorang muslim, Kamu Katholik, Agnes Protestan, Wayan Hindu, Aryana Buddha. Pak Wiryo penganut Aliran Kepercayaan.
Itu toleransi baru sebatas isi benak atau penghias bibir tanpa wujud.

Ibadatku ibadatku, ibadatmu ibadatmu, ibadatnya ya, ibadatnya!
Saya punya salam “assalamu alaikum”. Kamu, Agnes, Pak Wiryo, dan Aryana punya “salam kasih” atau “salam sejahtera”, dan Wayan punya “Om Om santi om”.
Saya salat di mesjid. Kamu kebaktian di gereja Katholik. Agnes di gereja Protestan. Wayan sembahyang di pura. Aryana di kuil. PakWiryo bersemedi di sebuah tempat.
Saya ber-Idul Fitri/berlebaran. Kamu dan Agnes bernatalan dan bertahun baru. Wayan ber-Nyepi. Aryana berhari Waisak ke Prambanan. Pak Wiryo entahlah!

Inikah toleransi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara?
Belum! Ini baru kerangkanya toleransi.

Kita sedang berdiskusi di sebuah tempat.
Saya salat ketika tiba waktunya salat. Kamu, Agnes, Wayan, Aryana, dan Pak Wiro menyilakan saya salat. Bahkan kalian membantu saya mempermudah saya bersalat. Kalian bisa rehat, mengobrol, atau sibuk dengan tugas pribadi masing-masing. Kemudian, usai rehat, kita bisa melanjutkan diskusi sampai selesai.

Kamu dan Agnes ikut kebaktian di gereja pada hari Minggu. Silakan ikuti kebaktian sebaik-baiknya sampai selesai.
Wayan bersembahyang setiap pagi hari di pura di samping rumahnya. Aryana dan Pak Wiryo pun beribadat sesuai dengan ajaran agama dan keyakinannya. Saya dan teman-teman yang lain sekedar tahu, boleh-boleh saja, atau tak tahu, juga tak menjadi masalah. Kita bersahabat kan saling memahami.

Bukan toleransi namanya kalau saya yang muslim ikut-ikutan Natalan atau ikut ritual Waisak atau sembahyang di pura. Bukan toleransi namanya Kamu, Aryana, Wayan, Pak Wiryo,  dan Agnes ikut bersalat Ied.

Itukah toleransi dalam hidup bermasyarakat?
Belum! Itu barulah wujud tubuh toleransi tanpa kepala. Itu baru toleransi antarpribadi yang heterogen.

Saya dan saudara-saudara sesama muslim mengadakan hajatan pengajian bertempat di sebuah mesjid. Kami menjadi panitia penyelenggara. Kami mengadakan rapat persiapan dari tahap perencanaan, pelaksanaan, sampai evaluasi. Kami hidup di zaman modern. Memberi tahu dan minta izin kepada aparat pun wajib dilakukan. Sosialisasi itu amat penting sebelum perhelatan hajatan dilaksanakan. Kami tak ingin perhelatan hajatan kami mengganggu orang lain, bukan mengkhawatirkan orang lain mengganggu. Kami memikirkan orang banyak (mayoritas) dan juga orang sedikit (minoritas)
Pengumuman disampaikan; surat undangan atau selebaran didistribusikan; petunjuk arah atau denah tempat perhelatan dibuat;

Hari H pun tiba. Namanya hajatan, tentulah banyak orang yang berdatangan. Tentulah orang banyak yang membawa kendaraan pribadi, baik kendaraan roda dua ataupun roda empat. Para tetangga dekat berdatangan dengan berjalan kaki.
Kami telah menyiapkan tempat parkir dan petugas khusus parkir berikut pengamanannya. Kami memastikan tak ada kendaraan tamu yang diparkir asal-asalan tak hirau dengan kepentingan orang lain. Kendaraan-kendaraan dapat berlalu-lalang dengan nyaman walaupun  ada sedikit ketidaklancaran. Orang-orang yang hadir bisa menempati tempat dengan tepat karena ada petunjuk dan juga bimbingan dari petugas.

Oh ya, kami pasti menggunakan sound system. Loudspeaker dipakai ya, pastilah!
Kami menata suara pengeras suara dan memastikan suaranya jelas dan volume yang wajar. Kami pastikan acara pengajian yang bagus itu tidak mengganggu orang lain, utamanya orang yang tinggal berdekatan dengan mesjid tempat hajatan dihelat. Kan tidak semua orang di sekitarnya muslim. Kan terkadang yang muslim pun belum tentu suka dengan pengajian. Kalaupun ada yang merasa terganggu tentulah mereka memaafkan sebagai sesuatu yang wajar. Misalnya saja ada tetangga yang sakit dan membutuhkan ketenangan.

Usai perhelatan kami segenap panitia melakukan evaluasi. Pertanyaan penting adalah apakah perhelatan pengajian itu dari awal hingga akhir bagus, lumayan, atau malah mudarat. Penilain tentu bukan oleh kami saja (internal) tetapi oleh semua orang yang mengalami perhelatan pengajian kami: masyarakat sekitar, jemaah, aparat kelurahan/desa, kepolisian, atau siapa saja yang mengalami (eksternal).

Begitu pun perhelatan besar yang diadakan oleh kalian dalam menegakkan ajaran agama/keyakinan kalian, saudara-saudaraku, dan sahabat-sahabatku semua.
Agnes yang Protestan bisa saja mengadakan perhelatan Natal dan Tahun Baru di tempat yang telah ditentukan dengan penuh kenyamanan dan keriangan.  Semua teman dari lintas agama ikut bergembira seperti Agnes.
Aryana merayakan Waisak di Prambanan dengan penuh sukacita dan bahkan teman-teman ikut diajak bertamasya.
Wayan dan saudara-saudara umat Hindu menyepi dalam “Nyepi” di Bali tanpa cahaya dan bunyi kompor gas tanpa ada gangguan. Teman-teman dan orang-orang lain diberitahu perihal “Nyepi” dan toleran terhadap sesama yang sedang merayakan kesenyapan Nyepi, sehingga Wayan dan saudara kita umat Hindu Bali bisa merayakan atau mungkin menyepi pada hari yang istimewa itu.

Itulah contoh satu wujud toleransi seorang, sekelompok, segolongan,atau masyarakat mayoritas muslim terhadap nonmuslim, yang mayoritas terhadap minoritas, atau sebaliknya, intraumat, antarumat penduduk negeri.  Akhirnya, semua ada dalam kenyamanan hidup bermasyarakat.

Bukan Islam yang rahmatan lil alamin namanya kalau bikin perhelatan pengajian sesuka hati semau gue yang menyebabkan orang lain terganggu: tempat atau jalan umum dipakai sapenake dewek yang penting gratis; waktu sampai larut malam; suara bising dan keras membuat telinga pekak; tak ada izin dari aparat pemerintah setempat maupun kepolisian, dan berujung rawan keamanan.

Jika ada muslim yang berkelakukan seperti itu berarti dia itu tidak cerdas alias jahil. Jahil dalam praktik beragama dan jahil dalam hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Tak boleh muslim itu bersikap mentang-mentang karena mayoritas! “Ojo dumeh yo, Le!” “Islam itu rahmatan lil alamin”. Semua orang dari segala etnis, agama, budaya, dan adat-istiadat merasakan kenyamanan dalam kehidupan jika berada di tengah masyarakat muslim, baik selagi mayoritas muslim maupun ketika muslim minoritas.

Itulah wujud toleransi dalam keberagaman di negeri tercinta ini. Itulah wujud menjalani hidup yang cerdas! Toleransi dipraktikkan dalam kehidupan internal sesama umat, antarumat, dan umat dengan pemerintah.

Itulah maksud dari mukaddimah UUD ’45 dengan frasa, “mencerdaskan kehidupan bangsa” dalam wujud toleransi.

Semoga kita selalu belajar untuk menjadi cerdas menjalani  kehidupan yang indah dalam suasana penuh toleransi yang utuh segera terwujud di negeri tercinta ini. Amin.

Jakarta, 1 Maret 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar