ALANGKAH INDAHNYA TOLERANSI DI NEGERI
TERCINTA
Belajar Toleran melalui Mengetahui, Memahami,
Menghayati, dan Mempraktikkan
Toleransi adalah penghargaan manusia satu
sama lain dalam kehidupan. Masyarakat, bangsa, dan kelompok menjalani hidup
yang nyaman dan indah. Warna kehidupan bak pelangi warna-warni bak harmoni sebuah
orkestra.
Itu gambaran idealnya sebuah toleransi dalam
kehidupan bernegara.
Bangsa Indonesia adalah bangsa yang dibangun
di atas heterogenitas atau keberagaman: suku, golongan, agama, budaya,
adat-istiadat, bahasa, dan ragam keyakinan. Perangkat hukum, peraturan
perundang-undangan, dari mulai level konstitusi sampai kepada level tata tertib
pun dibuat demi menciptakan keharmonisan dalam hidup berkeluarga,
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara di negeri tercinta ini.
Menyadari akan kondisi keberagaman itu, para
tokoh pendiri bangsa menggagas ideologi yang mempersatukan bangsa Indonesia,
itulah Pancasila. Kita menjadi tambah menyatu dalam praktik kehidupan berbangsa
setelah kita menjadi sebuah bangsa yang merdeka dan berdaulat penuh usai
diproklamasikan oleh proklamator kemerdekaan, Soekarno –Hatta, 17 Agustus 1945.
Ada frasa indah yang digemakan dalam
mukaddimah UUD 1945, tertera sebagai tujuan bernegara, pada alinea
keempat, yakni frasa “mencerdaskan
kehidupan bangsa”.
Mencerdaskan kehidupan bangsa artinya
menyangkut dua hal kecerdasan. Pertama, kecerdasan akan kompetensi iptek dan
imtak. Kedua, kecerdasan mempraktikkan iptek dan imtak dalam kehidupan yang
penuh dengan toleransi.
Mari kita simak beberapa pernyataan berikut
ini menyangkut makna toleransi.
Saya, Kamu, Agnes, Wayan, Aryana, dan Wiryo
bersahabat baik. Kita bergaul akrab dalam kebersamaan meskipun pada beberapa
sisi kita berbeda.
Agamaku agamaku, agamamu agamamu, agamanya ya
agamanya!
Saya seorang muslim, Kamu Katholik, Agnes
Protestan, Wayan Hindu, Aryana Buddha. Pak Wiryo penganut Aliran Kepercayaan.
Itu toleransi baru sebatas isi benak atau
penghias bibir tanpa wujud.
Ibadatku ibadatku, ibadatmu ibadatmu,
ibadatnya ya, ibadatnya!
Saya punya salam “assalamu alaikum”. Kamu,
Agnes, Pak Wiryo, dan Aryana punya “salam kasih” atau “salam sejahtera”, dan
Wayan punya “Om Om santi om”.
Saya salat di mesjid. Kamu kebaktian di
gereja Katholik. Agnes di gereja Protestan. Wayan sembahyang di pura. Aryana di
kuil. PakWiryo bersemedi di sebuah tempat.
Saya ber-Idul Fitri/berlebaran. Kamu dan
Agnes bernatalan dan bertahun baru. Wayan ber-Nyepi. Aryana berhari Waisak ke
Prambanan. Pak Wiryo entahlah!
Inikah toleransi dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara?
Belum! Ini baru kerangkanya toleransi.
Kita sedang berdiskusi di sebuah tempat.
Saya salat ketika tiba waktunya salat. Kamu,
Agnes, Wayan, Aryana, dan Pak Wiro menyilakan saya salat. Bahkan kalian
membantu saya mempermudah saya bersalat. Kalian bisa rehat, mengobrol, atau
sibuk dengan tugas pribadi masing-masing. Kemudian, usai rehat, kita bisa
melanjutkan diskusi sampai selesai.
Kamu dan Agnes ikut kebaktian di gereja pada
hari Minggu. Silakan ikuti kebaktian sebaik-baiknya sampai selesai.
Wayan bersembahyang setiap pagi hari di pura
di samping rumahnya. Aryana dan Pak Wiryo pun beribadat sesuai dengan ajaran
agama dan keyakinannya. Saya dan teman-teman yang lain sekedar tahu,
boleh-boleh saja, atau tak tahu, juga tak menjadi masalah. Kita bersahabat kan saling
memahami.
Bukan toleransi namanya kalau saya yang
muslim ikut-ikutan Natalan atau ikut ritual Waisak atau sembahyang di pura.
Bukan toleransi namanya Kamu, Aryana, Wayan, Pak Wiryo, dan Agnes ikut bersalat Ied.
Itukah toleransi dalam hidup bermasyarakat?
Belum! Itu barulah wujud tubuh toleransi
tanpa kepala. Itu baru toleransi antarpribadi yang heterogen.
Saya dan saudara-saudara sesama muslim
mengadakan hajatan pengajian bertempat di sebuah mesjid. Kami menjadi panitia
penyelenggara. Kami mengadakan rapat persiapan dari tahap perencanaan,
pelaksanaan, sampai evaluasi. Kami hidup di zaman modern. Memberi tahu dan
minta izin kepada aparat pun wajib dilakukan. Sosialisasi itu amat penting
sebelum perhelatan hajatan dilaksanakan. Kami tak ingin perhelatan hajatan kami
mengganggu orang lain, bukan mengkhawatirkan orang lain mengganggu. Kami
memikirkan orang banyak (mayoritas) dan juga orang sedikit (minoritas)
Pengumuman disampaikan; surat undangan atau
selebaran didistribusikan; petunjuk arah atau denah tempat perhelatan dibuat;
Hari H pun tiba. Namanya hajatan, tentulah
banyak orang yang berdatangan. Tentulah orang banyak yang membawa kendaraan
pribadi, baik kendaraan roda dua ataupun roda empat. Para tetangga dekat
berdatangan dengan berjalan kaki.
Kami telah menyiapkan tempat parkir dan
petugas khusus parkir berikut pengamanannya. Kami memastikan tak ada kendaraan
tamu yang diparkir asal-asalan tak hirau dengan kepentingan orang lain.
Kendaraan-kendaraan dapat berlalu-lalang dengan nyaman walaupun ada sedikit ketidaklancaran. Orang-orang yang
hadir bisa menempati tempat dengan tepat karena ada petunjuk dan juga bimbingan
dari petugas.
Oh ya, kami pasti menggunakan sound system. Loudspeaker dipakai ya, pastilah!
Kami menata suara pengeras suara dan
memastikan suaranya jelas dan volume yang wajar. Kami pastikan acara pengajian
yang bagus itu tidak mengganggu orang lain, utamanya orang yang tinggal
berdekatan dengan mesjid tempat hajatan dihelat. Kan tidak semua orang di
sekitarnya muslim. Kan terkadang yang muslim pun belum tentu suka dengan
pengajian. Kalaupun ada yang merasa terganggu tentulah mereka memaafkan sebagai
sesuatu yang wajar. Misalnya saja ada tetangga yang sakit dan membutuhkan
ketenangan.
Usai perhelatan kami segenap panitia
melakukan evaluasi. Pertanyaan penting adalah apakah perhelatan pengajian itu
dari awal hingga akhir bagus, lumayan, atau malah mudarat. Penilain tentu bukan
oleh kami saja (internal) tetapi oleh semua orang yang mengalami perhelatan
pengajian kami: masyarakat sekitar, jemaah, aparat kelurahan/desa, kepolisian,
atau siapa saja yang mengalami (eksternal).
Begitu pun perhelatan besar yang diadakan
oleh kalian dalam menegakkan ajaran agama/keyakinan kalian, saudara-saudaraku,
dan sahabat-sahabatku semua.
Agnes yang Protestan bisa saja mengadakan
perhelatan Natal dan Tahun Baru di tempat yang telah ditentukan dengan penuh
kenyamanan dan keriangan. Semua teman
dari lintas agama ikut bergembira seperti Agnes.
Aryana merayakan Waisak di Prambanan dengan
penuh sukacita dan bahkan teman-teman ikut diajak bertamasya.
Wayan dan saudara-saudara umat Hindu menyepi
dalam “Nyepi” di Bali tanpa cahaya dan bunyi kompor gas tanpa ada gangguan.
Teman-teman dan orang-orang lain diberitahu perihal “Nyepi” dan toleran
terhadap sesama yang sedang merayakan kesenyapan Nyepi, sehingga Wayan dan
saudara kita umat Hindu Bali bisa merayakan atau mungkin menyepi pada hari yang
istimewa itu.
Itulah contoh satu wujud toleransi seorang,
sekelompok, segolongan,atau masyarakat mayoritas muslim terhadap nonmuslim,
yang mayoritas terhadap minoritas, atau sebaliknya, intraumat, antarumat
penduduk negeri. Akhirnya, semua ada
dalam kenyamanan hidup bermasyarakat.
Bukan Islam yang rahmatan lil alamin namanya kalau bikin perhelatan pengajian sesuka
hati semau gue yang menyebabkan orang
lain terganggu: tempat atau jalan umum dipakai sapenake dewek yang penting gratis; waktu sampai larut malam; suara
bising dan keras membuat telinga pekak; tak ada izin dari aparat pemerintah setempat
maupun kepolisian, dan berujung rawan keamanan.
Jika ada muslim yang berkelakukan seperti itu
berarti dia itu tidak cerdas alias jahil. Jahil dalam praktik beragama dan
jahil dalam hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Tak boleh muslim itu bersikap mentang-mentang
karena mayoritas! “Ojo dumeh yo, Le!” “Islam itu rahmatan lil alamin”. Semua
orang dari segala etnis, agama, budaya, dan adat-istiadat merasakan kenyamanan
dalam kehidupan jika berada di tengah masyarakat muslim, baik selagi mayoritas
muslim maupun ketika muslim minoritas.
Itulah wujud toleransi dalam keberagaman di
negeri tercinta ini. Itulah wujud menjalani hidup yang cerdas! Toleransi
dipraktikkan dalam kehidupan internal sesama umat, antarumat, dan umat dengan
pemerintah.
Itulah maksud dari mukaddimah UUD ’45 dengan
frasa, “mencerdaskan kehidupan bangsa” dalam wujud toleransi.
Semoga kita selalu belajar untuk menjadi
cerdas menjalani kehidupan yang indah
dalam suasana penuh toleransi yang utuh segera terwujud di negeri tercinta ini.
Amin.
Jakarta, 1 Maret 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar