Minggu, 14 April 2013

BICARA BELEPOT JABATAN DICOPOT KINERJA TAK BECUS KARIER PUN PUTUS





BICARA BELEPOT JABATAN DICOPOT
KINERJA TAK BECUS  KARIER PUN PUTUS
Membabat habis para preman demi rasa aman
gangster dan preman
Para pembaca pernah membaca novel Mario Puzo yang berjudul The Godfather? Kalau pun belum pernah membaca novelnya, mungkin pernah menonton filmnya yang berdasarkan novel itu yang pada masanya termasuk novel yang the best seller. Film yang dibuat berdasarkan novel disutradarai oleh Francis Ford Coppola dengan judul yang sama,The Godfather. Setelah membaca novelnya atau menonton, tentu pembaca/penonton pasti akan tahu bahwa tema yang diusung The Godfather adalah genre gangster. Kesuksesan sebagai film box office, Coppola kemudian melanjutkan lagi dengan dengan The Godfather II dan The Godfather III.
The Godfather yang dibintangi Marlon Brando yang memerankan karakter “Don Vito Corleone” (1972). Keandalan Coppola menyutradai dan Marlon Brando sebagai aktor menjadikan keduanya sebagai peraih Oscar, serta membawa berkah bagi produsen, Paramount Pictures yang meraup untung besar. The Godfather Part II (1974) dan The Godfather Part III (1990) yang dibintangi oleh Al Pacino yang berperan sebagai Michael Corleone sebagai pewaris kerajaan mafia Don Corleone. The Godfather mengisahkan dan menggambarkan sepak terjang sindikat keluarga mafia/gangster (penjahat, bandit) keturunan imigran Sicilia, Italy.
Jika tidak suka menonton film yang mengisahkan sepak terjang mafia Amerika, mungkin pembaca menyukai film sepak terjang sindikat penjahat triad di Hongkong, atau sepak terjang sindikat Yakuza di Jepang.
Apa maksud penulis mengajak pembaca berbicara film gangster? Memang para pembaca mau dibawa ke mana?
Maksud penulis di sini adalah mengajak pembaca mengambil hikmah/pembelajaran dari film-film bergenre gangster itu. Bahwa para gangster itu mempunyai pasukan, kekuatan, kekuasaan, dan “kedaulatan”  bak negara di dalam negara.  Para gangster itu adalah para kriminal.Yang namanya kriminal, sepak terjangnya adalah against the law  (melawan hukum): mengorganisasi kekuatan untuk berbuat kejahatan, merampok, membunuh, bertransaksi narkoba, menyuap, melakukan teror, menyelundupkan senjata, dll. Tak ada rasa nyaman bagi masyarakat dan warga negara dengan sepak terjang para kriminal itu.
Negara pun bertindak untuk melindungi warga negara untuk menciptakan rasa aman. Aparat kepolisian adalah alat negara yang terdepan  untuk tugas menciptakan masyarakat yang tertib dan terpeliharanya rasa aman.
Para kriminal yang terorganisasi dan dan bersenjata/gangster itu: Mafia di Amerika, Triad di Hongkong, Yakuza di Jepang, atau Kartel Heroin di Columbia, dilawan dan diberantas di mana pun mereka berada. Tidak boleh negara takluk di bawah kaki penjahat atau preman.
Di negeri kita, para kriminal itu, sebenarnya setali tiga uang dengan para preman yang sudah kita kenal. Ada perbedaan dan ada persamaan antara para gangster di luar negeri dengan para preman di dalam negeri.
Para gangster di luar negeri terbentuk dari famili/keluarga dan menjadi gangster turun-temurun. Kita ambil contoh keluarga Don Vito Corleone yang berasal dari Sicilia, Italy, dan berimigrasi ke Amerika. Vito Corleone menjadi Boss (Don) organisasi mafia di Amerika (Nevada, antara 1945-1955) yang amat disegani dan juga ditakuti. Kekuasaan dan kekuatan keluarga Don Vito Corleone dilanjutkan oleh anaknya Michael Corleone. Begitu pun gang Triad di Hongkong atau Yakuza di Jepang.
Di negeri kita ini, para preman tak ada yang datang dari satu keluarga dan kemudian menjadi preman turun-temurun. Para preman itu bergerak sendiri-sendiri, kelompok kecil, kelompok 5, 6, sampai belasan orang. Mereka menjadi preman bareng-bareng karena beberapa kondisi (ekonomi, sosial, prestise/gengsi, budaya, dll.) di antaranya adalah sebagai berikut:
Preman “dipersatukan” oleh ikatan primordial karena berasal dari satu daerah; maka ada preman “Anak Ambon”, “Anak Flores”, “Kelompok Lampung”, atau “Kelompok Palembang”.
Preman “dipersatukan” oleh alat yang dipakai, misalnya “Kapak Merah”;
Preman yang dipersatukan oleh kondisi yang kondisional: juru parkir liar, “Pak Ogah”, calo tiket pertunjukan,
Preman “dipersatukan” oleh keahlian dengan sasaran tertentu/khusus: membobol brankas, ATM, atau kartu kredit;
Preman “dipersatukan” oleh seseorang yang ditokohkan, misalnya “Kelompok Hercules”; “Kelompok Sammy”; “Kelompok Udin Bodong”; dll.
Preman yang “dipersatukan” oleh tempat domisili yang sama, misalnya “Kampung Ambon”,  “Anak Bongkaran Indah” dan “Anak Pejambon”; dll.
Preman “dipersatukan” oleh sama-sama punya hobi yang buruk, seperti pembalap liar “Geng Motor”, penjudi, dan pemabok;
Preman “dipersatukan”  oleh baju/jaket ormas resmi tetapi perilakunya preman: memalak, memungli, parkir liar, Pak Ogah, Polisi seceng tanpa beceng, dll.;
Preman yang “dipersatukan” oleh bayaran uang dan bersifat temporer: preman bayaran spesialis demo, korlap kampanye, dan tim sukses calon pejabat politis.
Preman yang digaji dan diberi tunjangan, seperti debt collector, petugas keamanan kafe atau night club, hotel, warung remang-remang, dan tempat-tempat yang “kotor;
Preman yang dipersatukan oleh bisnis haram: bisnis narkoba dengan pengaturan tugas dan fungsi yang lumayan terorganisasi: sebagai pemodal/produsen, bandar, sebagai pengedar, dan sebagai pemakai sekaligus korban yang siap modar; bisnis haram trafficking: pencari wanita muda, germo/mucikari, penyalur/penjaja, pelaku penjaja seks komersial (PSK).
Preman berkedok bisnis mulia penyalur TKI domestik atau luar negeri: pemodal, calo pencari tenaga kerja yang bergerilya ke desa-desa, kolektor/penampung merangkap penyalur, dan calo di luar negeri.
Preman berdasi dan tentu saja tampil perlente dan anggun (preman cewe) yang “dipersatukan” oleh parpol-parpol di gedung dewan (oknum anggota DPR) atau berada dalam lingkungan birokrat kementerian atau lembaga-lembaga lain karena legitimasi yang dimiliki. Modus bekerjanya adalah menekan, menggertak, mengancam, bermain gratifikasi, menyuap/menerima suap atau menyogok/menerima amplop, memainkan anggaran, dan suka main titip-titipan, atau dengan isyarat mata berkedip-kedipan.
Preman yang “dipersatukan” oleh “doktrin agama” yang keliru yang diindoktrinasikan oleh sosok yang cupet dan picik beratribut agama tertentu (Islam) dengan wujud premanisme: merazia tempat-tempat tertentu padahal bukan aparat yang berwenang, merusak, menganiaya, atau menebar teror bom dengan dalih anjuran syariat agama (yang jelas dan tegas, menebar teror bom itu bukan ajaran Islam, karena Islam itu rahmat bagi semesta alam, dan Islam itu antipremanisme!).
Adapun persamaan antara gangster alias penjahat di luar negeri dengan para preman di dalam negeri adalah sama-sama  melanggar hukum dengan segala bentuk dan modus yang digunakan: mengganggu ketertiban umum, merusak sendi-sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, mengganggu keamanan negara; dll.
Kalau demikian, apa dan bagaimana pun wujud/tampilan para preman, tetaplah sepak terjang mereka adalah premanisme, dan tiada kalimat yang paling tepat untuk para preman dan mereka yang mengusung premanisme: pemerintah bersama masyarakat bersetuju bersepakat sampai kapan pun harus beraksi membasmi habis para preman sampai tak bersisa melekat.
Bicara belepot jabatan copot, minim prestasi resikonya dimutasi
pemberontak dan patriot
Zaman penjajah kolonial, baik zaman penjajah Belanda yang lamanya 350 tahun atau zaman Jepang yang lamanya cuma 3,5 tahun, rakyat pribumi kehilangan kemerdekaan dan hak yang amat asasi, yakni berbicara dan mengeluarkan pendapat. Tak ada yang berani berbicara sembarangan. Mereka lebih suka diam karena katanya, diam itu emas. padahal emas yang menjadi sumber kekayaan alam negeri sudah ratusan tahun disedot. Lagi pula tubuh mereka lemah dan reyot dan pipi pun cekung kempot. Resiko yang paling berat dituduhkan kepada mereka yang berani bicara mengkritik walaupun benar, mereka dicap pemberontak, dan pastilah fisik babak belur dihajar popor dan digenjot.
Tetapi selalu ada satu dua orang yang bernyali besar dan berjiwa herois berani berbicara keras menentang penjajah. Mereka itulah pejuang, kesatria, pahlawan, atau patriot.
Bagi penjajah, mereka itu dianggap dan disamakan dengan pemberontak yang berbahaya karena merongrong kewibawaan dan kekuasaan penjajah. Mengeritik atau memprotes penjajah adalah tabu. Sementara bagi para patriot, tak akan ada keberhasilan  mengusir penjajah kalau hanya berniat yang tersimpan di dalam kalbu. Para patriot tak ingin lagi nasib rakyat yang kelam, remang-remang, atau kelabu. Mereka berjuang dengan gagah berani dengan karya nyata tanpa banyak kata yang penuh bumbu. Mereka lebih baik mati berkalang tanah atau menjadi debu daripada berkhianat  dan tidur nyenyak di atas ranjang berkelambu bagikan ikan yang terperangkap dalam bubu.
Maka tak segan-segan pemerintah penjajah menindak karena dianggap melakukan agitasi dan makar, ketika berbicara berapi-api, ujung-ujungnya mereka pun dicomot.
Kekuatan berbicara pada diri Bung Karno dengan pidato yang berapi-api, bahasa yang baik, dan pilihan kata yang tepat, serta zaman yang tepat pula, membawa keberkahan (atas berkat rahmat Allah), dengan direbutnya kemerdekaan bangsa dari cengkeraman kuku penjajah, walaupun dengan mengorbankan darah dan nyawa dan perjuangan yang keras dengan senjata dan melalui diplomasi yang berjalan alot.
Zaman Orde Lama adalah zamannya Soekarno (Bung Karno) berkuasa sebagai Presiden RI (RI-1). Ternyata sang prokalamator RI itu makin lama berkuasa, makin kuat pengaruhnya, makin besar saja hasrat berkuasanya. Dia paling banyak omong dan paling  hebat berbicara tetapi tidak boleh orang lain berbicara, apa lagi mengkritik kebijakan yang ditempuh dalam jagat kekuasaannya. Dia ingin berkuasa sebagai RI-1 seumur hidup atau sampai usia sepuh atau kolot. Untuk mewujudkan ambisinya, dia pun menciptakan berbagai rekayasa politik dan orang-orangnya pun “diplot”.
Penyakit penguasa, “The power tends to corrupt. The absolut power tends to corrupt absolutely” seperti yang ditulis oleh Lord Acton sudah mendarah daging dalam jiwa Bung Karno yang keranjingan berkuasa  selama mungkin yang sudah angot.
Musuh-musuh politik Bung Karno makin lama makin banyak. Musuh-musuh politik yang suka menulis atau mengeritik melalui koran/surat kabar, maka korannya dibreidel/diberangus dan kantor penerbitan korannya dikunci/diselot. Bung Hatta, sang Wapres, tak tahan dengan Bung Karno yang kadung angot, akhirnya mundur membelot (November 1956). Lawan-lawan politik yang potensial pun satu  per satu dibungkem atau dicomot. Mereka banyak yang dikebiri agar hilang potensi seperti para penjaga harem di istana, lebih sadis lagi seperti setara kambing bandot.
Zaman Orde Barunya Pak Harto yang menjadi RI-1 selama 32 tahun sami mawon perlakuannya terhadap para pengeritik dan musuh politik potensial. Usia kekuasaan yang sangat lama bahkan melebihi kekuasaan seorang raja/ratu dari sebuah negara kerajaan/kesultanan/emirat. Tak ada tempat yang diberikan Pak Harto bagi lawan politiknya yang vokal berbicara. Padahal mereka yang vokal berbicara itu bertujuan baik. Termasuk misalnya seorang Bintang Pamungkas yang orasinya hebat dan punya kualitas keilmuan yang berbobot.
Zaman reformasi yang sudah berjalan hampir lima belas tahun ini, semua orang boleh berbicara apa saja asal dengan sopan, santun, dan hormat. Yang penting bersuara vokal  bermanfaat untuk kemaslahatan umat. Orang boleh berbicara bahkan melalui demontrasi, baik dari kalangan tinggi maupun dari kalangan rakyat. mengeritik penguasa, dan bebas saja mengeluarkan pendapat. Kebebasan berkumpul dan mengeluarkan pendapat mendapat porsi yang luas sejak era RI-1-nya Habibie sang teknokrat sampai era SBY yang suka sekali curhat. Demokrasi sepertinya semakin  mengakar dan menguat.
Dalam era demokrasi yang semakin menguat rakyat tidak lagi diperlakukan seperti robot. Tetapi jangan sampai salah bicara karena siapa pun yang salah bicara, apa lagi asal bicara pasti beresiko yang ditanggung sendiri dan kita bisa menjadi repot. Apa lagi mereka yang dipercaya mendapat amanah menduduki jabatan, tak bisa lagi asal berbicara emosional menggebu-gebu dengan nada tinggi karena perasaan sewot . Meski berbicara sebagai bentuk pembelaan diri dan institusi terhadap tudingan miring yang sedang ramai disorot.   Perhatian publik pun banyak tersedot. Boleh jadi sedang enak-enak menikmati kursi jabatan yang tinggi yang diraih malah meluncur turun bak celana melorot.
Tak percaya?
Sabtu minggu lalu, 6 April 2013, seorang jenderal berbintang 2, mayor jenderal (mayjen) Hardiono Saroso, jabatan Pangdam !V Diponegoro, Komandan Garnisun pula, berbicara berisi sanggahan begitu tegas tetapi belepot, misinya tak cukup memiliki bobot, ujung-ujungnya jabatan Pangdam bergengsi yang dipegangnya pun dicopot.
(sanggahannya terkait dengan kasus penyerbuan sebelas anggota Kopassus terhadap Lapas Cebongan, Sleman, Sabtu, 23 Maret 2013).
"Sebagai panglima, saya bertanggung jawab penuh dengan semua yang ada di wilayah Kodam IV Diponegoro. Tidak ada prajurit yang terlibat karena hasil jaminan dari komandan satuan mereka bisa mengendalikan semua," jelas Hardiono.
 "Yang jelas dan perlu digarisbawahi adalah orang tidak dikenal," ujar Hardiono.
Hardiono juga memastikan bahwa senjata yang digunakan untuk menyerang empat tahanan itu belum tentu milik TNI. Hal itu diketahui karena para pelaku menggunakan senjata laras panjang dan pendek.
"Jenis senjata itu juga beredar di masyarakat. Tidak hanya tentara atau aparat saja yang memiliki," katanya lagi.
Apakah karena bicara belepot terus jabatan dicopot? Ya, itu asal-muasalnya. Salah satu dari bentuk kinerja yang tak memadai di bidang keamanan dari seorang panglima. Penilaian orang, seorang Pangdam yang berbicara seperti itu amat prematur. Memang kenyataannya kemudian terbukti bahwa dia berbicara menyanggah amat prematur dan belepot. Sanggahan Itu indikator kecil dan kelihatan sepele padahal berdampak besar yang membuat banyak orang geram, gusar, dan menanggapi tak kalah ketus. Indikator besarnya adalah kinerja mengamankan wilayah yang kurang urus dan tak becus.
Jadi, konsekuensi logis seorang pejabat tinggi pada jabatan krusial yang tak mampu menunjukkan kinerja becus dan bagus ya, sementara promosi karier harus diputus.
Etika berbicara jenderal di forum resmi dan obrolan kopral di kantin
Ada satu peristiwa lagi yang tidak luput dari perhatian wartawan dan juga rakyat tentang jenderal yang satu ini. Usai dicopot dan serah terima jabatan,  ketika dia mengikuti kegiatan olah raga (masih berkaos dan tak berbaret), wartawan dan fotografer tv-One mendekati dan kemudian mewawancarainya dengan isu HAM dan tokoh LSM,  penulis menggeleng-gelengkan kepala menyaksikan dan mendengarkan jawabannya. Penulis benar-benar prihatin.
Mengapa penulis menggeleng-gelengkan kepala?
Ya, cukup mengherankan. Seorang jenderal bintang 2, dengan jabatan baru Staf Ahli KSAD, berbicara dengan bahasa menggunakan kata gue beberapa kali. Kata gue itu diucapkan oleh seorang jenderal, sepertinya kurang nyaman di telinga dan juga telinga masyarakat pemirsa mungkin.
 (Kelihatan sepertinya sang jenderal tetap pede abis, atau bentuk kompensasi psikologis terkena mutasi dadakan nggak ngenakin untuk menutup rasa isin.)
 Wallaahu a’lam Allahu rabbul mukhlishiin!
Kalau kata gue terlontar dari mulut seorang Kopral, mungkin tak ada yang mempermasalahkan! Kate Bang Japra, “Emang gue pikirin!”
Gue itu sudah dua tahun bergaul dengan Munir!” begitu kira-kira seorang Kopral meniru jenderalnya ketika terlibat obrolan di kantin.
“Astaga! ” penulis membatin.
Jakarta, 15 April 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar