Rabu, 03 April 2013

CINTA ITU BUKANLAH SEKEDAR KATA




CINTA ITU BUKANLAH SEKEDAR KATA
(Tausiah untuk para guru, calon guru, ustaz, calon ustaz, mubalig, calon mubalig)
Cinta itu Ibarat Aliran Listrik.
Listrik tidak tampak oleh mata tetapi listrik ada dan dapat dirasakan oleh tubuh. Kita melihat ada cahaya lampu pertanda ada listrik. Kita merasakan sakit disengat atau terkena setruman pertanda adanya listrik. Tiap bulan ada petugas PLN datang menagih tagihan rekening listrik pertanda kita memanfaatkan listrik. Terkadang kita mengomel karena tak bisa bekerja lantaran listrik dipadamkan atau ada pemadaman listrik secara lokal oleh PLN.
Cinta itu Ibarat Sinyal. 
Kita senang kalau kita berkomunikasi dengan telepon seluler itu suaranya jelas saling mendengar pertanda ada sinyal. Kita suka berselancar chatting  dan merasa senang hati kalau ada sinyal di internet. Kita terkadang kesal ketika mengirim sms via telepon seluler sering gagal karena tak ada sinyal. Kita merasa sedih hati kalau komunikasi penting terputus-putus atau gagal  tak bisa dilakukan lewat hape lantaran tak ada sinyal.
Betapa beruntungnya hidup pada zaman sekarang. Listrik dan sinyal telah ditemukan oleh sang penemu. Sang penemu menemukan listrik dan sinyal itu bukan dengan cara model dukun yang bersim- salabim dengan mantra abra kadabra lalu ada listrik atau sinyal, melainkan dengan bermodal pengetahuan dan melalui proses riset ilmiah. Listrik ada dan sinyal itu memang sejak dulu pun sudah ada di mana-mana, tetapi diketemukan baru pada zaman modern.  
Cinta itu Ibarat Angin.
Kalau angin hadir perlahan-lahan dan bergesekan pelan, dia ada, bergerak dengan bunyi mendesir, tubuh kita menerimanya dengan baik dan hati pun senang.  Mau bukti lagi bahwa angin itu ada? Sering kita saksikan benda-benda ringan beterbangan berpusing atau bergulung-gulung di lapangan, pertanda angin yang bergerak memutar benda-benda itu. Namanya angin puting beliung. Kalau mau tahu lebih jelas lagi bahwa angin itu ada, buktinya adalah pohon-pohon bertumbangan, rumah bilik bambu roboh, dan atap genteng atau rumbia beterbangan. Bahkan lebih dahsyat lagi, kapal nelayan tenggelam karena dihantam angin, namanya angin badai.
Cinta itu Ibarat Kentut.
Kentut itu ada.Tak ada seorang pun yang bisa mendeskripsikan wujud kentut. Bahwa kentut itu ada dapat dibuktikan dengan bau yang menyertainya atau karena bunyi akibat angin terdesak dari dalam perut, lalu menerobos keluar namun terjepit dan mampu keluar walau pun harus menjerit. Bau tak sedap pun mengiringi kehadirannya. Itulah kentut.
Pertanyaan yang terlontar bukanlah seperti ini, “Mana itu kentut?”, melainkan pertanyaan, “Siapa sih yang kentut?” atau, “Kamu kentut, ya?”
Listrik ada, sinyal ada, angin ada, dan kentut pun ada, meskipun tak dapat dilihat kasat mata, namun semua benda itu ada dapat dibuktikan dengan mudah karena dirasakan dan dialami. Tentu cinta pun ada. Dalam bahasa Inggris, semua benda itu disebut sebagai untouchable nouns.
Berbicara tentang cinta, tak ada seorang pun manusia yang dapat mendeskripsikan wujud cinta seperti juga kita dapat mendeskripsikan wujud listrik, sinyal, angin, dan kentut. Tak perlu dan tak penting definisi secara eksplisit yang rumit dan panjang-panjang. Yang lebih penting adalah makna dan kesan yang implisit saja.
Lalu apa yang ingin diungkapkan oleh penulis dengan bahasan ‘cinta’ dalam tulisan ini?
‘Cinta’ bukanlah sekedar dikatakan, dilafalkan, diucapkan, atau definisinya dihafal luar kepala. ‘Cinta’ bukanlah untuk didendangkan dengan merdu dalam syair lagu yang mendayu-dayu. Biarlah yang begitu-begitu urusan para penyair dan penyanyi yang banyaknya hanya beberapa gelintir dari bermilyar manusia yang hadir atau mampir di bumi.
Yang benar dan tepat itu, ‘Cinta’ diwujudkan dalam perbuatan nyata seperti kita warga bumi menggunakan listrik, sinyal, menikmati angin sepoi atau menghindar dari angin badai,  atau membuang hajat berkentut.
Saya Cinta kepada Kedua Orang Tua
Selagi kecil saya suka merengek meminta sesuatu kepada orang tua. Saya minta gendong dan kemudian menggelayut manja di punggung bapak walau saya bisa berjalan. Bapak pun menggendong saya. Saya minta disuapi ibu walau saya bisa menyuap sendiri. Ibu pun menyuapi saya.Tak mungkin saya merengek, bermanja, menggelayut, dan minta disuapi kepada orang tua anak lain. Saya meminta perlindungan kepada orang tua. Itu wujud cinta anak kepada orang tua (yakni memelihara komunikasi antara anak dengan orang tua).
Ketika orang tua sudah tua, sudah lemah, sementara saya sedang gagah dan kuat, giliran saya sebagai anak melindungi dan merawat orang tua demi mewujudkan cinta saya.
Saya biasa berbahasa lembut seperti yang telah dilakukan beliau dulunya kepada anak-anaknya. Saya membacakan ayat-ayat Quran dengan terjemahannya karena dulunya beliau hafizul Quran. Saya membacakan kisah-kisah para rasul dan para sahabat rasul (bukan mendongeng dan haram mencampuradukkan sejarah Rasul dengan dongeng) karena beliau tidak bisa membaca dan pada zaman beliau yang namanya buku itu barang langka. Lagi pula penjajah kolonial melarang pribumi menuntut ilmu.
Saya menawarkan beliau berjalan-jalan ke mana yang beliau inginkan. Saya dengan sukacita membawakan buah manggis, membawakan rokok, menyuruh isteri dan anak-anak saya membuatkan kopi kental, menyiapkan kursi panjang di depan pesawat tv agar hobinya menonton acara berita di tv bisa dilakukannya, dan sebisa mungkin memenuhi semua yang diinginkannya. Semua yang saya lakukan dalam batas proporsional layaknya layanan seorang anak kepada orang tua yang tak lagi punya banyak kebutuhan dan tak banyak lagi keinginan .
Tak ada permintaannya yang aneh-aneh,  apa lagi sampai menyusahkan anak-anaknya. Saya membelikan kursi roda tatkala beliau sudah tak mampu lagi berjalan. Semua itu berjalan sebagaimana mestinya sebagai wujud cinta anak terhadap orang tua. Begitu pun dengan anak-anaknya yang lain, adik-adik saya. Sampai semua itu berakhir pada hari terakhir beliau, tahun 1998, pada usia kurang lebih 98 tahun (Ibu lebih dahulu  berpulang, 1988). Allah Yang Mahakuasa,Sang Pencipta, dan Sang  Pemilik memanggilnya. Innaa lillaahi wa inna ilaihi raaji’uun.
Saya tak pernah mengucapkan kata cinta, mengulang-ulang kata cinta, mengemas-ngemas kata cinta dengan kemasan kata mutiara yang indah, merapal-rapal kata cinta di telinga beliau semasa hidupnya karena perbuatan itu amat lebay. Padahal saya mahir berpuisi, mahir menciptakan puisi, dan mahir memainkan kata-kata indah dalam berlisan secara spontan. Bagi saya, cinta bukanlah sekedar kata-kata.
Nilai-nilai terbaik dari orang tua yang telah ditransformasikan kepada saya, juga kepada adik-adik saya selama hidupnya, itulah yang saya ingat, saya kenang, dan saya hidupkan terus dalam hidup saya: kasih sayang kepada sesama, kedermawanan, suka berbagi ilmu, suka mengabdi, bergaul, kesalehan sosial, dan semua nilai kehidupan yang baik-baik sebagai seorang anak dan seorang hamba Allah. Indikator anak saleh ya, seperti itu!
Saya tak pernah tahu lagi, dan tak ingin tahu tentang kuburan beliau. Saya tak pernah menziarahi kuburan beliau. Tak ada gunanya bagi saya. Saya seorang muslim yang ingin menegakkan sunnah Allah dan keteladanan Nabi saw. Ziarah kubur bukanlah sunnatullah dan juga bukan teladan Nabi saw. Ziarah kubur itu warisan para leluhur nonmuslim antitauhid warisan keturunan umat Nab Hud yang pembangkang, keturunan Nabi Saleh yang ingkar, juga keturunan umat pembangkang yang kemudiannya, dan keturunan Azar, bapaknya Nabi Ibrahim. Ziarah kubur itu wilayah abu-abu, lebih dominan hitam daripada putih. Jemput dan raihlah yang putih jernih yang diajarkan Islam dan jangan menggenggam yang abu-abu, apa lagi memelihara yang hitam.
Qad aflaha man zakkaahaa. Wa qad khaaba man dassaahaa. (QS Asy-Syams (91): 9, 10).
            Sungguh beruntung orang yang menyucikan (jiwanya). Dan sungguh merugi orang yang mengotorinya.
Silakan para pembaca mencermati masalah ziarah kubur dengan kejernihan pikiran.
Saya Cinta kepada Nabi saw
Saya suka bersalawat dan tentu saja bersalawat kepada Nabi saw  karena bersalawat kepada Nabi saw itu perintah Allah melalui wahyunya dalam Quran. (Tak perlu saya hitung berbilang-bilang dengan bantuan biji tasbeh, tak perlu saya umumkan,  atau saya iklankan kepada khalayak ramai supaya orang tahu, karena bersalawat itu ibadah individual),
Saya suka belajar Quran karena belajar/memahami Quran  itu wajib dan ada perintah Allah yang banyak sekali tercantum dalam Quran. Nabi saw yang buta huruf saja diperintah untuk membaca dan belajar padahal Nabi saw sudah berumur 40 tahun. Nabi saw tidak pandai menulis tetapi beliau bisa memerintahkan para sahabat yang pandai menulis agar menuliskan sesuatu yang beliau perintahkan. Saya tidak lagi belajar membaca Quran cuma mengandalkan suara yang merdu tetapi nihil pemahaman terhadap Quran. Karena saya seorang muslim yang berbahasa ibu bahasa Indonesia, mau tak mau saya harus belajar Quran melalui terjemahannya yang sekarang sudah banyak tersedia di mana-mana.
Saya suka berbagi dengan  sesama karena berbagi dengan sesama itu adalah perintah Allah yang begitu jelas dan diteladankan oleh Nabi saw. Salah satu sahabat Nabi saw, misalnya Abdurrahman bin Auf yang hartawan, suka berderma. Dia cinta kepada Nabi saw. Khadijah binti Khuwailid, istri Nabi saw, wanita hartawan yang suka berderma. Dia cinta kepada Nabi saw. Wujud cinta kepada Nabi saw itu diwujudkan dengan berbagi kepada sesama, bukan mengumbar cinta dengan kata-kata. Sebaliknya, orang yang kikir itu dilaknat Allah dan Nabi saw amat membenci orang yang kikir (bakhil; medit; koret; pelit).
                al bakhiil, ba’iidum minal jannah, qaariibum minan naar
            bakhil itu, jauh dari sorga, dekatnya ke neraka
Saya amat menghargai waktu dan nilai menghargai waktu itu merupakan perintah Allah dan bahkan karena pentingnya menghargai waktu, ditekankan oleh Allah dengan kata ‘demi”, misalnya: wal fajri artinya demi waktu fajar; wadh-dhuhaa artinya demi waktu duha; wal ashri artinya demi waktu Ashar; wal laili artinya demi waktu malam. Nabi saw mencontohkan kepada kita betapa beliau amat taat kepada Allah dengan menghargai waktu (dalam sehari ada 24 jam; pabrik kerja nonstop 24 jam. Para pegawainya dijadwalkan dalam tiga shift @ 8 jam; Orang kantoran bekerja delapan jam sehari; 16 jam lagi dimanfaatkan untuk kegiatan lain dan tetap bernilai di mata Allah sepanjang dimanfaatkan untuk hal-hal yang bermanfaat, misalnya tidur/istirahat delapan jam, dan sisanya delapan jam lagi terserah kepada masing-masing individu).
Setiap orang/pribadi dapat mengatur waktunya yang bersiklus 24 jam sesuai dengan situasi dan kondisinya masing-masing. Pegawai pabrik atau petugas sekuritas yang dapat shift III/malam tentu tidak dapat tidur waktu malamnya karena harus bekerja. Dia bisa tidur pada siang harinya. Dia bekerja mencari nafkah adalah ibadahnya. Dia tidur dan beristirahat adalah ibadahnya. Dia membersihkan kolam atau kaca jendela, membaca koran, mengobrol, menyambangi tetangga atau saudara adalah ibadahnya. Dia makan, minum, membuang hajat, bersenggama dengan pasangan adalah ibadahnya. Subhanallah!
Saya seorang guru. Saya cinta profesi guru. Mana buktinya bahwa saya cinta profesi guru? Inilah buktinya saya cinta kepada profesi guru:
Saya mengajar adalah ibadah. Saya membuat RPP adalah ibadah. Saya menyusun soal adalah ibadah. Saya mengevaluasi adalah ibadah. Saya mengikuti rapat dewan guru adalah ibadah. Saya beristirahat adalah ibadah. Saya ke toilet adalah ibadah. Saya menegur atau memarahi siswa adalah ibadah. Saya berangkat dan pulang mengajar adalah ibadah.
Tiada hari tanpa ibadah. Tiada shift tanpa ibadah. Tiada jam, menit, detik, dan saat tanpa ibadah.
Bagi muslim yang kaffah, tiada waktu yang 24 jam itu berlalu dengan sia-sia. Seluruh waktu yang 24 jam itu digunakan untuk beribadah/mengabdi kepada Allah. Semua muslim dengan profesi apa pun yang dia geluti, terbuka lebar-lebar pintu untuk beribadah, meraih kesuksesan dalam kehidupan, sebagai perwujudan dan pembuktian cinta kepada Allah dan rasul-Nya.
Apa nggak enak menjadi muslim?
Jakarta, 4 April 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar