Senin, 01 April 2013

DEMOKRASI, DEMOKRAT, DEMOCRAZY



SENIN, 1 MARET 2013

DEMOKRASI, DEMOKRAT, DEMOCRAZY
Gonjang-ganjing PD dalam dua tahun terakhir mencapai antiklimaks di Hotel Inna Nusa Dua, Bali. Sebagian rakyat berharap Ketum PD yang baru pengganti Anas adalah kader berbobot di luar SBY, di luar Syarif  Hassan, EE Mangindaan, Jero Wacik,atau Marzuki Alie yang sudah punya jabatan sebagai pejabat tinggi/negara. Eh, kenyataannya justru yang menjadi Ketum PD malah SBY sendiri. Eh, justru mereka yang sudah punya jabatan di kabinet dan DPR malah dibebani tugas tambahan kepartaian. Jaidi bukan klimaks yang dinikmati, tetapi antiklimaks! Sebagian besar rakyat bingung!
Syarif  Hasan yang telah ditunjuk menjadi Ketua Harian mulai tampil di muka umum untuk membela diri habis-habisan atas kritik yang datang.
Kasus pertama: SBY tidak konsisten.
SBY sering menegur para menterinya agar lebih fokus kepada tugas kementerian sebagai pelayan rakyat ketimbang ngurusi parpol (ditujukan kepada Suryadarma Ali sang Ketum PPP; Muhaimin Iskandar dari PKB;  Hatta Rajasa dari PAN); dll.
Kritik pertama: Sekarang SBY seperti menelan ludahnya sendiri. SBY malah menerima jabatan Ketum PD yang notabene pekerjaannya pasti lebih banyak mengurusi partai.  SBY berdalih, tugas Ketum akan dibagi habis kepada orang lain karena SBY akan tetap fokus kepada tugas kenegaraan sampa masa jabatan RI-1 tahun 2014. Masalah bukan tanpa masalah: pendelegasian tugas Ketum justru dibebankan kepada Syarif Hasan dan Jero Wacik yang  jabatannya menteri, serta Marzuki Alie yang Ketua DPR. Mereka itu sudah punya kesibukan yang tak kalah sibuknya.
Dalih apa pun yang dilontarkan oleh SBY atau corongnya, Syarif  Hasan, yang intinya pembelaan diri, tetaplah sebagai hal yang naif.
Kritik kedua: Presiden itu milik rakyat, bukan milik parpol.
Idealnya, secara yuridis konstitusional pula, tatkala seorang Ketua Umum Parpol terpilih sebagai presiden dalam pemilu langsung, maka atributnya adalah atribut negara, bangsa, dan rakyat, bukan lagi atribut parpol. Faktanya, SBY sering memosisikan diri sebagai kader PD, porsi bicara untuk PD lebih banyak daripada porsi bicara untuk negara dan rakyat Indonesia. Apa lagi dalam tiga bulan di awal 2013.
Sang “corong PD” yang baru menjadi ketua harian, Syarif  Hasan tampil membela “induk semang” seperti seorang pembela membela kliennya. Katanya Syarif  Hasan, SBY itu kan ikonnya PD, ya, wajar saja SBY harus fight terhadap PD. Para PM di negara lain juga menjadi Ketua Umum Parpol dan mengurusi parpolnya.
Kasus ketiga: Tak ada yang salah seorang SBY menjadi Ketum PD. Banyak negara demokrasi dapat dijadikan contoh seperti praktik SBY di Indonesia.
Ahmad Mubarok, Made Pasek, Sutan Batugana, Ulil Absar, dan Syarif  Hassan tentunya mencari lagi negeri-negeri lain sebagai rujukan untuk menguatkan argumentasi demi membela PD dan menjadi bemper politik SBY. Mereka mencontohkan negeri Thailand, Inggris, Pakistan, dan Jerman. Jadi kata mereka ini, tidak ada yang salah dengan SBY mejadi Ketum PD, apa lagi cuma dua tahun.
Mereka itu tutup mata akan perbedaan yang nyata negara RI yang menganut sistem presidensial dengan negara-negara tersebut di atas yang menganut sistem parlementer. SBY itu adalah tunggal single fighter seorang Presiden,  Kepala Negara, dan sekaligus Kepala Pemerintahan. Mereka bicara membenar-benarkan SBY dengan dalih model mahasiswa FISIP tahun pertama yang baru belajar mata kuliah Pengantar Ilmu Politik.
Kalau di Thailand, Inggris, Pakistan, atau Jerman, seorang PM adalah seorang kepala pemerintahan saja, tidak merangkap jabatan sebagai kepala negara. Jabatan Kepala Negara diemban oleh seorang Raja (Inggris, Thailand) atau Presiden (Pakistan dan Jerman).
Kasus keempat: PD punya kader banyak tetapi kekurangan kader yang pede yang dipercaya
PD sudah menjadi parpol besar dan the ruling party pula. Semestinya parpol besar memiliki kader potensial yang banyak pula. Contohnya Partai Golkar atau PDIP. Tetapi kader PD yang banyak itu tidak signifikan dengan potensi. Kalaupun ada kader yang potensial dan hebat sebenarnya bukan asli yang dilahirkan PD, melainkan hasil comot rekrutan kader parpol lain atau kader kutu loncat yang masih saja gamang, lebih-lebih jika berbicara tentang  SBY.
Akibatnya, semua kader PD itu ‘SBY centris’ dan apa-apa ‘hanya SBY dan harus SBY’. Lihat saja buktinya dalam KLB PD di Nusa Dua, Bali. Bahwa dalam pandangan para kader PD, jika jabatan Ketum PD pengganti Anas bukan SBY akan menimbulkan friksi dan heboh baru, akan muncul kekisruhan baru. Untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan bakal terjadi, lebih baik mendapuk, mendaulat, dan ‘membaiat’ SBY saja untuk menjadi Ketum PD. SBY menyatakan ingin agar partainya tidak tergantung pada figur perorangan, termasuk figur dirinya. "Partai modern tidak boleh tergantung figur," katanya.
Kritik keempat adalah, PD itu parpol besar saja yang tumbuh di zaman demokrasi modern tetapi cara manajemen parpol masih tradisional dengan ciri begitu kuatnya kader bergantung kepada seorang SBY. PD itu parpol tradisional. Omongan SBY tentang partai modern itu belum bisa dipraktikkan oleh para kader PD.
Parpol PD mirip PKB pada era Gus Dur. Mungkin juga nasibnya akan sama dengan PKB. Begitu Gus Dur sudah tak ada, PKB menjadi parpol compang-camping terpecah-belah. Muhaimin Iskandar dan Yenny Wahid pun berseteru memperebutkan PKB karena PKB dianggap sabagai barang warisan peninggalan Gus Dur. Jadilah dua kubu dalam tubuh PKB yang baku rebut baku serang. Yenny Wahid kalah dan Muhaimin yang menang dan tetap memegang lisensi partai. Cuma dampaknya, PKB mengecil mengontet.
Tentu SBY tidak ingin PD bernasib sama dengan PKB. SBY ingin PD itu tetap eksis dan besar dengan atau tanpa SBY kelak.
Kalau fakta kasat mata seperti ini, masih Apa bisa PD berjaya setelah SBY lengser?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar