Rabu, 17 April 2013

SENGKUNI, SENGKUNI-SENGKUNI, PROF. DR. SENGKUNI



Pendidikan Karakter melalui Kisah Dunia Pewayangan dengan Pakem Semau Gue
SENGKUNI, SENGKUNI-SENGKUNI, PROF. DR. SENGKUNI
Sengkuni
Sengkuni (Sangkuni) atau Sangkuning (Sunda) berasal dari kerajaan Gandhara. Dia adalah kakak dari Dewi Gendhari, istri Raja Destarata (tunanetra) dari kerajaan Astina (Hastina). Buah cinta hasil perkawinan Raja Destarata dan Dewi Gendhari menurunkan putra-putri seratus orang (99 laki-laki dan satu perempuan) yang dikenal dengan nama Kurawa seratus. Anak sulung putra mahkota (?) namanya Duryudana (Suyudana) dan adiknya bernama Dursasana. Kurawa seratus bersaudara diasuh, dipelihara, dan dididik langsung oleh Sengkuni yang diberi kepercayaan penuh karena keterbatasan Raja Destarata yang tunanetra dan isterinya yang ikut-ikutan menutup matanya sebagai tanda cinta dan bakti kepada suami (kepercayaan Hindu lama, sorga istri ada di lutut  suami).
(Angka 99 di sini tidak ada kaitannya dengan angka 99 dalam asmaa’ul husna. Kurawa bersaudara 99 orang laki-laki adalah karakter manusia jahat sesuai dengan pakem yang tertulis dalam kitab Mahabharata, Mpu Wiyasa (Viyasa). Asmaa’ul husna yang 99 adalah nama yang mewakili sifat-sifat Allah Yang Mahabaik.)
Adik kandung Raja Destarata adalah Pandu Dewanata yang beristrikan Dewi Kunti, dan pasangan suami-isteri (pasutri) ini menurunkan lima orang putra yang terkenal dengan nama Pandawa lima. Mereka adalah Yudhistira (Samiaji), Bima (Wekudara, Bimasena), Arjuna, dan dwikembar Nakula dan Sadewa (Sahadewa). Jadi Kurawa dan Pandawa adalah saudara sepupu.
(Tahta Astina aslinya adalah milik Pandu Dewanata. Destarata hanyalah ketitipan untuk sementara sebagai raja. Pandu dan Destarata adik kakak yang telah saling berjanji bahwa kelak pada waktunya, tahta Astina akan diserahkan kepada putra mahkota yang paling berhak, Yudhistira, sebagai ahli waris mahkota Astina. Sambil menunggu Yudhistira bersaudara dewasa, Destarata menempatkan putra Pandawa di kadipaten Indraprasta sebagai bentuk penghormatan dari Pak De kepada keponakan yang akan menjadi raja menggantikannya.)
Sengkuni berpolitik
Sengkuni tergolong pandai, cerdik, dan juga licik. Kedekatannya dengan Duryudana bersaudara dalam keseharian menjadikan dia leluasa menanamkan pengaruh karakter kepada mereka. Duryudana bersaudara tumbuh dewasa dengan karakter buruk. Destarata saking amat memercayai Sengkuni, membiarkan saja semua berjalan seperti itu, demi menyenangkan hati anaknya, Duryudana bersaudara.
Sengkuni, Pak Liknya Duryudana bersaudara, berhasil menjalankan tugas sebagai guru pendidikan karakter, pamong sekaligus sumber belajar, atau dosen untuk mata kuliah Karakter Politik Kerajaan Astina dengan transformasi tiga ranah yang apik. Buktinya Duryudana bersaudara bisa meneladaninya dan menuruti semua keinginannya. Segala keputusan politik dan kebijakan dalam negeri maupun luar negeri ditentukan oleh Sengkuni.
.
Sebagai balas budi Raja Destarata terhadapnya yang berjasa mengasuh dan mendidik Duryudana bersaudara, dengan hak mutlak prerogatif seorang raja, Sengkuni ditunjuk dan diangkat sebagai patih cukup dengan titah tanpa SK Raja (orang nomor dua di sebuah kerajaan yang memiliki kekuasaan dan juga pengaruh yang besar). Sengkuni yang memang licik itu menggunakan kekuasaannya untuk memengaruhi Duryudana bersaudara. Tentu saja Duryudana amat bersukacita dan setali tiga uang dengan hasrat politik Sengkuni. Apa yang diinginkan oleh Sengkuni?
Sengkuni menginginkan agar tahta Astina jatuh ke tangan Duryudana dan bukan kepada Yudhistira. Sengkunilah tokoh pemula pencipta intrik licik yang melahirkan rasa permusuhan dan bermuara perang Bharatayudha antara Pandawa lima dan Kurawa seratus. Dia memengaruhi Duryudana bersaudara agar memusuhi Yudhistira bersaudara. Kalau perlu Duryudana si putra mahkota orbitannya dapat mengusir Pandawa lima bersaudara dari lingkungan istana Astina, baik dengan cara halus (menghasut, bergosip, melempar isu) sampai dengan cara kasar (memerdayakan, meracun, memperalat orang lain, bahkan memperalat para dewa di kahyangan).
Raja Destarata yang tunanetra itu pun terpengaruh oleh hasutan dan  kelicikan Sengkuni. Dia amat sayang kepada putra sulungnya, Duryudana. Ada hasrat di dalam hatinya agar mahkota kerajaan jatuh ke tangan Duryudana. Rasa sayang yang berlebihan menjadi kelemahan dan menjadi celah tempat merasuknya doktrin busuk Sengkuni. Dia lupa akan janji setianya kepada sang adik, Pandu Dewanata, sang raja Astina yang asli. Dia lupa bahwa dia duduk sebagai raja Astina karena ketitipan dan untuk waktu sementara. Dia pun menyerahkan sepenuhnya segala kebijakan atau politik dalam negeri maupun luar negeri kepada Sengkuni. Bahkan dia membiarkan saja segala sepak terjang dan tingkah polah Sengkuni.
Kita ambil contoh yang sederhana: kebijakan pengadaan barang dan jasa seperti penunjukan orang-orang yang menulis buku-buku paket kerajaan sampai cetak-mencetak ujian nasional seluruh siswa kerajaan. Pemenang proyek adalah orang-orangnya Sengkuni atau perusahaan yang direkomendasikan atau ditunjuk langsung oleh Sengkuni dan Destarata cuma manggut-manggut dan Duryudana tinggal tanda tangan saja.
Bagi Sengkuni, putra mahkota Astina adalah Duryudana, bukan Yudhistira. Duryudana adalah murid dan mahasiswa yang langsung dia bimbing sampai lulus program S-3, sementara Yudhistira adalah sosok yang akan menyingkirkannya dari kursi patih, mencopotnya dari kursi penasehat raja muda, bahkan mungkin akan mengirim jasadnya ke dalam tanah.
Tibalah saatnya Yudhistira menagih janji dengan meminta kembali haknya sebagai sebagai ahli waris mahkota raja Astina kepada Destarata. Tentu saja Destarata yang tunanetra itu menyerahkan kebijakan politik dalam negeri kepada Sengkuni. Permintaan pertama dengan pertemuan banyak mata ditolak Sengkuni dengan alasan Yudhistira belum cukup matang untuk menjadi raja Astina. Permintaan kedua melalui proposal yang diketahui dan ditandatangani oleh Bisma (kakek bersama Pandawa dan kurawa) juga tidak dipenuhi. Pandawa lima masih bersabar. Permintaan ketiga akan dipenuhi tetapi dengan syarat yang cukup berat. Apa syarat yang diajukan oleh Sengkuni?
Syaratnya adalah, mahkota Astina dan kedaulatannya dengan segala isinya: pemerintahan, rakyat, dan wilayah akan diserahkan kepada Yudhistira asalkan Yudhistira dapat memenangkan permainan judi dadu. Yang namanya berjudi, pasti ada taruhannya: uang, barang, budak, rekening bank, kursi jabatan, tahta, sanak saudara, bahkan istri, sampai kepada siap kalah siap dibuang.
(Sengkuni pernah menjadi jawara I permainan dadu di kampusnya di negeri Gandara. So pasti dia yakin dan pede abis bakalan menang melawan Yudhistira atau siapa pun orang yang dipasang oleh Yudhistira.)
Permainan judi dadu dimulai. Pandawa lima diwakili langsung si sulung Yudhistira. Kurawa seratus diwakili oleh Sengkuni. Babak-babak awal dengan taruhan kecil disengaja oleh Sengkuni untuk mengalah. Judi dadu terus berlanjut dan penasaran kedua pihak takkan pernah hilang. Pihak yang sudah menang ingin kemenangan kedua, ketiga, dan seterusnya. Pihak yang kalah penasaran ingin menang pula.
Menjelang babak-babak akhir yang amat krusial dengan taruhan yang makin besar dan berdampak besar pula, Sengkuni mulai meraih kemenangan. Kadipaten dan istana Indraprasta pun jatuh. Lalu taruhan kehormatan, istri Yudhistira, Dewi Drupadi pun dijadikan taruhan, dan Yudhistira kalah. Dewi Drupadi berpindah tangan. Di situ Dewi Drupadi yang amat dihormati oleh adik-adik iparnya, benar-benar dilecehkan oleh Dursasana seperti wanita murahan. Bima, sang adik yang temperamental, amat geram dan kemudian bersumpah: kelak, dalam perang besar Bharatayudha, Bima akan menghancurkan paha Dursasana dengan gadanya yang terkenal, Rujakpolo.
Babak terakhir, taruhannya adalah siap dibuang selama dua belas tahun. Lagi-lagi Sengkuni menang dan tersenyum menyeringai bak kuda meringkik mengiringi akal tipu dayanya yang amat licik. Yudhistira dan adik-adiknya harus siap mengasingkan diri dalam pembuangan selama dua belas tahun. Mereka boleh kembali ke Astina untuk meminta haknya sebagai ahli waris mahkota raja Astina pada tahun ketiga belas.
Sengkuni menanam tipu muslihat, Sengkuni menuai badai
Pandawa bersaudara berhasil melalui masa pembuangan selama dua belas tahun. Pada tahun ketiga belas, Yudhistira bersama adik-adiknya datang ke Astina dan menemui Duryudana yang telah menjadi raja muda. Yudhistira pun meminta tahta kerajaan dan mahkota miliknya. Duryudana diminta turun karena masa jabatannya telah habis. Duryudana menolak keras dan bahkan menantang mengajak perang Yudhistira bersaudara. Tentu saja penolakan Duryudana itu adalah peran besar seorang Sengkuni yang menghasutnya.
“Anakku, Raja Muda Duryudana. Jangan engkau penuhi permintaan Yudhistira. Lebih baik ajak dia berperang. Jangan takut, engkau banyak memiliki pendukung yang tangguh!” ujar Sengkuni dengan raut wajah tak tahu malu.
Rakyat Astina geram. Warga Kadipaten Indraprasta murka. Mereka pun berkomentar melalui media massa. Mereka juga berorasi dan berdemo. Berbagai ormas pun bersuara keras. Mereka minta agar Duryudana memecat Sengkuni dan juga legowo menyerahkan jabatan raja kepada Yudhistira sebagai orang yang paling berhak.
Sesuai dengan pakem asli kitab Mahabharata, perang Bharatayudha antara pihak Kurawa dengan Pandawa pecah. Perang besar antara rumpun saudara sepupu itu pun pecah tak terelakkan selama delapan belas hari.
Semua tumenggung pendukung Duryudana satu per satu tewas. Dursasana tewas setelah pahanya hancur dihajar gada Rujakpolo oleh Bima yang memenuhi/menepati sumpahnya pada hari keenam belas. Duryudana tewas dihajar Bima dengan senjata kuku Pancanaka pada hari ketujuh belas.
Hari terakhir, hari kedelapan belas, giliran Sengkuni, si tokoh antagonis, tewas dipancung oleh Sadewa, si bungsu Pandawa. Sengkuni yang memulai menanam benih permusuhan, Sengkuni pula yang terakhir menuai badai. Tubuhnya yang licin bagai belut karena minyak tala yang tak mempan berbagai senjata tajam itu akhirnya terbujur kaku bersimbah darah.
Sengkuni-Sengkuni
Sengkuni, tokoh antagonis dalam kisah Mahabharata, sesuai dengan pakem aslinya sudah dimatikan. Sengkuni waktu itu hanya seorang. Namun, sifat-sifat atau karakter Sengkuni tetaplah ada dan hidup sepanjang hayat manusia di bumi. Bukankah sifat dan karakter lihai, licik, culas, dan lain-lainnya hadir pada diri individu-individu, di sekitar kita, bahkan boleh jadi yang kita miliki. Maukah kita mengakui secara kesatria bahwa ada di antara kita yang memiliki karakter mirip atau melebihi kelicikan Sengkuni?
Anas Urbaningrum menengarai ada Sengkuni-Sengkuni tua di sekitar SBY yang ingin menjatuhkan dia, dan sinyalemen Anas terbukti benar. Tak perlu Anas atau kita yang cerdas siapa saja Sengkuni-Sengkuni yang dimaksudnya. Faktanya Anas tersingkir dari PD dan terjatuh dari kursi Ketua Umum PD. Lebih dari itu, Anas terjerembab karena sudah ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK.
Sengkuni-Sengkuni tidak saja ada di lingkungan parpol tetapi Sengkuni-Sengkuni ada di mana-mana.
Prof. Dr. Sengkuni
Sengkuni zaman Hindu lama (+ 2.500 SM)  yang belum ada sekolah, belum ada pendidikan formal dari jenjang SD sampai Perguruan Tinggi (PT), jadi Sengkuni tidak menyandang titel kesarjanaan, namun intelektualitasnya setara sarjana. Buktinya dia diangkat menjadi patih kerajaan Astina.
Sengkuni diangkat menjadi patih oleh Destarata karena ada jalur/link yang spesial yang dimilikinya. Pertama, dia saudara ipar Raja Destarata. Ada unsur nepotisme kekerabatan. Kedua, dialah pengasuh, pengayom, pendidik, dan dosen bagi putra raja yang seratus orang. Ketiga, faktor kedekatan emosional dengan Duryudana yang calon raja melanggenggengkan kekuasaannya, dan memberi keleluasaan baginya untuk berlaku apa saja dalam hal mengambil kebijakan dan langkah politik kerajaan Astina. Jadilah Sengkuni orang punya kekuasaan menyamai Raja Destarata walaupun dia seorang patih saja. Jadilah Sengkuni menjadi orang yang angkuh dan tidak menghargai orang lain.
Zaman sekarang, jabatan patih itu sudah tidak ada. Di negeri kita, Indonesia, yang menganut sistem presidensial, jabatan tertinggi adalah seorang Presiden. Pekerjaan seorang Presiden RI itu sangat banyak dan karena itu  Presiden harus mengangkat pembantu-pembantu  yang namanya Menteri-menteri yang diserahi tugas memimpin lembaga kementerian dan menangani bidang tertentu. Seorang Menteri, di luar jalur birokrasi dan ketentuan perundang-undangan, memiliki kewenangan mengangkat pembantu khusus yang menangani bidang yang khusus pula. Namanya Staf Ahli atau Staf Khusus  Menteri. Terserah Menteri untuk mengangkat Staf Ahli atau Staf Khususnya, dua, tiga, atau empat orang.
Para Staf Ahli atau Staf Khusus ini, ahli atau bukan ahli, pakar atau bukan pakar, tidak jadi soal. Yang penting Menteri yang bawa dan yang disukai di mana dan ke mana Menteri menduduki jabatan. Para staf birokrasi yang punya jabatan karier atau staf biasa harus menerima saja kehadiran mereka ini. Para staf atau pejabat karier seperti pejabat eselon I, II, III, atau IV menyebut mereka sebagai orang-orangnya Menteri. Kelakuan Staf Ahli Menteri terkadang melebihi  kelakuan pejabat Eselon I.
Para Staf Ahli bisa diambil dan dibawa dari mana saja, suka-suka Menteri. Bisa dari pejabat karier lingkungan dalam, yakni pejabat eselon I atau II, pensiunan, bisa pula dari PT, bisa pula dari luar kementerian, bahkan dari tempat yang asing.
Pejabat karier lingkungan dalam yang diangkat menjadi staf ahli, tentu dia bekerja di rumah sendiri, cepat beradaptasi, dan tahu seluk-beluk kementerian, teknis maupun nonteknis, human relationship-nya, cepat tanggap terhadap kebijakan yang diambil oleh Menteri.
Lain halnya dengan Staf Ahli Menteri atau Staf Khusus Menteri yang diambil/dicomot atau dibawa dari luar. Misalnya dari PT. Sering kali para staf biasa, ketika dalam forum rapat, bingung menghadapi Staf Ahli yang “ahli” atau benar-benar ahli yang tampil membingungkan orang dalam yang sudah kawakan. Staf atau pejabat karier mengobrol tentang keberadaan Staf Ahli atau Staf Khusus Menteri yang belum dikenal. Namanya juga orang luar, lebih banyak tak paham daripada paham. Namun, meskipun seorang Staf Ahli atau Staf Khusus Menteri tak paham, mana ada orang yang protes.
“Siapa sih dia?” tanya seorang staf kepada temannya.
“Oh, dia itu staf Ahli Pak Menteri. Orang bawaannya Menteri. Katanya sih, beliau itu pembimbing disertasi waktu Pak Menteri ambil program doktoral merangkap guru spiritualnya, ” jawab yang lain.
“Oh, pantas!”
“Maksudmu?”
“Tampilannya kayak preman tetapi kelakuannya menyamai Menteri.”
“Sstt! Jangan keras-keras kalau berbicara. Dia punya pengaruh menghitamkan atau memutihkan yang hitam di kementerian ini! Para rekanan di kantor ini amat hormat dan sungkan kepadanya. Tak ada seorang rekanan pun yang bisa menemui meja Menteri tanpa melalui meja beliau.”
“Ya ya ya! Maaf, deh! Siapa namanya?”
“Prof. Dr. Sengkuni!”
Jakarta, 17 April 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar