Kamis, 18 April 2013

PILAR-PILAR PEMBELAJARAN DAN IMPLEMENTASINYA DALAM PRAKTIK BERAGAMA ISLAM



Ada empat pilar belajar/model pembelajaran yang dikembangkan oleh UNESCO, yaitu:
Learning to know
Learning to do
Learning to live together
Learning to be

Yuk, kita bahas satu-persatu!
Learning to know
Learning to know,  dimaksudkan agar pembelajar menguasai metode untuk mengetahui. Dalam bahasa aslinya dinyatakan sebagai berikut :
This type of learning is less a matter of acquiring itemized, codified information than of mastering the instrument of knowledge themselves.”
                                                  (International Commission on Education for The 21St Century”     
                                                                                                                                     (UNESCO).
Ajaran Islam menuntut (wajib hukumnya) setiap muslim untuk tahu, mengetahui, dan memahami dengan baik segala sesuatu yang berkaitan dengan hajat hidupnya. Organ otak (brain) adalah sumber akal yang berfungsi untuk mencari tahu. Manusia sudah dianugerahi akal dan dengan akal itulah manusia harus menggunakannya untuk berbuat (sebagai perintah) dan tidak berbuat (sebagai larangan). Allah membelajarkan manusia yang berakal dengan tuntunan wahyu-Nya, melakukan evaluasi atas kinerja akal, dan meminta pertanggungjawaban atas kinerja manusia dengan kalimat-kalimat pertanyaan yang dicantumkan dalam wahyu-Nya, Quran berulang kali: Afalaa ta’qiluun? Afalaa ta’lamuun? Afalaa tatafakkaruun?
Adalah sunnatullah manusia memiliki keterbatasan dan kelemahan di samping kelebihan. Kelemahan yang menonjol dan sering membawa dampak negatif bagi kehidupan manusia itu sendiri, tanpa terkecuali siapa pun, adalah kealpaan/kekeliruan/kesalahan.
Itulah sebabnya Nabi saw yang “ummiyy” meneladankan dan menganjurkan umatnya, umat Islam, agar menuntut ilmu/knowledge (learning to know) sepanjang hayat agar tahu akan harkat dan martabat sebagai manusia, makhluk yang terbaik yang diciptakan Tuhan.
Karena manusia telah “tahu” segala sesuatu yang bermanfaat bagi kemaslahatan, maka manusia akan melakukan, melaksanakan, menyelenggarakan, dan berbuat.
Karena manusia telah “tahu” segala sesuatu yang mudarat/mubazir, sia-sia, maka manusia akan menghindari, menjauhi, dan/atau tidak melakukan.
Orang pun belajar karena tahu gunanya belajar; Orang pun bekerja karena tahu gunanya bekerja; Orang Islam pun salat, berpuasa, berhaji, dan berzakat karena tahu salat, berpuasa, berhaji, dan berzakat itu wajib hukumnya.
Ternyata, to know (tahu) saja belum cukup. Banyak orang yang “banyak tahu” dan mau bekerja/berbuat sehingga menghasilkan karya/produk terbaik, tetapi lebih banyak lagi yang “tahu” namun tidak tahu cara melakukan/berbuat sehingga produk perbuatannya tak bermutu.
Banyak orang Islam belajar, salat, berpuasa, dan berhaji tetapi produk belajar, dampak salat, berpuasa, dan berhaji sama sekali tidak jelas, kualitas tak berkelas, kecuali sekedar menggugurkan kewajiban saja dan supaya tidak dicap sebagai muslim yang malas.
Oleh karena itu, pilar belajar kedua, learning to do, harus dikuasai betul.
Learning to do, adalah belajar berbuat sesuatu yang terbaik, berkualitas, efisien, berdampak positif, dan membawa kemaslahatan. Orang yang selalu mewujudkan learning to do, perbuatan/amalnya, gaya bekerjanya produktif, output/produk kerjanya unggul kualitas berkelas, , dan bernilai tinggi.
Mari kita ambil beberapa contoh tentang learning to do.
Kita sudah banyak tahu tentang produk yang sudah punya nama. Roti Bakar Eddy yang selalu menerapkan learning to do, produk roti bakarnya bekelas, pangsa pakar yang dikuasai makin meluas, dan mampu menerobos “kompor persaingan” produk roti yang makin panas. Para penikmat roti bakar tidak lagi sekedar memandang sebelah mata lantaran nama domestik yang disandang, tetapi mereka siap merogoh kocek dan rela uang banyak dilepas demi memanjakan selera akan roti bakar panas.
Produsen kuliner “Ayam Lepasss” berhasil menangkap selera penikmat hidangan ayam goreng atau ayam bakar yang mungkin tadinya pelanggan tetap KFC, CFC, AW, atau Mc.D, karena produsen “Ayam Lepasss” selalu menghidupkan semangat learning to do dan akas mengelola mencapai tujuan yang diinginkan (management by objectiive; MBO) dan mengawinkannya dengan mengelola proses (management by process) yang baik: menggagas, melatih sumber daya manusia (SDM) agar mereka bekerja tangkas, membuat terobosan, dan berkarya menangkap keinginan pasar, serta dipastikan mampu bersaing di pasar bebas.  Kita dapat menyaksikan masyarakat dari tiga kelas takkan sungkan untuk mampir mencicipi nikmatnya melahap ayam goreng atau ayam bakar “ayam lepassss”. Harganya untuk ukuran kantong tiga lapisan masyarakat pas, dan para penikmat kuliner pun puas.
Learning to live together
Ternyata, hidup bersama itu tetap harus dipelajari dan diimpelementasikan dalam hidup keseharian. Kesalehan individual tidak seiring sejalan dengan kesalehan sosial hidup bermasyarakat. Betul sekali! Anak saleh di mata orang tua tetapi tidak serta-merta saleh tatkala berada di lingkungan luar keluarga. Siswa pintar di sekolah di mata para guru tetapi sering berlaku bodoh tatkala berada di luar sekolah. Orang dewasa saleh di mata keluarga atau di lingkungan rukun tetangga tetapi sering jauh dari saleh ketiga berada di luar.
Perhatikanlah peristiwa keseharian perilaku kita sendiri. Kita merefleksi perilaku kita selama ini.
Orang sekampung tawuran, orang antardesa tawuran, antarumat berkelahi, antarbangsa berperang, selalu saja terjadi. Belum lagi tawuran antarmahasiswa antarkampus, tawuran siswa antarsekolah masih saja terjadi sampai saat  ini. Hidup bersama seperti barang langka dan mahal. Pemicu tawuran terkadang sepele. Akan tetapi dampak tawuran justru merusak dan amat merugikan semua pihak. Kita melihat dengan kasat mata ketika umat Islam sama-sama berangkat ke mesjid yang sama untuk salat pada suatu saat, akan tetapi pada saat lain mereka saling mencaci-maki, saling menghujat, bahkan saling menyerang. Lucunya, kedua pihak yang berseteru berteriak lantang menyeru “Allahu Akbar!”
Mereka merugi, hancur, dan menderita karena tidak memelihara hubungan baik dengan sesama manusia melalui hidup bersama (Akibat bertindak bodoh; QS 95: 5; )
Mereka lupa bahwa mereka berasal dari satu diri (Adam; QS 4:1); Mereka lupa bahwa mereka adalah saudara (QS 49: 10); Mereka lupa bahwa suku bangsa, kabilah, bahasa, adat-istiadat, adalah keniscayaan agar dapat hidup bersama dan saling kenal satu sama lain (sunnatullah; QS 49: 13). Mereka hanya kelihatan “hidup bersama” tetapi belum menguasai kemampuan “hidup bersama” yang diajarkan dan diperintahkan oleh ajaran agama.
Belajar hidup besama menjadi amat penting. Belajar hidup bersama dimaksudkan agar kita kembali kepada fitrah kita, bahwa kita bersaudara, makhluk sosial, makhluk berkarya, makhluk bermain, dan makhluk bercita-cita. Pendidikan yang berkesinambungan dan pengalaman hidup bersama haruslah dialami sejak usia dini sebagai pembelajaran. Usia sekolah dasar adalah usia emas untuk membelajarkan pengalaman hidup bersama. Pembelajaran hidup bersama yang diintegrasikan atau terintegrasi ke dalam semua mata pelajaran intrakurikuler, kegiatan ekstrakurikuler, dan kegiatan dalam bentuk lainnya.
Kemampuan hidup bersama dikuasai, kehidupan damai pun dapat diraih. Agama, keyakinan, adat-istiadat, suku bangsa, bahasa, dan TIK boleh berbeda boleh beraneka warna ala pelangi, tetapi ada satu perkara yang mempersatukan, mengeratkan persaudaran, dan mengentalkan rasa cinta kasih, yakni sama-sama menyadari sebagai manusia, makhluk sempurna, makhluk sosial, dan makhluk terbaik (QS 95:4).
Learning to be
Anda tentu pernah baca dan memahami teorinya Abraham G. Maslow, tentang “The Chierarchy of Needs” atau teori “Jenjang Kebutuhan”. Menurut Maslow, manusia itu memiliki kebutuhan yang berjenjang dalam lima jenjang, yang digambarkan dalam bentuk piramida jenjang kebutuhan.
Belajar itu bermanfaat bagi manusia. Maka manusia pun berbuat/belajar (to do/to study). Pertanyaan selanjutnya, bagaimana berbuat yang terbaik? Bagaimana belajar yang baik, “how” to do well,
learning to do, mengutamakan kemampuan menerapkan pengetahuan yang diperoleh untuk memecahkan masalah
learning to live together, model pembelajaran yang memungkinkan peserta didik belajar bekerja  sama, mengenal orang lain, dan belajar toleransi.
 Model proyek yang menuntut “cooperative learning” akan memungkinkan peserta didik bekerjasama untuk mencapai tujuan bersama. Melalui pembelajaran ini peserta didik mengenal pembagian tugas/mengenal dirinya, mengerjakan tugasnya sendiri, serta sekaligus akan memungkinkan peserta didik mengenal sesamanya.
learning to be   menerapkan tiga pilar pertama (learning to know, learning to do, learning to live together) akan memungkinkan peserta didik menjadi manusia yang utuh, Learning to be.
 Sehingga dengan ditetapkannya empat pilar belajar secara relevan dalam pelaksanaan kurikulum dan didukung dengan sistem evaluasi yang relevan pula maka tujuan dan fungsi pendidikan nasional akan tercapai.
Mewujudkan proses pembelajaran yang relevan untuk menunjang tercapainya tujuan pendidikan
Kemampuan pendidik (tanaga kependidikan) dalam merancang isi dan merancang model pembelajaran dan sistem evaluasi.
keberhasilan pendidik (tenaga kependidikan) dalam mengembangkan dan mengelola proses pembelajaran akan tergantung pada ketersediaan sarana dan prasarana, sedangkan ketersediaan sarana dan prasarana akan tergantung dari ketersediaan dana.










Tidak ada komentar:

Posting Komentar