Ada empat pilar belajar/model pembelajaran yang
dikembangkan oleh UNESCO, yaitu:
Learning to know
Learning to do
Learning to live together
Learning to be
Yuk, kita bahas
satu-persatu!
Learning to know
Learning to know, dimaksudkan agar pembelajar menguasai metode
untuk mengetahui. Dalam bahasa aslinya dinyatakan sebagai berikut :
“This type of
learning is less a matter of acquiring itemized, codified information than of
mastering the instrument of knowledge themselves.”
(International Commission on Education for
The 21St Century”
(UNESCO).
Ajaran Islam menuntut (wajib hukumnya) setiap muslim
untuk tahu, mengetahui, dan memahami dengan baik segala sesuatu yang berkaitan
dengan hajat hidupnya. Organ otak (brain)
adalah sumber akal yang berfungsi untuk mencari tahu. Manusia sudah dianugerahi
akal dan dengan akal itulah manusia harus menggunakannya untuk berbuat (sebagai
perintah) dan tidak berbuat (sebagai larangan). Allah membelajarkan manusia
yang berakal dengan tuntunan wahyu-Nya, melakukan evaluasi atas kinerja akal,
dan meminta pertanggungjawaban atas kinerja manusia dengan kalimat-kalimat
pertanyaan yang dicantumkan dalam wahyu-Nya, Quran berulang kali: Afalaa ta’qiluun? Afalaa ta’lamuun? Afalaa
tatafakkaruun?
Adalah sunnatullah
manusia memiliki keterbatasan dan kelemahan di samping kelebihan. Kelemahan
yang menonjol dan sering membawa dampak negatif bagi kehidupan manusia itu
sendiri, tanpa terkecuali siapa pun, adalah kealpaan/kekeliruan/kesalahan.
Itulah sebabnya Nabi saw yang “ummiyy” meneladankan dan menganjurkan umatnya, umat Islam, agar
menuntut ilmu/knowledge (learning to know)
sepanjang hayat agar tahu akan harkat dan martabat sebagai manusia, makhluk
yang terbaik yang diciptakan Tuhan.
Karena manusia telah “tahu” segala sesuatu yang
bermanfaat bagi kemaslahatan, maka manusia akan melakukan, melaksanakan,
menyelenggarakan, dan berbuat.
Karena manusia telah “tahu” segala sesuatu yang
mudarat/mubazir, sia-sia, maka manusia akan menghindari, menjauhi, dan/atau
tidak melakukan.
Orang pun belajar karena tahu gunanya belajar; Orang pun
bekerja karena tahu gunanya bekerja; Orang Islam pun salat, berpuasa, berhaji,
dan berzakat karena tahu salat, berpuasa, berhaji, dan berzakat itu wajib
hukumnya.
Ternyata, to know
(tahu) saja belum cukup. Banyak orang yang “banyak tahu” dan mau
bekerja/berbuat sehingga menghasilkan karya/produk terbaik, tetapi lebih banyak
lagi yang “tahu” namun tidak tahu cara melakukan/berbuat sehingga produk
perbuatannya tak bermutu.
Banyak orang Islam belajar, salat, berpuasa, dan berhaji
tetapi produk belajar, dampak salat, berpuasa, dan berhaji sama sekali tidak
jelas, kualitas tak berkelas, kecuali sekedar menggugurkan kewajiban saja dan supaya
tidak dicap sebagai muslim yang malas.
Oleh karena itu, pilar belajar kedua, learning to do, harus dikuasai betul.
Learning to do,
adalah belajar berbuat sesuatu yang terbaik, berkualitas, efisien, berdampak
positif, dan membawa kemaslahatan. Orang yang selalu mewujudkan learning to do, perbuatan/amalnya, gaya
bekerjanya produktif, output/produk kerjanya unggul kualitas berkelas, , dan
bernilai tinggi.
Mari kita ambil beberapa contoh tentang learning to do.
Kita sudah banyak tahu tentang produk yang sudah punya
nama. Roti Bakar Eddy yang selalu menerapkan learning to do, produk roti bakarnya bekelas, pangsa pakar yang
dikuasai makin meluas, dan mampu menerobos “kompor persaingan” produk roti yang
makin panas. Para penikmat roti bakar tidak lagi sekedar memandang sebelah mata
lantaran nama domestik yang disandang, tetapi mereka siap merogoh kocek dan
rela uang banyak dilepas demi memanjakan selera akan roti bakar panas.
Produsen kuliner “Ayam Lepasss” berhasil menangkap selera
penikmat hidangan ayam goreng atau ayam bakar yang mungkin tadinya pelanggan tetap
KFC, CFC, AW, atau Mc.D, karena produsen “Ayam Lepasss” selalu menghidupkan
semangat learning to do dan akas mengelola
mencapai tujuan yang diinginkan (management
by objectiive; MBO) dan mengawinkannya dengan mengelola proses (management by process) yang baik: menggagas,
melatih sumber daya manusia (SDM) agar mereka bekerja tangkas, membuat
terobosan, dan berkarya menangkap keinginan pasar, serta dipastikan mampu
bersaing di pasar bebas. Kita dapat
menyaksikan masyarakat dari tiga kelas takkan sungkan untuk mampir mencicipi
nikmatnya melahap ayam goreng atau ayam bakar “ayam lepassss”. Harganya untuk
ukuran kantong tiga lapisan masyarakat pas, dan para penikmat kuliner pun puas.
Learning to live
together
Ternyata, hidup bersama itu tetap harus dipelajari dan
diimpelementasikan dalam hidup keseharian. Kesalehan individual tidak seiring
sejalan dengan kesalehan sosial hidup bermasyarakat. Betul sekali! Anak saleh
di mata orang tua tetapi tidak serta-merta saleh tatkala berada di lingkungan
luar keluarga. Siswa pintar di sekolah di mata para guru tetapi sering berlaku
bodoh tatkala berada di luar sekolah. Orang dewasa saleh di mata keluarga atau
di lingkungan rukun tetangga tetapi sering jauh dari saleh ketiga berada di
luar.
Perhatikanlah peristiwa keseharian perilaku kita sendiri.
Kita merefleksi perilaku kita selama ini.
Orang sekampung tawuran, orang antardesa tawuran, antarumat
berkelahi, antarbangsa berperang, selalu saja terjadi. Belum lagi tawuran
antarmahasiswa antarkampus, tawuran siswa antarsekolah masih saja terjadi
sampai saat ini. Hidup bersama seperti
barang langka dan mahal. Pemicu tawuran terkadang sepele. Akan tetapi dampak
tawuran justru merusak dan amat merugikan semua pihak. Kita melihat dengan
kasat mata ketika umat Islam sama-sama berangkat ke mesjid yang sama untuk
salat pada suatu saat, akan tetapi pada saat lain mereka saling mencaci-maki,
saling menghujat, bahkan saling menyerang. Lucunya, kedua pihak yang berseteru
berteriak lantang menyeru “Allahu Akbar!”
Mereka merugi, hancur, dan menderita karena tidak
memelihara hubungan baik dengan sesama manusia melalui hidup bersama (Akibat
bertindak bodoh; QS 95: 5; )
Mereka lupa bahwa mereka berasal dari satu diri (Adam; QS
4:1); Mereka lupa bahwa mereka adalah saudara (QS 49: 10); Mereka lupa bahwa
suku bangsa, kabilah, bahasa, adat-istiadat, adalah keniscayaan agar dapat
hidup bersama dan saling kenal satu sama lain (sunnatullah; QS 49: 13). Mereka
hanya kelihatan “hidup bersama” tetapi belum menguasai kemampuan “hidup
bersama” yang diajarkan dan diperintahkan oleh ajaran agama.
Belajar hidup besama menjadi amat penting. Belajar hidup
bersama dimaksudkan agar kita kembali kepada fitrah kita, bahwa kita
bersaudara, makhluk sosial, makhluk berkarya, makhluk bermain, dan makhluk
bercita-cita. Pendidikan yang berkesinambungan dan pengalaman hidup bersama
haruslah dialami sejak usia dini sebagai pembelajaran. Usia sekolah dasar
adalah usia emas untuk membelajarkan pengalaman hidup bersama. Pembelajaran
hidup bersama yang diintegrasikan atau terintegrasi ke dalam semua mata
pelajaran intrakurikuler, kegiatan ekstrakurikuler, dan kegiatan dalam bentuk
lainnya.
Kemampuan hidup bersama dikuasai, kehidupan damai pun
dapat diraih. Agama, keyakinan, adat-istiadat, suku bangsa, bahasa, dan TIK
boleh berbeda boleh beraneka warna ala pelangi, tetapi ada satu perkara yang
mempersatukan, mengeratkan persaudaran, dan mengentalkan rasa cinta kasih,
yakni sama-sama menyadari sebagai manusia, makhluk sempurna, makhluk sosial,
dan makhluk terbaik (QS 95:4).
Learning to be
Anda tentu pernah
baca dan memahami teorinya Abraham G. Maslow, tentang “The Chierarchy of Needs”
atau teori “Jenjang Kebutuhan”. Menurut Maslow, manusia itu memiliki
kebutuhan yang berjenjang dalam lima jenjang, yang digambarkan dalam bentuk
piramida jenjang kebutuhan.
Belajar itu bermanfaat bagi manusia. Maka manusia pun
berbuat/belajar (to do/to study).
Pertanyaan selanjutnya, bagaimana berbuat yang terbaik? Bagaimana belajar yang
baik, “how” to do well,
learning to do,
mengutamakan kemampuan menerapkan pengetahuan yang diperoleh untuk memecahkan
masalah
learning to live
together, model pembelajaran yang memungkinkan peserta didik belajar
bekerja sama, mengenal orang lain, dan
belajar toleransi.
Model proyek yang
menuntut “cooperative learning” akan memungkinkan peserta didik
bekerjasama untuk mencapai tujuan bersama. Melalui pembelajaran ini peserta
didik mengenal pembagian tugas/mengenal dirinya, mengerjakan tugasnya sendiri,
serta sekaligus akan memungkinkan peserta didik mengenal sesamanya.
learning to be menerapkan tiga pilar pertama (learning to
know, learning to do, learning to live together) akan memungkinkan peserta
didik menjadi manusia yang utuh, Learning to be.
Sehingga dengan
ditetapkannya empat pilar belajar secara relevan dalam pelaksanaan kurikulum
dan didukung dengan sistem evaluasi yang relevan pula maka tujuan dan fungsi
pendidikan nasional akan tercapai.
Mewujudkan proses pembelajaran yang relevan untuk
menunjang tercapainya tujuan pendidikan
Kemampuan pendidik (tanaga kependidikan) dalam merancang
isi dan merancang model pembelajaran dan sistem evaluasi.
keberhasilan pendidik (tenaga kependidikan) dalam
mengembangkan dan mengelola proses pembelajaran akan tergantung pada
ketersediaan sarana dan prasarana, sedangkan ketersediaan sarana dan prasarana
akan tergantung dari ketersediaan dana.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar