Lanjutan Orang yang ….
Mari kita lanjutkan cerita imaginer
dengan narasi berikut ini.
1. Orang Tua
Menggantikan Kewajiban Salat Anak karena Sang Anak Sakit
Anak saya yang sulung sudah dewasa. Dia jatuh sakit selama sebulan
penuh. Dia sulit bergerak dan menggerakkan kakinya, sulit melangkah, dan berat
tubuhnya tidak proporsional.
Saya sebagai ayah tentu saja sangat sayang
kepadanya. Saya pun punya ide untuk meringankan bebannya. Lalu saya memberitahukannya bahwa saya siap
menggantikannya salat lima waktu selama dia sakit. Lumayan, demikian pikir
saya. Saya pun bersalat untuk diri sendiri dan salat pengganti untuk anak saya.
Per hari saya salat wajib 2 x 5 = 10 kali salat wajib.
Pertanyaannya, sebagai muslim, benarkah
kelakuan saya?
Tentu saja tidak benar, apa pun dalih dan
tidak ada dalil satu pun yang mendukung kelakuan saya seperti itu. Wajib ‘ain (individual) kok bisa dinego dan digantikan oleh orang lain!
Salat adalah ibadah fardhu ‘ain
(individually; nafsi-nafsi). Fakta objektif adalah adanya perintah Allah
melalui wahyunya dalam Al Quran.
Jika saya melakukan menggantikan salat anak
saya, maka kelakuan saya adalah kelakuan seorang muslim dan seorang ayah yang
terbodoh yang pernah lahir di dunia.
Tentu saja ini narasi cerita imaginer dari
penulis.
2. Anak Menggantikan
Sang Ibunda Berpuasa
Sang ibunda sebenarnya masih sehat, bugar,
dan kuat. Usianya saja belum genap lima puluh tahun. Hanya, sang ibunda agak
malas berpuasa wajib pada bulan Ramadan. Tak ada halangan syariah sebenarnya
yang menghalangi ibunda berpuasa (kecuali datang haidh).
Sang anak amat mencintai ibundanya. Dia
dengan sukahati menawarkan ibundanya agar kewajiban berpuasanya digantikan.
Tentu saja, anak hanya dapat melakukannya usai bulan Ramadan. Jadilah sang anak
berpuasa selama dua bulan.
Benarkah kelakuan sang anak yang menggantikan
kewajiban puasa sang ibundanya?
Tentu saja kelakuan seorang muslim seperti
itu adalah kelakuan sesat. Subjektifitas (rasa hormat, sayang, enak, tidak enak
hati) tidak boleh dirujuk untuk permissiveness
mengada-adakan aturan ibadah yang melanggar syariah Islam.
3. Adik yang Miskin
menggantikan Berhaji Sang Kakak yang Kaya
Saya seorang muslim miskin. Saya sangat ingin
berhaji. Akan tetapi keinginan itu hanya tinggallah keinginan, bahkan sebuah
utopia belaka.
Berkebalikan dengan kondisi saya yang miskin,
kakak saya tergolong the have. Akan tetapi dia sepertinya tak
punya niat berhaji. Ada saja alasannya untuk mengelak jika disinggung keluarga
tentang ibadah haji.
“Kalau boleh sih, kalau ada yang bisa
menggantikan saya berhaji, biarlah digantikan saja. Segala biaya dan segala
akomodasi saya tanggung berapa pun besarnya,” katanya dalam suatu pertemuan
keluarga besar.
“Saya sanggup menggantikan Kakak. Saya
sanggup menunaikan segala rukun dan wajib haji Kakak di sana. Pokoknya kakak
tenang-tenang saja di tanah air, titel haji tinggal disandang, dan busana haji
tinggal beli saja di Pasar Tanah Abang!” ujarku menyambut gembira tawarannya.
“Memang boleh begitu? Boleh ibadah haji digantikan
oleh orang lain?” tanyanya penasaran dengan perasaan senang.
“Kata ustaz kampung sebelah boleh-boleh saja.
Kan berhaji itu perbuatan baik. Kebetulan ustaz itu sudah berhaji belasan kali.
Katanya lagi, dia bisa berhaji belasan kali karena menggantikan orang-orang
yang tak sempat pergi ke Mekkah tetapi orang-orang kaya, ya, seperti Kakaklah!”
imbuh saya dengan sedikit memuji dan sekaligus meyakinkan dia dan keluarga
besar.
Benarkah kelakuan saya yang sukahati
menggantikan berhaji sang kakak yang enggan berhaji?
Tentu saja kelakuan saya tidak benar. Kelakuan
Ini akan sangat berbahaya bagi muslim yang awam.
Berlanjut ….
Tidak ada komentar:
Posting Komentar