Minggu, 16 Februari 2014

Lanjutan ORANG YANG ....



Lanjutan Orang yang ….
            Mari kita lanjutkan cerita imaginer dengan narasi berikut ini.
1.    Orang Tua Menggantikan Kewajiban Salat Anak karena Sang Anak Sakit
Anak saya yang sulung  sudah dewasa. Dia jatuh sakit selama sebulan penuh. Dia sulit bergerak dan menggerakkan kakinya, sulit melangkah, dan berat tubuhnya tidak proporsional.
Saya sebagai ayah tentu saja sangat sayang kepadanya. Saya pun punya ide untuk meringankan bebannya. Lalu saya  memberitahukannya bahwa saya siap menggantikannya salat lima waktu selama dia sakit. Lumayan, demikian pikir saya. Saya pun bersalat untuk diri sendiri dan salat pengganti untuk anak saya. Per hari saya salat wajib 2 x 5 = 10 kali salat wajib.
Pertanyaannya, sebagai muslim, benarkah kelakuan saya?
Tentu saja tidak benar, apa pun dalih dan tidak ada dalil satu pun yang mendukung kelakuan saya seperti itu. Wajib ‘ain (individual) kok bisa dinego dan digantikan oleh orang lain!
Salat adalah ibadah fardhu ‘ain (individually; nafsi-nafsi). Fakta objektif adalah adanya perintah Allah melalui wahyunya dalam Al Quran.
Jika saya melakukan menggantikan salat anak saya, maka kelakuan saya adalah kelakuan seorang muslim dan seorang ayah yang terbodoh yang pernah lahir di dunia.
Tentu saja ini narasi cerita imaginer dari penulis.
2.    Anak Menggantikan Sang Ibunda Berpuasa
Sang ibunda sebenarnya masih sehat, bugar, dan kuat. Usianya saja belum genap lima puluh tahun. Hanya, sang ibunda agak malas berpuasa wajib pada bulan Ramadan. Tak ada halangan syariah sebenarnya yang menghalangi ibunda berpuasa (kecuali datang haidh).
Sang anak amat mencintai ibundanya. Dia dengan sukahati menawarkan ibundanya agar kewajiban berpuasanya digantikan. Tentu saja, anak hanya dapat melakukannya usai bulan Ramadan. Jadilah sang anak berpuasa selama dua bulan.
Benarkah kelakuan sang anak yang menggantikan kewajiban puasa sang ibundanya?
Tentu saja kelakuan seorang muslim seperti itu adalah kelakuan sesat. Subjektifitas (rasa hormat, sayang, enak, tidak enak hati) tidak boleh dirujuk untuk permissiveness mengada-adakan aturan ibadah yang melanggar syariah Islam.
3.    Adik yang Miskin menggantikan Berhaji Sang Kakak yang Kaya
Saya seorang muslim miskin. Saya sangat ingin berhaji. Akan tetapi keinginan itu hanya tinggallah keinginan, bahkan sebuah utopia belaka.
Berkebalikan dengan kondisi saya yang miskin, kakak saya  tergolong the have. Akan tetapi dia sepertinya tak punya niat berhaji. Ada saja alasannya untuk mengelak jika disinggung keluarga tentang ibadah haji.
“Kalau boleh sih, kalau ada yang bisa menggantikan saya berhaji, biarlah digantikan saja. Segala biaya dan segala akomodasi saya tanggung berapa pun besarnya,” katanya dalam suatu pertemuan keluarga besar.
“Saya sanggup menggantikan Kakak. Saya sanggup menunaikan segala rukun dan wajib haji Kakak di sana. Pokoknya kakak tenang-tenang saja di tanah air, titel haji tinggal disandang, dan busana haji tinggal beli saja di Pasar Tanah Abang!” ujarku menyambut gembira tawarannya.
“Memang boleh begitu? Boleh ibadah haji digantikan oleh orang lain?” tanyanya penasaran dengan perasaan senang.
“Kata ustaz kampung sebelah boleh-boleh saja. Kan berhaji itu perbuatan baik. Kebetulan ustaz itu sudah berhaji belasan kali. Katanya lagi, dia bisa berhaji belasan kali karena menggantikan orang-orang yang tak sempat pergi ke Mekkah tetapi orang-orang kaya, ya, seperti Kakaklah!” imbuh saya dengan sedikit memuji dan sekaligus meyakinkan dia dan keluarga besar.
Benarkah kelakuan saya yang sukahati menggantikan berhaji sang kakak yang enggan berhaji?
Tentu saja kelakuan saya tidak benar. Kelakuan Ini akan sangat berbahaya bagi muslim yang awam.
Berlanjut ….

Tidak ada komentar:

Posting Komentar