Rabu, 12 Februari 2014

TAUSIAH DARI MAS MANGUN UNTUK PARA USTAZ





TAUSIAH DARI MAS MANGUN UNTUK PARA USTAZ
Pengantar
Yang udah-udah, yang lazim terjadi di majelis taklim atau pengajian yang dihelat, ustaz atau kiai atau habib menyampaikan tausiah dan para jemaah yang setia mendengarkan tausiah. Emang sebenarnya sih begitu. Yang bertausiah itu tentu yang lebih alim (berilmu agama) daripada yang ditausiahi (jemaah; audiens; pendengar). Yang alim (dalam hal pengetahuan agama Islam) itu lebih kompeten dalam bertausiah daripada yang awam. Model penyampaiannya, 0ne-way traffics (satu arah) dan metodenya 99% ceramah. Medianya mulut dan kuping. Outputnya, sebagian yang didengar tak ingat lagi (lupa). Yah, namanya juga ngaji kuping. Paling-paling juga hanya kesan: ustaznya kocak, fasih, jemaah membludak, dan heboh.
Itu tradisi dan paradigma lama.
Mari kita ubah dengan tradisi baru dengan cara baru. Seorang jemaah yang rajin hadir di pengajian diberi kesempatan, sebutlah namanya, Mas Mangun begitu. Mas Mangun  menyampaikan tausiah dan jemaahnya adalah para ustaz dan kiai yang biasa bertausiah. Sekali-sekali mereka disuruh duduk bareng dan disuruh menyimak materi tausiah. Maksudnya, agar pata ustaz itu ikut merasakan diceramahi orang lain. Agar mereka dapat belajar/mengalami langsung enak tidak enak, nyaman tidak nyamannya duduk bareng orang lain sebagai Jemaah.
Model pendekatan tausiah Mas Mangun adalah pendekatan aktif-partisipatif multi-ways traffics, dan metodenya tanya jawab dan sharing ideas and knowledge. Sebagai model pembelajaran dalam kegiatan tausiah itu, Mas Mangun menghadirkan orang-orang dari berbagai profesi: ada Polantas, ada petani, sopir, Guru SD, pramugari aktif, dan seorang pensiunan PNS.
Para model ini duduk bareng bergabung dengan para ustaz yang menjadi audiens kegiatan tausiah.

Tausiah Mas Mangun di hadapan para kiai, habib, dan ustaz
Kita simak tausiah Mas Mangun.
Mang Mangun memulai tausiahnya dengan ucapan salam, basmalah, hamdalah singkat (Bahasa lisan agak medhok). Mas Mangun merujuk ayat Quran thok! (tidak menggunakan rujukan hadis sahih dari siapa pun untuk mencegah adanya kontradiksi dan keraguan jemaah) yang sering dilontarkan oleh para ustaz dan kiai yang sekarang menjadi audiens tausiahnya.
Mari kita simak materi yang disampaikan oleh Mas Mangun si pemberi tausiah, QS 3; 133. (jelas rujukannya dan jemaah dapat mengoreksi dan melakukan re-check)
Wa saari’uu ilaa maghfiratun mir rabbikum wa jannah, ardhuhas samaawaati wal ardhi, ‘u’iddat lil muttaqiin.”
Dan bersegeralah mencari ampunan Tuhanmu dan (bersegeralah ke) sorga yang luasnya sama dengan bumi dan langit, disediakan (khusus) bagi orang-orang yang bertakwa.
            Mas Mangun melanjutkan tausiahnya.
“Para hadirin, kebetulan Jemaah yang mendengarkan tausiah saya ini adalah para kiai, habib, dan ustaz yang sudah malang-melintang di jagat pengajian, dari pengajian di kampung sampai pengajian yang ditayang di layar tv.
Materi tausiah ini, yakni ayat Quran yang saya sampaikan ini sering sekali saya dengar dan begitu fasih dilafal oleh para kiai, habib, dan ustaz. Akan tetapi materi itu hanya sampai di situ saja. Tak ada penjelasan tambahan yang membuat Jemaah itu dapat menjabarkannya. Kami, para Jemaah, dibiarkan tetap dalam ketidakjelasan. Kiai, habib, dan ustaz kehabisan waktu dan terburu-buru karena harus berceramah lagi di dua atau tiga tempat lagi di tempat lain.
“Hadirin, kiai mohon maaf tak bisa lama-lama di sini. Jemaah kiai di taklim anu dan di taklim ono sedang menunggu kiai. Kan kiai nggak enak hati ditunggu oleh mereka. Syukron katsiir. Wassalamu alaikum wr. Wb.”
Mas Mangun menirukan ucapan perpisahan seorang kiai beken. Mas Mangun tidak lupa memeragakan gaya kiai pamit, menerima amplop sambil mengucap syukron katsiir berulang kali sembari melempar senyum, dan bergegas pergi menuju ke tempat taklim yang baru.
Para ustaz memperhatikan gayanya meniru kiai beken. Ada yang tersenyum kecut, ada yang cengar-cengir, dan ada yang tersipu malu dan menunduk.
“Mas Mangun nyindir ane nih!” gumamnya.
Mas Mangun kemudian melanjutkan tausiahnya berupa materi ayat yang telah dia lafalkan (rada-rada medhok dengan logat Jawa Tengahnya).
“Bersegeralah mencari ampunan Tuhan, maksudnya bagaimana?"
Mas Mangun bertanya dengan gaya retorika. Dia menyapu para hadirin dengan pandangan matanya.
"Dengan berlarikah? Bermobilkah? Berpesawatkah? Mencari ampunan Tuhan itu di mana kalau memang harus dikejar? Di Masjidkah? Di seberang pulaukah? Di rumah kiaikah?”
Para kiai, habib, dan ustaz yang biasa cuap-cuap terdiam dibombardir dengan pertanyaan seperti itu. Mereka boleh menjawab dan boleh juga tidak, tetapi mereka seperti ditohok di ulu hati. Mereka tercenung. Kiai, habib, dan ustaz yang biasa cuap-cuap memimpin salawatan dan memberi tausiah saling pandang satu sama lain.
Kenape Mas Mangun kudu nanyain sampe ngelotok kayak begitu, ye?” tanya seorang habib berdarah Betawi kelahiran Kwitang.
Di mane ye? Ane bingung juga nih ngejawabnye.” ujar seorang kiai muda berdarah Betawi asli Gandaria.
Iye ye. Ane kaga nyangke kalo bakal ade pertanyaan kayak gitu,” imbuh kiai tua yang pipinya sudah kempot.
“Mas Mangun, sudahlah, lanjutkan saja. Nanti di rumah saya buka lagi kitab kuning!” menyela seorang ustaz muda yang namanya sudah mulai naik daun.
“Betul, Mas Mangun. Saya penasaran ingin tahu!” sambut seorang ustazah beken.
“Ya ya ya! Hadirin bingung, ya? Kalau ustaz, kiai, dan habib saja bingung, bagaimana dengan saya dan Jemaah awan lainnya? Begitulah yang terjadi dengan saya dan teman-teman sesama jemaah ketika mengikuti tausiah para kiai, habib, dan ustaz. Kami hanya mampu menjadi pendengar dan tak mampu menjabarkan. Soalnya para kiai, habib, dan ustaz juga tidak pernah memberi penjelasan. Bersegera mencari/memperoleh ampunan dari Tuhan itu caranya bagaimana, ampunan Tuhan itu ada di mana, kan tidak pernah dijelaskan!”
Kalimat-kalimat Mas Mangun yang terlontar itu bagai hulu alu yang menumbuk ke ulu hati. Sebuah kritikan yang sangat pedas. Ya, selama ini para kiai, habib, dan ustaz terlena dengan keasyikan sendiri, berceramah, terima honor, lalu pergi, tanpa peduli ada atau tidaknya output yang bermanfaat dari tausiah mereka.
Mas Mangun melanjutkan dengan semangat yang masih tetap tinggi.
"Hadirin sekalian, meskipun sebuah kegiatan ceramah, semestinya kita memperhatikan audiens. Para Jemaah itu ada di bumi tempat mereka berpijak, mencari nafkah, istirahat, dan bersosialisasi. Ceramah itu untuk orang bumi, bukan untuk makhluk lain di luar bumi, agar supaya dipahami dan diamalkan. Ceramah para kiai, habib, ustaz, ya, hadirin yang sekarang berada di depan saya ini, harusnya membumi. Bahasa yang dipakai, analogi, contoh-contoh, dll. itu diambil dari kehidupan makhluk bumi. Lebih tepatnya, manusia sekarang ini, manusia yang hidup pada zaman TIK, kita ini, yang hidup di kota besar.
Bagaimana mau nyambung kalau isi tausiahnya mengambil rujukan kitab kuning yang usianya sudah ratusan tahun. Bagaimana mau nyambung kalau contoh orang-orang teladan atau orang jahat adalah orang-orang yang hidup pada zaman kuda gigit besi. Para Jemaah itu tidak ada yang kenal orang zaman dulu. Kan banyak manusia teladan atau manusia jahat yang hidup sezaman dengan kita.”
Mas Mangun berhenti sejenak. Dia menjumput gelas di atas mimbar dan mereguk air putih dari gelas itu untuk membasahi kerongkongannya. Seorang ustaz muda yang sedang naik daun manggut-manggut sambil berpikir.
“Benar juga ya, kata Mas Mangun.” 0cehnya sambil bergumam.
Si ustaz muda itu merasa disentil. Memang dia sering dan doyan mengambil contoh manusia teladan atau jahat itu manusia yang hidup pada zaman dinasti Umayyah atau Abbasiah.  Baru dia paham, selama ini ceramahnya lebih banyak tak sampai karena tak dipahami. Dia mengakui bahwa memang dia tidak begitu peduli dengan daya tangkap audiens.
Seperti dia juga kelakuan para kiai, habib, dan ustaz yang ternama yang sering muncul di layar kaca. Mas Mangun sebagai jemaah merasakannya.
Mas Mangun melanjutkan. Waktu yang tersedia tak lebih dari sepuluh menit lagi.
Penjabaran kalimat perintah ‘bersegera mencari/memperoleh/menuju ampunan Tuhan’ itu adalah agar:   
’Kita harus tetap hidup (eksis). Oleh karena itu kita harus bekerja. Profesi apa pun pilihan dan/atau yang kita miliki: : petani, guru, polisi, tentara, karyawan, sopir, pilot, nelayan, buruh, pramugari, dll. Kita lebih getol bekerja sesuai dengan profesi dan pekerjaan yang kita sandang!” (bukan hanya bersegera kepada salat, puasa, berzakat, mengaji, atau berhaji)
Mas Mangun mengundang beberapa orang model yang hadir. Mereka diminta berbicara tentang kesibukan masing-masing sehari-hari. Kesempatan pertama adalah seorang petani, Pak Giman namanya. Pak Giman pun berbicara.
“Kita harus mencari nafkah agar kita bisa hidup layak. Saya seorang petani di desa. Seya berangkat pagi-pagi ke sawah saya, membawa cangkul, sabit, dan parang. Saya mencangkul tanah, menyiangi rumput, menanam benih, atau menebang. Saya harus merawat dan menjaga tanaman dengan tekun. Pendek kata, semua pekerjaan di sawah, menjadi petani yang giat bekerja di sawah. Alhamdulillah, saya selalu sehat dan berkat kerja keras itu, hasil panen berkualitas dan melimpah. Saya dan keluarga merasa gembira. Saya merasakan sorga, dan saya yakin itu semua karena rida Allah.”
Giliran seorang Guru SD, namanya Pak Sobir, diberi kesempatan berbicara.
“Saya seorang Guru SD. Saya mengajar di Kelas 5. Saya berangkat ke SD tempat mengajar pukul 05.30 pagi. Saya berangkat lebih awal waktu karena khawatir dihadang kemacetan. Itulah sikap hidup dan nilai yang saya jadikan kebiasaan dan budaya. Saya merasa malu jika kalah cepat sampai dan lebih malu lagi jika terlambat.Saya selalu sampai di sekolah terdahulu dari teman-teman guru yang lain. Saya bisa melakukan pekerjaan lain yang bermanfaat sebelum mengajar. Saya bisa membaca-baca, menulis, menata meja kerja, menyapa para siswa, menegur, memotivasi siswa, mengobrol dengan orang tua/wali murid Kelas 1, berdiskusi dengan satu dua teman guru, dan masih sempat memeriksa kebersihan dan kerapian para siswa setiap pagi.
Alhamdulillah, kegiatan rutin yang menurut saya baik itu, ditanggapi dengan baik oleh semua warga sekolah. Semua siswa suka, teman-teman guru menanggapi secara positif, kepala sekolah pun mendukung, dan orang tua bersimpati. Sikap dan budaya saya menambah motivasi semua warga sekolah.
Saya tidak merasa bangga, tetapi saya merasa senang karena tradisi saya sebagai guru di SD. Saya tidak berharap dipuji dengan pujian dan memang tak layak dipuji, tetapi tradisi saya dianggap “uswatun hasanah” dan diikuti oleh warga sekolah yang lain. Itulah “sorga” saya sebagai guru dan saya yakin itu adalah rida Allah.”
Model ketiga dan terakhir yang diberi kesempatan berbagi pengalaman hidup adalah seorang sopir angkot, namanya Bang Tagor Harahap. Tampilan Bang Tagor tak mirip seorang sopir angkot, tetapi mirip pegawai kantoran yang biasa bekerja di ruangan ber-AC.
“Saya berangkat ke pool usai salat Subuh, sekitar pukul 5 pagi hari setiap hari. Ketika saya sampai di pool, belum ada satu pun rekan sopir yang ada. Biasalah, mereka sampai ketika matahari sudah nongol di ufuk timur sana. Satpam pool sudah hafal sekali dengan kebiasaan saya. Saya mencuci mobil, mengelap, dan membersihkan bagian dalam, mengecek  berfungsi atau tidak tiap komponen vital, mengecek solar, air, dan lain-lainnya.
Saya mengemudikan mobil seperti biasa dan tidak ada yang istimewa. Saya menarik calon penumpang dan menurunkan penumpang di halte atau tempat pemberhentian yang diperbolehkan. Saya sangat mengutamakan keselamatan penumpang, keselamatan saya sendiri, dan juga keselamatan pemakai jalan lainnya. Saya tidak pernah mengemudi di luar peraturan lalu-lintas, apa lagi sampai melanggar peraturan. Semua penumpang puas, teman-teman sesama sopir angkutan umum senang, pengendara atau pemakai jalan yang lain tak pernah mencaci, menegur, atau mengumpat saya. Pak Polantas pun tak pernah menyemprit, menilang, boro-boro mengandangkan mobil angkot saya.
Saya medapatkan uang untuk setoran dan uang lebih untuk dibawa pulang ke rumah. Tentu tidak banyak, tetapi cukuplah untuk biaya hidup keluarga saya.Saya merasakan kenyamanan dalam hidup sebagai sopir. Itulah sorga saya dan keluarga. Saya yakin itulah rida dari Allah.”
Mas Mangun pun mengakhiri tausiahnya di hadapan ustaz, kiai, dan habib yang menjadi audiensnya hari itu dengan rangkumannya.
“Rida Allah berlaku bagi siapa pun muslim dan apa pun profesinya. Harus kita yakini bahwa itulah wujud ampunan Allah yang diperintahkan mencari itu. Mencari ampunan Allah itu dengan bekerja, dengan berjuang, dan tunduk kepada peraturan yang berlaku di tempat bumi dipijak.
Sebaliknya, jika kita tidak tunduk kepada peraturan yang ada: petani malas, guru SD malas, dan sopir ogah-ogahan, adalah pelanggaran. Tanaman petani diserang hama dan petani pun sedih, tunjangan dipotong dan Pak guru pun berkecil hati, dan sopir tak dapat uang untuk setoran adalah sanksi nyata dalam kehidupan sehari-hari. Mungkinkah Allah rida kiepada hamba-Nya yang malas-malasan? Tentu tidak mungkin Allah menurunkan hujan uang atau emas berlian dari langit untuk hamba-Nya yang pemalas.
Hidup adalah bekerja (praktik amaliah) secara proporsional sesuai dengan tuntutan profesi dan itulah wujud pengabdian hamba yang muslim kepada Allah. Tentu rida Allah menyertai dan itu wajib diyakini. Kita merasakannya secara nyata, bukan lagi utopia, bukan impian, dan bukanlah khayalan.
Ya, hidup berkeluarga yang mapan dan berkualitas, ada istri/suami, anak-anak, dan mungkin ada anak yatim atau anak asuh. Sebuah keluarga yang sejahtera. Kebutuhan keluarga terpenuhi, Perasaan aman dan nyaman dalam segala kondisi di mana pun berada.
Kehidupan yang baik di dunia itu adalah balasan dari Allah (ridanya Allah; ampunan-Nya; dicintai Allah) karena kita selalu menegakkan perintah-Nya.”
Para ustaz yang menjadi audiens kegiatan tausiah Mas Mangun terkesima. Tak ada satu pun di antara mereka yang bertanya padahal mereka diberi waktu dalam sesi tanya jawab. Entah karena sudah paham, entah tidak paham, entah malu hati dan menjaga gengsi, para ustaz hanya saling pandang, saling bisik-bisik, atau menundukkan wajah.
Boleh jadi, mereka memperoleh pembelajaran dari tausiah Mas Mangun. Mereka boleh jadi berintrospeksi diri, bahwa tausiah mereka ala mengaji kuping selama ini kurang efektif. Boleh jadi mereka malu hati, honor mereka bertausiah, dengan atribut ustaz ternama atau ustaz kondang, nilainya sangat besar, tak pernah dipotong serupiah pun, tetapi output tausiahnya tidak jelas.
“Besok-besok ane mau belajar lagi tentang cara bertausiah yang efektif. Ane malu ame Mas Mangun. Die jemaah ane. Nyatenye ikhwal metode tausiah, die lebih mahir dari Ane.” oceh Habib yang punya majelis taklim.
“Syukurlah Antum mahfum, Habib!” sambut Bang Tagor Harahap.
Jakarta, 12 Februari 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar