Bahasa, sosialita, dan komunikasi
DEWI
SINTA, DEWI SANDRA, DAN SANDRA DEWI
Dewi sebagai kata
Kata dewi (nomina) memiliki beberapa makna. Kamus Besar Bahasa Indonesia
(KBBI; 2008) memberi arti sebagai berikut: dewa perempuan seperti pada kata
ulang dewa-dewi; sebutan untuk para
bidadari atau istri para Dewa seperti: Dewi
Supraba, Dewi Tara, Dewi Ratih, Dewi Durga, dll.; sebagai sebuah kiasan
yang diperuntukkan bagi perempuan cantik laksana bidadari, misalnya pada
kalimat: Dewiku, engkau cantik
laksana bidadari; sebagai kiasan wanita jantung hati, sebagai contoh dalama
kalimat: Sonia, hanya engkau satu-satunya sang Dewi pujaanku.
Dewi Sinta
Dewi Sinta (dalam pewayangan Jawa;
dalam pewayangan epos Mahabharata disebut Sita) adalah seorang wanita cantik
yang merupakan reinkarnasi atau penjelmaan Dewi Laksmi, istri Dewa Wisnu,
seorang dewi keberuntungan atau kesuburan (menurut pandangan Hindu). Dewi sinta
adalah istri Sri Rama, seorang raja muda pewaris tahta kerajaan Ayodya.
Dalam kisah epos Ramayana buah karya
Walmiki, Dewi Sinta yang cantik jelita itu ditaksir oleh Rahwana, seorang raja
berwajah raksasa dari kerajaan Alengka (Srilangka; Ceylon). Rahwana tentu saja
tidak mudah menurutkan cinta beratnya kepada Dewi Sinta karena Dewi Sinta
adalah istri Sri Rama dan dia tahu Sri Rama adalah kesatria sakti mandraguna
dan digjaya. Namun, pepatah lama tetap saja berlaku bagi Rahwana, bahwa cinta
itu buta. Akibat cinta membara dapat membutakan siapa saja, dan siapa pun
sering kehilangan akal sehat demi cinta. Jangankan cuma terhalang oleh samudera
luas, ke ujung dunia pun dikejar, bahkan ke dalam perut bumi pun akan dicari
demi Dewi Sinta tambatan hati.
Sri Rama yang merupakan reinkarnasi
Dewa Wisnu, tidak ingin menjadi raja menggantikan ayahandanya, Raja Dasarata,
dan lebih baik memberikan kesempatan kepada adik tirinya, Barata, untuk menjadi
Raja Ayodhya. Dia korban konspirasi politik ibu tirinya, Kekayi, yang merupakan
ibu kandung dari Barata. Sri Rama mengungsi ke hutan Dandaka ditemani istri
tercinta, Dewi Sinta, dan adik kandungnya, Lesmana. Mereka bertiga menetap di
hutan. Rama merasa bahagia meski tinggal di hutan. Dia bisa bertemu dengan para
brahmana atau pertapa dan menjalin persahabatan dengan mereka. Rama juga
bersahabat dengan Sugriwa, seorang raja kera, yang terusir dari kerajaan
Kiskenda oleh kakak kandungnya Subali.
Pucuk dicinta ulam pun tiba. Agaknya
peribahasa ini cocok buat Rahwana yang kebelet jatuh cinta kepada Dewi Sinta.
Rama sering berpergian meninggalkan istrinya di gubuk dan hanya dtemani oleh
Lesmana. Kesempatan baik digunakan oleh Rahwana untuk menculik Dewi Sinta. Dia
mengutus Marica untuk melakukan riset awal mendekati gubuk tempat tinggal Dewi
Sinta. Order Rahwana atas Marica adalah, Dewi Sinta harus lepas dari pengawasan
Lesmana dan langsung diculik. Marica hadir di sekitar gubuk tempat tinggal Dewi
Sinta dalam wujud jelmaan seekor rusa cantik. Rusa itu berjalan, melompat, atau
berlari-lari kecil di sekitar gubuk. Kelakuannya menarik perhatian Dewi Sinta.
Dewi Sinta meminta dan membujuk Lesmana, sang adik ipar, agar menangkap rusa
itu.
Lesmana bergeming, diam, tidak
merespon apa lagi bereaksi terhadap bujukan atau rajukan kakak iparnya.
Menurutnya, kalau Lesmana keluar dari gubuk, mengejar rusa, artinya
meninggalkan kakak iparnya seorang diri di gubuk, artinya dia telah melanggar
perintah kakaknya, Sri Rama, agar menjaga Dewi Sinta. Lain yang ada dalam benak
lesmana, lain lagi respon Dewi Sinta melihat Lesmana bergeming. Dia tahu rusa
itu rusa jelmaan yang bermaksud menipu. Dewi Sinta menganggap pembangkangan
Lesmana itu sebagai cikal bakal maksud jahat ingin menguasai Dewi Sinta
(menyelingkuhi).
Lesmana naik pitam mendengar ocehan
kakak iparnya. Apa boleh buat! Lesmana menuruti perminataan Dewi Sinta untuk
menangkap rusa itu. Dia pergi artinya dia harus meninggalkan Dewi Sinta seorang
diri. Namun dia tidak lupa memagari gubuk
dengan pagar sakti yang tidak mudah diterobos oleh siapa pun yang berniat
jahat atau mencoba mendekati Dewi Sinta.
Setelah merasa semuanya aman, Lesmana
melompat dan berlari mengejar rusa. Namun, rusa itu bukanlah rusa biasa. Rusa
jelmaan Marica itu berlari secepat kilat menghindari kejaran Lesmana sampai ke
dalam hutan, dan kemudian menghilang dari pandangan Lesmana. Rahwana datang
mendekati gubuk. Namun dia tidak mampu menerobos pagar sakti buatan Lesmana.
Kemudian Rahwana menjelma menjadi seorang pertapa tua yang kelelahan dan
kelaparan. Dia memanggil-manggil Dewi Sinta memohon bantuan dengan suara
mengiba meminta belas kasihan. Dewi Sinta pun merasa terenyuh dan keluar dari
gubuk dengan membawa makanan untuk diberikan kepada peminta-minta yang tak lain
adalah Marica. Dewi Sinta menyodorkan tangannya untuk memberi bantuan. Ketika
itulah tangannya ditarik oleh pertapa jelmaan Rahwana dan membawanya terbang ke
Alengka. Dewi Sinta meronta-ronta dengan tangisan keras mencoba melepaskan
diri. Apa daya, dia tak berdaya melawan tenaga Rahwana. Penculikan itu
terpantau oleh seekor burung tua bernama Jatayu. Jatayu adalah sahabat Raja
Dasarata ayah dari Rama. Jatayu pun berusaha membebaskan Dewi Sinta dari
cengkeraman Rahwana. Jatayu tak mampu merebutnya bahkan salah satu sayapnya
patah. Dewi Sinta masih bisa berpikir panjang dalam suasana kepanikan dan
ketakutan yang luar biasa itu. Dia melepaskan kalungnya. Kelak, kalung itu ditemukan oleh Hanoman,
seekor kera berwarna putih.
Rama amat bersedith hati dengan
kehilangan istrinya itu. Dia tidak bisa juga menyalahkan adiknya. Namun, Rama bertekad
sepenuh jiwa dan raga bahwa dia akan membebaskan istrinya dengan segenap daya
dan upaya. Pemimpin pasukan dan raja kera, Sugriwa, siap membantunya. Begitu
pun kera tangguh seperti Hanoman, Hanggada, dan Anila. Bahkan kemudian,
Wibisana, adik kandung Rahwana pun bergabung bersama Rama. Jadilah kekuatan
Rama menjadi sebuah kekuatan besar yang akan menenggelamkan kecongkakan Rahwana
dan merebut Dewi Sinta.
Rahwa, para tumenggung, dan bala tentaranya tak mampu bertahan dari
gempuran pasukan gabungan Rama. Rahwana tewas dan Dewi Sinta dapat direbut
kembali. Rama membawa pulang Dewi Sinta ke ibukota Kerajaan Kosala, Ayodya.
Raja muda Barata, berkenan mengembalikan tahta raja Kosala kepada Rama karena
memang Rama yang paling berhak menjadi raja.
Rama sangat sayang kepada istrinya.
Akan tetapi di dalam lubuk hatinya terselip keraguan akan kesucian istrinya
selama diculik. Apa iya istrinya tidak dicolek, disentuh, atau dipaksa oleh Rahwana
selama berbulan-bulan berada di keputren puri istana Alengka?
Rakyat ibukota yang tahu peristiwa
penculikan itu pun meragukan kesucian Dewi Sinta yang menjadi ibu ratu mereka.
Aspirasi arus bawah pun mulai bermunculan. Intinya meminta agar Raja Rama
menguji kesucian istrinya. Rama kemudian membicarakan dengan Dewi Sinta akan
tuntutan rakyat negeri.
Dewi Sinta siap melakukan apa saja
demi membuktikan kesuciannya sebagai wanita mulia dan sebagai istri yang setia.
Ajaran Hindu mengajarkan upacara bakar diri. Rama adalah raja yang patuh kepada
ajaran agama Hindu (dia titisan Dewa Wisnu, dewa kebijaksanaan). Rakyat pun
diberitahu dengan pengumuman melalui media (belum ada pesawat radio, HT, HP,
atau tv) bahwa Dewi Sinta akan menjalani proses upacara bakar diri.
“Siapa takut?” kata Dewi Sinta dalam
hatinya dengan penuh kebanggaan.
Rakyat pun berkumpul di kalangan yang
di tengah-tengahnya ada bangunan saung, onggokan batang kayu dan ranting bahan
bakar yang di atasnya ada tandu. Dewi Sinta ditempatkan di dalam tandu dalam
keadaan tidur terlentang.
Algojo pembawa obor mendekati unggukan
kayu dan ranting bahan bakar dan kemudian menyulutnya. Api segera membakar
batang kayu dan ranting yang kemudian menimbulkan bunyi berderak-derak
menandakan saung dan tandu tempat Dewi Sinta ditidurkan mulai terbakar. Begitu
cepatnya api membakar, sampai-sampai semuanya ludes terbakar.
Ajaib! Tubuh Dewi Sinta tetap utuh tak
tersentuh api, tidak juga sehelai benang pun dari pakaian yang dikenakannya.
Dia diselamatkan oleh Sang Hyang Jagatnata. Dewi Sinta dibopong oleh Rama sang
suami. Rama amat bangga dengan kejadian itu. Rakyat negeri pun senang hati
karena Dewi Sinta tetap memelihara kesuciannya
Dewi Sinta dipercaya sebagai wanita,
seorang istri yang suci, dan ibu ratu pendamping setia.
(ini kisah pewayangan epos Ramayana
versi Jawa. Sedangkan versi aslinya, Dewi Sinta tubuhnya diselamatkan oleh para
dewa namun diterbangkan langsung dengan flight Air India ke negeri swargaloka).
(Dalam ajaran Islam, pembuktian
kesucian itu membutuhkan minimal dua orang saksi, yakni orang dewasa yang
merdeka, yang bersaksi di bawah sumpah, yang melihat, mendengar, dan mengalami.
Sanksinya orang yang bersaksi palsu maka azab Allah, bisa diterima kontan, bisa
ditunda, dan yang jelas dan pasti, malaikat pencatat amal yang mulia (kiraaman kaatibiin) tak pernah lalai
membukukannya, kelak akan dibuka pada hari perhitungan (yaumil
hisab atau yaumut taghaabuun).
Tentang pembuktian dengan sumpah pocong, tak ada dalil naqli yang dapat
dijadikan rujukan. Entah dari mana mulai muncul ide sumpah pocong. Mungkin saja
meniru ritual bakar diri ala Hindu atau harakiri ala Jepang kuno. Karena takut
mati terbakar atau mati tertusuk samurai, dibikin-bikinlah pocong seakan-akan
berani mati padahal cuma mati-matian bo’ong doang yang sebenarnya takut
setengah mati. Hahaha….
(Dalam hukum positif ala Barat, ala
Belanda, dan ala Indonesia, orang yang dituduh bersalah harus ada dua alat
bukti yang sah, ada pengakuan dan ada alat bukti lain (bisa melalui
rekonstruksi/reka ulang peristiwa di TKP), lalu ada saksi-saksi (bukan sanak
terdekat karena dikhawatirkan ada unsur subjektif) yang bersaksi di bawah
sumpah. Kalau saksi beragama Islam atributnya adalah kitab Quran dipegang oleh
petugas pengadilan dan ditempatkan di atas kepala. Sepertinya kitab Quran cuma sekedar
atribut sumpah (sekedar atribut!) yang konon katanya akan menjadikan si saksi
tidak akan berani berbohong atau bersumpah palsu. Padahal, kata wallaahi
atau Demi Allah itu sudah lebih dari
cukup sebab Allah Maha Mengawasi (Raqiibaa) dan malaikat itu tak
pernah lalai mencatat. dan Padahal,
kalau disadari dengan keimanan sebagai muslim, segala amal (sebesar atom sekali
pun) sudah tercatat, baik yang baik maupun yang buruk: fa man ya’mal mitsqaala
zarratin khairan yarah; wa man ya,mal mitsqaala zarratin sarran yarah (lihat
QS Al Zalzalah (99): 7 dan 8.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar