Bahasa, Agama, dan
Komunikasi
TERORISME,
TEROR, TERORIS YANG MATI SANGIT
VS
JIHAD, BERJIHAD, DAN MUJAHIDIN
YANG MATI SYAHID
Ketika
umat Islam sedang khsusuk menegakkan puasa pada Ramadan 1434 H. dan kegembiraan
memperingati hari kemerdekaan RI, kekhusukan ibadah dikejutkan dengan peristiwa
penembakan yang mengakibatkan kematian tiga orang anggota kepolisian yang
sedang menjalankan tugas sehari-hari. Aiptu Koes Hendratno dan Bripka Ahmad
Maulana,sehari-harinya bertugas di Polsek Pondok Aren, dan sebelumnya, seorang
polisi yang bertugas di Polsek Pamulang, Tangsel, yakni Aiptu Dwiyatna. Sinyalemen
awal hamba hukum dan pengamat bahwa tindak kriminal yang dilakukan pelaku
penembakan terhadap anggota kepolisian bukan karena kejahatan biasa, misalnya
pencurian dengan kekerasan (curas), perampasan atau perampokan biasa (tidak ada
barang atau benda berharga dari korban yang dirampas), melainkan tindak teror
yang mengancam kehidupan masyarakat dan merongrong kewibawaan pemerintah.
Terbukti pelaku telah menghilangkan nyawa orang lain.
Aparat
kepolisian tentu lebih tahu dan sangat paham betul perbedaan kejahatan biasa
dengan terorisme. Kita orang awam mengamini sinyalemen aparat kepolisian dan
memang kita saksikan mereka langsung sigap bertindak untuk sesegera mungkin
menangkap pelaku pembunuhan dan mengungkap motifnya. Tentu saja hukuman
setimpal dan seberat-beratnya, melalui pengadilan yang fair dan terbuka,
berpijak kepada asas pre-assumption of
innocense, dengan vonis hakim yang berkekuatan hukum yang pasti.
Ada
baiknya kita memahami kata-kata yang terkait dengan teror ini.
Terorisme, teror, dan teroris
Terorisme (English:
terrorism) menurut John Echols dan Hassan
Shadily (Kamus Inggris-Indonesia: 2007) artinya penggentaran (menciptakan
kegentaran, rasa takut/ketakutan) terhadap orang lain, baik orang per orang,
keluarga, masyarakat, baik nasional, regional, sampai komunitas dunia). Terorisme bisa terjadi terhadap siapa
saja, kepentingan apa saja, oleh siapa saja, di mana saja, dan kapan saja.
Terorisme bisa
terjadi dalam bidang politik, pertahanan keamanan, ekonomi, sosial, dan juga
seksual.
Kamus
Besar Bahasa Indonesia (KBBI) (2008: 1455) memberi penjelasan tentang arti terorisme (kelas kata nomina) sebagai
berikut: penggunaan kekerasan untuk menimbulkan ketakutan dalam usaha mencapai
tujuan; praktik tindakan teror.
Arti
kata teror (nomina) adalah usaha
menciptakan ketakutan, kengerian, dan kekejaman oleh seseorang atau golongan.
Arti kata teroris
(nomina) adalah orang yang menggunakan kekerasan untuk menimbulkan rasa takut,
biasanya untuk tujuan politik. Teroris itu
kegiatannya adalah meneror orang/golongan lain.
Jadi
sinyalemen aparat kepolisian bahwa pembunuhan terhadap anggotanya adalah jenis terorisme, tindakan teror, dan dilakukan oleh teroris ada benarnya. Penulis, dalam
tulisan ini tidak akan membahas mengapa pelaku membunuh dan menjadikan anggota
kepolisian sebagai sasaran pembunuhan. Asumsi penulis, para pelaku teror itu
amat benci kepada polisi (institusi kepolisian?).
Jihad
Kata
jihad (nomina) secara harfiah berasal
dari kata jahd atau juhd (Arab) artinya tenaga, usaha atau
kekuatan. Arti jihad secara istilah
yang terdapat di dalam kamus (KBBI, 2008: 584) adalah: 1) usaha dengan segala
daya upaya untuk mencapai kebaikan; 2) sungguh-sungguh membela agama Islam
dengan mengorbankan harta benda, jiwa, dan raga; 3) perang suci melawan orang
kafir untuk mempertahankan agama Islam. Orang yang berjihad disebut mujahid. Jika seorang mujahid tewas dalam berjihad (misalnya sebagai abdi/aparat
negara), dinamai syuhada, dan
kematiannya disebut mati syahid.
Polisi
yang tewas tertembak itu, adalah abdi negara, sedang menjalankan tugas negara,
tugas mulia, memelihara kamtibmas demi mencapai kebaikan, artinya mereka sedang
berjihad, seperti yang termaktub
dalam pengertian jihad nomor 1. Agama Islam memerintahkan agar setiap individu
muslim harus taat kepada Allah, Rasul-Nya, dan para pemimpin (direpresentasikan
oleh pemerintah dan aparatnya). Polisi yang menjadi korban sampai kemudian
tewas itu adalah muslim, sehingga mereka sebenarnya juga sedang membela Islam
(ajaran dan perintah agama Islam) dan pas sekali dengan pengertian jihad nomor
2. Kemudian, para polisi itu, sedang mengemban tugas suci mulia, yakni
memelihara kamtibmas, lalu tewas di tangan orang kafir (teroris itu sama dengan
kafir karena kufur dari nikmat
berbangsa, bernegara, dan bertanah air sebagai karunia Allah). Jadi cocok pula
dengan pengertian jihad nomor 3,
(Khusus
untuk pengertian nomor 3 ini, dasar pijakannya adalah firman Allah dalam QS 22:
29; QS 2: 190 dan 191. Orang Islam diperintahkan untuk berperang; jihad dan perang adalah dua hal yang berbeda). Jihad bisa dilakukan kapan saja dan di mana saja, sementara perang baru dapat dilakukan apabila diserang,
diusir, dianiaya, atau anggota/kaum/golongan dibunuh.
Maulana
Muhammad Ali dalam bukunya, Islamology,
(Islamologi, terjemahan Ali Audah, 1936:
366), mengutip tulisan seorang pakar bahasa Arab, Imam Raghib, yang memberi
arti tentang kata jihad atau mujahadah, sebagai berikut: berjuang
sekuat tenaga untuk menangkis serangan musuh. Lanjutnya, jihad itu terdiri atas tiga macam, yaitu:1) berjuang melawan
musuh yang kelihatan; 2) berjuang melawan
setan; dan 3) berjuang melawan nafsu.
Polisi
mati syahid
Orang
yang menegakkan jihad, berjihad, sebenarnya orang yang bersungguh-sungguh
menegakkan acaran agama Islam secara benar dalam segala hal dan bidang
kehidupan. Musuh polisi yang kelihatan adalah pelanggaran aturan dan hukum,
tindak kejahatan dengan segala modus operandinya. Musuh polisi yang tidak
kelihatan adalah rencana jahat dari oknum-oknum tertentu untuk merusak
kamtibmas (musuh eksternal) dan rencana buruk dari dalam diri (misalnya nafsu ingin
pungli dan korupsi memperkaya diri atau menggelapkan barang bukti, dan ditambah
pula/dipengaruhi pula oleh godaan setan (musuh internal). Namanya berjihad
melawan hawa nafsu.
Berjihad
itu perintah Allah. Orang yang berjihad itu direstui Allahmemperoleh mardhaatillah atau kemenangan dengan
rida Allah di dunia (dihargai, dihormati, dan hidup damai sejahtera dalam
toleransi indah dengan siapa pun (salaaman,
islaama, tasliiman) dan bahagia tak terhingga fii jannatin na’im di akhirat. Lihat juga QS 29: 69; QS 2: 218; QS
8: 74; QS 16: 110)
Dengan
demikian, orang berjihad itu adalah pahlawan. Hidup dan matinya karena Allah
semata (QS 22: 78).
Itulah
arti jihad secara harfiah dan secara
istilah yang sebenarnya.
Mengapa jihad yang luhur itu menjadi praktik melenceng
jauh dari tindakan luhur? Karena ada orang yang masih memiliki rasa benci tak
pernah henti, tak bertanggung jawab, dengan tujuan memojokkan Islam, telah
memaknai/memberi makna yang salah terhadap kata jihad. Maulana Muhammad Ali dalam bukunya yang dituliskan di atas,
secara khusus menulis sebuah bab khusus tentang jihad, yaitu Bab V, dengan judul Jihad (h. 366). Dia
mengutip A. J. Wensinck, seoramg sarjana kenamaan, dalam bukunya, A Handbook of Early Muhammadan Tradition dan Encyclopaedia of Islam, menjelaskan
kata jihad, “Menyebarkan Islam dengan senjata adalah tugas suci kaum muslimin
umumnya.” Lalu dia pun mengutip pula tulisan F.A. Klein dalam bukunya, The Religion of Islam, menjelaskan kata
jihad seperti ini, “Jihad, ialah: perang melawan kaum kafir dengan tujuan
memaksa mereka memeluk agama Islam. Atau menindas dan membinasakan mereka jika
mereka menolak menjadi orang Islam; menyiarkan dan memenangkan Islam di atas
sekalian gama dianggap sebagai tugas suci umat Islam.”
Betapa
besar bahaya akibat dari pemberian makna yang salah terhadap kata jihad ini!
A.J.
Wensinck dan F.A. Klein adalah orientalis ternama, tetapi tulisannya tentang
makna jihad amat keliru dan berdampak
fatal bagi umat lain memandang Islam. Keduanya tidak memahami makna kata dan
gramatika bahasa Arab (terlebih bahasa Quran). Keduanya menyamakan kata jihad
(jahd atau juhd) dan perang (qaatiluu,
yaqtuluu), sebagai dua kata yang
berarti sama. Terjemahan kata jihad dari kedua orang itu berujung provokatif
dan agitatif. Akan menjadi amat berbahaya bila dibaca oleh orang-orang yang tak
memahami dan mendalami Islam dengan benar dan jernih. Dan itu telah terjadi. Terjadilah
pandangan buruk terhadap Islam yang
identik dengan perang dan berbunuh-bunuhan. Jadilah pandangan picik yang
terbentuk terhadap Islam, bahwa Islam itu identik dengan hunusan dan kelebatan
pedang yang membunuh dan darah yang tertumpah. Celakanya, makna sempit kata jihad dan pandangan picik ini juga
dimiliki dan dipelihara oleh segelintir tokoh Islam yang memiliki pengikut
fanatik yang pasti picik pula.
Teroris,
muslim yang picik memaknai ajaran Islam
Lihatlah
peristiwa teror di Indonesia selama ini. Misalnya teror bom dan pembunuhan
terhadap aparat maupun masyarakat umum yang tak berdosa. Kepicikan memaknai
firman Allah dan keawaman terhadap sejarah Nabi saw yang dimaknai
sepotong-sepotong/parsial. Pelaku teroris umumnya adalah segelintir muslim yang
picik (banyak yang jebolan ponpes, “ngajinya” baru tamat Iqra I-II dan baru
satu juz yakni juz
‘Amma (juz 30, 459 ayat, padahal Quran itu ada 6326 ayat dan 30 juz), mudah
dihasut, easily brain-washed, exclusive padahal Islam itu inclusive).
Sabtu,
31 Agustus 2013, pukul 09.00 WIB, penulis menyimak acara talk-show di layar TV-One dengan narasumber Kombespol Rikwanto dari
Humas Mabes Polri dan Haedar yang pengamat terorisme. Topik talk-show
adalah terorisme, menyikapi pembunuhan keji terhadap anggota polisi, pelaku
penembakan, dan mengapa sasarannya adalah polisi.
Arah
talk-show jelas, kesimpulan polisi
adalah, pelaku pembunuhan terhadap anggota polisi Polsek Pondok Aren,
Tangerang, adalah teroris, beragama Islam, dan berusia muda. Kombespol Rikwanto
menjelaskan bahwa Mabes Polri telah merilis wajah dan identitas dua pelaku
pembunuhan terhadap anggota polisi. Tugas polisi adalah mencari pelaku dan
menangkapnya agar terorisme dapat dieliminasi dan dibasmi. Kita pasti setuju,
aparat kepolisian memang tidak boleh kalah oleh aksi terorisme.
Lain
sudut pandang Kombes Rikwanto, lain sudut pandang umum, lain pula sudut pandang
seorang pakar/pengamat terorisme seperti Haedar. Komentar Haedar lain lagi.
Menurutnya, para pelaku teroris itu, telah amat keliru berbuat dengan membunuh
anggota polisi. Kekeliruan itu dilakukan karena salah memaknai firman Allah
dalam QS 2: 190 dan 191. Menurutnya, ada benang merah antara tindak teror dengan
kekeliruan pemaknaan ayat Quran di atas. Haedar melemparkan kesalahan kepada
Kementerian Agama RI yang menerbitkan kitab Quran dan Terjemahannya yang
kandungannya banyak terdapat kekeliruan dalam penerjemahan. Termasuk kalimat
terjemahan dari kedua ayat tersebut.
Terjemahan
terhadap ayat Quran yang keliru
Era
komunikasi adalah era superioritas komunikasi. Bangsa atau masyarakat yang
menguasai komunikasi adalah bangsa atau masyarakat yang superior. Pernyataan
ini bukan lagi sekedar teoritis, tetapi realitas praktis. Bangsa barat yang
menguasai komunikasi lebih superior dari bangsa timur yang menjadi inferior
karena lack in communication. Fakta
berikut yang tak terbantahkan, bangsa barat (mayoritas nonmuslim), misalnya
Amerika atau Jerman (Kristen), dan bangsa timur (muslim), misalnya bangsa
Indonesia. Fakta lain berikutnya, faktor kebenaran sejarah (ini penting
dipahami), Kristen dan muslim dulunya, hubungan kurang harmonis, sering
berkonflik, bahkan sampai terlibat perang berkepanjangan (demi hegemonitas atas
satu oleh yang lain). Lihat saja sejarah kolonialisme. Kaum kolonial adalah
bangsa beragama Kristen, sementara daerah koloni dan penduduknya adalah muslim
yang terjajah. Malahan, ketidakharmonisan hubungan itu terus saja muncul di
berbagai belahan bumi walau secara sporadis sampai kini. Lihat saja, para
pemimpin/pemuka dua agama besar di muka bumi ini, Kristen dan Islam, harus krap
bertemu dan saling menjalin silaturahim serta berbicara secara terbuka/berdialog.
Allah, bahkan memberi warning kepada
umat Islam agar selalu berhati-hati/waspada terhadap umat Kristen dan juga
Yahudi, melalui firman-Nya dalam QS 2: 120. Orang Kristen dan Yahudi takkan
pernah berhenti mengganggu (baik dengan cara kasar maupun halus bahkan amat
halus) akidah/keyakinan umat Islam.
Muslim
yang kurang/tidak waspada, karena tak paham Islam, tak punya/miskin informasi,
dan tak cakap berkomunikasi, menjadi korban komunikasi. Apa buktinya?
Tahun
50-an s.d. 60-an, ada cetakan Quran palsu yang beredar massive, pelakunya nonmuslim, tujuannya merusak akidah Islam agar muslim
rusak akidahnya. Akibatnya, ada sekelompok komunitas muslim murtad massive. Lalu, ada upaya membelokkan
tulisan dan bunyi ayat-ayat Quran dari teks/kata/bahasa aslinya. Lahirlah
ayat-ayat Quran yang palsu. Kemudian, melalui media komunikasi, dan ini yang
paling canggih pada era komunikasi ini, menulis buku, mencetak, dan meluncurkan
buku-buku secara massal, yang isinya jelas-jelas mengandung
ketikdabenaran/ketidakcermatan, misalnya membelokkan arti kata, dari “putih” menjadi
“abu”. Ya, seperti yang ditunjukkan oleh A.J. Wensick dan F.A. Klein, serta
para sarjana yang lainnya. Muslim yang intelek tentu waspada, tetapi muslim
yang awam dan belek, terpedaya!
Teroris:
korban media komunikasi yang menyesatkan
Para
teroris itu adalah muslim (umumnya) namun mereka egoistis dan fanatis buta
dalam menegakkan ajaran agama Islam. Mereka merasa yang paling benar, paling
memiliki kepentingan, dan keyakinan orang lain yang tidak sama dengan mereka
dianggap sebagai orang kafir. Lalu ada yang memengaruhi mereka dengan ajaran yang sesat (atas nama
perintah agama Islam) yang mendukung, ada orang yang mencekoki mereka/brain-washing, mengindoktrinasi dengan
ajaran sesat dan praktik jahat, semisal Dr. Azhari dan Noordin M. Top. Dan kita
jangan lupa, bahwa mereka berusia muda, bahkan ada yang belum genap dua puluh
tahun. Usia-usia yang amat labil!
Itulah
sebabnya mereka memandang sesuatu secara picik tanpa analisis, aksi nekat tanpa
pikir panjang, gampangan, dan ingin hasil serba instan.
Mati
sangit alias mati konyol
Kepicikan
berpikir, bersikap, dan tak panjang akal dalam bertindak tanpa “pikir dahulu pendapatan, sesal kemudian tak
berguna”, mereka mau saja menjadi “pengantin bom” dalam aksi bom bunuh
diri, dengan satu tujuan, yakni mati syahid
sebagai syuhada. Bidadari berusia
ABG menanti. Benarkah Islam mengajarkan seperti itu?
Tentu
saja tidak! Tak ada satu pun ayat/firman Allah dalam Quran yang menjelaskan,
bahwa perbuatan melenceng dari perintah Allah yang senantiasa benar (shadaqallahul ‘adziim) dan tuntunan
rasul, serta menyalahi/merusak kemaslahatan umat dipandang sebagai perbuatan syuhada. Yang jelas, para teroris itu
bukan mati syahid, tetapi mati
sangit! Kita sering memberi istilah sebagai mati konyol.
(bagi
muslim yang picik, terjemahan dari A.J. Wensinck dan F.A. Klein, dan terjemahan
Quran cetakan Kemenag RI, tentang makna jihad berubah makna menjadi perang dan
berbunuh-bunuhan, bisa terjadi.)
Islam
itu ya’luu wa laa yu’laa alaih! Ajaran
Islam itu amat luhur! Mustahil Islam mengajarkan kebiadaban ala terorisme.
Kalau ada aksi teror yang dilakukan oleh orang Islam (oknum) tak pelak lagi
karena oknum tidak memahami Islam secara benar. Mereka tidak memahami Quran,
membelakangi Quran, bahkan membuang Quran dan mengambil isi buku/kitab hadis,
brosur recehan, atau diktat karangan manusia sebagai pedoman hidup.
Pesan
penulis, jika ingin menjadi muslim yang baik, ingin hidup damai dalam keindahan
toleransi dalam heterogenitas bangsa Indonesia yang diajarkan Islam, memperoleh
kehidupan yang baik di dunia dan di akhirat, maka pelajarilah Quran dengan
baik, pahami secara jernih, dan amalkan secara benar. Maka benar dan pasti
terjadi, bidadari ABG cantik nan jelita menanti. Janji Allah pasti ditepati
takkan diingkari. Lihat dan simak QS 78: 31 s.d. 37.
Amin.
Jakarta,
1 September 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar