Minggu, 01 September 2013

TERORISME, TEROR, TERORIS YANG MATI SANGIT VS JIHAD, BERJIHAD, DAN MUJAHIDIN YANG MATI SYAHID



Bahasa, Agama, dan Komunikasi

TERORISME, TEROR,  TERORIS YANG MATI SANGIT
VS
JIHAD, BERJIHAD, DAN MUJAHIDIN YANG MATI SYAHID
Ketika umat Islam sedang khsusuk menegakkan puasa pada Ramadan 1434 H. dan kegembiraan memperingati hari kemerdekaan RI, kekhusukan ibadah dikejutkan dengan peristiwa penembakan yang mengakibatkan kematian tiga orang anggota kepolisian yang sedang menjalankan tugas sehari-hari. Aiptu Koes Hendratno dan Bripka Ahmad Maulana,sehari-harinya bertugas di Polsek Pondok Aren, dan sebelumnya, seorang polisi yang bertugas di Polsek Pamulang, Tangsel, yakni Aiptu Dwiyatna. Sinyalemen awal hamba hukum dan pengamat bahwa tindak kriminal yang dilakukan pelaku penembakan terhadap anggota kepolisian bukan karena kejahatan biasa, misalnya pencurian dengan kekerasan (curas), perampasan atau perampokan biasa (tidak ada barang atau benda berharga dari korban yang dirampas), melainkan tindak teror yang mengancam kehidupan masyarakat dan merongrong kewibawaan pemerintah. Terbukti pelaku telah menghilangkan nyawa orang lain.
Aparat kepolisian tentu lebih tahu dan sangat paham betul perbedaan kejahatan biasa dengan terorisme. Kita orang awam mengamini sinyalemen aparat kepolisian dan memang kita saksikan mereka langsung sigap bertindak untuk sesegera mungkin menangkap pelaku pembunuhan dan mengungkap motifnya. Tentu saja hukuman setimpal dan seberat-beratnya, melalui pengadilan yang fair dan terbuka, berpijak kepada asas pre-assumption of innocense, dengan vonis hakim yang berkekuatan hukum yang pasti.
Ada baiknya kita memahami kata-kata yang terkait dengan teror ini.
Terorisme, teror, dan teroris
Terorisme (English: terrorism) menurut John Echols dan Hassan Shadily (Kamus Inggris-Indonesia: 2007) artinya penggentaran (menciptakan kegentaran, rasa takut/ketakutan) terhadap orang lain, baik orang per orang, keluarga, masyarakat, baik nasional, regional, sampai komunitas dunia). Terorisme bisa terjadi terhadap siapa saja, kepentingan apa saja, oleh siapa saja, di mana saja, dan kapan saja.
Terorisme bisa terjadi dalam bidang politik, pertahanan keamanan, ekonomi, sosial, dan juga seksual.
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) (2008: 1455) memberi penjelasan tentang arti terorisme (kelas kata nomina) sebagai berikut: penggunaan kekerasan untuk menimbulkan ketakutan dalam usaha mencapai tujuan; praktik tindakan teror.
Arti kata teror (nomina) adalah usaha menciptakan ketakutan, kengerian, dan kekejaman oleh seseorang atau golongan.
Arti kata teroris (nomina) adalah orang yang menggunakan kekerasan untuk menimbulkan rasa takut, biasanya untuk tujuan politik. Teroris itu kegiatannya adalah meneror orang/golongan lain.
Jadi sinyalemen aparat kepolisian bahwa pembunuhan terhadap anggotanya adalah jenis terorisme, tindakan teror, dan  dilakukan oleh teroris ada benarnya. Penulis, dalam tulisan ini tidak akan membahas mengapa pelaku membunuh dan menjadikan anggota kepolisian sebagai sasaran pembunuhan. Asumsi penulis, para pelaku teror itu amat benci kepada polisi (institusi kepolisian?).

Jihad
Kata jihad (nomina) secara harfiah berasal dari kata jahd atau juhd (Arab) artinya tenaga, usaha atau kekuatan. Arti jihad secara istilah yang terdapat di dalam kamus (KBBI, 2008: 584) adalah: 1) usaha dengan segala daya upaya untuk mencapai kebaikan; 2) sungguh-sungguh membela agama Islam dengan mengorbankan harta benda, jiwa, dan raga; 3) perang suci melawan orang kafir untuk mempertahankan agama Islam. Orang yang berjihad disebut mujahid. Jika seorang mujahid tewas dalam berjihad (misalnya sebagai abdi/aparat negara), dinamai syuhada, dan kematiannya disebut mati syahid.
Polisi yang tewas tertembak itu, adalah abdi negara, sedang menjalankan tugas negara, tugas mulia, memelihara kamtibmas demi mencapai kebaikan, artinya mereka sedang berjihad, seperti yang termaktub dalam pengertian jihad nomor 1. Agama Islam memerintahkan agar setiap individu muslim harus taat kepada Allah, Rasul-Nya, dan para pemimpin (direpresentasikan oleh pemerintah dan aparatnya). Polisi yang menjadi korban sampai kemudian tewas itu adalah muslim, sehingga mereka sebenarnya juga sedang membela Islam (ajaran dan perintah agama Islam) dan pas sekali dengan pengertian jihad nomor 2. Kemudian, para polisi itu, sedang mengemban tugas suci mulia, yakni memelihara kamtibmas, lalu tewas di tangan orang kafir (teroris itu sama dengan kafir karena kufur dari nikmat berbangsa, bernegara, dan bertanah air sebagai karunia Allah). Jadi cocok pula dengan pengertian jihad nomor 3,
(Khusus untuk pengertian nomor 3 ini, dasar pijakannya adalah firman Allah dalam QS 22: 29; QS 2: 190 dan 191. Orang Islam diperintahkan untuk berperang; jihad dan perang adalah dua hal yang berbeda). Jihad bisa dilakukan kapan saja dan di mana saja, sementara  perang baru dapat dilakukan apabila diserang, diusir, dianiaya, atau anggota/kaum/golongan dibunuh.
Maulana Muhammad Ali dalam bukunya, Islamology, (Islamologi, terjemahan Ali Audah, 1936: 366), mengutip tulisan seorang pakar bahasa Arab, Imam Raghib, yang memberi arti tentang kata jihad atau mujahadah, sebagai berikut: berjuang sekuat tenaga untuk menangkis serangan musuh. Lanjutnya, jihad itu terdiri atas tiga macam, yaitu:1) berjuang melawan musuh yang kelihatan; 2) berjuang melawan  setan; dan 3) berjuang melawan nafsu.
Polisi mati syahid
Orang yang menegakkan jihad, berjihad, sebenarnya orang yang bersungguh-sungguh menegakkan acaran agama Islam secara benar dalam segala hal dan bidang kehidupan. Musuh polisi yang kelihatan adalah pelanggaran aturan dan hukum, tindak kejahatan dengan segala modus operandinya. Musuh polisi yang tidak kelihatan adalah rencana jahat dari oknum-oknum tertentu untuk merusak kamtibmas (musuh eksternal) dan rencana buruk dari dalam diri (misalnya nafsu ingin pungli dan korupsi memperkaya diri atau menggelapkan barang bukti, dan ditambah pula/dipengaruhi pula oleh godaan setan (musuh internal). Namanya berjihad melawan hawa nafsu.
Berjihad itu perintah Allah. Orang yang berjihad itu direstui Allahmemperoleh mardhaatillah atau kemenangan dengan rida Allah di dunia (dihargai, dihormati, dan hidup damai sejahtera dalam toleransi indah dengan siapa pun (salaaman, islaama, tasliiman) dan bahagia tak terhingga fii jannatin na’im di akhirat. Lihat juga QS 29: 69; QS 2: 218; QS 8: 74; QS 16: 110)
Dengan demikian, orang berjihad itu adalah pahlawan. Hidup dan matinya karena Allah semata (QS 22: 78).
Itulah arti jihad secara harfiah dan secara istilah yang sebenarnya.
Mengapa jihad yang luhur itu menjadi praktik melenceng jauh dari tindakan luhur? Karena ada orang yang masih memiliki rasa benci tak pernah henti, tak bertanggung jawab, dengan tujuan memojokkan Islam, telah memaknai/memberi makna yang salah terhadap kata jihad. Maulana Muhammad Ali dalam bukunya yang dituliskan di atas, secara khusus menulis sebuah bab khusus tentang jihad, yaitu Bab V, dengan judul Jihad (h. 366). Dia mengutip A. J. Wensinck, seoramg sarjana kenamaan, dalam bukunya, A Handbook of Early Muhammadan Tradition dan Encyclopaedia of Islam, menjelaskan kata jihad, “Menyebarkan Islam dengan senjata adalah tugas suci kaum muslimin umumnya.” Lalu dia pun mengutip pula tulisan F.A. Klein dalam bukunya, The Religion of Islam, menjelaskan kata jihad seperti ini, “Jihad, ialah: perang melawan kaum kafir dengan tujuan memaksa mereka memeluk agama Islam. Atau menindas dan membinasakan mereka jika mereka menolak menjadi orang Islam; menyiarkan dan memenangkan Islam di atas sekalian gama dianggap sebagai tugas suci umat Islam.”
Betapa besar bahaya akibat dari pemberian makna yang salah terhadap kata jihad ini!
A.J. Wensinck dan F.A. Klein adalah orientalis ternama, tetapi tulisannya tentang makna jihad amat keliru dan berdampak fatal bagi umat lain memandang Islam. Keduanya tidak memahami makna kata dan gramatika bahasa Arab (terlebih bahasa Quran). Keduanya menyamakan kata jihad  (jahd atau juhd) dan perang (qaatiluu, yaqtuluu), sebagai dua kata yang berarti sama. Terjemahan kata jihad dari kedua orang itu berujung provokatif dan agitatif. Akan menjadi amat berbahaya bila dibaca oleh orang-orang yang tak memahami dan mendalami Islam dengan benar dan jernih. Dan itu telah terjadi. Terjadilah pandangan buruk  terhadap Islam yang identik dengan perang dan berbunuh-bunuhan. Jadilah pandangan picik yang terbentuk terhadap Islam, bahwa Islam itu identik dengan hunusan dan kelebatan pedang yang membunuh dan darah yang tertumpah. Celakanya, makna sempit kata jihad dan pandangan picik ini juga dimiliki dan dipelihara oleh segelintir tokoh Islam yang memiliki pengikut fanatik yang pasti picik pula.
Teroris, muslim yang picik memaknai ajaran Islam
Lihatlah peristiwa teror di Indonesia selama ini. Misalnya teror bom dan pembunuhan terhadap aparat maupun masyarakat umum yang tak berdosa. Kepicikan memaknai firman Allah dan keawaman terhadap sejarah Nabi saw yang dimaknai sepotong-sepotong/parsial. Pelaku teroris umumnya adalah segelintir muslim yang picik (banyak yang jebolan ponpes, “ngajinya” baru tamat Iqra I-II dan baru satu juz  yakni juz ‘Amma (juz 30, 459 ayat, padahal Quran itu ada 6326 ayat dan 30 juz), mudah dihasut, easily brain-washed, exclusive padahal Islam itu inclusive).
Sabtu, 31 Agustus 2013, pukul 09.00 WIB, penulis menyimak acara talk-show di layar TV-One dengan narasumber Kombespol Rikwanto dari Humas Mabes Polri dan Haedar yang pengamat terorisme.  Topik talk-show adalah terorisme, menyikapi pembunuhan keji terhadap anggota polisi, pelaku penembakan, dan mengapa sasarannya adalah polisi.
Arah talk-show jelas, kesimpulan polisi adalah, pelaku pembunuhan terhadap anggota polisi Polsek Pondok Aren, Tangerang, adalah teroris, beragama Islam, dan berusia muda. Kombespol Rikwanto menjelaskan bahwa Mabes Polri telah merilis wajah dan identitas dua pelaku pembunuhan terhadap anggota polisi. Tugas polisi adalah mencari pelaku dan menangkapnya agar terorisme dapat dieliminasi dan dibasmi. Kita pasti setuju, aparat kepolisian memang tidak boleh kalah oleh aksi terorisme.
Lain sudut pandang Kombes Rikwanto, lain sudut pandang umum, lain pula sudut pandang seorang pakar/pengamat terorisme seperti Haedar. Komentar Haedar lain lagi. Menurutnya, para pelaku teroris itu, telah amat keliru berbuat dengan membunuh anggota polisi. Kekeliruan itu dilakukan karena salah memaknai firman Allah dalam QS 2: 190 dan 191. Menurutnya, ada benang merah antara tindak teror dengan kekeliruan pemaknaan ayat Quran di atas. Haedar melemparkan kesalahan kepada Kementerian Agama RI yang menerbitkan kitab Quran dan Terjemahannya yang kandungannya banyak terdapat kekeliruan dalam penerjemahan. Termasuk kalimat terjemahan dari kedua ayat tersebut.
Terjemahan terhadap ayat Quran yang keliru
Era komunikasi adalah era superioritas komunikasi. Bangsa atau masyarakat yang menguasai komunikasi adalah bangsa atau masyarakat yang superior. Pernyataan ini bukan lagi sekedar teoritis, tetapi realitas praktis. Bangsa barat yang menguasai komunikasi lebih superior dari bangsa timur yang menjadi inferior karena lack in communication. Fakta berikut yang tak terbantahkan, bangsa barat (mayoritas nonmuslim), misalnya Amerika atau Jerman (Kristen), dan bangsa timur (muslim), misalnya bangsa Indonesia. Fakta lain berikutnya, faktor kebenaran sejarah (ini penting dipahami), Kristen dan muslim dulunya, hubungan kurang harmonis, sering berkonflik, bahkan sampai terlibat perang berkepanjangan (demi hegemonitas atas satu oleh yang lain). Lihat saja sejarah kolonialisme. Kaum kolonial adalah bangsa beragama Kristen, sementara daerah koloni dan penduduknya adalah muslim yang terjajah. Malahan, ketidakharmonisan hubungan itu terus saja muncul di berbagai belahan bumi walau secara sporadis sampai kini. Lihat saja, para pemimpin/pemuka dua agama besar di muka bumi ini, Kristen dan Islam, harus krap bertemu dan saling menjalin silaturahim serta berbicara secara terbuka/berdialog. Allah, bahkan memberi warning kepada umat Islam agar selalu berhati-hati/waspada terhadap umat Kristen dan juga Yahudi, melalui firman-Nya dalam QS 2: 120. Orang Kristen dan Yahudi takkan pernah berhenti mengganggu (baik dengan cara kasar maupun halus bahkan amat halus) akidah/keyakinan umat Islam.
Muslim yang kurang/tidak waspada, karena tak paham Islam, tak punya/miskin informasi, dan tak cakap berkomunikasi, menjadi korban komunikasi. Apa buktinya?
Tahun 50-an s.d. 60-an, ada cetakan Quran palsu yang beredar massive, pelakunya nonmuslim, tujuannya merusak akidah Islam agar muslim rusak akidahnya. Akibatnya, ada sekelompok komunitas muslim murtad massive. Lalu, ada upaya membelokkan tulisan dan bunyi ayat-ayat Quran dari teks/kata/bahasa aslinya. Lahirlah ayat-ayat Quran yang palsu. Kemudian, melalui media komunikasi, dan ini yang paling canggih pada era komunikasi ini, menulis buku, mencetak, dan meluncurkan buku-buku secara massal, yang isinya jelas-jelas mengandung ketikdabenaran/ketidakcermatan, misalnya membelokkan arti kata, dari “putih” menjadi “abu”. Ya, seperti yang ditunjukkan oleh A.J. Wensick dan F.A. Klein, serta para sarjana yang lainnya. Muslim yang intelek tentu waspada, tetapi muslim yang awam dan belek, terpedaya!
Teroris: korban media komunikasi yang menyesatkan
Para teroris itu adalah muslim (umumnya) namun mereka egoistis dan fanatis buta dalam menegakkan ajaran agama Islam. Mereka merasa yang paling benar, paling memiliki kepentingan, dan keyakinan orang lain yang tidak sama dengan mereka dianggap sebagai orang kafir. Lalu ada yang memengaruhi  mereka dengan ajaran yang sesat (atas nama perintah agama Islam) yang mendukung, ada orang yang mencekoki mereka/brain-washing, mengindoktrinasi dengan ajaran sesat dan praktik jahat, semisal Dr. Azhari dan Noordin M. Top. Dan kita jangan lupa, bahwa mereka berusia muda, bahkan ada yang belum genap dua puluh tahun. Usia-usia yang amat labil!
Itulah sebabnya mereka memandang sesuatu secara picik tanpa analisis, aksi nekat tanpa pikir panjang, gampangan, dan ingin hasil serba instan.
Mati sangit alias mati konyol
Kepicikan berpikir, bersikap, dan tak panjang akal dalam bertindak tanpa “pikir dahulu pendapatan, sesal kemudian tak berguna”, mereka mau saja menjadi “pengantin bom” dalam aksi bom bunuh diri, dengan satu tujuan, yakni mati syahid sebagai syuhada. Bidadari berusia ABG menanti. Benarkah Islam mengajarkan seperti itu?
Tentu saja tidak! Tak ada satu pun ayat/firman Allah dalam Quran yang menjelaskan, bahwa perbuatan melenceng dari perintah Allah yang senantiasa benar (shadaqallahul ‘adziim) dan tuntunan rasul, serta menyalahi/merusak kemaslahatan umat dipandang sebagai perbuatan syuhada. Yang jelas, para teroris itu bukan mati syahid, tetapi mati sangit! Kita sering memberi istilah sebagai mati konyol.
(bagi muslim yang picik, terjemahan dari A.J. Wensinck dan F.A. Klein, dan terjemahan Quran cetakan Kemenag RI, tentang makna jihad berubah makna menjadi perang dan berbunuh-bunuhan, bisa terjadi.)
Islam itu ya’luu wa laa yu’laa alaih! Ajaran Islam itu amat luhur! Mustahil Islam mengajarkan kebiadaban ala terorisme. Kalau ada aksi teror yang dilakukan oleh orang Islam (oknum) tak pelak lagi karena oknum tidak memahami Islam secara benar. Mereka tidak memahami Quran, membelakangi Quran, bahkan membuang Quran dan mengambil isi buku/kitab hadis, brosur recehan, atau diktat karangan manusia  sebagai pedoman hidup.
Pesan penulis, jika ingin menjadi muslim yang baik, ingin hidup damai dalam keindahan toleransi dalam heterogenitas bangsa Indonesia yang diajarkan Islam, memperoleh kehidupan yang baik di dunia dan di akhirat, maka pelajarilah Quran dengan baik, pahami secara jernih, dan amalkan secara benar. Maka benar dan pasti terjadi, bidadari ABG cantik nan jelita menanti. Janji Allah pasti ditepati takkan diingkari. Lihat dan simak QS 78: 31 s.d. 37.
Amin.
Jakarta, 1 September 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar