Minggu, 08 September 2013

UJE, UMAT, UMMI TATU, UMINYA ANAK-ANAK




Tayangan Reportase TV-One dalam Suasana Idul Fitri 1434 H.
Menyikapi secara korektif dalam memandang seorang tokoh dari sudut pandang agama Islam
Tak dapat disangkal, hubungan yang terjalin antara TV-One dengan Uje selagi masih hidup sedang mesra-mesranya, hubungan yang mutual simbiosis, di samping hubungan TV-One dengan para ustaz rekan Uje yang dijadikan sebagai narasumber dalam acara dakwah berdurasi satu jam pada hari Sabtu dan Minggu siang, Damai Indonesiaku.
Selama Ramadan 1434 H., wajah Uje yang tampil berdakwah dengan gayanya yang khas sering muncul di layar tv yang satu ini dalam acara mengenang Uje, meski Uje telah tiada. Mungkin sekali, dalam sudut pandang TV-One, Uje adalah narasumber istimewa dan memiliki nilai jual sejajar dengan Zainuddin MZ yang juga sama-sama telah almarhum. Bagi sebuah stasiun tv swasta yang berorientasi laba/profit, tentu bidikan pertama yang dituju dalam program tayang adalah profit. Begitu pun dengan tayangan dakwah. Boleh jadi ketika Uje meninggal, durasi kontrak kerja antara TV-One dengan Uje belum habis, jadi tidak bisa menghadirkan lagi narasumber secara live, tayang ulang pun jadilah. Contoh dari kasus yang sama bisa dilihat pada tayangan iklan alm. Mbah Marijan yang masih saja muncul. Pastilah durasi kontrak kedua pihak masih ada tersisa. Tidak mungkin ada perusahaan yang sudi membuang dana milyaran rupiah untuk biaya iklan secara percuma.
Begitu pun TV-One dengan Uje. TV-One menilai sosok Uje adalah brand dalam acara dakwahnya. Mumpung kehadiran Ramadan yang syarat dengan ritual Islami dan dan so pasti tayangan dakwah paling banyak diminati oleh pemirsa tv.  Benar sekali, acara Damai Indonesiaku adalah tayangan yang diminati di samping ILC-nya Karni “Bang One” Ilyas.
Itu sudut pandang bisnis. Kita lihat sudut pandang psikologis dari orang-orang terdekat atau jemaah yang mengenal Uje. Sebutlah misalnya Ummi Tatu (ibunda), Pipik (istri), anak-anaknya, dan rekan-rekannya, menyikapi acara ulangan dakwah bertema mengenang Uje. Boleh jadi beragam sikap mereka.
Boleh jadi acara itu dipandang lebih kepada mendramatisasi “menunggang atau ditunggangi” kepopuleran sosok Uje. Maksudnya bisa mereguk keuntungan finansial, baik penunggang maupun yang ditunggang. Akan tetapi, jika mendramatisasi ranah privat/individu, boleh jadi terjadi kondisi emosional orang-orang terdekat terkena: ada kebanggaan, perasaan senang, haru, sedih, atau bisa juga kecewa dan kesal.
Bahwa penayangan di layar tv yang punya banyak pemirsa tentang sosok yang sudah tiada tidak bisa dianggap remeh sekedar normatif mengatasnamakan dakwah.Siapa yang bangga dan senang, siapa yang terharu, siapa yang sedih, dan siapa yang kecewa dan kesal dengan acara penayangan berulang-ulang sosok publik yang sudah almarhum, mari kita ikuti uraian berikut ini.
Memandang Uje dari Sudut Pandang Agama Islam
Uje, atau Ustaz Jeffry Al Buchary, telah pergi meninggalkan kita untuk selama-lamanya. Dia telah dipanggil oleh Empunya, Allah Swt. Uje telah tiada (tiada jasad dan ruh). Tak ada satu makhluk pun yang dapat menahan Allah untuk mengambil milik-Nya, termasuk nyawa kita.Tak perlu kita tanyakan dan tak perlu kita tahu tentang ruhnya (kita tak memiliki ilmu pengetahuan tentang ruh) dan tak layak kita sok tahu atau lebih tahu di mana ruh itu berada (baca dan simak QS Al Isra’ {17}: 85).
Oleh karena itu, kita semua orang yang beriman, diajarkan dengan tamsil/ibarat/perumpamaan atau juga realitas yang kita alami, baik nikmat maupun cobaan. Jika cobaan kehilangan karena kematian orang yang kita cintai, yakni kalimat: innaa lillaahi wa inna ilaihi raaji’uun.
Kalimat innaa lillaahi wa inna ilaihi raaji’uun itu, bukan sekedar fasih terucap di bibir, bukan pula sekedar diketahui maknanya, tetapi lebih daripada itu, yakni disikapi dengan cerdas sebagai individu atau masyarakat kolektif yang ulil albab. Seperti apa sikap cerdas individu ulil albab itu?
Lihat dan pelajari riwayat dan jejak rekam hidupnya. Uje adalah sosok muslim yang mengalami masa kehidupan yang manusiawi betul: kombinasi benar salah, suka duka, susah senang, baik buruk, naik turun, teguh lemah, pasang surut, terseok dan lincah, pudar dan tenar, dll. Itulah contoh sosok yang utuh dalam ketidaksempurnaan manusia.
Uje adalah sosok yang sudah berhijrah (dari sisi lemah ke sisi kuat; dari sisi buruk ke sisi baik; dari sisi kelam ke sisi cerah terang-benderang; dll.)
Kalau kita sudah punya sudut pandang demikian, maka kita yakin kepada Allah (sebagaimana janji Allah; Allah Maha Penuai janji; Allah tak pernah ingkar janji), bahwa Allah telah menerima Uje dengan sifat Rahman, Rahim, Ghafur, dan segala sifat-Nya. Uje sudah bersama Sang Penciptanya, Pemiliknya, Allah Swt. Melihat jejak rekam Uje selama hidupnya, dia telah berada di tanah hijrah yang subur dan indah. Percayalah, wahai Saudaraku, yang tetap cinta dan sayang kepada Uje.
Umat yang awam
Baru-baru ini, kita yang sempat menonton peristiwa di layar televisi, kita menyaksikan ada beberapa segmen tayangan yang masih menyorot perilaku sebagian kecil umat (yang awam) terhadap kuburan Uje. Tayangan umat (sebagian kecil) yang datang ke kuburan Uje. Tentu maksudnya berziarah kubur. Berziarah menengok benda mati (untungnya bentuk nisan atau benda mati berbentuk bangun prisma/balok tanpa tudung dan untungnya tidak ada nisan dalam bentuk patung atau berhala. Akan tetapi persamaannya adalah benda mati buatan manusia.
Ziarah kubur hanya tradisi turun-temurun copy paste (tasabbuh; meniru abis tradisi umat nonmuslim sezaman dengan umat Nabi Ibrahim as). Tak ada dalil satu pun ayat dalam Quran sebagai perintah Allah untuk dijadikan pijakan hukum ikhwal ziarah kubur.
Mereka yang awam ini ketika ditanyakan kepada mereka, mengapa melakukan ziarah kubur. Jawabnya hampir senada, yakni sudah merupakan tradisi turun-temurun, katanya lagi, para guru atau ustaz juga suka ziarah kubur dan suka mengajak/menganjurkan. Atau sekalian mendoakan arwah para ahli kubur. Kilahnya mereka, mendoakan orang yang telah meninggal itu kan sesuatu hal yang baik dan dianjurkan, kok dipersoalkan?. Inilah praktik beragama ikut-ikutan tanpa ilmu.
Kalau kita memahami ajaran Islam dengan benar, tidak akan pernah lagi kita ikut-ikutan kegiatan seperti ini. Kalau kita percaya kepada Allah dan rasul-Nya, takkan terbersit niat melakukan ziarah kubur. Kalau kita menyikapi dengan arif kalimat innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun, kita akan segera bertobat dan tidak kan mengulang praktik beragama yang tak berdasar. Kalau belum berilmu tentang sesuatu hal, belajarlah agar mendapatkan ilmunya, dan mengamalkannya atau menghentikannya jika telah diketahui sebagai hal yang terlarang (baca dan simak QS Al-Israa’ {17}: 36). Baca juga sejarah Nabi saw yang kita teladani sampai akhir hayat
Berdosalah mereka yang tahu dan berilmu mendiamkan saja praktik beragama Islam yang jelas-jelas keliru seperti ini.
Ngapain kita berdoa minta ahli kubur dilapangkan kuburnya? Emangnya kuburanya sempit? Emangnya Uje masih ada di kuburannya? Atau emangnya arwahnya masih menyatu dengan jasadnya? Ngapain berdoa diringankan azab kuburnya, emangnya tahu ahli kubur itu sedang disiksa dan akan terus disiksa?
Ya, kita kebanyakan tak tahu hal-ikhwal sesuatu dan tak berilmu tetapi berlaku paling tahu/sok tahu padahal Allah tidak memberi tahu (baca dan simak QS Fathir (35}: 22).
Ummi Tatu, ibunda Uje
Tak banyak orang mengenal sosok Ummi Tatu sebagai ibunda Uje sebelum peristiwa Uje meninggal. Sebagian kecil saja yang mengenalnya sebagai seorang pendakwah. Tentu sudah sewajarnyalah seorang pendakwah (mubaligah) itu lebih memahami ajaran agama dan lebih berkualitas mengamalkan ajaran agama ketimbang jemaahnya (idealnya begitu).
Penulis agak heran dan mengernyitkan kening tatkala melihat Umi ini dalam tayangan di layar tv tatkala sedang diwawancara oleh reporter TV-One, Indy Rahmawati. Jelas sekali penulis melihat Umi ini berdoa dan mendengar kalimat dalam doanya untuk alm. Uje yang menurut penulis kalimat doanya agak aneh. Kurang lebih inti doanya sang Umi ini adalah, agar kesalahan dan dosa Uje dilimpahkan saja kepada ibunya, agar diringankan siksaan di dalam kuburnya, dan agar dilapangkan alam kuburnya, dan kuburnya dijadikan raudhah min riyadhil jannah (taman sorga). Aneh saja kalau kalimat doa seperti itu dipanjatkan oleh seorang mubaligah yang notabene tahu/paham tentang umur, rezeki, jodoh, hidup, dan mati sebagai hak mutlak kekuasaan Allah. Apa tanggapan orang yang paham Islam menyikapi doa seperti ini. Seorang reporter semacam Indy Rahmawati yang begitu warm and impressed dalam mewawancarai seorang ibunda sang tokoh sentral ikut mengaminkan, ya, sah-sah saja. Urusan konten/substansi doa bukan urusan seorang reporter. Lain halnya bila konten dalam kalimat doa yang terucap didengar oleh orang/muslim yang paham tentang Islam.
Reportase melalui wawancara dan ditayangkan secara live sebagai bentuk dramatisasi yang bisa mengobok-obok emosi seorang ibu, dan bisa menggugah emosi pemirsa tayangan, dan hasilnya adalah sikap emosional. Doa yang terucap menampakkan sikap emosionalnya.
Tidak aneh kalau doa yang kalimatnya seperti itu terucap dari bibir jemaah yang awam. Namanya juga orang awam.
Pipik, istri Mendiang Uje
Tayangan tentang sosok Uje yang sudah puluhan kali di layar tv, pada awal kepergian seorang suami untuk selamanya, so pasti adalah kehilangan yang amat besar dari seorang istri seperti Pipik. Sedih sudahlah pasti. Air mata tertumpah dan isak tangis terjadi. Tetapi itu hanya sehari atau dua hari. Hari-hari kemudian wajah kuyu mulai merona ceria dan senyum atau derai tawa juga hadir pasti. Itulah fitrah manusia dan peristiwa yang manusiawi.
Tetapi apakah tayangan ulang yang bertubi-tubi ditonton, reporter tv datang beberaka kali menemui dan mewawancarai, lalu mendramatisasi, membuat sosok Pipik secara emosional merasa suka, bangga, senang dan tertawa, terharu, bersedih dan menangis dan menitikkan air mata lagi, atau malah merasa terganggu karena tayangan dianggap mengobok-obok emosi? Hanya seorang Pipik yang bisa menjawabnya.
Pipik, seorang wanita muda dan cantik telah menyandang status janda adalah kenyataan. Sayang dan bertanggung jawab terhadap anak-anak adalah kemuliaan sebagai seorang single parent. Namun kita tidak boleh menafikan, perasaan cinta dan mencintai ada pada setiap insan (ada syair lagu yang dinyanyikan oleh almarhum Mashabi, 1963: rasa cinta/pasti ada// pada makhluk/yang bernyawa). Dia tetap menjanda adalah mulia jika ada dan punya alasan kuat. Dia mencintai atau dicintai adalah hak asasinya. Dia dilamar oleh seorang lelaki yang mencintai dan dicintai adalah haknya. Dia menikah dan membina rumah tangga adalah wujud kemulian pula. Kalau Tuhan berkehendak begitu, siapa yang mampu menolak?
Maksud saya, tayangan ulang menampilkan sosok almarhum, di satu sisi atau pihak yang berkepentingan boleh jadi adalah profit, tetapi di sisi privacy seorang mantan istri, apa lagi dibumbui dramatisasi, apakah bukan mengobok-obok emosi dan membuat pribadi seseorang secara psikologis akan terganggu?
Inilah butir-butir ajaran Islam yang mesti dipraktikkan oleh setiap muslim agar layak digelari ulil albab.
Jakarta, 14 Agustus 2014


Tidak ada komentar:

Posting Komentar