Tayangan Reportase TV-One dalam Suasana Idul
Fitri 1434 H.
Menyikapi secara korektif dalam memandang
seorang tokoh dari sudut pandang agama Islam
Tak dapat disangkal, hubungan yang terjalin
antara TV-One dengan Uje selagi masih hidup sedang mesra-mesranya, hubungan yang
mutual simbiosis, di samping hubungan
TV-One dengan para ustaz rekan Uje yang dijadikan sebagai narasumber dalam
acara dakwah berdurasi satu jam pada hari Sabtu dan Minggu siang, Damai Indonesiaku.
Selama Ramadan 1434 H., wajah Uje yang tampil
berdakwah dengan gayanya yang khas sering muncul di layar tv yang satu ini
dalam acara mengenang Uje, meski Uje telah tiada. Mungkin sekali, dalam sudut
pandang TV-One, Uje adalah narasumber istimewa dan memiliki nilai jual sejajar
dengan Zainuddin MZ yang juga sama-sama telah almarhum. Bagi sebuah stasiun tv
swasta yang berorientasi laba/profit, tentu bidikan pertama yang dituju dalam
program tayang adalah profit. Begitu pun dengan tayangan dakwah. Boleh jadi
ketika Uje meninggal, durasi kontrak kerja antara TV-One dengan Uje belum
habis, jadi tidak bisa menghadirkan lagi narasumber secara live, tayang ulang pun jadilah. Contoh dari kasus yang sama
bisa dilihat pada tayangan iklan alm. Mbah Marijan yang masih saja muncul.
Pastilah durasi kontrak kedua pihak masih ada tersisa. Tidak mungkin ada
perusahaan yang sudi membuang dana milyaran rupiah untuk biaya iklan secara
percuma.
Begitu pun TV-One dengan Uje. TV-One menilai
sosok Uje adalah brand dalam acara
dakwahnya. Mumpung kehadiran Ramadan yang syarat dengan ritual Islami dan dan so pasti tayangan dakwah paling banyak
diminati oleh pemirsa tv. Benar sekali,
acara Damai Indonesiaku adalah
tayangan yang diminati di samping ILC-nya Karni “Bang One” Ilyas.
Itu sudut pandang bisnis. Kita lihat sudut
pandang psikologis dari orang-orang terdekat atau jemaah yang mengenal Uje. Sebutlah
misalnya Ummi Tatu (ibunda), Pipik (istri), anak-anaknya, dan rekan-rekannya,
menyikapi acara ulangan dakwah bertema mengenang Uje. Boleh jadi beragam sikap
mereka.
Boleh jadi acara itu dipandang lebih kepada
mendramatisasi “menunggang atau ditunggangi” kepopuleran sosok Uje. Maksudnya
bisa mereguk keuntungan finansial, baik penunggang maupun yang ditunggang. Akan
tetapi, jika mendramatisasi ranah privat/individu, boleh jadi terjadi kondisi
emosional orang-orang terdekat terkena: ada kebanggaan, perasaan senang, haru,
sedih, atau bisa juga kecewa dan kesal.
Bahwa penayangan di layar tv yang punya
banyak pemirsa tentang sosok yang sudah tiada tidak bisa dianggap remeh sekedar
normatif mengatasnamakan dakwah.Siapa yang bangga dan senang, siapa yang
terharu, siapa yang sedih, dan siapa yang kecewa dan kesal dengan acara
penayangan berulang-ulang sosok publik yang sudah almarhum, mari kita ikuti
uraian berikut ini.
Memandang Uje dari Sudut Pandang Agama Islam
Uje, atau Ustaz Jeffry Al Buchary, telah
pergi meninggalkan kita untuk selama-lamanya. Dia telah dipanggil oleh Empunya,
Allah Swt. Uje telah tiada (tiada jasad dan ruh). Tak ada satu makhluk pun yang
dapat menahan Allah untuk mengambil milik-Nya, termasuk nyawa kita.Tak perlu
kita tanyakan dan tak perlu kita tahu tentang ruhnya (kita tak memiliki ilmu
pengetahuan tentang ruh) dan tak layak kita sok tahu atau lebih tahu di mana
ruh itu berada (baca dan simak QS Al Isra’ {17}: 85).
Oleh karena itu, kita semua orang yang
beriman, diajarkan dengan tamsil/ibarat/perumpamaan atau juga realitas yang
kita alami, baik nikmat maupun cobaan. Jika cobaan kehilangan karena kematian
orang yang kita cintai, yakni kalimat: innaa
lillaahi wa inna ilaihi raaji’uun.
Kalimat innaa
lillaahi wa inna ilaihi raaji’uun itu, bukan sekedar fasih terucap di bibir,
bukan pula sekedar diketahui maknanya, tetapi lebih daripada itu, yakni
disikapi dengan cerdas sebagai individu atau masyarakat kolektif yang ulil albab. Seperti apa sikap cerdas
individu ulil albab itu?
Lihat dan pelajari riwayat dan jejak rekam
hidupnya. Uje adalah sosok muslim yang mengalami masa kehidupan yang manusiawi
betul: kombinasi benar salah, suka duka, susah senang, baik buruk, naik turun,
teguh lemah, pasang surut, terseok dan lincah, pudar dan tenar, dll. Itulah
contoh sosok yang utuh dalam ketidaksempurnaan manusia.
Uje adalah sosok yang sudah berhijrah (dari
sisi lemah ke sisi kuat; dari sisi buruk ke sisi baik; dari sisi kelam ke sisi
cerah terang-benderang; dll.)
Kalau kita sudah punya sudut pandang
demikian, maka kita yakin kepada Allah (sebagaimana janji Allah; Allah Maha
Penuai janji; Allah tak pernah ingkar janji), bahwa Allah telah menerima Uje
dengan sifat Rahman, Rahim, Ghafur, dan segala sifat-Nya. Uje sudah bersama
Sang Penciptanya, Pemiliknya, Allah Swt. Melihat jejak rekam Uje selama
hidupnya, dia telah berada di tanah hijrah yang subur dan indah. Percayalah,
wahai Saudaraku, yang tetap cinta dan sayang kepada Uje.
Umat yang awam
Baru-baru ini, kita yang sempat menonton
peristiwa di layar televisi, kita menyaksikan ada beberapa segmen tayangan yang
masih menyorot perilaku sebagian kecil umat (yang awam) terhadap kuburan Uje.
Tayangan umat (sebagian kecil) yang datang ke kuburan Uje. Tentu maksudnya
berziarah kubur. Berziarah menengok benda mati (untungnya bentuk nisan atau
benda mati berbentuk bangun prisma/balok tanpa tudung dan untungnya tidak ada
nisan dalam bentuk patung atau berhala. Akan tetapi persamaannya adalah benda
mati buatan manusia.
Ziarah kubur hanya tradisi turun-temurun copy paste (tasabbuh; meniru abis
tradisi umat nonmuslim sezaman dengan umat Nabi Ibrahim as). Tak ada dalil satu
pun ayat dalam Quran sebagai perintah Allah untuk dijadikan pijakan hukum
ikhwal ziarah kubur.
Mereka yang awam ini ketika ditanyakan kepada
mereka, mengapa melakukan ziarah kubur. Jawabnya hampir senada, yakni sudah
merupakan tradisi turun-temurun, katanya lagi, para guru atau ustaz juga suka
ziarah kubur dan suka mengajak/menganjurkan. Atau sekalian mendoakan arwah para
ahli kubur. Kilahnya mereka, mendoakan orang yang telah meninggal itu kan
sesuatu hal yang baik dan dianjurkan, kok dipersoalkan?. Inilah praktik
beragama ikut-ikutan tanpa ilmu.
Kalau kita memahami ajaran Islam dengan
benar, tidak akan pernah lagi kita ikut-ikutan kegiatan seperti ini. Kalau kita
percaya kepada Allah dan rasul-Nya, takkan terbersit niat melakukan ziarah
kubur. Kalau kita menyikapi dengan arif kalimat innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun, kita akan segera bertobat
dan tidak kan mengulang praktik beragama yang tak berdasar. Kalau belum berilmu
tentang sesuatu hal, belajarlah agar mendapatkan ilmunya, dan mengamalkannya
atau menghentikannya jika telah diketahui sebagai hal yang terlarang (baca dan
simak QS Al-Israa’ {17}: 36). Baca juga sejarah Nabi saw yang kita teladani
sampai akhir hayat
Berdosalah mereka yang tahu dan berilmu
mendiamkan saja praktik beragama Islam yang jelas-jelas keliru seperti ini.
Ngapain kita berdoa minta ahli kubur dilapangkan
kuburnya? Emangnya kuburanya sempit? Emangnya Uje masih ada di kuburannya? Atau
emangnya arwahnya masih menyatu dengan jasadnya? Ngapain berdoa diringankan
azab kuburnya, emangnya tahu ahli kubur itu sedang disiksa dan akan terus
disiksa?
Ya, kita kebanyakan tak tahu hal-ikhwal
sesuatu dan tak berilmu tetapi berlaku paling tahu/sok tahu padahal Allah tidak
memberi tahu (baca dan simak QS Fathir (35}: 22).
Ummi Tatu, ibunda Uje
Tak banyak orang mengenal sosok Ummi Tatu
sebagai ibunda Uje sebelum peristiwa Uje meninggal. Sebagian kecil saja yang
mengenalnya sebagai seorang pendakwah. Tentu sudah sewajarnyalah seorang
pendakwah (mubaligah) itu lebih memahami ajaran agama dan lebih berkualitas
mengamalkan ajaran agama ketimbang jemaahnya (idealnya begitu).
Penulis agak heran dan mengernyitkan kening
tatkala melihat Umi ini dalam tayangan di layar tv tatkala sedang diwawancara
oleh reporter TV-One, Indy Rahmawati. Jelas sekali penulis melihat Umi ini
berdoa dan mendengar kalimat dalam doanya untuk alm. Uje yang menurut penulis
kalimat doanya agak aneh. Kurang lebih inti doanya sang Umi ini adalah, agar
kesalahan dan dosa Uje dilimpahkan saja kepada ibunya, agar diringankan siksaan
di dalam kuburnya, dan agar dilapangkan alam kuburnya, dan kuburnya dijadikan raudhah min riyadhil jannah (taman
sorga). Aneh saja kalau kalimat doa seperti itu dipanjatkan oleh seorang
mubaligah yang notabene tahu/paham tentang umur, rezeki, jodoh, hidup, dan mati
sebagai hak mutlak kekuasaan Allah. Apa tanggapan orang yang paham Islam
menyikapi doa seperti ini. Seorang reporter semacam Indy Rahmawati yang begitu warm and impressed dalam mewawancarai
seorang ibunda sang tokoh sentral ikut mengaminkan, ya, sah-sah saja. Urusan
konten/substansi doa bukan urusan seorang reporter. Lain halnya bila konten
dalam kalimat doa yang terucap didengar oleh orang/muslim yang paham tentang
Islam.
Reportase melalui wawancara dan ditayangkan
secara live sebagai bentuk
dramatisasi yang bisa mengobok-obok emosi seorang ibu, dan bisa menggugah emosi
pemirsa tayangan, dan hasilnya adalah sikap emosional. Doa yang terucap
menampakkan sikap emosionalnya.
Tidak aneh kalau doa yang kalimatnya seperti
itu terucap dari bibir jemaah yang awam. Namanya juga orang awam.
Pipik, istri Mendiang Uje
Tayangan tentang sosok Uje yang sudah puluhan
kali di layar tv, pada awal kepergian seorang suami untuk selamanya, so pasti
adalah kehilangan yang amat besar dari seorang istri seperti Pipik. Sedih
sudahlah pasti. Air mata tertumpah dan isak tangis terjadi. Tetapi itu hanya
sehari atau dua hari. Hari-hari kemudian wajah kuyu mulai merona ceria dan
senyum atau derai tawa juga hadir pasti. Itulah fitrah manusia dan peristiwa
yang manusiawi.
Tetapi apakah tayangan ulang yang
bertubi-tubi ditonton, reporter tv datang beberaka kali menemui dan
mewawancarai, lalu mendramatisasi, membuat sosok Pipik secara emosional merasa
suka, bangga, senang dan tertawa, terharu, bersedih dan menangis dan menitikkan
air mata lagi, atau malah merasa terganggu karena tayangan dianggap
mengobok-obok emosi? Hanya seorang Pipik yang bisa menjawabnya.
Pipik, seorang wanita muda dan cantik telah
menyandang status janda adalah kenyataan. Sayang dan bertanggung jawab terhadap
anak-anak adalah kemuliaan sebagai seorang single
parent. Namun kita tidak boleh menafikan, perasaan cinta dan mencintai ada
pada setiap insan (ada syair lagu yang dinyanyikan oleh almarhum Mashabi, 1963:
rasa cinta/pasti ada// pada makhluk/yang
bernyawa). Dia tetap menjanda adalah mulia jika ada dan punya alasan kuat.
Dia mencintai atau dicintai adalah hak asasinya. Dia dilamar oleh seorang lelaki
yang mencintai dan dicintai adalah haknya. Dia menikah dan membina rumah tangga
adalah wujud kemulian pula. Kalau Tuhan berkehendak begitu, siapa yang mampu
menolak?
Maksud saya, tayangan ulang menampilkan sosok
almarhum, di satu sisi atau pihak yang berkepentingan boleh jadi adalah profit,
tetapi di sisi privacy seorang mantan
istri, apa lagi dibumbui dramatisasi, apakah bukan mengobok-obok emosi dan
membuat pribadi seseorang secara psikologis akan terganggu?
Inilah butir-butir ajaran Islam yang mesti dipraktikkan
oleh setiap muslim agar layak digelari ulil
albab.
Jakarta, 14 Agustus 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar