Bahasa
dalam Agama
SYUKUR, KUFUR, DAN HIDAYAH
Berbahasa
teratur dan berpikir teratur
Mungkin
kita pernah, bahkan mungkin seringkali, membaca tulisan yang sukar dipahami,
misalnya tulisan yang ditulis para pakar sesuatu bidang ilmu pengetahuan
tertentu. Kesukaran itu bisa memang sebagai keharusan oleh sang penulis karena
memang hanya seperti itulah cara pengungkapannya yang dianggap paling
mudah/efisien. Mungkin saja memang disengaja oleh sang penulis agar dia tetap
dianggap sebagai pakar. Soal para pembaca mengerti atau tidak mengerti tak
terlalu dipikirkan olehnya. Sehingga sering muncul olokan dari anggota
masyarakat pengguna bahasa, bahwa pakar itu
sama dan sebangun dengan singkatan apa-apa
dibikin sukar.
Lupakanlah
dulu perihal apa-apa dibikin sukar itu. Kita kembali kepada pokok pembicaraan
kita tentang kesukaran mamahami tulisan orang lain. Kesukaran itu timbul antara
lain disebabkan oleh pemakaian susunan kalimat yang tidak teratur dan
penyampaian pikiran atau gagasan yang tidak teratur pula. Kondisi tulisan
seperti itu digolongkan kepada kerancuan berbahasa.
Berbahasa
teratur dan berpikir teratur adalah dua hal yang saling memengaruhi. Cara
berpikir seseorang tercermin dalam cara dia menggunakan bahasa. Jika cara
berpikir seseorang itu biasa teratur, maka cara dia berbahasa/menggunakan
bahasa pun biasanya teratur pula.
Setujukah
Anda?
Ramadan
dan Idul Fitri 1434 H. sudah berlalu. Kita harus zhan (sungguh yakin) bahwa kita kembali kepada fitrah insani.
Fondasi fitrah ini penting untuk istiqamah/consistent
(tetap berpegang teguh) kepada kebenaran, yakni menganjurkan dan
menyelenggarakan kebaikan (amar ma’ruf wa
‘amalan salihan) seperti masuk kerja, kembali bekerja dengan baik, dan
menjauhkan diri dari/mencegah kemungkaran (nahi
munkar/’anha ‘anil munkar) seperti malas bekerja, korupsi waktu, korupsi
dana bansos, menilep jatah makan siang sejawat, dll. Insya Allah, the objective of fasting in Ramadan will be
reached, la’allakum tattaquun, right?
(to be continued ….)
Kemudian,
kita lanjutkan pembicaraan kita yang terputus. Berbagi pengetahuan agama yang
dimiliki secara teratur adalah cermin berpikir teratur, tentu melalui
penggunaan bahasa yang teratur pula. Nah, penulis ingin berbagi pengatahuan
agama tentang beberapa kata yang begitu akrab di telinga kita, yakni kata-kata syukur, kufur, dan hidayah. Penulis yakin para pembaca tahu betul, bahwa ketiga kata
ini adalah kata serapan dari bahasa Arab. Mari kita mulai dengan membahas
ketiganya satu-persatu.
Syukur
Syukur dalam
bahasa Indonesia (KBBI, 2008: 1368) adalah kelas kata nomina yang artinya: 1.
rasa terima kasih kepada Allah; 2. untunglah (pernyataan lega, senang, dsb.)
Dengan
demikian, kata syukur dapat dipahami
sebagai ungkapan terima kasih khusus kepada Tuhan, tidak kepada yang lain. Kata
Tuhan/Allah, disebut/ditulis ataupun tidak ditulis, tidak perlu dipersoalkan.
Walaupun kata syukur diberi arti yang
sama dengan kata terima kasih, tetapi dalam penggunaannya dibedakan.
Contoh:
Kita
sering mengucapkan kalimat seperti berikut:
Syukur alhamdulillah, kami semua selamat!
Syukurlah (kepada Tuhan), semuanya tiba
dengan selamat!
Kita patut bersyukur (kepada Tuhan) bahwa
kehidupan masyarakat semakin baik.
Kata syukur dapat diartikan sebagai lawan
kata dari kata kufur. Perhatikan
firman Tuhan dalam QS Ibrahim (14): 7.
“… jika
kamu pandai bersyukur, pasti akan
Ku-tambahkan nikmat-Ku kepadamu. Tetapi jika kamu kufur, maka pasti sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.”
Kufur
Quraish
Shihab dalam bukunya, Tafsir Al Misbah
Volume 1 (2000: 95), mengutip pendapat ulama (plural/jamak dari ‘alim), menjelaskan arti kata kufur yang terdiri atas lima macam,
yaitu:
1.
kufur juhud, tidak
mengakui adanya wujud Allah, misalnya para atheis dan kaum komunis,
2.
kufur yang menolak
kebenaran,
3.
kufur yang tidak
mensyukuri nikmat Allah,
4.
kufur yang tidak
mengerjakan tuntunan Allah, dan
5.
kufur yang tidak
merestui/berlepas diri dari ajakan Allah dan rasul-Nya.
Hidayah
Quraish
Shihab (1999: 46) menjelaskan arti
hidayah (hidayat) berkaitan erat dengan kelemahlembutan atau hadiah, yaitu
“sesuatu yang diberikan secara halus dan lemah lembut menuju apa yang
diharapkan oleh si pemberi, yakni persahabatan dan jalinan hubungan yang lebih
erat.Tingkatan hidayah yang dikaruniakan Allah kepada manusia secara berurutan:
1.
naluri, yang
diperoleh sejak kelahiran. Sebagai contoh adalah tangis seorang bayi sebelum
matanya terbuka. Kemampuannya menangis merupakan anugerah Allah kepadanya untuk
dijadikan petunjuk sehingga orang-orang di sekelilingnya mengatahui bahwa ia
ada dan hidup serta membutuhkan pertolongan.
2.
Pancaindera: mata
memandang, tangan meraba, hidung mencium, telinga mendengar, lidah merasa, dan
mulai terjadi kontak dengan dunia luar melalui kelima indera tersebut.
3.
Akal: alat yang
mengoordinasikan semua informasi yang diperoleh indera kemudian membuat kesimpulan-kesimpulan
yang sedikit banyak dapat berbeda dengan hasil informasi tersebut. Akal
berperan setelah pancaindera mencapai batasnya. Akal membuka bagi manusia
cakrawala baru yang tidak diperolehnya sebelum ini. Namun, harus diingat bahwa,
akal tidak mampu menuntun manusia ke luar jangkauan alam fisik ini. Akal tidak
menjamin bagi seluruh kebenaran yang didambakan.
4.
Agama: petunjuk yang
meluruskan kekeliruan-kekeliruan dalam bidang-bidang tertentu.
(sampai
di sini dulu ya ….)
Jakarta,
14 Agustus 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar