Minggu, 08 September 2013

SYUKUR, KUFUR, DAN HIDAYAH



Bahasa dalam Agama
SYUKUR, KUFUR, DAN HIDAYAH
Berbahasa teratur dan berpikir teratur
Mungkin kita pernah, bahkan mungkin seringkali, membaca tulisan yang sukar dipahami, misalnya tulisan yang ditulis para pakar sesuatu bidang ilmu pengetahuan tertentu. Kesukaran itu bisa memang sebagai keharusan oleh sang penulis karena memang hanya seperti itulah cara pengungkapannya yang dianggap paling mudah/efisien. Mungkin saja memang disengaja oleh sang penulis agar dia tetap dianggap sebagai pakar. Soal para pembaca mengerti atau tidak mengerti tak terlalu dipikirkan olehnya. Sehingga sering muncul olokan dari anggota masyarakat pengguna bahasa, bahwa pakar itu sama dan sebangun dengan singkatan apa-apa dibikin sukar.
Lupakanlah dulu perihal apa-apa dibikin sukar itu. Kita kembali kepada pokok pembicaraan kita tentang kesukaran mamahami tulisan orang lain. Kesukaran itu timbul antara lain disebabkan oleh pemakaian susunan kalimat yang tidak teratur dan penyampaian pikiran atau gagasan yang tidak teratur pula. Kondisi tulisan seperti itu digolongkan kepada kerancuan berbahasa.
Berbahasa teratur dan berpikir teratur adalah dua hal yang saling memengaruhi. Cara berpikir seseorang tercermin dalam cara dia menggunakan bahasa. Jika cara berpikir seseorang itu biasa teratur, maka cara dia berbahasa/menggunakan bahasa pun biasanya teratur pula.
Setujukah Anda?
Ramadan dan Idul Fitri 1434 H. sudah berlalu. Kita harus zhan (sungguh yakin) bahwa kita kembali kepada fitrah insani. Fondasi fitrah ini penting untuk istiqamah/consistent (tetap berpegang teguh) kepada kebenaran, yakni menganjurkan dan menyelenggarakan kebaikan (amar ma’ruf wa ‘amalan salihan) seperti masuk kerja, kembali bekerja dengan baik, dan menjauhkan diri dari/mencegah kemungkaran (nahi munkar/’anha ‘anil munkar) seperti malas bekerja, korupsi waktu, korupsi dana bansos, menilep jatah makan siang sejawat, dll. Insya Allah, the objective of fasting in Ramadan will be reached, la’allakum tattaquun, right?
(to be continued ….)
Kemudian, kita lanjutkan pembicaraan kita yang terputus. Berbagi pengetahuan agama yang dimiliki secara teratur adalah cermin berpikir teratur, tentu melalui penggunaan bahasa yang teratur pula. Nah, penulis ingin berbagi pengatahuan agama tentang beberapa kata yang begitu akrab di telinga kita, yakni kata-kata syukur, kufur, dan hidayah. Penulis yakin para pembaca tahu betul, bahwa ketiga kata ini adalah kata serapan dari bahasa Arab. Mari kita mulai dengan membahas ketiganya satu-persatu.
Syukur
Syukur dalam bahasa Indonesia (KBBI, 2008: 1368) adalah kelas kata nomina yang artinya: 1. rasa terima kasih kepada Allah; 2. untunglah (pernyataan lega, senang, dsb.)
Dengan demikian, kata syukur dapat dipahami sebagai ungkapan terima kasih khusus kepada Tuhan, tidak kepada yang lain. Kata Tuhan/Allah, disebut/ditulis ataupun tidak ditulis, tidak perlu dipersoalkan. Walaupun kata syukur diberi arti yang sama dengan kata terima kasih, tetapi dalam penggunaannya dibedakan.
Contoh:
Kita sering mengucapkan kalimat seperti berikut:
Syukur alhamdulillah, kami semua selamat!
Syukurlah (kepada Tuhan), semuanya tiba dengan selamat!
Kita patut bersyukur (kepada Tuhan) bahwa kehidupan masyarakat semakin baik.
Kata syukur dapat diartikan sebagai lawan kata dari kata kufur. Perhatikan firman Tuhan dalam QS Ibrahim (14): 7.
“… jika kamu pandai bersyukur, pasti akan Ku-tambahkan nikmat-Ku kepadamu. Tetapi jika kamu kufur, maka pasti sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.”
Kufur
Quraish Shihab dalam bukunya, Tafsir Al Misbah Volume 1 (2000: 95), mengutip pendapat ulama (plural/jamak dari ‘alim), menjelaskan arti kata kufur yang terdiri atas lima macam, yaitu:
1.    kufur juhud, tidak mengakui adanya wujud Allah, misalnya para atheis dan kaum komunis,
2.    kufur yang menolak kebenaran,
3.    kufur yang tidak mensyukuri nikmat Allah,
4.    kufur yang tidak mengerjakan tuntunan Allah, dan
5.    kufur yang tidak merestui/berlepas diri dari ajakan Allah dan rasul-Nya.
Hidayah
Quraish Shihab (1999: 46)  menjelaskan arti hidayah (hidayat) berkaitan erat dengan kelemahlembutan atau hadiah, yaitu “sesuatu yang diberikan secara halus dan lemah lembut menuju apa yang diharapkan oleh si pemberi, yakni persahabatan dan jalinan hubungan yang lebih erat.Tingkatan hidayah yang dikaruniakan Allah kepada manusia secara berurutan:
1.    naluri, yang diperoleh sejak kelahiran. Sebagai contoh adalah tangis seorang bayi sebelum matanya terbuka. Kemampuannya menangis merupakan anugerah Allah kepadanya untuk dijadikan petunjuk sehingga orang-orang di sekelilingnya mengatahui bahwa ia ada dan hidup serta membutuhkan pertolongan.
2.    Pancaindera: mata memandang, tangan meraba, hidung mencium, telinga mendengar, lidah merasa, dan mulai terjadi kontak dengan dunia luar melalui kelima indera tersebut.
3.    Akal: alat yang mengoordinasikan semua informasi yang diperoleh indera kemudian membuat kesimpulan-kesimpulan yang sedikit banyak dapat berbeda dengan hasil informasi tersebut. Akal berperan setelah pancaindera mencapai batasnya. Akal membuka bagi manusia cakrawala baru yang tidak diperolehnya sebelum ini. Namun, harus diingat bahwa, akal tidak mampu menuntun manusia ke luar jangkauan alam fisik ini. Akal tidak menjamin bagi seluruh kebenaran yang didambakan.
4.    Agama: petunjuk yang meluruskan kekeliruan-kekeliruan dalam bidang-bidang tertentu.
(sampai di sini dulu ya ….)
Jakarta, 14 Agustus 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar