Selasa, 13 Mei 2014

AJARAN AGAMA TINGGI MELANGIT PRAKTIK BAK LAYANGAN SINGIT



            AJARAN AGAMA TINGGI MELANGIT PRAKTIK  BAK LAYANGAN SINGIT

            Intervensi setan yang sengit
            Sejak zaman Nabi Adam dan Hawa, ajaran dan praktik beragama sudah dimulai.
Adam dan Hawa sebagai orang tua bukan hanya mengajar, melainkan juga mendidik anak-anaknya yang 41 orang itu.
Adam dan Hawa sudah dibekali pengetahuan yang memadai oleh Tuhan mereka, Allah Swt. Salah satu pengetahuan yang amat penting itu adalah, bahwa Iblis (setan), si penipu mereka, akan selalu bersama mereka, bukan sebagai kawan, melainkan sebagai musuh. Adam dan Hawa harus mewaspadai iblis agar tidak tergelincir untuk kedua kalinya. Termasuk di dalamnya adalah menyampaikan, mengajarkan, dan mendidik anak-anaknya agar mewaspadai iblis dan ajarannya.
Adam dan Hawa mencontohkan cara mengajar dan mendidik anak dengan tuntunan Tuhan. Mereka berdua mempraktikkan langsung ajaran Tuhan dalam mengajar dan/atau mendidik melalui praktik kehidupan sehari-hari.
Untuk zaman itu, Adam dan Hawa adalah orang tua yang sukses dalam mendidik. Hanya satu saja dari anak yang 41 orang itu yang membangkang. Dialah Kabil. Itulah bukti pertama tentang intervensi iblis melalui godaan terhadap siapa pun, tak peduli anak seorang nabi utusan Allah.
Iblis mendatangi dan merayu Kabil dari arah depan, belakang, samping kiri, dan kanan, bahkan dari segala penjuru mata angin (simak QS 7: 14 s.d. 18). Iblis tidak menampakkan wujudnya karena dia makhluk rohaniah (orang yang bilang iblis itu bisa berwujud dan bisa diburu/ditangkap adalah pendusta).
Kabil terperangkap oleh ajakan iblis: melawan orang tua dan menentang Allah.
Kabil tidak saja membantah, menentang, dan membangkang terhadap kedua orang tuanya, bahkan melakukan tindak kriminal, yakni membunuh adik kandungnya, Habil.
Itulah peristiwa dalam sejarah kehidupan manusia. Ketentuan Allah (sunnatullah) bahwa manusia hidup dan mengelola kehidupan di bumi ini bersama iblis (selanjutnya disebut setan) bermula dari pelanggaran terhadap perintah dan larangan Allah. (Simak QS 2: 33 s.d.38; QS 7: 11 s.d. 27). Manusia dan setan diusir dari sorga dan harus tinggal di bumi. Lalu, ketentuan Allah berikutnya, setan itu diizinkan hidup bersama manusia tidak sebagai kawan, melainkan sebagai musuh.

Agama: ajaran yang luhur
Agama adalah ajaran yang luhur berdasarkan Firman Allah melalui wahyu-wahyu-Nya yang diturunkan kepada para rasul-Nya (nabi-nabi). Ajaran agama itu memiliki nilai-nilai/tuntunan, baik berupa perintah maupun larangan, yang wajib bagi manusia untuk dipraktikkan (perintah) atau ditinggalkan (larangan).  Namanya ketaatan (sami’na wa atha’na). Konsekuensi dari praktik ketaatan adalah imbalan kebaikan (reward) dan konsekuensi praktik pembangkangan adalah sanksi hukuman (punishment).
Manusia adalah makhluk dinamis dan tampak nyata dirasakan dan dialami sendiri oleh manusia. Bukankah Allah telah menciptakan manusia sebagai makluk terbaik (ahsani taqwim; the best creature)? Maksud Allah adalah agar manusia dimandatkan untuk menjadi pengelola bumi (khalaaifal ‘ardhi; khalifah. QS 2: 30; QS 6: 165).
Oleh karena dinamika kehidupan manusia itu, tiap generasi manusia memiliki tata cara praktik beragama (syari’ah) yang tidak persis sama atau sama sekali berbeda dengan generasi sebelumnya. Praktik beragama itu seiring sejalan dengan ajaran agama. Bahkan, dihadirkan pula setiap generasi itu seorang rasul yang tugasnya meneladankan praktik beragama yang sesuai dengan tuntunan Allah atau ajaran agama.
Ajaran agama yang luhur itu wujudnya adalah praktik beragama yang benar oleh manusia yang memegang teguh ajaran agama yang luhur. Itulah sebabnya manusia bisa eksis di bumi sampai kini.

Praktik beragama yang benar
Ajaran agama yang luhur (agung, mulia, tinggi) bukan sekedar penghias atau buah bibir dan tuturan bak dukun menghafal mantra atau jampi-jampi. Semua wahyu Allah yang termaktub dalam semua kitab suci dalam bahasa yang berbeda (sesuai dengan bahasa umat) bukanlah untuk dirapal-rapal dengan tanda berkomat-kamit bibir, melainkan semua pesan di dalamnya itu untuk diwujudkan melalui praktik dalam kehidupan nyata (realitas) manusia di bumi.
Umat Islam, empunya Quran, diperintahkan oleh Allah (wajib) untuk mewujudkan pesan-pesan Quran itu (6.236 ayat) melalui praktik langsung yang bernilai baik (‘amalan shaalihan) yang menyentuh kehidupan masyarakat banyak. Ada tiga hal yang dapat direngkuh sekaligus dengan praktik yang baik. Apa sajakah itu?
Pertama, komitmen terhadap keimanan kepada Allah (aamana billaah) dengan keteguhan hati (istiqomah; persistent). Hanya Allah Yang Maha Tahu tingkat keimanan kita dan keimanan itu tidak bisa diukur tanpa alat ukur.
Kedua, wujud nyata keimanan kepada Allah dengan berpraktik beragama. Praktik ini menjadi alat ukur penting tentang tebal tipisnya keimanan seseorang.
Ketiga, praktik beragama yang benar berdampak manfaat bagi pelaku, orang lain, dan masyarakat. Begitu pesan Quran (QS 3: 112). Inilah yang dimaksud dengan pernyataan Nabi saw yang memperkuat pesan Quran, “khairun naas, ‘anfa’ahum lin naas.”

Pembuktian hubungan antara ajaran yang luhur dengan praktik yang benar
Mari kita simak contoh praktik beragama berikut ini.
Pengetahuan: ada dalil sains yang berbunyi, “Air yang dipanaskan akan mendidih pada suhu 100 derajat Celcius.”
Anak-anak Kelas 5 sekolah dasar (SD) disuruh oleh gurunya untuk menghafal dalil ini. Hafalan sepuluh kali, seratus kali, atau seribu kali pun yang dirapal oleh bibir para siswa tak berdampak apa-apa kecuali hanya mampu menghafal via bibir belaka.
Guru kelas yang profesional tentu akan melanjutkan kepada proyek berikutnya, menyuruh para siswa melakukan praktik merebus air untuk membuktikan kebenaran dalil tersebut. Namanya metode eksperimen (percobaan). Guru tetap memfasilitasi dan mengawasi para siswa yang akan melakukan percobaan. Guru dan siswa berada di satu ruangan yang sama.
Para siswa menaati perintah gurunya. Para siswa menyiapkan segala sesuatunya dan  siap melakukan percobaan. Mereka tentu bekerja sama dalam kelompoknya, membagi tugas siapa melakukan apa, Tampak kasat mata nyata wujud aktifitasnya, siswa bekerja, mengamati, mengukur, mencatat, dan membuat kesimpulan.
Selanjutnya, para siswa telah melakukan proyek percobaan sederhana. Mereka dapat membuktikan sendiri tentang kebenaran sebuah dalil sains.
Manfaatnya sungguh besar bagi guru dan siswa. Semua memperoleh manfaat. Wujud nyata adalah: ketaatan kepada guru; bekerja sama; berlatih melakukan penelitian sederhana; organ tubuh aktif; memperoleh pengetahuan baru.
Subhanallah!

Ajaran yang luhur melalui praktik yang salah
Mari kita cermati kasus berikut ini.
Siswa Kelas 6 SD menghadapi Ujian Sekolah (US). Orang tua menginginkan agar anaknya lulus US dengan hasil terbaik agar bisa diterima di SMP terbaik.
Apa yang dilakukan oleh orang tua?
Orang tua membawa anaknya menemui orang pintar (kiai, dukun, paranormal). Konek nggak, sih?
Orang pintar itu menyuruh si anak masuk ke dalam ruangan gelap tanpa lampu penerangan (sengaja dibuat gelap).
Nyambung nggak, sih?
Orang pintar itu menyerahkan segelas air putih (katanya sudah didoakan) kepada si anak agar air putih itu segera diminum. Apa pula ini?
Orang pintar itu mendoakan pensil 2B yang telah diraut untuk digunakan si anak mengerjakan soal-soal. Yang tampak kasat mata oleh orang tua dan si anak adalah bibir orang pintar itu berkomat-kamit sambil kedua tangannya  menggenggam erat pensil 2B..
Ngapain dia ya?
Orang pintar itu mengelus-elus kepala si anak, memegang kedua bahu si anak, dan tak lupa pula kedua bibirnya berkomat-kamit.
Apa hubungannya ya?
Orang tua dan si anak kemudian pamit pulang.
Pertanyaannya, terkait dengan si anak yang akan menghadapi US, adakah manfaat nyata yang dapat dirasakan oleh si anak dan juga orang tuanya setelah mendatangi orang pintar?
Jawabannya, tidak jelas!
Praktik beragama seperti ini dilakoni oleh segelintir kiai yang sering kita saksikan di layar tv ketika ramai-ramainya para siswa SMP dan SMA menghadapi UN.
Praktik model beginilah yang dilakukan oleh dukun kayak Guntur Bumi dan kawan-kawannya seprofesi mengobati pasien.
Inilah fakta yang ada dalam kehidupan sebagian masyarakat kita yang mengaku beragama Islam. Kita sangat fasih berucap lisan tetapi tidak fasih praktik beragama yang benar.
Jakarta, 14 Mei 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar