AJARAN
AGAMA TINGGI MELANGIT PRAKTIK BAK LAYANGAN
SINGIT
Intervensi
setan yang sengit
Sejak zaman Nabi Adam dan Hawa,
ajaran dan praktik beragama sudah dimulai.
Adam dan Hawa sebagai orang tua bukan hanya
mengajar, melainkan juga mendidik anak-anaknya yang 41 orang itu.
Adam dan Hawa sudah dibekali pengetahuan yang
memadai oleh Tuhan mereka, Allah Swt. Salah satu pengetahuan yang amat penting
itu adalah, bahwa Iblis (setan), si penipu mereka, akan selalu bersama mereka,
bukan sebagai kawan, melainkan sebagai musuh. Adam dan Hawa harus mewaspadai
iblis agar tidak tergelincir untuk kedua kalinya. Termasuk di dalamnya adalah
menyampaikan, mengajarkan, dan mendidik anak-anaknya agar mewaspadai iblis dan
ajarannya.
Adam dan Hawa mencontohkan cara mengajar dan
mendidik anak dengan tuntunan Tuhan. Mereka berdua mempraktikkan langsung
ajaran Tuhan dalam mengajar dan/atau mendidik melalui praktik kehidupan
sehari-hari.
Untuk zaman itu, Adam dan Hawa adalah orang
tua yang sukses dalam mendidik. Hanya satu saja dari anak yang 41 orang itu
yang membangkang. Dialah Kabil. Itulah bukti pertama tentang intervensi iblis
melalui godaan terhadap siapa pun, tak peduli anak seorang nabi utusan Allah.
Iblis mendatangi dan merayu Kabil dari arah
depan, belakang, samping kiri, dan kanan, bahkan dari segala penjuru mata angin
(simak QS 7: 14 s.d. 18). Iblis tidak menampakkan wujudnya karena dia makhluk
rohaniah (orang yang bilang iblis itu bisa berwujud dan bisa diburu/ditangkap
adalah pendusta).
Kabil terperangkap oleh ajakan iblis: melawan
orang tua dan menentang Allah.
Kabil tidak saja membantah, menentang, dan membangkang
terhadap kedua orang tuanya, bahkan melakukan tindak kriminal, yakni membunuh
adik kandungnya, Habil.
Itulah peristiwa dalam sejarah kehidupan
manusia. Ketentuan Allah (sunnatullah) bahwa manusia hidup dan mengelola
kehidupan di bumi ini bersama iblis (selanjutnya disebut setan) bermula dari
pelanggaran terhadap perintah dan larangan Allah. (Simak QS 2: 33 s.d.38; QS 7:
11 s.d. 27). Manusia dan setan diusir dari sorga dan harus tinggal di bumi. Lalu,
ketentuan Allah berikutnya, setan itu diizinkan hidup bersama manusia tidak
sebagai kawan, melainkan sebagai musuh.
Agama:
ajaran yang luhur
Agama adalah ajaran yang luhur berdasarkan
Firman Allah melalui wahyu-wahyu-Nya yang diturunkan kepada para rasul-Nya
(nabi-nabi). Ajaran agama itu memiliki nilai-nilai/tuntunan, baik berupa
perintah maupun larangan, yang wajib bagi manusia untuk dipraktikkan (perintah)
atau ditinggalkan (larangan). Namanya
ketaatan (sami’na wa atha’na). Konsekuensi dari praktik ketaatan adalah imbalan
kebaikan (reward) dan konsekuensi praktik pembangkangan adalah sanksi hukuman
(punishment).
Manusia adalah makhluk dinamis dan tampak
nyata dirasakan dan dialami sendiri oleh manusia. Bukankah Allah telah
menciptakan manusia sebagai makluk terbaik (ahsani taqwim; the best creature)?
Maksud Allah adalah agar manusia dimandatkan untuk menjadi pengelola bumi
(khalaaifal ‘ardhi; khalifah. QS 2: 30; QS 6: 165).
Oleh karena dinamika kehidupan manusia itu, tiap
generasi manusia memiliki tata cara praktik beragama (syari’ah) yang tidak
persis sama atau sama sekali berbeda dengan generasi sebelumnya. Praktik
beragama itu seiring sejalan dengan ajaran agama. Bahkan, dihadirkan pula
setiap generasi itu seorang rasul yang tugasnya meneladankan praktik beragama
yang sesuai dengan tuntunan Allah atau ajaran agama.
Ajaran agama yang luhur itu wujudnya adalah
praktik beragama yang benar oleh manusia yang memegang teguh ajaran agama yang
luhur. Itulah sebabnya manusia bisa eksis di bumi sampai kini.
Praktik
beragama yang benar
Ajaran agama yang luhur (agung, mulia,
tinggi) bukan sekedar penghias atau buah bibir dan tuturan bak dukun menghafal
mantra atau jampi-jampi. Semua wahyu Allah yang termaktub dalam semua kitab
suci dalam bahasa yang berbeda (sesuai dengan bahasa umat) bukanlah untuk
dirapal-rapal dengan tanda berkomat-kamit bibir, melainkan semua pesan di
dalamnya itu untuk diwujudkan melalui praktik dalam kehidupan nyata (realitas)
manusia di bumi.
Umat Islam, empunya Quran, diperintahkan oleh
Allah (wajib) untuk mewujudkan pesan-pesan Quran itu (6.236 ayat) melalui
praktik langsung yang bernilai baik (‘amalan shaalihan) yang menyentuh
kehidupan masyarakat banyak. Ada tiga hal yang dapat direngkuh sekaligus dengan
praktik yang baik. Apa sajakah itu?
Pertama, komitmen terhadap keimanan kepada
Allah (aamana billaah) dengan keteguhan hati (istiqomah; persistent). Hanya
Allah Yang Maha Tahu tingkat keimanan kita dan keimanan itu tidak bisa diukur
tanpa alat ukur.
Kedua, wujud nyata keimanan kepada Allah
dengan berpraktik beragama. Praktik ini menjadi alat ukur penting tentang tebal
tipisnya keimanan seseorang.
Ketiga, praktik beragama yang benar berdampak
manfaat bagi pelaku, orang lain, dan masyarakat. Begitu pesan Quran (QS 3: 112).
Inilah yang dimaksud dengan pernyataan Nabi saw yang memperkuat pesan Quran, “khairun naas, ‘anfa’ahum lin naas.”
Pembuktian
hubungan antara ajaran yang luhur dengan praktik yang benar
Mari kita simak contoh praktik beragama berikut
ini.
Pengetahuan: ada dalil sains yang berbunyi, “Air
yang dipanaskan akan mendidih pada suhu 100 derajat Celcius.”
Anak-anak Kelas 5 sekolah dasar (SD) disuruh
oleh gurunya untuk menghafal dalil ini. Hafalan sepuluh kali, seratus kali,
atau seribu kali pun yang dirapal oleh bibir para siswa tak berdampak apa-apa
kecuali hanya mampu menghafal via bibir belaka.
Guru kelas yang profesional tentu akan
melanjutkan kepada proyek berikutnya, menyuruh para siswa melakukan praktik
merebus air untuk membuktikan kebenaran dalil tersebut. Namanya metode
eksperimen (percobaan). Guru tetap memfasilitasi dan mengawasi para siswa yang
akan melakukan percobaan. Guru dan siswa berada di satu ruangan yang sama.
Para siswa menaati perintah gurunya. Para
siswa menyiapkan segala sesuatunya dan
siap melakukan percobaan. Mereka tentu bekerja sama dalam kelompoknya,
membagi tugas siapa melakukan apa, Tampak kasat mata nyata wujud aktifitasnya,
siswa bekerja, mengamati, mengukur, mencatat, dan membuat kesimpulan.
Selanjutnya, para siswa telah melakukan proyek
percobaan sederhana. Mereka dapat membuktikan sendiri tentang kebenaran sebuah
dalil sains.
Manfaatnya sungguh besar bagi guru dan siswa.
Semua memperoleh manfaat. Wujud nyata adalah: ketaatan kepada guru; bekerja
sama; berlatih melakukan penelitian sederhana; organ tubuh aktif; memperoleh
pengetahuan baru.
Subhanallah!
Ajaran
yang luhur melalui praktik yang salah
Mari kita cermati kasus berikut ini.
Siswa Kelas 6 SD menghadapi Ujian Sekolah
(US). Orang tua menginginkan agar anaknya lulus US dengan hasil terbaik agar
bisa diterima di SMP terbaik.
Apa yang dilakukan oleh orang tua?
Orang tua membawa anaknya menemui orang
pintar (kiai, dukun, paranormal). Konek nggak, sih?
Orang pintar itu menyuruh si anak masuk ke
dalam ruangan gelap tanpa lampu penerangan (sengaja dibuat gelap).
Nyambung nggak, sih?
Orang pintar itu menyerahkan segelas air
putih (katanya sudah didoakan) kepada si anak agar air putih itu segera
diminum. Apa pula ini?
Orang pintar itu mendoakan pensil 2B yang
telah diraut untuk digunakan si anak mengerjakan soal-soal. Yang tampak kasat
mata oleh orang tua dan si anak adalah bibir orang pintar itu berkomat-kamit
sambil kedua tangannya menggenggam erat
pensil 2B..
Ngapain dia ya?
Orang pintar itu mengelus-elus kepala si
anak, memegang kedua bahu si anak, dan tak lupa pula kedua bibirnya
berkomat-kamit.
Apa hubungannya ya?
Orang tua dan si anak kemudian pamit pulang.
Pertanyaannya, terkait dengan si anak yang
akan menghadapi US, adakah manfaat nyata yang dapat dirasakan oleh si anak dan
juga orang tuanya setelah mendatangi orang pintar?
Jawabannya, tidak jelas!
Praktik beragama seperti ini dilakoni oleh
segelintir kiai yang sering kita saksikan di layar tv ketika ramai-ramainya
para siswa SMP dan SMA menghadapi UN.
Praktik model beginilah yang dilakukan oleh
dukun kayak Guntur Bumi dan kawan-kawannya seprofesi mengobati pasien.
Inilah fakta yang ada dalam kehidupan sebagian
masyarakat kita yang mengaku beragama Islam. Kita sangat fasih berucap lisan
tetapi tidak fasih praktik beragama yang benar.
Jakarta, 14 Mei 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar