Kamis, 29 Mei 2014

ANTARA MUSLIM DAN MUKMIN, MANA YANG LEBIH DAHULU HADIR?



Sebuah diskusi
ANTARA MUSLIM DAN MUKMIN, MANA YANG LEBIH DAHULU HADIR?
Muslim
Muslim itu predikat untuk orang Islam. Muslim itu mudah dikenali. Lupakan tampilan fisik untuk mengenali seorang muslim atau bukan muslim! Jangan dulu melihat muslim secara fisik dari tampilan busananya. Nanti kita bisa tertipu. Apa lagi tampilan fisik busana zaman sekarang. Seseorang yang berjubah, bergomis, dan berselempang sorban yang kita lihat zaman sekarang belum tentu dia seorang muslim. Jangan-jangan dia cuma menyaru/menyamar (kamuflase) kayak bunglon. Kita wajib hati-hati dan waspada. Sudah banyak contoh penampilan merayu cantik kayak bunglon berwarna-warni tetapi kelakuan menipu kayak iblis.
Jadi, dari mana kita mengenali seorang muslim?
Lihat dan perhatikan saja amaliahnya (action; fi’il; perbuatan) sehari-hari. Orang Islam itu membangun, menegakkan, dan memelihara kedamaian, kenyamanan, kesejukan, kebaikan, kehalusan, kejujuran, rendah hati, berjiwa besar, toleran, dan lain sebagainya, di mana pun, dan kapan pun.
Bahasa Qurannya, rahmatan lil’aalamiin.
Orang/seseorang itu baru bisa dikatakan ada dan hadir di muka bumi ini tatkala dia dilahirkan sebagai bayi mungil oleh ibunya: detik, menit, jam, hari, dan tanggalnya jelas.
Bayi dan anak kecil itu muslim
Bayi yang lahir itu adalah seorang bayi muslim. Bayi itu tunduk kepada sunnatullah (ketentuan Allah). Apa buktinya bahwa seorang bayi itu tunduk kepada sunnatullah?
Allah menciptakan organ mulut dan suara. Bayi itu menangis dengan membuka mulutnya. Allah menciptakan tubuh, anggota tubuh, darah, dan energi/daya. Bayi itu bergerak, menggeliat, menggerakkan kedua tangannya. Baru sebatas itu sang bayi melakukan. Itulah naluri yang dikaruniakan Allah. Itulah fitrahnya. Sang bayi itu tunduk kepada Allah dengan karunia naluri. Akalnya sama sekali belum berfungsi. Bayi itu seorang muslim kecil.
Bagaimana jika sang bayi lahir dari rahim wanita nonmuslim?
Kita jangan melihat agama ibunya atau agama ayahnya. Mau ibu Yahudi, Nasrani, Hindu, Buddha, Konghucu, aliran kepercayaan, atau seorang atheis, bayi tetaplah muslim.
Bayi dari hari ke hari bertumbuh. Setelah naluri, sang bayi yang muslim itu memanfaatkan indra-indra yang telah dikaruniakan Allah: melihat karena punya mata; mendengar karena ada telinga; mencium karena punya hidung; meraba karena ada kulit; merasa/mengecap karena punya lidah. Semua itu kerja indra-indra (pancaindra) secara naluriah (intuitif).
Ketika sang bayi haus atau lapar, dia belum bisa mengucapkan kata-kata. Secara naluriah dia menangis.  Secara naluriah pula dia menyeruput puting susu ibunya dengan mulutnya karena tangannya belum bisa difungsikan.
Sang bayi yang memanfaatkan semua indra karunia Allah secara maksimal dan proporsional, dia secara naluriah tunduk kepada Allah, jadi dia, sang bayi itu adalah seorang muslim. Naluri dan pancaindra sudah dimanfaatkan.
Belajar dari contoh kehadiran bayi, maka akan lebih mudah bagi kita melihat sosok seseorang itu sebagai muslim.
Muslim itu tuntuk kepada ketentuan Allah. Muslim itu memanfaatkan karunia Allah secara maksimal. Seorang bayi kecil itu baru memanfaatkan karunia naluri (intuisi) dan pancaindra. Karunia Allah berikutnya yang belum difungsikan/belum berfungsi sebagaimana mestinya, adalah akal.

Anak kecil itu muslim
Kamis, 29 Mei 2014, pas hari libur nasional memperingati Kenaikan Isa Almasih, terjadi peristiwa kecelakaan yang menimpa seorang anak balita berusia kurang lebih 3 tahun, sebutlah namanya Adi. Kecelakaan terjadi di pusat perbelanjaan Cempaka Mas, Cempaka Putih, Jakarta Pusat.
Kaki si Adi kecil terjepit di tangga eskalator. Adi asik bermain dan melompat-lompat di tangga berjalan itu. Adi sama sekali tidak tahu bahwa perbuatannya itu akan membahayakan dirinya. Akal seorang anak usia 3 tahun memang belum sampai ke sana. Dia rupanya luput/lepas dari gandengan dan pengawasan sang ibu. Dia berteriak kesakitan dan mengaduh sambil memegangi kakinya yang terjepit tangga berjalan itu.
Adi berkomunikasi/mengomunikasikan penderitaannya kepada orang lain adalah dengan menjerit, menangis, mengaduh, dan menunjuk-nunjuk ke arah kakinya.
Adi bermain, meloncat, menjerit, menangis, mengaduh, meminta tolong, dan menunjuk-nunjuk ke arah kaki adalah bentuk memanfaatkan karunia Allah: naluri, pancaindra, dan akal.
Itulah contoh seorang muslim yang berusia 3 tahun. Ada miliaran muslim seusia Adi dan semua anak seusia itu adalah muslim.
Pak Mardi dan keluarga tinggal dan menghuni sebuah rumah sederhana di bantaran kali Ciliwung.
Mengapa Pak Mardi tinggal di tempat rawan banjir dan berbahaya? Mengapa dia tidak tinggal rumah gedung atau apartemen?
Pak Mardi orang miskin. Penghasilannya pas-pasan dan hanya cukup untuk keperluan makan sehari-hari. Dia seorang pekerja keras dan bukan pemalas. Dia bersama istri dan seorang anaknya sudah keluar dari rumah untuk bekerja sejak pukul 5 pagi hari dan pulang ke rumah menjelang waktu Magrib. Waktu selama 10 atau 11 jam itu dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya. Dia itu memang seorang pemulung.
Apakah Pak Mardi seorang muslim?
Ciri khas muslim itu bekerja. Muslim itu bekerja untuk mencari nafkah. Mencari nafkah bagi manusia itu demi mempertahankan hidup/berkehidupan yang pantas. Mempertahankan kehidupan itu adalah perintah Allah. Bekerja itu tanda dan wujud ketaatan kepada Allah. Menjadi seorang pemulung tidak masalah.
Jadi, Pak Mardi itu seorang muslim.
Kita tidak perlu menyaksikan atau mendengar dia mengucapkan dua kalimat syahadat (syahadatain). Kita tidak perlu mencari tahu dia mengaji, berdoa, bersalawat, salat, berpuasa, berzakat, atau berhaji.  Bersyahadat, mengaji, salat, berpuasa, berzakat, dan berhaji itu urusan masing-masing, nafsi-nafsi, individual, ane-ane ente-ente, elu-elu gue-gue.
Kalau pada suatu saat, suatu hari, atau suatu waktu kita melihat dia salat ke masjid, atau dia pergi menunaikan ibadah haji, kita bisa mengatakan, Pak Mardi memang benar seorang muslim.
Pak Mardi tidak perlu mengatakan lagi dengan kata-kata, dia tidak perlu berorasi mengumbar kata-kata. Cukuplah bagi kita dengan melihat amaliahnya.
Menjadi seorang muslim itu memang dengan mewujudkan amaliah nyata yang bermanfaat, bukan dengan sekedar mengumbar banyak kata yang sama sekali tidak bermakna, lebih-lebih lagi tidak membawa manfaat.
Kalau terjadi kebalikannya, Pak Mardi malas bekerja dan mencari nafkah, rajin pergi salat ke masjid, khusuk berdoa berlama-lama di masjid, ikut pengajian keliling kampung, rajin berziarah ke makam dan makam para pahlawan, rajin dan membuang waktu pergi ke tempat-tempat sepi untuk bersemedi, tentu kerugian besar bagi dirinya, kerugian bagi istri dan anaknya, dan kerugian bagi masyarakatnya. Dia ada tetapi tidak menggenapkan. Dll, dsb.
Kita dapat mengatakan, Pak Mardi itu identitas dan busananya saja yang muslim, tetapi amaliahnya jauh dari praktik muslim.
Ya pantas saja dia tetap miskin dan menjadi penghuni bantaran Kali Ciliwung.
Begitu pun dengan kita. Kalau kita malas bekerja padahal kita telah mendapat karunia kehidupan oleh Allah, artinya kita tidak taat kepada Allah, kita cuma mengaku, cuma ber-KTP Islam, tetapi amaliah nihil, minus, atau amaliah kita tidak membawa manfaat, maka sebenarnya kita telah menistakan/menghinakan diri sendiri. Di dunia hidup malang, di akhirat tentu lebih malang lagi.

Mukmin
Mukmin, arti sederhananya adalah orang yang beriman. Iman artinya percaya atau yakin. Iman itu milik hati atau kalbu. Oleh karena itu, iman itu tidak berwujud, tidak bisa dirasakan oleh alat-alat indra seperti halnya melihat muslim.
Orang boleh saja berkata percaya atau beriman kepada Allah, kepada malaikat, kepada kitab-kitab suci, para rasul, ketentuan, hari akhirat, dan kepada takdir Allah. Semua yang dikatakan itu hanya kesan sekelebat saja dan tidak bisa dibuktikan.
Bagaimana caranya mengetahui seseorang itu mukmin?
Bukti beriman kepada Allah kita awali dulu dengan dua sudut pandang, adanya perintah dan larangan Allah.
Nabi saw salat, berpuasa, berzakat, dan berhaji karena ada perintah Allah. Nabi saw sebelumnya tidak pernah salat, tidak berpuasa, tidak berzakat, dan tidak berhaji sebelumnya. Keluarganya pun tidak, juga masyarakat di sekelilingnya.
Nabi saw berdakwah Islam karena ada perintah Allah agar berdakwah Islam. Nabi saw tidak pernah berdakwah sebelum turunnya perintah berdakwah.
Karena Nabi saw adalah teladan umat Islam, kita pun melakukan semua yang dia teladankan. Kita tidak perlu cerewet bertanya-tanya ini itu lagi.
Allah melarang mengonsumsi daging babi, bangkai, darah, arak beralkohol; Allah melarang berjudi, berzina, mencuri, dan memakan riba.
Nabi saw paling dahulu menaati semua larangan Allah. Kita pun sebagai umat Muhammad saw taat dan meneladaninya. Kita pun menjauhi semua hal yang telah dilarang oleh Allah. Kita tidak perlu cerewet bertanya ini itu lagi.
Semua hal yang kita lakukan dan yang kita jauhi seperti yang telah disebutkan di atas sesungguhnya membuktikan bahwa kita beriman kepada Allah. Ya, kita adalah mukmin.
Beriman kepada Allah (Yang Maha Mencipta) adalah pokok utama keimanan. Keimanan kepada keberadaan yang lain (makhluk; ciptaan) adalah dahan dan ranting saja.
Kalau pokok pohon tidak ada, mustahil tumbuh dahan dan ranting, mustahil ada daun, bunga, dan buah.
Keimanan itu dimiliki seseorang karena dia memiliki pengetahuan dan pengalaman (mengalami). Makin tinggi pengetahuan, makin banyak pengalaman, makin kuat tingkat keimanannya (kualitas sikap; quality of attitude).
Contoh:
Maurice Buchaile, seorang gynecolog, seorang kristiani warga negara Prancis, banyak pengetahuan, banyak melakukan pekerjaan dan praktik yang berhubungan dengan profesinya sebagai ahli kandungan, memiliki hasrat ingin tahu, mempelajari dan memahami Bybel.
Keingintahuannya terhadap Islam membawanya kepada membaca dan mempelajari Quran. Sekali dua kali mempelajari Quran, sikapnya masih biasa-biasa saja. Tetapi tatkala dia membuka Quran Surat Al Mukminun (QS 23: 12, 13, 14), dia mempelajari berulang-ulang  untuk memahami lebih dalam. Kandungan ayat-ayat itu berkaitan erat dengan profesinya dan kegiatannya setiap hari.
Rasa penasaran membawanya kepada penggalian (eksplorasi) pesan-pesan Quran seutuhnya.
“Inilah ajaran agama yang sebenarnya!” ujarnya bersemangat.
Maurice Buchaile pun mantap bersyahadatain. “Wa kafaa billaahi syahiidaa”. Dan cukuplah Allah menjadi Penyaksi. Dia menjadi mukmin ketika usianya menginjak usia 40-an. He became a moslem in his fourties.
Simak juga riwayat hidup seorang Muhammad Ali, si Leher Beton Mike Tyson, dan penyanyi tenar Cat Steven Muhammad Yusuf.
Kalau begitu, sekarang baru kupahami, muslim duluan, baru mukmin. Itu baru benar!
Jakarta, 30 Mei 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar