Selasa, 27 Mei 2014

SURYADHARMA ALI (SDA) DIJADIKAN TESANGKA DAN CHRISTIANO RONALDO (CR-7) DIBERI PENGHARGAAN



SURYADHARMA ALI (SDA) DIJADIKAN TESANGKA DAN
CHRISTIANO RONALDO (CR-7) DIBERI PENGHARGAAN
(Korelasi Ketua Umum Parpol Dan Pemain Sepak Bola)

Ketua Umum Parpol
Apa sih tujuan seseorang mendirikan partai politik (parpol) di negara demokrasi pada era kebebasan berdemokrasi?
Kekuasaan, itulah jawabannya. Kekuasaan yang tertinggi di sebuah negara, menjadi seorang Presiden atau Kepala Pemerintahan. Itulah klimaks ambisi mulia yang ingin diraih. Memegang tampuk kekuasaan itu adalah kebutuhan tertinggi bagi manusia. Meminjam teori Abraham G. Maslow, The Chierarchy of Needs, dia menyebutnya dengan Actualization need.
Kekuasaan pertama yang wajib diraih dan digenggam seseorang mendirikan parpol pastilah menjadi Ketua Umum (Ketum), Presiden Partai, atau sebagai Ketua Dewan Pembina parpol.
Sejak era reformasi yang ditandai dengan tumbangnya rezim otoriter Orde Baru di bawah kekuasaan Pak Harto (1967-1998), orang-orang bereforia (euphoria) dengan kebebasan. Mereka bebas berekspresi dengan kebebasan mengeluarkan pernyataan, pendapat, bersikap kritis, dan bertingkah-polah seperti berdemonstrasi atau berunjuk rasa. Eranya diberi julukan era reformasi.
Salah satu bentuk yang paling nyata adalah geliat berdemokrasi dalam kebebasan media massa berekspresi secara luas, terbuka, dan bertanggung jawab. Khususnya bersuara menggemakan kebebasan rakyat berpolitik. Para pemilik media atau Pemimpin Redaksi media massa bernapas lega. Mereka tidak lagi takut medianya dibredel, pemimpin redaksi ditangkap, diamankan, atau di-Petrus-kan.
Kita hidup berdemokrasi ala demokrasi Orde Baru hanya boleh terbatas tiga kekuatan politik parpol. Parpol yang boleh hidup hanya ada dua parpol, Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI), ditambah dengan Golkar yang sangat kuat hegemonitasnya (Sekber Golkar; emoh disebut parpol). Undang-Undang dan peraturan perundang-undangan era Orde Baru hanya mengizinkan tiga parpol yang boleh hidup dan rakyat Indonesia yang 135 juta jiwa (menurut Rhoma Irama, 1977) harus dan wajib tunduk dan taat tanpa reserve. Lebih tepat lagi, rakyat harus mencoblos tanda gambar Pohon Beringin Rindang empunya Golkar (baca sejarah Pemilu 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997). PPP dan PDI harus puas dan bersyukur kepada Pak Harto karena masih diberikan kesempatan untuk hidup, paling tidak agar RI itu dipandang oleh dunia luar adalah tetap sebuah negara demokrasi.
Demokrasi yang sebenarnya tumbuh pada era reformasi dan demokrasi lipstick ala Orde Baru musnah sudah. Konstelasi jagat perpolitikan di Indonesia berubah drastis. PDI yang masih bergelimang darah pertarungan internal antara kubu Suryadi dengan Megawati (Peristiwa Kudatuli, 27 Juli 1996, di Jln. Diponegoro 27, Menteng, Jakpus; markas PDI), berubah wujud lambing dan nama menjadi PDI Perjuangan (PDIP). Megawati pun naik tahta menjadi petinggi pucuk pimpinan sebagai Ketum PDIP. Suryadi dengan PDI-nya pun tergusur dan terkubur.
Sekber Golkar yang paling kuat karena kuatnya Pak Harto, begitu Pak Harto mundur lengser keprabon, ikut tergusur, tersuruk, dan remuk-redam, diumpat dan dicaci-maki karena berdosa besar terhadap rakyat. Petinggi Sekber Golkar, walau harus mengurut dada menanggung duka, masih memiliki jiwa besar dan tetap kepala tegak. Mereka harus mereformasi diri seiring dengan dinamika reformasi rakyat. Mereka pun berubah wujud dari Sekber Golkar menjadi Partai Golkar. Pohon beringan rindang yang angker berubah indah menjadi pohon beringin rindang yang moncer.
Lihatlah catatan sejarah reformasi yang lahir pada pertengahan Mei 1998.
PPP pasca-Jailani Naro (John Naro) mulai berdandan sejak era Ketumnya Ismail Hasan Metareum.
Mohammad Amien Rais, Bapak Reformasi, mendirikan sebuah parpol bernama Partai Amanat Nasional (PAN) dan kemudian langsung menjadi Ketum PAN. Massa konstituennya kebanyakan adalah warga Muhammadiyah.
Abdurrahman Wahid (Gus Dur) mendirikan sebuah parpol Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan langsung menjadi pemimpin tertinggi setara Ketum. Massa konstituennya pasti kaum Nahdhiyyin (NU).
Adik kandung Gus Dur, Sholehuddin Wahid (Gus Sholah), bergandengan tangan dengan K.H. Yusuf Hasyim, membesut Partai Kebangkitan Nahdhatul Ummat (PKNU).
Yustil Ihza Mahendra pun tak ingin ketinggalan kereta. Dia mendirikan parpol yang diberi nama Partai Bulan Bintang (PBB) yang konon adalah reinkarnasi partai Masyumi.
Berikutnya, menyusul Nur Mahmudi Ismail dkk mendirikan parpol yang bernama Partai Keadilan (PK) yang berganti nama lagi menjadi Partai Keadilan Sejahtera (PKS).
Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), jenderal (teraniaya), tidak lantas kalah langkah dengan teman-teman yang lain. SBY yang Jenderal Purnawirawan pun mendirikan parpol, namanya Partai Demokrat (Demokrat).
Prabowo Subiyanto yang punya karien militer bagus, usai dicopot dari militer, menggeluti dunia bisnis, mengikuti jejak seniornya, SBY, untuk terjun ke panggung politik. Prabowo pun membesut Partai Gerindra.
Wiranto, mantan Pangab kesayangan Pak Harto, melihat keberhasilan SBY berpolitik karena punya kendaraan politik, usai diberhentikan oleh Gus Dur dari kursi Menhankam/Pangab, ikut-ikutan pula membesut  parpol, namanya Partai Hanura.
Eh, ehh, masih ada lagi mantan jenderal, mantan Gubernur DKI Jakarta, tak ingin pula ketinggalan kereta. Dialah Sutiyoso, yang membesut PKPI.
Masih banyak pula tokoh, setengah tokoh, atau badut-badut politik yang ingin pula membesut parpol demi meraih kekuasaan. Sebutlah misalnya Sri Bintang Pamungkas, Prof. Riyaas Rasyid, dan juga Mukhtar Pakpahan. Konstituennya hanya ratusan orang saja. Kacian deh!
Terakhir, Surya Paloh, setelah keok dari kompetisi merebut jabatan Ketum Partai Golkar dua kali berturut-turut, keluar dari Partai Gokar, membentuk sebuah Ormas Nasdem pada awalnya, kemudian mengubah ormas itu menjadi parpol dan membesut parpol baru, namanya Partai Nasdem.

Obsesi Ketum Parpol itu adalah meraih kekuasaan
Politikus membesut parpol ujung obsesinya adalah meraih kekuasaan. Itu sah-sah saja.
Ajaran agama (Islam), kekuasaan itu menjadi sangat dianjurkan karena memegang kekuasaan itu menjadi penting sekali untuk kemaslahatan umat manusia (dari unit terkecil keluarga dan unit terbesar adalah negara). Perintah Allah sangat terang-benderang dan contoh keteladanan Nabi saw benar-benar tampak wujudnya (silakan baca buku sejarah dan tarikh), bahwa kekuasaan itu adalah alat/media (tools) meraih kemaslahatan umat manusia. Kekuasaan itu menjadi indah di dalam pandangan mata Allah dan mata manusia.
Akan tetapi, janganlah kita lupa. Meraih kekuasaan, melaksanakan amanat kekuasaan, mengendalikan kekuasaan, dan mencapai terminal akhir, yakni kemaslahatan umat manusia itu haruslah dengan akhlak yang baik (berakhlak mulia). Metode/cara, strategi, dan taktik untuk mengimplementasi kekuasaan itu diwujudkan dengan berakhlak, berfatsun, dan elegan. Koridor regulasi perundang-undangan menjadi pegangan bagi para pelaku politik (politikus) agar kelak politikus tidak akan berubah menjadi tikus.

Terminal akhir seorang politikus adalah Presiden atau Perdana Menteri
Presiden adalah penguasa tertinggi yang berkuasa penuh di negara yang menganut demokrasi dengan sistem demokrasi presidensial.
Perdana Menteri adalah penguasa tertinggi yang berkuasa penuh di negara yang menganut demokrasi dengan sistem demokrasi parlementer.
Politikus di Inggris, Australia, Canada, India, atau Thailand pasti bercita-cita dan berambisi ingin menjadi Perdana Menteri.
Poltikus di AS, Mesir, Iran, atau Iraq cita-citanya pasti ingin menjadi Presiden.
NKRI, seperti juga AS, Mesir, atau Iraq, negara kita menganut sistem presidensial. Dengan demikian, cita-cita tertinggi yang ingin diraih seorang politikus di Indonesia ini adalah menjadi presiden, ya, Presiden RI atau RI-1.
Sebelum sampai ke jenjang politik tertinggi itu, sebagai Presiden RI, politikus harus punya parpol sebagai kendaraan politik. Akan tetapi punya parpol tetapi hanya sebagai kader biasa belumlah cukup. Politikus itu harus terlebih dahulu membesut parpol dan harus menjabat sebagai Ketum parpol itu, atau istilah lain yang mempunyai kekuasaan yang sama dengan Ketum. Misalnya jabatan sebagai Ketua Dewan Pembina atau Presiden parpol.
Maka dapatlah ditebak isi benak seorang Gus Dur, seorang M. Amien Rais, Megawati, SBY, Prabowo, Wiranto, Sutiyoso, atau Surya Paloh sang pembesut parpol.
Dapat ditebak juga isi benak para politikus generasi berikutnya yang menggantikan tokoh-tokoh politik sebelumnya sebagai Ketum parpol. Sorang Muhaimin Iskandar, Suryadharma Ali, MS Kaban, ARB, dan juga Anis Matta pasti sama saja obsesi besarnya, berambisi menjadi RI-1.
Keren dan prestisius banget gitu loh!


Pilpres 2014
Semua parpol pun punya jago yang akan digadang-gadang dan diusung sebagai Capres atau Cawapres. Pastilah capresnya adalah sang Ketum, kecuali Demokrat dan PDIP tentunya. Sang Ketum Demokrat, SBY, sudah menjadi RI-1 dua periode, dan pasti tidak boleh di-Presiden-kan untuk ketiga kalinya. Konstitusi mengharamkan.
Akan halnya Megawati yang Ketum PDIP, bukan tidak punya hasrat dan birahi politik untuk menjadi RI-1 yang kedua kali, melainkan karena beberapa faktor: sudah pernah menjadi orang nomor 1 di Indonesia (2001-2004); sudah cukup sepuh; elektabilitas rendah dan kurang laku lagi untuk dijual; negarawan yang tahu diri; menghilangkan kesan sumbang bahwa PDIP itu identik dengan trah Soekarno; memberdayakan kader potensial dan menjanjikan seperti yang ada pada sosok Jokowi.
PPP punya Capres SDA. PKB punya Capres Muhaimin, PKS punya Anis Matta, Golkar punya ARB, PBB punya Yusril, Hanura punya Wiranto, Nasdem punya Surya Paloh, PAN punya Hatta Rajasa, Gerindra tentu Prabowo, dan PKPI pastilah Sutiyoso.
Berhasilkah mereka?
Namanya juga  calon atau bakal atau kandidat.
Bisa iya, bisa juga tidak! Bisa berhasil bisa juga gagal!
Dari semua politikus petinggi parpol tersebut, Capres yang bakal jadi Presiden cuma seorang saja.
RI-1 cuma satu orang aja! Meski begitu, masih ada satu orang lagi untuk jabatan RI-2.
Ya, lagi-lagi cuma dua orang saja dari puluhan tokoh dan politikus moncer yang ada.
Cara elegan yang ditempuh adalah berkompetisi secara sehat. Politikus itu ada di rumah besar yang namanya parpol. Para politikus di dalam rumah besar parpol harus berkompetisi dalam adu hebat program yang merakyat. Maka lihatlah apa yang dilakukan oleh politikus atau birokrat yang kebelet menjadi politikus ikut konvensi Capres di Demokrat. Siapa tahu Dewi Fortuna dan nasib baik berpihak kepadanya.
Setelah hasil sah Pileg 2014 diketahui, ternyata tidak ada satu pun parpol dari 12 parpol peserta pileg yang mampu meraih suara yang signifikan yang kemudian bisa leluasa mendudukkan kader-kadernya di kursi DPR. Angka ambang presidential threshold 25% suara sah dan 20% dari kursi parlemen tak mampu dicapai.
Para politikus yang menjabat Ketum parpol masih bisa bersaing “menjual” parpolnya melalui ajang pileg dan pilpres. Rakyatlah, sang pemilik republik ini, menilai laik tidaknya politikus mendapat kepercayaan rakyat menduduki jabatan penting.
Pileg 2014 telah berlalu. Nasib parpol ada yang bagus, yang lumayan, kurang bagus, sampai nasib kartu jeblok pun sudah kita ketahui. Ada tiga parpol besar: PDIP, Golkar, dan Gerindra yang bernasib bagus. Ada empat parpol medioker: Demokrat, PKB, PAN, dan PKS. Ada tiga parpol lumayan: PPP, Nasdem, dan Hanura. Terakhir, ada dua parpol gurem yang bernasib jeblok: PKPI dan PBB. Tak satu pun kader dari kedua parpol ini yang bisa didudukkan di DPR.
Mimpi, obsesi, dan ambisi SDA, Muhaimin, Kampiun Konvensi Demokrat Dahlan Iskan, Anis Matta, Hatta Rajasa, Wiranto, dan Sutiyoso untuk diusung sebagai Capres harus dikubur dalam-dalam untuk periode 2014-2019. Yang dadanya agak sesak pastilah Dahlan Iskan. Dia adalah pemenang Konvensi Capres Demokrat, tetapi tidak ada satu pun pimpinan parpol meliriknya.
Mereka tidak perlu malu bersenandung lagu berirama melayu yang berjudul Kecewa. Lagu Kecewa ini dipopulerkan oleh Ratu Orkes Melayu tahun 60-an, Juhana Satar. Penggalan syairnya sebagai berikut:
            Hasrat di hati/
            Mencapai bintang yang tinggi/
            Sungguh kecewa/
            Tak tercapai cita-cita/
            …………………… dst.
Capres yang masih punya peluang untuk diusung tinggal tiga orang: Jokowi, Prabowo Subianto, dan ARB.
Ambisi berkuasa (sah-sah saja) para Ketum parpol meski gagal diusung sebagai Capres belum berhenti. Syahwat politik harus tetap disalurkan sesuai dengan amanat konstitusi dan mandat partai masing-masing. Masih ada jalan, yakni membangun koalisi. Petinggi ketiga parpol pemenang Pileg 2014: ARB, Megawati, dan Prabowo harus disambangi untuk diajak berkoalisi, baik koalisi di DPR maupun koalisi dalam pemerintahan.
Teman koalisi pun dicari yang memiliki visi, misi, platform, dan program yang searah. Kesepakatan yang masih dirahasiakan untuk publik adalah transaksi politik tentang jabatan strategis jika menang: parpol ini mendapat apa, kader parpol itu ditempatkan di kursi jabatan apa.
Usai pileg masih ada pilpres. Koalisi yang kuat dibangun dan disepakati untuk memenangkan pilpres. Kita semua telah sama-sama maklum, bahwa ada dua koalisi besar yang menghasilkan dua pasangan Capres-Cawapres dalam Pilpres 2014, yakni koalisi pimpinan PDIP yang mengusung Jokowi-JK, dan koalisi Merah-Putih pimpinan Gerindra yang mengusung Prabowo-Hatta Rajasa.
ARB, Muhaimin, Surya Paloh, SDA, Wiranto, Sutiyoso, dan Megawati memang tidak akan duduk di kursi RI-1 dan RI-2, tetapi bukan mustahil ambisi berkuasa masih bisa disalurkan melalui kekuasaan dengan menduduki jabatan strategis di bawahnya, seperti Menko, Menteri, Kepala BIN, Jaksa Agung, Gubernur BI, Wakil Menteri (Wamen), atau Kepala Badan yang berada langsung di bawah Presiden.
Bukan hanya sang Ketum parpol sendiri yang kebelet jabatan strategis setingkat Menteri, para kader pun diajak/diusulkan kepada pemimpin koalisi yang menjadi pemenang Pilpres agar diberi jabatan strategis pula.
Contoh:
Tengok saja sejarah pemerintahan SBY periode II dengan Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II-nya.
SBY sendiri menempatkan Andi Mallarangeng sebagai Menpora. Gamawan Fauzi sebagai Mendagri, dan Syarif Hassan sebagai Menhut. ARB direstui SBY mengajak konconya, Agung Laksono menjadi Menko Kesra, SDA yang dapat kursi Menag mengajak Suharso Monoarfa dan didudukkan menjadi Menteri Perumahan Rakyat, Tifatul Sembiring yang sudah dapat kapling Menkoinfo mengajak Suswono menjadi Mentan, Muhaimin masih kebagian untuk dirinya sendiri sebagai Menaker, Hatta Rajasa mengajak Zulkifli Helmi Hasan sebagai Menteri Daerah Tertinggal.
Begitulah berkah politik (kekuasaan tentunya) bagi Ketum parpol yang berkoalisi yang memenangkan pilpres dan mendudukkan Capresnya sebagai RI-1.


Politik itu memegang kekuasaan dan bagi-bagi kekuasaan
Dalam ajaran Islam, kekuasaan itu harus didapat karena kekuasaan itu adalah alat (bukan tujuan) untuk mencapai cita-cita, yakni kemaslahatan umat. istilah kemaslahatan umat itu tercantum jelas dalam Pancasila sebagai dasar negara sekaligus sebagai tujuan NKRI dibentuk dan UUD 1945 dan amandemennya.
Ambisi berkuasa dan memegang, melaksanakan, dan mengendalikan kekuasaan itu adalah sunnatullah bagi seluruh manusia tanpa kecuali. Hanya politikus idiot yang tidak punya ambisi berkuasa.
Analogi yang paling pas adalah permainan sepakbola.
Pemain (11 orang; starter eleven) yang boleh turun ke lapangan adalah pemain yang telah direstui dan ditunjuk oleh pelatih. Selebihnya harus menunggu di bench sambil berharap-harap disuruh turun untuk menggantikan pemain yang letih atau cedera.
Pemain berjuang keras agar mendapatkan bola, berlari ke depan, ke samping, atau bahkan mundur, atau merebut bola dari pemain lawan.
Mereka tentu letih, terengah-engah, beradu fisik, terjatuh, dan sering menderita cedera serius.
Ketika bola berhasil didapat dan dalam penguasaan kedua kaki, tetapi tidak berlama-lama menguasai bola, mereka berpikir keras bagaimana cara mempertahankan bola dari rebutan pemain lawan, cara mengecoh lawan, mengoper bola yang berada dalam penguasaan kepada teman lain, atau menendang ke arah jala lawan untuk menghasilkan gol. Tujuan akhir seorang pemain, khususnya striker, adalah mencetak gol dan lebih jelasnya mencetak tiga angka bagi tim.
Sungguh senang hati seorang pemain dapat mencetak gol. Bukan dia saja yang bergembira-ria, tetapi juga teman-temannya, pelatihnya, dan fansnya.
Makin bagus bermain, makin banyak memberi assist, dan apa lagi makin subur membuat gol, makin diminati oleh siapa pun, dibeli, dikontrak dengan bayaran mahal, dan tentu saja gaji bulanannya naik berlipat ganda banyaknya. Penghargaan sebagai pencetak gol terbanyak atau pemain terbaik bisa disabet.
Christiano Ronaldo (CR-7), Lionel Messy, Neymar Jr., dan Gareth Bale adalah contoh pemain sepak bola profesional dengan bayaran amat mahal.
Haram pemain sepak bola memainkan sepak bola gajah atau bermain sabun. Bagi pemain yang berani bermain sepak bola gajah atau bermain sabun, hukuman dari pelatih, klub, dan fans siap menanti. Belum lagi sanksi dari otoritas sepakbola.
Ketum parpol itu, dalam perpolitikan yang digelutinya, seharusnya bisa meniru akhlak pemain sepak bola  ketika bermain/bertanding di lapangan.
Ketum Parpol yang berpolitik dan punya kekuasaan, berakhlak mulia, akhlak agung, jujur, santun, dan elegan, maka dia adalah pengawal parpol sekaligus pengawal amanat rakyat.

Jika Ketum parpol lupa daratan = tragedi bagi partai
Pemain sepak bola yang unfair play, suka diving yang menipu, bermain sepak bola gajah, dan bermain sabun, maka resikonya adalah, dia tidak/jarang dipasang dalam pertandingan, tidak mendapat tempat dalam tim, dibangkucadangkan, dimandulkan kemampuan terbaiknya, dicaci-maki para fans, merugikan klub, kemudian dilego dengan harga murah, dan tamatlah kariernya.
Begitulah analogi pemain sepak bola untuk Ketum parpol.
Ketum parpol itu memang manusia biasa. Yang namanya manusia, sifat lupa dan khilaf adalah biasa. Lupa dan khilaf itu alamiah adanya. Apa lagi setan/iblis tidak pernah tidur sepicing pun demi menarik teman berkoalisi bermaksiat di dunia menuju neraka sebagai terminal akhir iblis dan teman-temannya dari golongan manusia. Akan tetapi kalau Ketum Parpol itu  bukan sekedar lupa, melainkan lupa daratan, maka tamatlah riwayat dan karier politiknya.
Memang ada ya, Ketum Parpol yang lupa daratan?
Luthfi Hasan Ishaq (LHI) adalah Presiden PKS, jabatan struktural tertinggi di tubuh PKS yang sebelumnya terkenal sebagai parpol bersih dan jujur. Para kader PKS di DPR dan pejabat tinggi di daerah (gubernur/wakil gubernur, Bupati/Wakil Bupati, Walikota/Wakil Walikota dari PKS) dan para Menteri atau pejabat kementerian terkait, sangat hormat dan sungkan kepada LHI karena kekuasaan yang ada dalam genggamannya.
Sayang sekali, syahwat politik yang kuat bertahta beriringan dengan nafsu syahwat terhadap harta (uang) dan wanita.
LHI bermain suap kuota daging sapi impor. Dia ketanggor menerima suap oleh OTT KPK. Suap-menyuap adalah bentuk kejahatan yang bernama korupsi, dan korupsi digolongkan sebagai extra-ordinary crime atau kejahatan keji. LHI sekarang sudah menjadi seorang napi.
PKS mengalami tragedi, elektabilitas PKS anjlog. Nila setitik rusak susu sebelanga.
Anas Urbaningrum adalah Ketum Partai Demokrat. Dia terlibat kasus Hambalang dan ditengarai melakukan praktik korupsi, penimbunan harta karun, dan pencucian uang. Dia pun harus menanggung perbuatannya. Dia dijadikan tersangka oleh KPK dan sedang diadili di Pengadilan Tipikor. Anas sang Ketum Demokrat yang muda dan kesohor kini berjalan tertatih-tatih laiknya orang yang berkaki pengkor.
Ulah Anas sebagai Ketum Demokrat adalah tragedi bagi Demokrat.
Terakhir, SDA, sang Ketum PPP, yang menjabat sebagai Menag,dalam beberapa hari terakhir, hatinya sangat galau dan pikirannya pasti kacau. Betapa tidak! SDA yang baru saja bereforia mengekspresikan rasa sukanya karena birahi politiknya bisa berkoalisi dengan Gerindra dengan Prabowo-nya sesuai dengan yang dia maui, harus menelan pil pahit yang dia tidak sangka sama sekali. Tubuhnya lemas bagaikan disambar geledek tatkala dirinya telah dijadikan status tersangka oleh KPK. Dugaan kuat, SDA menilep dana ONH tahun 2011/2012. Tidak sampai satu minggu usai ditetapkan sebagai tersangka korupsi, SDA pun harus mengembalikan mandat sebagai Menag, dan kepercayaan Presiden kepada pemberi mandat, Presiden RI.
SDA harus merelakan kehilangan jabatan prestisius sebagai Menag, dan dalam waktu yang tidak terlalu lama, dia harus rela pula bakal kehilangan jabatan tertinggi dalam parpol yang sekarang dipimpinnya, Ketum PPP. Dia tinggal menghitung hari.
Ulah SDA bakal berdampak kepada PPP pastinya.
Ironis memang!
Jakarta, 28 Mei 2014


Tidak ada komentar:

Posting Komentar