SURYADHARMA ALI (SDA)
DIJADIKAN TESANGKA DAN
CHRISTIANO RONALDO
(CR-7) DIBERI PENGHARGAAN
(Korelasi Ketua Umum Parpol Dan
Pemain Sepak Bola)
Ketua Umum Parpol
Apa
sih tujuan seseorang mendirikan partai politik (parpol) di negara demokrasi pada
era kebebasan berdemokrasi?
Kekuasaan,
itulah jawabannya. Kekuasaan yang tertinggi di sebuah negara, menjadi seorang
Presiden atau Kepala Pemerintahan. Itulah klimaks ambisi mulia yang ingin
diraih. Memegang tampuk kekuasaan itu adalah kebutuhan tertinggi bagi manusia.
Meminjam teori Abraham G. Maslow, The
Chierarchy of Needs, dia menyebutnya dengan Actualization need.
Kekuasaan
pertama yang wajib diraih dan digenggam seseorang mendirikan parpol pastilah
menjadi Ketua Umum (Ketum), Presiden Partai, atau sebagai Ketua Dewan Pembina
parpol.
Sejak
era reformasi yang ditandai dengan tumbangnya rezim otoriter Orde Baru di bawah
kekuasaan Pak Harto (1967-1998), orang-orang bereforia (euphoria) dengan kebebasan. Mereka bebas berekspresi dengan
kebebasan mengeluarkan pernyataan, pendapat, bersikap kritis, dan
bertingkah-polah seperti berdemonstrasi atau berunjuk rasa. Eranya diberi
julukan era reformasi.
Salah
satu bentuk yang paling nyata adalah geliat berdemokrasi dalam kebebasan media
massa berekspresi secara luas, terbuka, dan bertanggung jawab. Khususnya
bersuara menggemakan kebebasan rakyat berpolitik. Para pemilik media atau
Pemimpin Redaksi media massa bernapas lega. Mereka tidak lagi takut medianya dibredel,
pemimpin redaksi ditangkap, diamankan, atau di-Petrus-kan.
Kita
hidup berdemokrasi ala demokrasi Orde Baru hanya boleh terbatas tiga kekuatan
politik parpol. Parpol yang boleh hidup hanya ada dua parpol, Partai Persatuan
Pembangunan (PPP) dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI), ditambah dengan Golkar
yang sangat kuat hegemonitasnya (Sekber Golkar; emoh disebut parpol).
Undang-Undang dan peraturan perundang-undangan era Orde Baru hanya mengizinkan
tiga parpol yang boleh hidup dan rakyat Indonesia yang 135 juta jiwa (menurut
Rhoma Irama, 1977) harus dan wajib tunduk dan taat tanpa reserve. Lebih tepat lagi, rakyat harus mencoblos tanda gambar
Pohon Beringin Rindang empunya Golkar (baca sejarah Pemilu 1977, 1982, 1987,
1992, dan 1997). PPP dan PDI harus puas dan bersyukur kepada Pak Harto karena
masih diberikan kesempatan untuk hidup, paling tidak agar RI itu dipandang oleh
dunia luar adalah tetap sebuah negara demokrasi.
Demokrasi
yang sebenarnya tumbuh pada era reformasi dan demokrasi lipstick ala Orde Baru musnah sudah. Konstelasi jagat perpolitikan
di Indonesia berubah drastis. PDI yang masih bergelimang darah pertarungan
internal antara kubu Suryadi dengan Megawati (Peristiwa Kudatuli, 27 Juli 1996,
di Jln. Diponegoro 27, Menteng, Jakpus; markas PDI), berubah wujud lambing dan
nama menjadi PDI Perjuangan (PDIP). Megawati pun naik tahta menjadi petinggi
pucuk pimpinan sebagai Ketum PDIP. Suryadi dengan PDI-nya pun tergusur dan
terkubur.
Sekber
Golkar yang paling kuat karena kuatnya Pak Harto, begitu Pak Harto mundur lengser keprabon, ikut tergusur,
tersuruk, dan remuk-redam, diumpat dan dicaci-maki karena berdosa besar
terhadap rakyat. Petinggi Sekber Golkar, walau harus mengurut dada menanggung
duka, masih memiliki jiwa besar dan tetap kepala tegak. Mereka harus
mereformasi diri seiring dengan dinamika reformasi rakyat. Mereka pun berubah
wujud dari Sekber Golkar menjadi Partai Golkar. Pohon beringan rindang yang
angker berubah indah menjadi pohon beringin rindang yang moncer.
Lihatlah
catatan sejarah reformasi yang lahir pada pertengahan Mei 1998.
PPP
pasca-Jailani Naro (John Naro) mulai berdandan sejak era Ketumnya Ismail Hasan
Metareum.
Mohammad
Amien Rais, Bapak Reformasi, mendirikan sebuah parpol bernama Partai Amanat
Nasional (PAN) dan kemudian langsung menjadi Ketum PAN. Massa konstituennya
kebanyakan adalah warga Muhammadiyah.
Abdurrahman
Wahid (Gus Dur) mendirikan sebuah parpol Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan
langsung menjadi pemimpin tertinggi setara Ketum. Massa konstituennya pasti
kaum Nahdhiyyin (NU).
Adik
kandung Gus Dur, Sholehuddin Wahid (Gus Sholah), bergandengan tangan dengan
K.H. Yusuf Hasyim, membesut Partai Kebangkitan Nahdhatul Ummat (PKNU).
Yustil
Ihza Mahendra pun tak ingin ketinggalan kereta. Dia mendirikan parpol yang
diberi nama Partai Bulan Bintang (PBB) yang konon adalah reinkarnasi partai
Masyumi.
Berikutnya,
menyusul Nur Mahmudi Ismail dkk mendirikan parpol yang bernama Partai Keadilan
(PK) yang berganti nama lagi menjadi Partai Keadilan Sejahtera (PKS).
Susilo
Bambang Yudhoyono (SBY), jenderal (teraniaya), tidak lantas kalah langkah
dengan teman-teman yang lain. SBY yang Jenderal Purnawirawan pun mendirikan
parpol, namanya Partai Demokrat (Demokrat).
Prabowo
Subiyanto yang punya karien militer bagus, usai dicopot dari militer,
menggeluti dunia bisnis, mengikuti jejak seniornya, SBY, untuk terjun ke
panggung politik. Prabowo pun membesut Partai Gerindra.
Wiranto,
mantan Pangab kesayangan Pak Harto, melihat keberhasilan SBY berpolitik karena
punya kendaraan politik, usai diberhentikan oleh Gus Dur dari kursi
Menhankam/Pangab, ikut-ikutan pula membesut
parpol, namanya Partai Hanura.
Eh,
ehh, masih ada lagi mantan jenderal, mantan Gubernur DKI Jakarta, tak ingin
pula ketinggalan kereta. Dialah Sutiyoso, yang membesut PKPI.
Masih
banyak pula tokoh, setengah tokoh, atau badut-badut politik yang ingin pula
membesut parpol demi meraih kekuasaan. Sebutlah misalnya Sri Bintang Pamungkas,
Prof. Riyaas Rasyid, dan juga Mukhtar Pakpahan. Konstituennya hanya ratusan
orang saja. Kacian deh!
Terakhir,
Surya Paloh, setelah keok dari kompetisi merebut jabatan Ketum Partai Golkar
dua kali berturut-turut, keluar dari Partai Gokar, membentuk sebuah Ormas
Nasdem pada awalnya, kemudian mengubah ormas itu menjadi parpol dan membesut
parpol baru, namanya Partai Nasdem.
Obsesi Ketum Parpol
itu adalah meraih kekuasaan
Politikus
membesut parpol ujung obsesinya adalah meraih kekuasaan. Itu sah-sah saja.
Ajaran
agama (Islam), kekuasaan itu menjadi sangat dianjurkan karena memegang
kekuasaan itu menjadi penting sekali untuk kemaslahatan umat manusia (dari unit
terkecil keluarga dan unit terbesar adalah negara). Perintah Allah sangat
terang-benderang dan contoh keteladanan Nabi saw benar-benar tampak wujudnya (silakan
baca buku sejarah dan tarikh), bahwa kekuasaan itu adalah alat/media (tools) meraih kemaslahatan umat manusia.
Kekuasaan itu menjadi indah di dalam pandangan mata Allah dan mata manusia.
Akan
tetapi, janganlah kita lupa. Meraih kekuasaan, melaksanakan amanat kekuasaan, mengendalikan
kekuasaan, dan mencapai terminal akhir, yakni kemaslahatan umat manusia itu
haruslah dengan akhlak yang baik (berakhlak mulia). Metode/cara, strategi, dan
taktik untuk mengimplementasi kekuasaan itu diwujudkan dengan berakhlak,
berfatsun, dan elegan. Koridor regulasi perundang-undangan menjadi pegangan
bagi para pelaku politik (politikus) agar kelak politikus tidak akan berubah
menjadi tikus.
Terminal akhir
seorang politikus adalah Presiden atau Perdana Menteri
Presiden
adalah penguasa tertinggi yang berkuasa penuh di negara yang menganut demokrasi
dengan sistem demokrasi presidensial.
Perdana
Menteri adalah penguasa tertinggi yang berkuasa penuh di negara yang menganut
demokrasi dengan sistem demokrasi parlementer.
Politikus
di Inggris, Australia, Canada, India, atau Thailand pasti bercita-cita dan
berambisi ingin menjadi Perdana Menteri.
Poltikus
di AS, Mesir, Iran, atau Iraq cita-citanya pasti ingin menjadi Presiden.
NKRI,
seperti juga AS, Mesir, atau Iraq, negara kita menganut sistem presidensial.
Dengan demikian, cita-cita tertinggi yang ingin diraih seorang politikus di
Indonesia ini adalah menjadi presiden, ya, Presiden RI atau RI-1.
Sebelum
sampai ke jenjang politik tertinggi itu, sebagai Presiden RI, politikus harus
punya parpol sebagai kendaraan politik. Akan tetapi punya parpol tetapi hanya
sebagai kader biasa belumlah cukup. Politikus itu harus terlebih dahulu
membesut parpol dan harus menjabat sebagai Ketum parpol itu, atau istilah lain
yang mempunyai kekuasaan yang sama dengan Ketum. Misalnya jabatan sebagai Ketua
Dewan Pembina atau Presiden parpol.
Maka
dapatlah ditebak isi benak seorang Gus Dur, seorang M. Amien Rais, Megawati,
SBY, Prabowo, Wiranto, Sutiyoso, atau Surya Paloh sang pembesut parpol.
Dapat
ditebak juga isi benak para politikus generasi berikutnya yang menggantikan
tokoh-tokoh politik sebelumnya sebagai Ketum parpol. Sorang Muhaimin Iskandar,
Suryadharma Ali, MS Kaban, ARB, dan juga Anis Matta pasti sama saja obsesi
besarnya, berambisi menjadi RI-1.
Keren
dan prestisius banget gitu loh!
Pilpres 2014
Semua
parpol pun punya jago yang akan digadang-gadang dan diusung sebagai Capres atau
Cawapres. Pastilah capresnya adalah sang Ketum, kecuali Demokrat dan PDIP tentunya.
Sang Ketum Demokrat, SBY, sudah menjadi RI-1 dua periode, dan pasti tidak boleh
di-Presiden-kan untuk ketiga kalinya. Konstitusi mengharamkan.
Akan
halnya Megawati yang Ketum PDIP, bukan tidak punya hasrat dan birahi politik
untuk menjadi RI-1 yang kedua kali, melainkan karena beberapa faktor: sudah
pernah menjadi orang nomor 1 di Indonesia (2001-2004); sudah cukup sepuh;
elektabilitas rendah dan kurang laku lagi untuk dijual; negarawan yang tahu
diri; menghilangkan kesan sumbang bahwa PDIP itu identik dengan trah Soekarno;
memberdayakan kader potensial dan menjanjikan seperti yang ada pada sosok
Jokowi.
PPP
punya Capres SDA. PKB punya Capres Muhaimin, PKS punya Anis Matta, Golkar punya
ARB, PBB punya Yusril, Hanura punya Wiranto, Nasdem punya Surya Paloh, PAN punya
Hatta Rajasa, Gerindra tentu Prabowo, dan PKPI pastilah Sutiyoso.
Berhasilkah
mereka?
Namanya
juga calon atau bakal atau kandidat.
Bisa
iya, bisa juga tidak! Bisa berhasil bisa juga gagal!
Dari
semua politikus petinggi parpol tersebut, Capres yang bakal jadi Presiden cuma
seorang saja.
RI-1
cuma satu orang aja! Meski begitu, masih ada satu orang lagi untuk jabatan
RI-2.
Ya,
lagi-lagi cuma dua orang saja dari puluhan tokoh dan politikus moncer yang ada.
Cara
elegan yang ditempuh adalah berkompetisi secara sehat. Politikus itu ada di
rumah besar yang namanya parpol. Para politikus di dalam rumah besar parpol
harus berkompetisi dalam adu hebat program yang merakyat. Maka lihatlah apa
yang dilakukan oleh politikus atau birokrat yang kebelet menjadi politikus ikut
konvensi Capres di Demokrat. Siapa tahu Dewi Fortuna dan nasib baik berpihak
kepadanya.
Setelah
hasil sah Pileg 2014 diketahui, ternyata tidak ada satu pun parpol dari 12
parpol peserta pileg yang mampu meraih suara yang signifikan yang kemudian bisa
leluasa mendudukkan kader-kadernya di kursi DPR. Angka ambang presidential threshold 25% suara sah dan
20% dari kursi parlemen tak mampu dicapai.
Para
politikus yang menjabat Ketum parpol masih bisa bersaing “menjual” parpolnya
melalui ajang pileg dan pilpres. Rakyatlah, sang pemilik republik ini, menilai
laik tidaknya politikus mendapat kepercayaan rakyat menduduki jabatan penting.
Pileg
2014 telah berlalu. Nasib parpol ada yang bagus, yang lumayan, kurang bagus,
sampai nasib kartu jeblok pun sudah kita ketahui. Ada tiga parpol besar: PDIP,
Golkar, dan Gerindra yang bernasib bagus. Ada empat parpol medioker: Demokrat,
PKB, PAN, dan PKS. Ada tiga parpol lumayan: PPP, Nasdem, dan Hanura. Terakhir,
ada dua parpol gurem yang bernasib jeblok: PKPI dan PBB. Tak satu pun kader
dari kedua parpol ini yang bisa didudukkan di DPR.
Mimpi,
obsesi, dan ambisi SDA, Muhaimin, Kampiun Konvensi Demokrat Dahlan Iskan, Anis
Matta, Hatta Rajasa, Wiranto, dan Sutiyoso untuk diusung sebagai Capres harus
dikubur dalam-dalam untuk periode 2014-2019. Yang dadanya agak sesak pastilah
Dahlan Iskan. Dia adalah pemenang Konvensi Capres Demokrat, tetapi tidak ada
satu pun pimpinan parpol meliriknya.
Mereka
tidak perlu malu bersenandung lagu berirama melayu yang berjudul Kecewa. Lagu Kecewa ini dipopulerkan
oleh Ratu Orkes Melayu tahun 60-an, Juhana Satar. Penggalan syairnya sebagai
berikut:
Hasrat
di hati/
Mencapai bintang yang tinggi/
Sungguh kecewa/
Tak tercapai cita-cita/
…………………… dst.
Capres
yang masih punya peluang untuk diusung tinggal tiga orang: Jokowi, Prabowo
Subianto, dan ARB.
Ambisi
berkuasa (sah-sah saja) para Ketum parpol meski gagal diusung sebagai Capres belum
berhenti. Syahwat politik harus tetap disalurkan sesuai dengan amanat
konstitusi dan mandat partai masing-masing. Masih ada jalan, yakni membangun
koalisi. Petinggi ketiga parpol pemenang Pileg 2014: ARB, Megawati, dan Prabowo
harus disambangi untuk diajak berkoalisi, baik koalisi di DPR maupun koalisi
dalam pemerintahan.
Teman
koalisi pun dicari yang memiliki visi, misi, platform, dan program yang searah.
Kesepakatan yang masih dirahasiakan untuk publik adalah transaksi politik
tentang jabatan strategis jika menang: parpol ini mendapat apa, kader parpol
itu ditempatkan di kursi jabatan apa.
Usai
pileg masih ada pilpres. Koalisi yang kuat dibangun dan disepakati untuk
memenangkan pilpres. Kita semua telah sama-sama maklum, bahwa ada dua koalisi
besar yang menghasilkan dua pasangan Capres-Cawapres dalam Pilpres 2014, yakni
koalisi pimpinan PDIP yang mengusung Jokowi-JK, dan koalisi Merah-Putih
pimpinan Gerindra yang mengusung Prabowo-Hatta Rajasa.
ARB,
Muhaimin, Surya Paloh, SDA, Wiranto, Sutiyoso, dan Megawati memang tidak akan
duduk di kursi RI-1 dan RI-2, tetapi bukan mustahil ambisi berkuasa masih bisa
disalurkan melalui kekuasaan dengan menduduki jabatan strategis di bawahnya,
seperti Menko, Menteri, Kepala BIN, Jaksa Agung, Gubernur BI, Wakil Menteri
(Wamen), atau Kepala Badan yang berada langsung di bawah Presiden.
Bukan
hanya sang Ketum parpol sendiri yang kebelet jabatan strategis setingkat
Menteri, para kader pun diajak/diusulkan kepada pemimpin koalisi yang menjadi
pemenang Pilpres agar diberi jabatan strategis pula.
Contoh:
Tengok
saja sejarah pemerintahan SBY periode II dengan Kabinet Indonesia Bersatu Jilid
II-nya.
SBY
sendiri menempatkan Andi Mallarangeng sebagai Menpora. Gamawan Fauzi sebagai
Mendagri, dan Syarif Hassan sebagai Menhut. ARB direstui SBY mengajak konconya,
Agung Laksono menjadi Menko Kesra, SDA yang dapat kursi Menag mengajak Suharso
Monoarfa dan didudukkan menjadi Menteri Perumahan Rakyat, Tifatul Sembiring yang
sudah dapat kapling Menkoinfo mengajak Suswono menjadi Mentan, Muhaimin masih
kebagian untuk dirinya sendiri sebagai Menaker, Hatta Rajasa mengajak Zulkifli
Helmi Hasan sebagai Menteri Daerah Tertinggal.
Begitulah
berkah politik (kekuasaan tentunya) bagi Ketum parpol yang berkoalisi yang
memenangkan pilpres dan mendudukkan Capresnya sebagai RI-1.
Politik itu memegang
kekuasaan dan bagi-bagi kekuasaan
Dalam
ajaran Islam, kekuasaan itu harus didapat karena kekuasaan itu adalah alat
(bukan tujuan) untuk mencapai cita-cita, yakni kemaslahatan umat. istilah
kemaslahatan umat itu tercantum jelas dalam Pancasila sebagai dasar negara sekaligus
sebagai tujuan NKRI dibentuk dan UUD 1945 dan amandemennya.
Ambisi
berkuasa dan memegang, melaksanakan, dan mengendalikan kekuasaan itu adalah
sunnatullah bagi seluruh manusia tanpa kecuali. Hanya politikus idiot yang
tidak punya ambisi berkuasa.
Analogi
yang paling pas adalah permainan sepakbola.
Pemain
(11 orang; starter eleven) yang boleh
turun ke lapangan adalah pemain yang telah direstui dan ditunjuk oleh pelatih.
Selebihnya harus menunggu di bench
sambil berharap-harap disuruh turun untuk menggantikan pemain yang letih atau
cedera.
Pemain
berjuang keras agar mendapatkan bola, berlari ke depan, ke samping, atau bahkan
mundur, atau merebut bola dari pemain lawan.
Mereka
tentu letih, terengah-engah, beradu fisik, terjatuh, dan sering menderita cedera
serius.
Ketika
bola berhasil didapat dan dalam penguasaan kedua kaki, tetapi tidak
berlama-lama menguasai bola, mereka berpikir keras bagaimana cara
mempertahankan bola dari rebutan pemain lawan, cara mengecoh lawan, mengoper
bola yang berada dalam penguasaan kepada teman lain, atau menendang ke arah
jala lawan untuk menghasilkan gol. Tujuan akhir seorang pemain, khususnya
striker, adalah mencetak gol dan lebih jelasnya mencetak tiga angka bagi tim.
Sungguh
senang hati seorang pemain dapat mencetak gol. Bukan dia saja yang
bergembira-ria, tetapi juga teman-temannya, pelatihnya, dan fansnya.
Makin
bagus bermain, makin banyak memberi assist,
dan apa lagi makin subur membuat gol, makin diminati oleh siapa pun, dibeli,
dikontrak dengan bayaran mahal, dan tentu saja gaji bulanannya naik berlipat
ganda banyaknya. Penghargaan sebagai pencetak gol terbanyak atau pemain terbaik
bisa disabet.
Christiano
Ronaldo (CR-7), Lionel Messy, Neymar Jr., dan Gareth Bale adalah contoh pemain
sepak bola profesional dengan bayaran amat mahal.
Haram
pemain sepak bola memainkan sepak bola gajah atau bermain sabun. Bagi pemain
yang berani bermain sepak bola gajah atau bermain sabun, hukuman dari pelatih,
klub, dan fans siap menanti. Belum lagi sanksi dari otoritas sepakbola.
Ketum
parpol itu, dalam perpolitikan yang digelutinya, seharusnya bisa meniru akhlak
pemain sepak bola ketika
bermain/bertanding di lapangan.
Ketum
Parpol yang berpolitik dan punya kekuasaan, berakhlak mulia, akhlak agung,
jujur, santun, dan elegan, maka dia adalah pengawal parpol sekaligus pengawal amanat
rakyat.
Jika Ketum parpol
lupa daratan = tragedi bagi partai
Pemain
sepak bola yang unfair play, suka diving yang menipu, bermain sepak bola
gajah, dan bermain sabun, maka resikonya adalah, dia tidak/jarang dipasang
dalam pertandingan, tidak mendapat tempat dalam tim, dibangkucadangkan,
dimandulkan kemampuan terbaiknya, dicaci-maki para fans, merugikan klub,
kemudian dilego dengan harga murah, dan tamatlah kariernya.
Begitulah
analogi pemain sepak bola untuk Ketum parpol.
Ketum
parpol itu memang manusia biasa. Yang namanya manusia, sifat lupa dan khilaf
adalah biasa. Lupa dan khilaf itu alamiah adanya. Apa lagi setan/iblis tidak
pernah tidur sepicing pun demi menarik teman berkoalisi bermaksiat di dunia menuju
neraka sebagai terminal akhir iblis dan teman-temannya dari golongan manusia.
Akan tetapi kalau Ketum Parpol itu bukan
sekedar lupa, melainkan lupa daratan, maka tamatlah riwayat dan karier
politiknya.
Memang
ada ya, Ketum Parpol yang lupa daratan?
Luthfi
Hasan Ishaq (LHI) adalah Presiden PKS, jabatan struktural tertinggi di tubuh
PKS yang sebelumnya terkenal sebagai parpol bersih dan jujur. Para kader PKS di
DPR dan pejabat tinggi di daerah (gubernur/wakil gubernur, Bupati/Wakil Bupati,
Walikota/Wakil Walikota dari PKS) dan para Menteri atau pejabat kementerian
terkait, sangat hormat dan sungkan kepada LHI karena kekuasaan yang ada dalam
genggamannya.
Sayang
sekali, syahwat politik yang kuat bertahta beriringan dengan nafsu syahwat
terhadap harta (uang) dan wanita.
LHI
bermain suap kuota daging sapi impor. Dia ketanggor menerima suap oleh OTT KPK.
Suap-menyuap adalah bentuk kejahatan yang bernama korupsi, dan korupsi digolongkan
sebagai extra-ordinary crime atau
kejahatan keji. LHI sekarang sudah menjadi seorang napi.
PKS
mengalami tragedi, elektabilitas PKS anjlog. Nila setitik rusak susu sebelanga.
Anas
Urbaningrum adalah Ketum Partai Demokrat. Dia terlibat kasus Hambalang dan
ditengarai melakukan praktik korupsi, penimbunan harta karun, dan pencucian
uang. Dia pun harus menanggung perbuatannya. Dia dijadikan tersangka oleh KPK
dan sedang diadili di Pengadilan Tipikor. Anas sang Ketum Demokrat yang muda
dan kesohor kini berjalan tertatih-tatih laiknya orang yang berkaki pengkor.
Ulah
Anas sebagai Ketum Demokrat adalah tragedi bagi Demokrat.
Terakhir,
SDA, sang Ketum PPP, yang menjabat sebagai Menag,dalam beberapa hari terakhir,
hatinya sangat galau dan pikirannya pasti kacau. Betapa tidak! SDA yang baru
saja bereforia mengekspresikan rasa sukanya karena birahi politiknya bisa
berkoalisi dengan Gerindra dengan Prabowo-nya sesuai dengan yang dia maui,
harus menelan pil pahit yang dia tidak sangka sama sekali. Tubuhnya lemas
bagaikan disambar geledek tatkala dirinya telah dijadikan status tersangka oleh
KPK. Dugaan kuat, SDA menilep dana ONH tahun 2011/2012. Tidak sampai satu
minggu usai ditetapkan sebagai tersangka korupsi, SDA pun harus mengembalikan
mandat sebagai Menag, dan kepercayaan Presiden kepada pemberi mandat, Presiden
RI.
SDA
harus merelakan kehilangan jabatan prestisius sebagai Menag, dan dalam waktu
yang tidak terlalu lama, dia harus rela pula bakal kehilangan jabatan tertinggi
dalam parpol yang sekarang dipimpinnya, Ketum PPP. Dia tinggal menghitung hari.
Ulah
SDA bakal berdampak kepada PPP pastinya.
Ironis
memang!
Jakarta,
28 Mei 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar