The Sudden Death, The
Real Battle, Jokowi-JK vs Prabowo-Hatta Rajasa: Si Kurus vs Si Gemuk
Akibat dari hasil
Pileg 2014: Berkoalisi adalah keharusan bagi Parpol
Cari teman untuk
sukacita
Lupakan
dulu semua duka dan luka ketika terjadi gawe nasional Pileg 2014 tanggal 9
April yang lalu untuk sementara waktu. Jadikan semua itu menjadi catatan untuk
perbaikan pada masa yang akan datang.
Gawe
nasional yang sangat penting untuk bangsa kita sekarang ini adalah
penyelenggaraan Pilpres 2014 yang akan berlangsung pada tanggal 9 Juli 2014
yang akan datang. Peristiwa yang terjadi pada tanggal tersebut, yakni peristiwa
pemilihan Capres/Cawapres untuk masa pemerintahan lima tahun ke depan
(2014-2019), akan menentukan nasib bangsa Indonesia selama lima tahun.
KPU
telah menetapkan secara resmi bahwa hanya ada sepuluh parpol yang bisa
melenggang dan menempati kursi di gedung DPR di Senayan. Perolehan kursi pun
sudah jelas untuk setiap parpol. PDIP sebagai pemenang Pileg tahun 2014 berhak
mendapatkan kursi sebanyak 109 kursi (18,95%), lalu di urutan kedua ada Golkar
dengan 97 kursi (14,75%), menyusul Gerindra di urutan ketiga dengan raihan 73
kursi (11,8 %). Kemudian parpol berikutnya secara berurutan adalah Demokrat 61 kursi (10,2%), PKB 49 kursi (9.04%), PAN 47
kursi (7,57%), PKS 40 kursi (6.79%), PPP 39 kursi (6,53%), Nasdem 35 kursi
(6,72%), dan Hanura di urutan buncit dengan raihan 16 kursi (5,26%). Partai
gurem PKPI besutan Sutiyoso dan PBB besutan Yusril Ihza Mahendra yang ikut
bertarung dalam Pileg 2014, benar-benar bernasib gurem karena keduanya tidak
bisa menempatkan kadernya meramaikan gedung DPR.
Hasil
raihan kursi masing-masing parpol yang seperti itu membuat setiap parpol tidak
mampu secara otomatis menjadikan kader terbaiknya untuk dijadikan Capres tanpa
melakukan koalisi dengan parpol lain, bahkan PDIP sebagai parpol pemenang pileg
kali ini. Persyaratan raihan kursi di DPR untuk dapat mencalonkan sendiri kader
terbaiknya adalah 25% untuk perolehan suara sah nasional dan 20% (112 kursi
dari 560 kursi) untuk DPR sebagai persyaratan presidential threshold.
Mau
tidak mau, semua parpol yang sudah punya jago untuk diusung menjadi Capres
harus melakukan koalisi untuk memenuhi persyaratan tersebut. PDIP (109 kursi) yang
menduduki peringkat pertama dalam pileg dan sudah punya jago untuk Capres,
Jokowi, harus cari teman koalisi. Begitu pun dengan Golkar yang punya jago ARB,
dan Gerindra yang punya jago Prabowo. Parpol medioker apa lagi. Hatta Rajasa,
Anis Matta, Muhaimin Iskandar, Surya Paloh, dan Wiranto hanya bisa bercita-cita
saja. Menjadi Capres sudah lebih dari cukup bagi mereka. Menjadi Presiden mah
jauh!
Tidaklah
aneh ketika kita melihat pemandangan terpampang di layar kaca tv, Jokowi,
Probowo, dan ARB berkeliling ke delapan penjuru mata angin, ke rumah para Ketua
Umum parpol lain, atau ke markas parpol lain. Kita menyaksikan Jokowi
menyambangi Surya Paloh, Prabowo saling sambang dengan ARB, naik helikopter
atau menunggang kuda, dan Prabowo menyambangi Anis Matta, SDA, dan lain
sebagainya.
Kok
jadi rajin bersilaturahim dan getap
banget berbalas kunjung? Ada apa?
Mereka
bicara dan mendiskusikan bisa tidaknya berkoalisi, dan yang jelas bukan koalisi
dagang sapi.
The Sudden Death, The Real Battle, Jokowi-JK vs Prabowo-Hatta Rajasa: Si Kurus vs Si Gemuk
“Terlalu!” keluh
Rhoma Irama yang punya “Rhoma Effect”
Ikan
sepat ikan gabus, lebih cepat lebih bagus
Kata
para Ketua Umum parpol medioker seperti PKB, Demokrat, PAN, PKS, dan PPP, atau
parpol urutan buncit seperti Nasdem, Hanura, PKPI, dan PBB, kira-kira dialognya
seperti berikut ini.
“Siap-siaplah,
lebih cepat kita merapat , kita pasti dapat!” kata Surya Paloh sang Capres dari
Nasdem.
“Ke
PDIP kan, Bos?” tanya Capella sang Sekretaris Umum Nasdem.
“Ya,
Nasdem pasti ke PDIP. Kita kan punya platform, visi, dan misi yang sama dengan
PDIP.”
Imbuh Surya Paloh dengan tegas.
Surya
Paloh memang reaktif terhadap PDIP dan Jokowi. Dia tahu diri rupanya.
“Jokowi
lah yaw! No transactional bargaining but
political bargaining. Kita ikutin
Jokowi!”
kata
Surya Paloh yang terbiasa berlogat Betawi khusus untuk kata kerja (verba)
dengan menambah akhiran -in.
(mengikutin, melemparin, menandain,
mendandanin, jadiin, dst.)
“Rapatkan
barisan, kita segera merapat ke PDIP!” perintah Muhaimin (Cak Imin) kepada para
kader PKB.
“Sudah
minta restu para kiaikah, Cak Imin? Bagaimana dengan Pak Mahfud MD dan Bang
Haji Rhoma Irama?” tanya seorang kader.
“Pileg
dan hasilnya sudah berlalu. Minta restu kepada para kiai sudah. Pak Mahfud MD dan
Bang Haji Rhoma Irama adalah masa lalu sudah!” jawab Muhaimin santai.
Muhaimin
pantas membusungkan dada dengan perasaan bangga. Raihan suara PKB meningkat
signifikan. Mahfud MD dan Rhoma Irama digadang-gadangnya sebagai Capres PKB
demi meraih suara, dia memanfaatkan figur Mahfud MD dan Rhoma Irama untuk
“dijual” dalam pileg dan memang nama keduanya “laku” keras.
Setelah
pengumuman resmi dari KPU tentang perolehan suara untuk PKB, Mahfud MD dan
Rhoma Irama dimasukkan ke dalam kotak karena lakon keduanya sudah tidak
dibutuhkan lagi. Kelakuan Muhaimin persis kelakuan dalang wayang golek atau
wayang kulit memperlakukan wayang-wayangnya.
Terbetik
berita, Muhaimin sendiri yang ngebet menjadi Capres atau Cawapres. Dia rajin
merapat ke Megawati dan Jokowi dan getap/getol meminta PKB diajak koalisi.
“Tidak
ada kawan dan lawan yang abadi dalam politik, yang abadi adalah kepentingan!”
sanggah Muhaimin tatkala dikritik.
Mahfud
MD dan Rhoma irama menampakkan ekspresi kecewa menyaksikan tingkah laku
Muhaimin.
“Terlalu!”
keluh Rhoma Irama dengan nada kecewa.
Rhoma
Irama pun bersenandung dengan sebagi lagu ciptaannya sendiri. Judulnya, Sahabat. Dia menyindir Muhaimin dan
kader PKB yang mengabaikan “Rhoma effect”
ibarat pepatah “kacang lupa kulitnya”.
Mencari
teman memang mudah/
Pabila untuk teman suka/
Mencari teman tidak mudah/
Pabila untuk teman susah/
Lain
Surya Paloh, lain Muhaimin, lain pula Hatta Rajasa.
“Siap-siaplah,
kita bakal kedatangan tamu penting, tamu dari Gerindra, Golkar, dan PDIP.” kata
Hatta Rajasa kepada para kader yang selalu berada di sekelilingnya.
“Dari
sosok ARB, Prabowo, atau Jokowi, kira-kira siapa yang kita terima, Pak!” Tanya
Desy Ratnasari, kader militan PAN yang juga seorang selebritas beken.
“Prabowo
pasti! Dia sosok hebat, berwawasan luas, dan sikapnya tegas!” jawab Hatta
Rajasa dengan tegas.
“Mantap!”
teriak Desy Ratnasari sambil mengacungkan kepalan tangan kiri.
Desy
Ratnasari yang biasanya menyanyi atau menjadi juri lomba nyanyi, duduk manis
atau bernyanyi sambil bergoyang santun seperti layaknya mojang Priangan,
sekarang ini telah berubah. Desy berorasi lantang dan tangan kanannya sering
mengepal teracung dalam forum politik. Desy Ratnasari telah merasa mantap
hinggap di panggung politik dan menjadi politikus dengan kendaraan politiknya
PAN.
The Sudden Death, The
Real Battle, Jokowi-JK vs Prabowo-Hatta Rajasa: Si Kurus vs Si Gemuk
Teman berkoalisi didapat
tanpa “gadis seksi” Demokrat
Jokowi
sang Capres PDIP berhasil menggandeng tiga parpol dalam gerbong koalisi dengan
lokomotif PDIP. Ketiga parpol adalah PKB, Nasdem, dan Hanura. Kursi yang bisa
dikumpulkan melalui koalisi yang diikat oleh PDIP adalah sebanyak 207 kursi.
Persentasenya 39,97%.
Akan
halnya Prabowo, hasil silaturahim dan lobi keras tak kenal lelah, ada tiga
parpol medioker yang berhasil didapuk dan siap berbaiat kepadanya. Ketiga parpol
itu adalah PAN, PKS, dan PPP. Raihan kursi dalam gerbong koalisi di lokomotif
Gerindra untuk sementara adalah 201 kursi atau 38, 6%
Hingar-bingar
cari teman koalisi mencapai puncaknya pada hari Minggu malam, 18 Mei 2014. Pada
hari itu, ada dua peristiwa penting yang sangat dinanti-nantikan beritanya oleh
publik yang haus akan berita politik aktual.
Berita
pertama, Demokrat, melalui pidato Ketua Umumnya, SBY, menjelaskan bahwa
Demokrat tidak ikut dalam gerbong koalisi mana pun. Demokrat tidak berkoalisi
ke mana-mana. Demokrat menjadi “gadis seksi” yang belum kepingin dilamar.
Lalu
berita tentang kegagalan ARB berkoalisi dengan PDIP. ARB yang berkunjung ke
rumah kediaman Megawati, berbicara langsung dengan Megawati yang empunya PDIP
dan capres Jokowi, tidak ada hasil alias dead
lock. Lobi ARB pun mentok. Mungkin saja ada tawaran dan transaksi
patok-mematok. Dipastikan bahwa tidak akan ada Capres ketiga selain Jokowi dan
Prabowo. ARB yang sudah terseok-seok harus keok.
Berita
kedua adalah, kepastian tentang nama dan sosok Cawapres untuk kedua Capres.
Selama sebulan lebih masyarakat bertanya-tanya tentang sosok Cawapres untuk
mendampingi Jokowi dan Prabowo. Prabowo lebih dahulu mendeklarasikan nama dan
sosok Cawapres yang menjadi pasangannya. Sosok yang dipilihnya adalah Hatta
Rajasa, Ketua Umum PAN. Masyarakat masih berteka-teki tentang Cawapresnya
Jokowi. Siapa ya, pasangan Jokowi?
Masyarakat
yang antusias dan melek politik masih berteka-teki siapa gerangan pendamping
Jokowi. Ada beberapa nama figur yang digadang-gadang. Ada JK, Dahlan Iskan,
Abraham Samad, Khofifah Indarparawansa, dan Puan Maharani.
Masyarakat
harus bersabar menanti. Ada dua orang yang paling menentukan figur Cawapres
pendamping Jokowi. Keduanya adalah Jokowi sendiri dan Megawati.
Budaya
yang dibangun oleh PDIP, semua keputusan politik itu harus disetujui dan
direstui Megawati. Tiada deal politik PDIP tanpa restu Megawati.
Jokowi
di mata PDIP itu tempatnya sebagai petugas partai dan atribut kader terbaik.
Jokowi tidak berwenang menentukan figur Cawapres meskipun menurutnya figur
terbaik dan cocok-galecok dengannya. Jokowi rajin bertandang menyambangi
rekan-rekan Ketua Umum Parpol, rajin sowan ke para kiai, dan blusukan ke rumah
para kader, karena dia sebagai petugas partai PDIP. Yang namanya petugas, ya
melaksanakan tugas, taat tanpa reserve. Kalau Megawati tidak cocok dan tidak
setuju, Jokowi gigit jari sembari memendam keinginannya. Capres Jokowi tidak
merdeka seratus persen. Maka tidaklah aneh Jokowi disindir sebagai “boneka”
belaka.
Teka-teki
pun secara pasti terjawab pada hari Senin, 19 Mei 2014. Jokowi dengan restu Megawati
memilih Jusuf Kalla (JK). Jadilah pasangan Capres/Cawapres Jokowi-JK.
Stop press!
Tentang
ARB dengan Golkarnya. Lobi dengan Megawati pada Minggu malam. 18 Mei 2014,
pukul sebelas malam, boleh saja mentok, tetapi ARB tidak schok! ARB dan Golkar
tidak ingin sendiri seperti SBY dengan Demokratnya. ARB usai Rapimnas Golkar
2014, berbekal mandat Rapimnas itu, dia pun menarik gerbong Golkarnya
bergandeng dengan gerbong Prabowo-Hatta Rajasa bersama lokomotif Gerindra.
Langkah ARB itu cukup mengejutkan banyak orang. Masyarakat umum baru tahu pada
saat deklarasi duet Prabowo-Hatta Rajasa di Gedung Polonia. Desy Ratnasari yang
menjadi The Host sekaligus presenter pun masih ragu-ragu untuk mengumumkan hal
itu pada saat deklarasi duet.
Luar
biasa hasil kerja keras Prabowo melakukan lobi mencari teman koalisi. Dengan
bergabungnya Golkar dalam koalisi Gerindra, maka raihan kursi dalam koalisinya
menjadi 292 kursi dari 560 kursi di DPR atau 52,2%.
Mengetahui
hasil akhir kerja keras mencari teman berkoalisi, 207 kursi untuk gerbong PDIP
dengan Jokowi-JK, 292 kursi untuk gerbong Gerindra dan Prabowo-Hatta Rajasa,
serta melihat komposisi parpol yang bergabung, maka dapat kita beri atribut
bagi kedua pasangan Capres itu. Koalisi yang mengusung Jokowi-JK layak disebut
kurus dengan julukan si Kurus dan koalisinya Prabowo-Hatta Rajasa disebut koalisi
gemuk dengan julukan si Gemuk.
The real battle atau the sudden death Jokowi-Jk vs
Prabowo-Hatta Rajasa adalah pertarungan Si Kurus vs Si Gemuk.
The Sudden Death, The
Real Battle, Jokowi-JK vs Prabowo-Hatta Rajasa: Si Kurus vs Si Gemuk
Rhoma effect, Hari Tanu effect, JK effect, Hatta
Rajasa effect
Pilpres
2014 pada tanggal 9 Juli 2014 mendatang adalah pertarungan dua kubu yang
kekuatan keduanya berimbang, kubu Gerindra dengan duet Prabowo-Hatta Rajasa
versus kubu PDIP dengan duet Jokowi-JK-nya. Kedua kubu masing-masing punya
teman koalisi yang tangguh. Begitu pun dengan sosok Capres/Cawapresnya.
Elektabilitas
sosok Capres Jokowi selama ini selalu berada di peringkat tertinggi dibandingkan
dengan elektabilitas sosok tokoh-tokoh yang lain, bahkan di atas Prabowo yang
selalu menguntit di bawahnya. Hampir semua lembaga survey beken yang merilis
hasil survey menguatkan pernyataan itu.
Persoalan
menjadi lain ketika berbicara tentang Pilpres 2014. Pilpres bukan hanya bicara
elektabilitas satu tokoh Capres melainkan bicara satu paket pasangan Capres dan
Cawapres. Pertimbangan memilih menjadi lebih kompleks ketika Jokowi memilih JK
sebagai teman duet, dan ketika Prabowo memilih Hatta Rajasa sebagai duet
Cawapres.
Misalnya:
Orang
yang pro-Jokowi dan akan memilih Jokowi pada mulanya, begitu Capres Jokowi
bergandeng dengan JK sebagai Cawapres, dia membatalkan pilihannya karena “JK effect”. Ketika dia ditanya kenapa dia
membelot dari pro-Jokowi, alasannya adalah, JK sudah uzur (72 tahun) dan sampun sepuh sanget (S3), ataui sudah
sangat tua (SST).
Orang
yang mati-matian mendukung dan siap memilih Prabowo, karena Prabowo menggandeng
Hatta Rajasa, dia mengurungkan niatnya/membelot. Ketika dia ditanya kenapa dia
membelot, alasannya adalah, Hatta Rajasa itu besannya SBY, sementara SBY itu
ikut andil menjebloskan Anas Urbaningrum ke penjara, sementara dia itu
kerabatnya Anas. Itulah akibat dari indirect
effect dari “Hatta Rajasa effect”.
Lalu
yang diperhitungkan/dipertimbangkan pula oleh pemilih adalah parpol yang
berkoalisi yang mengusung pasangan itu.
Seorang
simpatisan Demokrat dan pencinta SBY, yang tadinya bersikap abstain, ketika
Prabowo menggandeng Hatta Rajasa, dia langsung mendaftar sebagai sukarelawan
pemenangan Prabowo-Hatta Rajasa. Ketika dia ditanya mengapa berubah sikap
begitu, alasannya, Hatta Rajasa itu besannya SBY.
Kalau
hanya bicara parpol pengusung dan raihan kursi di DPR, maka di atas kertas,
Prabowo-Hatta Rajasa (292 kursi) unggul dan memenangkan pilpres atas pasangan
Jokowi-JK yang hanya 207 kursi. Prabowo-Hatta Rajasa menang!
Pileg
dan Pilpres berbeda. Dalam pileg orang memilih partai dengan mencoblos tanda
gambar partai dan gambar caleg belum tentu dicoblos, Mencoblos gambar Caleg
atau gambar partai dalam pileg sama saja. Suara itu menjadi milik partai dan
dihitung sebagai suara partai. Caleg mungkin dikenal dan mungkin juga tidak
dikenal. Dalam pilpres, orang atau rakyat pemilih memilih dan mencoblos tanda gambar
pasangan Capres/Cawapres dan bukan mencoblos lambang partai.
Raihan
kursi koalisi di DPR tidak selalu berbanding lurus dengan raihan suara yang
diperoleh dalam pilpres. Kader, simpatisan, dan konstituen partai yang memilih
partai dalam pileg, tentu tidak serta-merta memilih pasangan Capres/CAwapres
yang diusung oleh partainya.
Contoh:
Kader,
simpatisan, dan konstituen fanatik PDIP dan rela memberikan suaranya pada pileg
belum tentu atau bahkan tidak sudi memberikan suara untuk Jokowi-JK yang
diusung oleh PDIP, Nasdem, PKB, dan Hanura.
Kaum
Nahdhiyyin atau keluarga NU yang fanatik PKB belum tentu memilih Jokowi-JK
padahal PKB telah berkoalisi dengan PDIP. Mahfud MD, anggota PKB, bagian dari
keluarga NU, lebih mendukung Prabowo-Hatta Rajasa dan siap menjadi Ketua Tim
Pemenangan Prabowo-Hatta. Mahfud MD adalah contoh aktual fungsionaris partai
dalam pilpres berbeda sikap politik dengan partainya.
Hari
Tanusudibyo (HT), Ketua Dewan Pemenangan Pemilu Hanura, menolak ikut-ikutan
Wiranto dan Hanura yang berkoalisi dengan PDIP. HT malah membelot ke kubu
Gerindra dan mendukung Prabowo-Hatta Rajasa. Dia siap dipecat dari Hanura.
Begitu
pun yang terjadi di kubu Gerindra. Ada satu-dua kader Golkar yang tidak searah
dengan para petinggi Golkar yang berkoalisi dengan Gerindra. Mereka lebih
memilih menyeberang ke kubu Jokowi-JK. Mereka tidak gentar dipecat.
Politik
tidak sama dengan matematika. Politik itu serba tidak pasti. Dalam matematika,
angka 292 memang lebih besar dari angka 207. Secara matematis, Prabowo-Hatta Rajasa
yang punya teman koalisi lebih besar raihan kursinya tentu lebih unggul dari
Jokowi-Jk.
Akan
tetapi, bicara pilpres dan bernalar dalam politik praktis, matematika di atas
belum tentu tepat atau belum tentu sama dan sebangun.
Jadi,
bagaimana memprediksi hasil Pilpres 9 Juli 2014 yang akan datang? Siapa yang
bakal menjadi pemenang? Prabowo-Hatta Rajasa atau Jokowi-JK?
Wanti-wanti
saya berpesan melalui tulisan ini, jika ingin tahu siapa Presiden/Wakil
Presiden RI 2014-2019, Prabowo-Hatta Rajasa atau Jokowi-JK, jangan datangi
dukun, paranormal, atau orang pintar! Jangan datangi Ki Joko Bodo, Gendeng
Pamungkas, atau si Ucil Guntur Bumi. Jangan tanya kepada dukun, paranormal,
atau orang pintar!
Jangan
datangi makam dan bersemedi menunggu wangsit! Janganlah kita bertindak bodoh
dan irrasional!
The Sudden Death, The Real Battle, Jokowi-JK vs Prabowo-Hatta Rajasa: Si Kurus vs Si Gemuk
Penelitian ilmiah
melalui metode polling (poling)
Rakyat
pemilih dalam Pilpres di Indonesia ini lebih dari seratus juta jiwa. Kita tidak
tahu isi benak orang, jago pilihannya, dan tanda gambar pasangan mana yang
dicoblos di dalam bilik TPS. Jangankan coblosan orang lain/asing, istri/suami,
ayah/ibu, atau anak kita pun kita tidak tahu tanda gambar siapa yang dicoblos.
Kan asas luber, iya, bukan?
Kita
lakukan survey atau membayar lembaga survey independen yang berintegritas dan
terpercaya reputasinya untuk melakukan survey.
Survey
itu keharusan dalam hidup berdemokrasi. Hasil survey melalui metode poling
dalam gawe pemilu (general election;
presidential election) sangat membantu semua pihak. Di Amerika Serikat (AS)
misalnya, ada lembaga survey hebat, namanya Gallup. Spesialisasi Gallup adalah
melakukan poling pilpres empat tahunan. AS punya dua partai peserta pemilu (national election), yaitu Partai
Republik dan Partai Demokrat. Otomatis hanya ada dua kandidat presiden yang
bertarung. Hasil poling Gallup menjadi acuan bagi KPU-nya AS. Rakyat AS hanya
butuh waktu 24 jam saja untuk mengetahui siapa Capres yang bakal menjadi
Presiden. Poling diolah dengan metode quick
count.
Hasil
survey lembaga-lembaga survey tidak bisa dijadikan pijakan hukum untuk
menetapkan pemenang pilpres walaupun hasil surveynya mendekati ketepatan. Hasil
quick count akan sangat membantu
sebagai acuan. Otoritas perhitungan suara ada di tangan KPU. Lembar/kertas
suara harus dihitung secara manual oleh KPU. Perhitungan suara dan Keputusan
KPU adalah sah.
Ternyata,
hasil survey oleh lembaga-lembaga survey selama ini hampir 97% mendekati
kebenaran. Contoh nyata adalah hasil quick
count Pileg 2014 pada tanggal 9 April 2014. Tingkat margin error Antara 3% sampai 5%.
Mari
kita coba belajar menimbang-nimbang untuk melihat kekuatan sosok pasangan
Jokowi-JK dan pasangan Prabowo-Hatta Rajasa. Apakah sama kuat dan berimbang,
sedikit unggul, atau yang satu unggul telak dari yang lain. Bagaimana caranya?
Ikuti
saja hasil survey yang dirilis oleh lembaga-lembaga survey independen yang
sudah kita ketahui reputasinya. Kita bisa bertanya langsung kepada Denny J.A.,
Syaiful Mujani, Yunarto Wijaya, Effendi Gozali (EG), Eep Syaifulloh Fattah, Siti
Zuchro, Gun Gun Heryanto, atau Hanta Yudha. Mereka adalah pengamat politik,
peneliti, dan bahkan punya lembaga penelitian sendiri.
Perhatian!
Janganlah
kita datangi pemilik lembaga survey abal-abal yang memiliki kerja survey
abal-abal. Ciri khas lembaga survey abal-abal dan pemilik survey abal-abal
adalah adalah menentukan terlebih dahulu hasil survey karena pesanan dan
transaksi rupiah atau dolar. Hasil survey tergantung pesanan dan bayaran.
Mending
kita belajar bikin survey sendiri.
Kita
bekerja keras, pengetahuan tambah luas, dan hati kita pun puas.
Kita
berpartisipasi dalam Pilpres 2014 pada tanggal 9 Juli 2014 untuk mencoblos
pasangan Capres/Cawapres yang kita maui. Pemilih cerdas tentu mencoblos secara
cerdas pula. Kemudian, kita akan punya Presiden dan Wakil Presiden yang baru.
Jokowi-JK
atau Prabowo-Hatta Rajasa?
Jakarta,
26 Mei 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar