Minggu, 25 Mei 2014

The Sudden Death, The Real Battle, Jokowi-JK vs Prabowo-Hatta Rajasa: Si Kurus vs Si Gemuk



The Sudden Death, The Real Battle, Jokowi-JK vs Prabowo-Hatta Rajasa: Si Kurus vs Si Gemuk
Akibat dari hasil Pileg 2014: Berkoalisi adalah keharusan bagi Parpol
Cari teman untuk sukacita
Lupakan dulu semua duka dan luka ketika terjadi gawe nasional Pileg 2014 tanggal 9 April yang lalu untuk sementara waktu. Jadikan semua itu menjadi catatan untuk perbaikan pada masa yang akan datang.
Gawe nasional yang sangat penting untuk bangsa kita sekarang ini adalah penyelenggaraan Pilpres 2014 yang akan berlangsung pada tanggal 9 Juli 2014 yang akan datang. Peristiwa yang terjadi pada tanggal tersebut, yakni peristiwa pemilihan Capres/Cawapres untuk masa pemerintahan lima tahun ke depan (2014-2019), akan menentukan nasib bangsa Indonesia selama lima tahun.
KPU telah menetapkan secara resmi bahwa hanya ada sepuluh parpol yang bisa melenggang dan menempati kursi di gedung DPR di Senayan. Perolehan kursi pun sudah jelas untuk setiap parpol. PDIP sebagai pemenang Pileg tahun 2014 berhak mendapatkan kursi sebanyak 109 kursi (18,95%), lalu di urutan kedua ada Golkar dengan 97 kursi (14,75%), menyusul Gerindra di urutan ketiga dengan raihan 73 kursi (11,8 %). Kemudian parpol berikutnya secara berurutan adalah Demokrat  61 kursi (10,2%), PKB 49 kursi (9.04%), PAN 47 kursi (7,57%), PKS 40 kursi (6.79%), PPP 39 kursi (6,53%), Nasdem 35 kursi (6,72%), dan Hanura di urutan buncit dengan raihan 16 kursi (5,26%). Partai gurem PKPI besutan Sutiyoso dan PBB besutan Yusril Ihza Mahendra yang ikut bertarung dalam Pileg 2014, benar-benar bernasib gurem karena keduanya tidak bisa menempatkan kadernya meramaikan gedung DPR.
Hasil raihan kursi masing-masing parpol yang seperti itu membuat setiap parpol tidak mampu secara otomatis menjadikan kader terbaiknya untuk dijadikan Capres tanpa melakukan koalisi dengan parpol lain, bahkan PDIP sebagai parpol pemenang pileg kali ini. Persyaratan raihan kursi di DPR untuk dapat mencalonkan sendiri kader terbaiknya adalah 25% untuk perolehan suara sah nasional dan 20% (112 kursi dari 560 kursi) untuk DPR sebagai persyaratan presidential threshold.
Mau tidak mau, semua parpol yang sudah punya jago untuk diusung menjadi Capres harus melakukan koalisi untuk memenuhi persyaratan tersebut. PDIP (109 kursi) yang menduduki peringkat pertama dalam pileg dan sudah punya jago untuk Capres, Jokowi, harus cari teman koalisi. Begitu pun dengan Golkar yang punya jago ARB, dan Gerindra yang punya jago Prabowo. Parpol medioker apa lagi. Hatta Rajasa, Anis Matta, Muhaimin Iskandar, Surya Paloh, dan Wiranto hanya bisa bercita-cita saja. Menjadi Capres sudah lebih dari cukup bagi mereka. Menjadi Presiden mah jauh!
Tidaklah aneh ketika kita melihat pemandangan terpampang di layar kaca tv, Jokowi, Probowo, dan ARB berkeliling ke delapan penjuru mata angin, ke rumah para Ketua Umum parpol lain, atau ke markas parpol lain. Kita menyaksikan Jokowi menyambangi Surya Paloh, Prabowo saling sambang dengan ARB, naik helikopter atau menunggang kuda, dan Prabowo menyambangi Anis Matta, SDA, dan lain sebagainya.
Kok jadi rajin bersilaturahim dan getap banget berbalas kunjung? Ada apa?
Mereka bicara dan mendiskusikan bisa tidaknya berkoalisi, dan yang jelas bukan koalisi dagang sapi.



The Sudden Death, The Real Battle, Jokowi-JK vs Prabowo-Hatta Rajasa: Si Kurus vs Si Gemuk
“Terlalu!” keluh Rhoma Irama yang punya “Rhoma Effect”
Ikan sepat ikan gabus, lebih cepat lebih bagus
Kata para Ketua Umum parpol medioker seperti PKB, Demokrat, PAN, PKS, dan PPP, atau parpol urutan buncit seperti Nasdem, Hanura, PKPI, dan PBB, kira-kira dialognya seperti berikut ini.
“Siap-siaplah, lebih cepat kita merapat , kita pasti dapat!” kata Surya Paloh sang Capres dari Nasdem.
“Ke PDIP kan, Bos?” tanya Capella sang Sekretaris Umum Nasdem.
“Ya, Nasdem pasti ke PDIP. Kita kan punya platform, visi, dan misi yang sama dengan
PDIP.” Imbuh Surya Paloh dengan tegas.
Surya Paloh memang reaktif terhadap PDIP dan Jokowi. Dia tahu diri rupanya.
“Jokowi lah yaw! No transactional bargaining but political bargaining. Kita ikutin Jokowi!”
kata Surya Paloh yang terbiasa berlogat Betawi khusus untuk kata kerja (verba) dengan menambah akhiran -in.
(mengikutin, melemparin, menandain, mendandanin, jadiin, dst.)
“Rapatkan barisan, kita segera merapat ke PDIP!” perintah Muhaimin (Cak Imin) kepada para kader PKB.
“Sudah minta restu para kiaikah, Cak Imin? Bagaimana dengan Pak Mahfud MD dan Bang Haji Rhoma Irama?” tanya seorang kader.
“Pileg dan hasilnya sudah berlalu. Minta restu kepada para kiai sudah. Pak Mahfud MD dan Bang Haji Rhoma Irama adalah masa lalu sudah!” jawab Muhaimin santai.
Muhaimin pantas membusungkan dada dengan perasaan bangga. Raihan suara PKB meningkat signifikan. Mahfud MD dan Rhoma Irama digadang-gadangnya sebagai Capres PKB demi meraih suara, dia memanfaatkan figur Mahfud MD dan Rhoma Irama untuk “dijual” dalam pileg dan memang nama keduanya “laku” keras.
Setelah pengumuman resmi dari KPU tentang perolehan suara untuk PKB, Mahfud MD dan Rhoma Irama dimasukkan ke dalam kotak karena lakon keduanya sudah tidak dibutuhkan lagi. Kelakuan Muhaimin persis kelakuan dalang wayang golek atau wayang kulit memperlakukan wayang-wayangnya.
Terbetik berita, Muhaimin sendiri yang ngebet menjadi Capres atau Cawapres. Dia rajin merapat ke Megawati dan Jokowi dan getap/getol meminta PKB diajak koalisi.
“Tidak ada kawan dan lawan yang abadi dalam politik, yang abadi adalah kepentingan!” sanggah Muhaimin tatkala dikritik.
Mahfud MD dan Rhoma irama menampakkan ekspresi kecewa menyaksikan tingkah laku Muhaimin.
“Terlalu!” keluh Rhoma Irama dengan nada kecewa.
Rhoma Irama pun bersenandung dengan sebagi lagu ciptaannya sendiri. Judulnya, Sahabat. Dia menyindir Muhaimin dan kader PKB yang mengabaikan “Rhoma effect” ibarat pepatah “kacang lupa kulitnya”.
            Mencari teman memang mudah/
            Pabila untuk teman suka/
            Mencari teman tidak mudah/
            Pabila untuk teman susah/
Lain Surya Paloh, lain Muhaimin, lain pula Hatta Rajasa.
“Siap-siaplah, kita bakal kedatangan tamu penting, tamu dari Gerindra, Golkar, dan PDIP.” kata Hatta Rajasa kepada para kader yang selalu berada di sekelilingnya.
“Dari sosok ARB, Prabowo, atau Jokowi, kira-kira siapa yang kita terima, Pak!” Tanya Desy Ratnasari, kader militan PAN yang juga seorang selebritas beken.
“Prabowo pasti! Dia sosok hebat, berwawasan luas, dan sikapnya tegas!” jawab Hatta Rajasa dengan tegas.
“Mantap!” teriak Desy Ratnasari sambil mengacungkan kepalan tangan kiri.
Desy Ratnasari yang biasanya menyanyi atau menjadi juri lomba nyanyi, duduk manis atau bernyanyi sambil bergoyang santun seperti layaknya mojang Priangan, sekarang ini telah berubah. Desy berorasi lantang dan tangan kanannya sering mengepal teracung dalam forum politik. Desy Ratnasari telah merasa mantap hinggap di panggung politik dan menjadi politikus dengan kendaraan politiknya PAN.


The Sudden Death, The Real Battle, Jokowi-JK vs Prabowo-Hatta Rajasa: Si Kurus vs Si Gemuk
Teman berkoalisi didapat tanpa “gadis seksi” Demokrat
Jokowi sang Capres PDIP berhasil menggandeng tiga parpol dalam gerbong koalisi dengan lokomotif PDIP. Ketiga parpol adalah PKB, Nasdem, dan Hanura. Kursi yang bisa dikumpulkan melalui koalisi yang diikat oleh PDIP adalah sebanyak 207 kursi. Persentasenya 39,97%.
Akan halnya Prabowo, hasil silaturahim dan lobi keras tak kenal lelah, ada tiga parpol medioker yang berhasil didapuk dan siap berbaiat kepadanya. Ketiga parpol itu adalah PAN, PKS, dan PPP. Raihan kursi dalam gerbong koalisi di lokomotif Gerindra untuk sementara adalah 201 kursi atau 38, 6%
Hingar-bingar cari teman koalisi mencapai puncaknya pada hari Minggu malam, 18 Mei 2014. Pada hari itu, ada dua peristiwa penting yang sangat dinanti-nantikan beritanya oleh publik yang haus akan berita politik aktual.
Berita pertama, Demokrat, melalui pidato Ketua Umumnya, SBY, menjelaskan bahwa Demokrat tidak ikut dalam gerbong koalisi mana pun. Demokrat tidak berkoalisi ke mana-mana. Demokrat menjadi “gadis seksi” yang belum kepingin dilamar.
Lalu berita tentang kegagalan ARB berkoalisi dengan PDIP. ARB yang berkunjung ke rumah kediaman Megawati, berbicara langsung dengan Megawati yang empunya PDIP dan capres Jokowi, tidak ada hasil alias dead lock. Lobi ARB pun mentok. Mungkin saja ada tawaran dan transaksi patok-mematok. Dipastikan bahwa tidak akan ada Capres ketiga selain Jokowi dan Prabowo. ARB yang sudah terseok-seok harus keok.
Berita kedua adalah, kepastian tentang nama dan sosok Cawapres untuk kedua Capres. Selama sebulan lebih masyarakat bertanya-tanya tentang sosok Cawapres untuk mendampingi Jokowi dan Prabowo. Prabowo lebih dahulu mendeklarasikan nama dan sosok Cawapres yang menjadi pasangannya. Sosok yang dipilihnya adalah Hatta Rajasa, Ketua Umum PAN. Masyarakat masih berteka-teki tentang Cawapresnya Jokowi. Siapa ya, pasangan Jokowi?
Masyarakat yang antusias dan melek politik masih berteka-teki siapa gerangan pendamping Jokowi. Ada beberapa nama figur yang digadang-gadang. Ada JK, Dahlan Iskan, Abraham Samad, Khofifah Indarparawansa, dan Puan Maharani.
Masyarakat harus bersabar menanti. Ada dua orang yang paling menentukan figur Cawapres pendamping Jokowi. Keduanya adalah Jokowi sendiri dan Megawati.
Budaya yang dibangun oleh PDIP, semua keputusan politik itu harus disetujui dan direstui Megawati. Tiada deal politik PDIP tanpa restu Megawati.
Jokowi di mata PDIP itu tempatnya sebagai petugas partai dan atribut kader terbaik. Jokowi tidak berwenang menentukan figur Cawapres meskipun menurutnya figur terbaik dan cocok-galecok dengannya. Jokowi rajin bertandang menyambangi rekan-rekan Ketua Umum Parpol, rajin sowan ke para kiai, dan blusukan ke rumah para kader, karena dia sebagai petugas partai PDIP. Yang namanya petugas, ya melaksanakan tugas, taat tanpa reserve. Kalau Megawati tidak cocok dan tidak setuju, Jokowi gigit jari sembari memendam keinginannya. Capres Jokowi tidak merdeka seratus persen. Maka tidaklah aneh Jokowi disindir sebagai “boneka” belaka.
Teka-teki pun secara pasti terjawab pada hari Senin, 19 Mei 2014. Jokowi dengan restu Megawati memilih Jusuf Kalla (JK). Jadilah pasangan Capres/Cawapres Jokowi-JK.
Stop press!
Tentang ARB dengan Golkarnya. Lobi dengan Megawati pada Minggu malam. 18 Mei 2014, pukul sebelas malam, boleh saja mentok, tetapi ARB tidak schok! ARB dan Golkar tidak ingin sendiri seperti SBY dengan Demokratnya. ARB usai Rapimnas Golkar 2014, berbekal mandat Rapimnas itu, dia pun menarik gerbong Golkarnya bergandeng dengan gerbong Prabowo-Hatta Rajasa bersama lokomotif Gerindra. Langkah ARB itu cukup mengejutkan banyak orang. Masyarakat umum baru tahu pada saat deklarasi duet Prabowo-Hatta Rajasa di Gedung Polonia. Desy Ratnasari yang menjadi The Host sekaligus presenter pun masih ragu-ragu untuk mengumumkan hal itu pada saat deklarasi duet.
Luar biasa hasil kerja keras Prabowo melakukan lobi mencari teman koalisi. Dengan bergabungnya Golkar dalam koalisi Gerindra, maka raihan kursi dalam koalisinya menjadi 292 kursi dari 560 kursi di DPR atau 52,2%.
Mengetahui hasil akhir kerja keras mencari teman berkoalisi, 207 kursi untuk gerbong PDIP dengan Jokowi-JK, 292 kursi untuk gerbong Gerindra dan Prabowo-Hatta Rajasa, serta melihat komposisi parpol yang bergabung, maka dapat kita beri atribut bagi kedua pasangan Capres itu. Koalisi yang mengusung Jokowi-JK layak disebut kurus dengan julukan si Kurus dan koalisinya Prabowo-Hatta Rajasa disebut koalisi gemuk dengan julukan si Gemuk.
The real battle atau the sudden death Jokowi-Jk vs Prabowo-Hatta Rajasa adalah pertarungan Si Kurus vs Si Gemuk.

The Sudden Death, The Real Battle, Jokowi-JK vs Prabowo-Hatta Rajasa: Si Kurus vs Si Gemuk
Rhoma effect, Hari Tanu effect, JK effect, Hatta Rajasa effect
Pilpres 2014 pada tanggal 9 Juli 2014 mendatang adalah pertarungan dua kubu yang kekuatan keduanya berimbang, kubu Gerindra dengan duet Prabowo-Hatta Rajasa versus kubu PDIP dengan duet Jokowi-JK-nya. Kedua kubu masing-masing punya teman koalisi yang tangguh. Begitu pun dengan sosok Capres/Cawapresnya.
Elektabilitas sosok Capres Jokowi selama ini selalu berada di peringkat tertinggi dibandingkan dengan elektabilitas sosok tokoh-tokoh yang lain, bahkan di atas Prabowo yang selalu menguntit di bawahnya. Hampir semua lembaga survey beken yang merilis hasil survey menguatkan pernyataan itu.
Persoalan menjadi lain ketika berbicara tentang Pilpres 2014. Pilpres bukan hanya bicara elektabilitas satu tokoh Capres melainkan bicara satu paket pasangan Capres dan Cawapres. Pertimbangan memilih menjadi lebih kompleks ketika Jokowi memilih JK sebagai teman duet, dan ketika Prabowo memilih Hatta Rajasa sebagai duet Cawapres.
Misalnya:
Orang yang pro-Jokowi dan akan memilih Jokowi pada mulanya, begitu Capres Jokowi bergandeng dengan JK sebagai Cawapres, dia membatalkan pilihannya karena “JK effect”. Ketika dia ditanya kenapa dia membelot dari pro-Jokowi, alasannya adalah, JK sudah uzur (72 tahun) dan sampun sepuh sanget (S3), ataui sudah sangat tua (SST).
Orang yang mati-matian mendukung dan siap memilih Prabowo, karena Prabowo menggandeng Hatta Rajasa, dia mengurungkan niatnya/membelot. Ketika dia ditanya kenapa dia membelot, alasannya adalah, Hatta Rajasa itu besannya SBY, sementara SBY itu ikut andil menjebloskan Anas Urbaningrum ke penjara, sementara dia itu kerabatnya Anas. Itulah akibat dari indirect effect dari “Hatta Rajasa effect”.
Lalu yang diperhitungkan/dipertimbangkan pula oleh pemilih adalah parpol yang berkoalisi yang mengusung pasangan itu.
Seorang simpatisan Demokrat dan pencinta SBY, yang tadinya bersikap abstain, ketika Prabowo menggandeng Hatta Rajasa, dia langsung mendaftar sebagai sukarelawan pemenangan Prabowo-Hatta Rajasa. Ketika dia ditanya mengapa berubah sikap begitu, alasannya, Hatta Rajasa itu besannya SBY.
Kalau hanya bicara parpol pengusung dan raihan kursi di DPR, maka di atas kertas, Prabowo-Hatta Rajasa (292 kursi) unggul dan memenangkan pilpres atas pasangan Jokowi-JK yang hanya 207 kursi. Prabowo-Hatta Rajasa menang!
Pileg dan Pilpres berbeda. Dalam pileg orang memilih partai dengan mencoblos tanda gambar partai dan gambar caleg belum tentu dicoblos, Mencoblos gambar Caleg atau gambar partai dalam pileg sama saja. Suara itu menjadi milik partai dan dihitung sebagai suara partai. Caleg mungkin dikenal dan mungkin juga tidak dikenal. Dalam pilpres, orang atau rakyat pemilih memilih dan mencoblos tanda gambar pasangan Capres/Cawapres dan bukan mencoblos lambang partai.
Raihan kursi koalisi di DPR tidak selalu berbanding lurus dengan raihan suara yang diperoleh dalam pilpres. Kader, simpatisan, dan konstituen partai yang memilih partai dalam pileg, tentu tidak serta-merta memilih pasangan Capres/CAwapres yang diusung oleh partainya.
Contoh:
Kader, simpatisan, dan konstituen fanatik PDIP dan rela memberikan suaranya pada pileg belum tentu atau bahkan tidak sudi memberikan suara untuk Jokowi-JK yang diusung oleh PDIP, Nasdem, PKB, dan Hanura.
Kaum Nahdhiyyin atau keluarga NU yang fanatik PKB belum tentu memilih Jokowi-JK padahal PKB telah berkoalisi dengan PDIP. Mahfud MD, anggota PKB, bagian dari keluarga NU, lebih mendukung Prabowo-Hatta Rajasa dan siap menjadi Ketua Tim Pemenangan Prabowo-Hatta. Mahfud MD adalah contoh aktual fungsionaris partai dalam pilpres berbeda sikap politik dengan partainya.
Hari Tanusudibyo (HT), Ketua Dewan Pemenangan Pemilu Hanura, menolak ikut-ikutan Wiranto dan Hanura yang berkoalisi dengan PDIP. HT malah membelot ke kubu Gerindra dan mendukung Prabowo-Hatta Rajasa. Dia siap dipecat dari Hanura.
Begitu pun yang terjadi di kubu Gerindra. Ada satu-dua kader Golkar yang tidak searah dengan para petinggi Golkar yang berkoalisi dengan Gerindra. Mereka lebih memilih menyeberang ke kubu Jokowi-JK. Mereka tidak gentar dipecat.
Politik tidak sama dengan matematika. Politik itu serba tidak pasti. Dalam matematika, angka 292 memang lebih besar dari angka 207. Secara matematis, Prabowo-Hatta Rajasa yang punya teman koalisi lebih besar raihan kursinya tentu lebih unggul dari Jokowi-Jk.
Akan tetapi, bicara pilpres dan bernalar dalam politik praktis, matematika di atas belum tentu tepat atau belum tentu sama dan sebangun.
Jadi, bagaimana memprediksi hasil Pilpres 9 Juli 2014 yang akan datang? Siapa yang bakal menjadi pemenang? Prabowo-Hatta Rajasa atau Jokowi-JK?
Wanti-wanti saya berpesan melalui tulisan ini, jika ingin tahu siapa Presiden/Wakil Presiden RI 2014-2019, Prabowo-Hatta Rajasa atau Jokowi-JK, jangan datangi dukun, paranormal, atau orang pintar! Jangan datangi Ki Joko Bodo, Gendeng Pamungkas, atau si Ucil Guntur Bumi. Jangan tanya kepada dukun, paranormal, atau orang pintar!
Jangan datangi makam dan bersemedi menunggu wangsit! Janganlah kita bertindak bodoh dan irrasional!

The Sudden Death, The Real Battle, Jokowi-JK vs Prabowo-Hatta Rajasa: Si Kurus vs Si Gemuk
Penelitian ilmiah melalui metode polling (poling)
Rakyat pemilih dalam Pilpres di Indonesia ini lebih dari seratus juta jiwa. Kita tidak tahu isi benak orang, jago pilihannya, dan tanda gambar pasangan mana yang dicoblos di dalam bilik TPS. Jangankan coblosan orang lain/asing, istri/suami, ayah/ibu, atau anak kita pun kita tidak tahu tanda gambar siapa yang dicoblos. Kan asas luber, iya, bukan?
Kita lakukan survey atau membayar lembaga survey independen yang berintegritas dan terpercaya reputasinya untuk melakukan survey.
Survey itu keharusan dalam hidup berdemokrasi. Hasil survey melalui metode poling dalam gawe pemilu (general election; presidential election) sangat membantu semua pihak. Di Amerika Serikat (AS) misalnya, ada lembaga survey hebat, namanya Gallup. Spesialisasi Gallup adalah melakukan poling pilpres empat tahunan. AS punya dua partai peserta pemilu (national election), yaitu Partai Republik dan Partai Demokrat. Otomatis hanya ada dua kandidat presiden yang bertarung. Hasil poling Gallup menjadi acuan bagi KPU-nya AS. Rakyat AS hanya butuh waktu 24 jam saja untuk mengetahui siapa Capres yang bakal menjadi Presiden. Poling diolah dengan metode quick count.
Hasil survey lembaga-lembaga survey tidak bisa dijadikan pijakan hukum untuk menetapkan pemenang pilpres walaupun hasil surveynya mendekati ketepatan. Hasil quick count akan sangat membantu sebagai acuan. Otoritas perhitungan suara ada di tangan KPU. Lembar/kertas suara harus dihitung secara manual oleh KPU. Perhitungan suara dan Keputusan KPU adalah sah.
Ternyata, hasil survey oleh lembaga-lembaga survey selama ini hampir 97% mendekati kebenaran. Contoh nyata adalah hasil quick count Pileg 2014 pada tanggal 9 April 2014. Tingkat margin error Antara 3% sampai 5%.
Mari kita coba belajar menimbang-nimbang untuk melihat kekuatan sosok pasangan Jokowi-JK dan pasangan Prabowo-Hatta Rajasa. Apakah sama kuat dan berimbang, sedikit unggul, atau yang satu unggul telak dari yang lain. Bagaimana caranya?
Ikuti saja hasil survey yang dirilis oleh lembaga-lembaga survey independen yang sudah kita ketahui reputasinya. Kita bisa bertanya langsung kepada Denny J.A., Syaiful Mujani, Yunarto Wijaya, Effendi Gozali (EG), Eep Syaifulloh Fattah, Siti Zuchro, Gun Gun Heryanto, atau Hanta Yudha. Mereka adalah pengamat politik, peneliti, dan bahkan punya lembaga penelitian sendiri.
Perhatian!
Janganlah kita datangi pemilik lembaga survey abal-abal yang memiliki kerja survey abal-abal. Ciri khas lembaga survey abal-abal dan pemilik survey abal-abal adalah adalah menentukan terlebih dahulu hasil survey karena pesanan dan transaksi rupiah atau dolar. Hasil survey tergantung pesanan dan bayaran.
Mending kita belajar bikin survey sendiri.
Kita bekerja keras, pengetahuan tambah luas, dan hati kita pun puas.
Kita berpartisipasi dalam Pilpres 2014 pada tanggal 9 Juli 2014 untuk mencoblos pasangan Capres/Cawapres yang kita maui. Pemilih cerdas tentu mencoblos secara cerdas pula. Kemudian, kita akan punya Presiden dan Wakil Presiden yang baru.
Jokowi-JK atau Prabowo-Hatta Rajasa?
Jakarta, 26 Mei 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar