ODOJ, TADARUSAN, DAN SOPIR ANGKOT KEJAR SETORAN
ODOJ (One day one juz) yang bombastis dan ODOV (One day one verse)
yang realistis membumi
Ngomongin tentang juz, tak
pelak lagi pasti ngomongin tentang
Quran. Juz itu kan bagian dari Quran
yang banyaknya 30 juz. Ngomongin tentang Quran bagi muslim di Indonesia, tak
pelak lagi berhubungan dengan kegiatan muslim membaca Quran (bil lisaan).
ODOJ diartikan kegiatan muslim membaca Quran
setiap hari, dan setiap hari harus (sebole-bolenye)
membaca satu juz. Tentu membaca dua hari dapat dua juz, tiga hari dapat tiga
juz, dan seterusnya, sampai tiga puluh hari (satu bulan) dapat menamatkan
(khatam) membaca Quran 30 juz (seluruhnya).
Zaman penulis tinggal di desa pada masa
kanak-kanak (tahun 60-an), kegiatan model ODOZ juga sudah ada, cuma istilahnya
dalam bahasa daerah.
“Anakku, jika kamu bisa membaca Quran satu
juz setiap hari, kamu akan Ayah bebaskan dari tugas mencari kayu bakar atau
menjaga padi di sawah.” kata Ayah kepada anaknya.
Masyarakat yang tinggal di desa kami umumnya
adalah petani. Yang namanya petani, bekerja di sawah hanya pada siang hari,
sepanjang hari, dari pagi sampai sore. Malam hari, sejak waktu Magrib mereka
berada di rumah. Tidak ada petani yang bekerja lembur.
Wajar saja jika para petani punya waktu luang
sepanjang malam. Wajar saja jika mereka mengisi waktu malam (setidaknya dari
waktu Magrib menuju Isya, sampai pukul 8 atau 9 malam hari) dengan membaca
Quran. Jangankan hanya satu juz, dua juz atau lebih pun mereka bisa (wong sekedar membaca saja, kok!).
Berapa orang yang melakukannya secara rutin?
Tetapi, tunggu dulu. Orang tua kita yang
hidup pada era 60-an itu, belum tentu bisa baca aksara Arab, bahkan banyak yang
masih buta huruf latin. Hanya sebagian saja dari keluarga petani yang sempat
mengenyam pendidikan membaca Quran melalui guru mengaji (pesantren dan madrasah
masih jarang sekali, bahkan tidak ada sama sekali). Cetakan Quran sungguh
sangat terbatas, tidak semua keluarga memiliki cetakan Quran di rumahnya.
Bagaimana dengan mereka yang buta aksara
Arab/Quran bisa membaca Quran? Itu fakta, loh!
Sebagian besar orang tua harus menerima
kenyataan, buta aksara Quran dan juga buta aksara latin.
Sebagian dari mereka mendatangi rumah guru
mengaji atau Tuan Guru (ustaz) untuk belajar mengaji. Sebagian lagi hanya
mengirimkan putra-putrinya untuk belajar mengaji, waktunya antara Magrib dan
Isya.
Tadarusan
Tadarusan artinya kegiatan membaca Quran
bersama-sama. Tadarusan itu biasanya dilakukan karena ada sesuatu peristiwa
yang terjadi, misalnya pengajian mingguan, bulanan, kedatangan bulan Ramadan,
dan ritual doa arwah/tahlilan tiga hari, tujuh hari, atau empat puluh hari
meninggalnya seseorang.
Tadarusan
yang bermanfaat dan tadarusan yang sia-sia
Tadarusan itu ada yang bermanfaat dan ada
yang sia-sia belaka.
Tadarusan yang bermanfaat misalnya, tadarusan
itu dikelola ala taklim atau pembelajaran. Tadarusan dipimpin oleh seorang guru
mengaji atau beberapa orang tutor sebaya.
Caranya, setiap peserta tadarusan yang sudah
ditunjuk untuk/wajib membacakan satu juz, dia harus membaca ayat-ayat Quran
dengan suara yang lantang agar bisa didengar oleh orang lain. Guru dan tutor
bertugas menyimak dan memperbaiki bacaan (tajwid) jika pentadarus melakukan
kesalahan membaca. Satu-persatu pentadarus membaca sementara yang lain tidak
perlu membaca tetapi cukup menyimak. Dengan demikian pentadarus bisa
memperbaiki kesalahannya dan tidak akan mengulangi kesalahan yang sama.
Pentadarus yang lain tentu mendapatkan pemahaman tambahan dengan cara ini.
Dengan demikian, kualitas bacaan/tajwid jauh
lebih penting daripada sekedar mengejar banyaknya halaman/juz.
Tadarusan sia-sia
Model begini banyak dilakukan di kampung-kampung.
Semua pentadarus berlomba-lomba membaca cepat demi target selesai juz yang
diwajibkan kepadanya. Suara membaca menjadi hiruk-pikuk. Kuantitas halaman/juz
menjadi lebih penting. Salah dan benar dalam membaca si pembaca tidak tahu,
guru atau tutor juga tidak tahu, apa lagi pentadarus yang lain.
Apa yang didapat pentadarus dan orang lain
dari kegiatan tadarusan model begini?
Tidak ada manfaatnya dan bahkan sia-sia!
Perhatikan kasus berikut ini.
Ada anggota masyarakat meninggal dunia. Usai
pemakaman si mayit, ada seorang mendatangi keluarga almarhum. Arah
perbincangannya dengan keluarga almarhum adalah kegiatan tahlilan/ngaji dan doa
arwahan. Dia menawarkan diri untuk memimpin (biasanya punya grup
khusustahlilan) kegiatan tahlilan, mau tiga malam, tujuh malam, atau empat
puluh malam, mau di rumah atau bikin tenda di kuburan, terserah kemauan dan
kemampuan empunya keluarga. Transaksi “wani piro” yang ujung-ujungnya harga dan
duit.
Jika sudah sepakat dan deal, pemimpin grup
akan mengatur anggotanya, siapa membaca juz berapa dan berapa juz sesuai dengan
durasi tahlilan. Ketika hari H tiba, setiap anggota sudah tahu kewajibannya
membaca juz apa dan juz berapa. Usai waktu Isya, semua anggota grup membaca
dengan suara keras dan sedapat-dapatnya lebih cepat, ikan sepat ikan gabus:
lebih cepat tentu lebih bagus! Nafsi-nafsi,
lu ellu, gue gue!
Kalau sudah begitu, sadarkah bahwa dia bisa
saja melakukan kesalahan dalam membaca? Tahukan teman-temannya bahwa dia salah
dalam membaca?
Pahamkah dia apa yang dibacanya?
Siapa peduli siapa?
Apa manfaatnya bagi dia? Apa manfaatnya bagi
pihak keluarga almarhum?
Apa begitu pesan Quran yang dia baca?
Sopir
angkot kejar setoran
Kita semua pasti mahfum
tingkah laku sopir angkot mencari muatan. Kita puji daya juangnya mencari
nafkah menegakkan nyawa kehidupannya dan juga anggota keluarga yang diampunya.
Dia juga pejuang dan dia berjihad.
Sayang sekali, jihadnya tidak berbanding
lurus dengan penegakan hokum dalam kehidupan berlalu-lintas. Memang hanya
segelintir, tetapi tetap saja menjadi sebuah stereotype bahwa semua sopir
angkot begitu.
Demi mengejar setoran yang menjadi
kewajibannya, dia bisa dengan enteng tanpa rasa berdosa menerobos lampu merah,
berhenti mengambil dan juga menurunkan penumpang sembarangan, membelok atau
menikung tanpa memberi isyarat, ngetem sesuka hati, tanpa SIM tetapi tetapi
tetap nekat mengemudi/sopir tembak, angkot tanpa pemenuhan standar
berlalu-lintas, angkot seadanya, bahkan surat-surat pun tidak lengkap, dll.
Inputnya tidak baik, prosesnya melawan hokum,
outputnya tentu saja buruk (garbage in, garbage out).
Sopir tembak, mengemudi dengan keseringan
bermain kucing-kucingan dengan Polantas, perasaan takut terkena tilang, dan
uang tarikan belum tentu mencukupi setoran. Merugilah dia!
ODOJ memang mulia dan itu sebabnya digagas.
Artis beken, kiai beken, selebritas, dan pejabat Kemenag pun berpartisipasi dan
mendukung gerakan ODOJ. Jaya Suprana dengan MURI-nya berpartisipasi dengan
memberi kado istimewa dengan rekor khusus. Banyak muslim mengapresiasi dan
ingin pula menjadi members.
ODOJ cocok untuk muslim yang tinggal di
pedesaan, pedalaman, dan perdesaan yang muslimnya adalah petani. Mereka punya
waktu yang cukup untuk membaca ODOJ.
ODOJ cocok untuk para pensiunan karena mereka
punya banyak waktu luang untuk membaca ODOJ.
Yang penting (kayaknya) adalah target
tercapai, ODOJ. Kuantitasnya, satu bulan (30 hari) khatam membaca Quran. Apa
susahnya ODOJ buat yang punya waktu? Peduli amat dengan rambu-rambu tajwid!
Katanya Nasruddin Umar (Prof. Dr.; Wamen Ag.)
melalui ODOJ kita membumikan Quran tetapi melangitkan manusia. Bagi intelektual
muslim, motto ini bisa ditangkap, tetapi bagi muslim awam, apa pula itu?
Memang, selama ini, di Indonesia khususnya,
Quran itu sepertinya berada di langit. Kiai, ustaz, ulama, dan intelektual
muslim memang tetap menjadikan Quran di langit melalui tausiah yang melangit.
Sementara manusia, makhluk pelaksana pesan Quran ada di bumi dan tetap berada
di bumi sampai kiamat.
Bagaimana ceritanya, Quran akan membumi, eh,
manusia malah mau dilangitkan?
Bagaimana logika ini, Prof.?
Kalau ODOJ dimaksudkan dengan target satu
hari satu juz sesuai dengan nama yang disandangnya, apa bedanya dengan kelakuan
sopir angkot mengejar setoran?
Apa bedanya ODOJ dengan tadarusan ala
kampung?
ODOV (one day one verse) lebih realistis
Tibang bergiat ODOJ yang bombastis, mending
kita bergiat ODOV saja. Menggiat iqra one
day one verse (satu hari satu ayat) tetapi sangat memahami pesan ayat walaupun
hanya satu ayat saja per hari sungguh jauh lebih bermanfaat dari pada ODOJ!
Quran itu terdiri atas 6.236 ayat. Jika kita
iqra satu ayat Quran per hari, maka kita butuh waktu 6.236 hari atau selama 17
tahun 1 bulan1 hari.
Memang cukup memakan waktu yang lama, tetapi
percayalah, kita paham pesan-pesan Quran.
Misalnya, kita memulai iqra ODOV pada usia 20
tahun, maka pada usia 37 tahun, kita sudah memahami pesan-pesan Quran.
Dia menjadikan dirinya tetap berada di bumi
dan semakin kuat dia membumikan Quran dengan cara yang benar.
ODOV lebih realistis membumi.
Insya Allah.
Jakarta, 12 Mei 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar