Minggu, 26 Januari 2014

NIAT DAN AMALIAH YANG SINERGIS



 Lanjutan Niat ....
Niat buruk, kegiatan buruk, hasil pun pasti buruk
Contoh:
Saya tidak punya uang (kondisional). Saya harus punya uang dan harus mendapatkannya. Saya bermaksud/bertekad mencuri (niat; terlarang; haram).
Saya pun beraksi mencuri. Sasaran saya adalah isi brankas milik koperasi Polri di kantor Polda Metro, di ruang bendaharawan. Saya membuka kunci brankas dengan kunci palsu.
Aksi saya mencuri diketahui orang. Saya pun ditangkap dan dijebloskan ke dalam sel.
Niat saya buruk (ingin mencuri), kegiatan saya membuka brankas menggunakan anak kunci palsu (jahat), dan outputnya adalah, saya ditangkap (buruk), outcome-nya adalah, saya dibui untuk beberapa bulan (buruk).

Sejatinya, amal itu amat tergantung sangat kepada niat. Amal yang tegak dan lurus datang dari niat yang tegak dan lurus.
Niat kita mau makan nasi, ya, tindakan kita adalah mengambil piring, sendok, garpu, dan kemudian menyendok nasi. Salah kalau kita ambil obat, kopi, atau sendok teh.
Niat kita mau mandi, ya, tindakan kita adalah mengambil handuk, sabun, shampoo, sikat gigi, pasta gigi, pakain salin, lalu kita pergi ke kamar mandi.
Keliru banget kalau kita mengambil kain pel dan sikat sepatu lalu menuju gudang.
Kita prihatin akan kondisi penderitaan para korban bencana banjir yang harus dan terpaksi tinggal di posko pengungsian. Kita berniat membantu. Tindakan kita adalah mengantarkan dengan segera bantuan barang in natura yang amat dibutuhkan mereka.
Keliru abis kalau kalau tindakan kita mengadakan zikir akbar, istigasah, dan doa bareng. Keliru abis kalau kita datang ke tempat mereka bermodalkan materi tausiah dan menceramahi mereka.
Kita bangga pernah memiliki seorang Gus Dur sang pejuang demokrasi dan pluralisme dan selalu berjuang untuk itu selama hidupnya. Kita cinta kepada beliau, selagi hidupnya, dan setelah wafatnya.
Tentu cinta dan hormat kita kepada beliau adalah melanjutkan semangat kejuangan dan mewujudkan dalam tindakan menegakkan demokrasi dan pluralisme sesuai dengan profesi, kapasitas, dan kondisi kita. Pasti bermanfaat bagi warga negara dan bangsa kita.
Salah dong mewujudkan cinta dan hormat kepada Gus Dur dengan mengadakan haulan setiap tahun, mengunjungi kuburannya, berdoa di kuburannya, dan kesalahan yang parah, membaca Quran di atas makamnya.
Tetapi, ya begitulah kelakuan sebagian muslim!
Quran sebagai pedoman hidup hanya terucap di bibir. Keteladanan Nabi saw yang berakhlak agung dalam reading text syair-syair dan kisahnya, hanya dibaca dalam lantunan syair-syair Barzanji made in thirteenth century yang sudah out of date tetapi diimani, diajarkan, dipelajari, dan dimasukkan dalam kurikulum madrasah, majelis taklim, dll.
Tampak lucu ketika menyaksikan orang-orang tua manula jemaah majelis taklim melafal/melisankan syair-syair Barzanzi berbahasa Arab. Sulit bagi para manula melisankannya walaupun diminta ustaz mengulang-ulang berlisan. Bagi ustaz tentu saja mudah melisankan.
Sang cucu yang kebetulan hadir juga dalam taklim, ketika sampai di rumah berkata kepada sang kakek.
“Kakek, kan kakek ikut pengajian sudah lama banget. Kok materinya kayak gitu-gitu aja nggak ada kemajuan?!”
“Jadi kakek harus bagaimana dong, Cu?” tangkis sang kakek dengan lembut.
“Usulkan ustaz diganti, atau Kakek tak usah lagi ikut pengajian di situ!”
Quran hanya sebatas dibaca, dihafal, dan beberapa ayatnya dijadikan rapalan sebagai doa mujarab dan dikatakan ayat-ayat asy-syifa (penyembuh, penawar penyakit). Astagfirullah!)
Quran diterjemahkan kering eksplisit harfiah tetapi tidak ditindaklanjuti dengan pembelajaran, penjabaran, dan penelaahan sebagai aayatihi (tanda-tanda kebesaran-Nya) sebagai sumber pembelajaran tak bertepi, sumber riset yang takkan pernah habis, sumber rekayasa teknologi yang terpampang secara nyata di layar dunia yang amat lebar serta tersedia di perut dan permukaan bumi.
Jakarta, 26 Januari 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar