Lanjutan Niat ....
Niat
buruk, kegiatan buruk, hasil pun pasti buruk
Contoh:
Saya tidak punya uang (kondisional). Saya
harus punya uang dan harus mendapatkannya. Saya bermaksud/bertekad mencuri
(niat; terlarang; haram).
Saya pun beraksi mencuri. Sasaran saya adalah
isi brankas milik koperasi Polri di kantor Polda Metro, di ruang bendaharawan.
Saya membuka kunci brankas dengan kunci palsu.
Aksi saya mencuri diketahui orang. Saya pun
ditangkap dan dijebloskan ke dalam sel.
Niat saya buruk (ingin mencuri), kegiatan
saya membuka brankas menggunakan anak kunci palsu (jahat), dan outputnya
adalah, saya ditangkap (buruk), outcome-nya
adalah, saya dibui untuk beberapa bulan (buruk).
Sejatinya, amal itu amat tergantung sangat
kepada niat. Amal yang tegak dan lurus datang dari niat yang tegak dan lurus.
Niat kita mau makan nasi, ya, tindakan kita
adalah mengambil piring, sendok, garpu, dan kemudian menyendok nasi. Salah
kalau kita ambil obat, kopi, atau sendok teh.
Niat kita mau mandi, ya, tindakan kita adalah
mengambil handuk, sabun, shampoo, sikat gigi, pasta gigi, pakain salin, lalu
kita pergi ke kamar mandi.
Keliru banget kalau kita mengambil kain pel
dan sikat sepatu lalu menuju gudang.
Kita prihatin akan kondisi penderitaan para
korban bencana banjir yang harus dan terpaksi tinggal di posko pengungsian.
Kita berniat membantu. Tindakan kita adalah mengantarkan dengan segera bantuan
barang in natura yang amat dibutuhkan mereka.
Keliru abis kalau kalau tindakan kita
mengadakan zikir akbar, istigasah, dan doa bareng. Keliru abis kalau kita
datang ke tempat mereka bermodalkan materi tausiah dan menceramahi mereka.
Kita bangga pernah memiliki seorang Gus Dur sang
pejuang demokrasi dan pluralisme dan selalu berjuang untuk itu selama hidupnya.
Kita cinta kepada beliau, selagi hidupnya, dan setelah wafatnya.
Tentu cinta dan hormat kita kepada beliau
adalah melanjutkan semangat kejuangan dan mewujudkan dalam tindakan menegakkan
demokrasi dan pluralisme sesuai dengan profesi, kapasitas, dan kondisi kita.
Pasti bermanfaat bagi warga negara dan bangsa kita.
Salah dong mewujudkan cinta dan hormat kepada
Gus Dur dengan mengadakan haulan setiap tahun, mengunjungi kuburannya, berdoa
di kuburannya, dan kesalahan yang parah, membaca Quran di atas makamnya.
Tetapi, ya begitulah kelakuan sebagian muslim!
Quran sebagai pedoman hidup hanya terucap di
bibir. Keteladanan Nabi saw yang berakhlak agung dalam reading text syair-syair dan kisahnya, hanya dibaca dalam lantunan
syair-syair Barzanji made in thirteenth
century yang sudah out of date
tetapi diimani, diajarkan, dipelajari, dan dimasukkan dalam kurikulum madrasah,
majelis taklim, dll.
Tampak lucu ketika menyaksikan orang-orang
tua manula jemaah majelis taklim melafal/melisankan syair-syair Barzanzi
berbahasa Arab. Sulit bagi para manula melisankannya walaupun diminta ustaz
mengulang-ulang berlisan. Bagi ustaz tentu saja mudah melisankan.
Sang cucu yang kebetulan hadir juga dalam
taklim, ketika sampai di rumah berkata kepada sang kakek.
“Kakek, kan kakek ikut pengajian sudah lama
banget. Kok materinya kayak gitu-gitu aja nggak ada kemajuan?!”
“Jadi kakek harus bagaimana dong, Cu?”
tangkis sang kakek dengan lembut.
“Usulkan ustaz diganti, atau Kakek tak usah
lagi ikut pengajian di situ!”
Quran hanya sebatas dibaca, dihafal, dan beberapa
ayatnya dijadikan rapalan sebagai doa mujarab dan dikatakan ayat-ayat asy-syifa (penyembuh, penawar penyakit).
Astagfirullah!)
Quran diterjemahkan kering eksplisit harfiah
tetapi tidak ditindaklanjuti dengan pembelajaran, penjabaran, dan penelaahan
sebagai aayatihi (tanda-tanda
kebesaran-Nya) sebagai sumber pembelajaran tak bertepi, sumber riset yang
takkan pernah habis, sumber rekayasa teknologi yang terpampang secara nyata di
layar dunia yang amat lebar serta tersedia di perut dan permukaan bumi.
Jakarta, 26 Januari 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar