Minggu, 05 Januari 2014

SEDEKAH DAN DOA





Sedekah itu bagian dari doa
Rujukan:
QS 2: 2 s.d. 5; 177;
QS 3: 134
QS 6: 3
QS 107: 1 s.d. 6
(masih banyak ayat yang dapat dijadikan rujukan tentang kedudukan sedekah dalam ajaran Islam)
Sedekah artinya pemberian sesuatu kepada fakir miskin atau yang berhak menerimanya, di luar kewajiban zakat dan zakat firtah sesuai dengan kemampuan pemberi; derma (KBBI: 2008).
Kata sedekah adalah kata serapan/adaptasi, terambil dari kata shadaqah (ash-shadaqah, tunggal; shadaqaat, jamak; bahasa Arab). Ketika wahyu Allah tentang ber-infaq/bersedekah disampaikan kepada Nabi saw, lalu dibacakan, dan disosialisasikan oleh Nabi saw, para sahabat terdekat langsung mengiyakan, setuju, dan siap melaksanakan. Kemudian diikuti oleh pengikut Nabi saw, sampai kepada kita sekarang ini.
Pengertian sedekah tak dapat dipisahkan dari perintah infak/berinfak (berbagi sebagiankecil) dari harta yang dimiliki kepada orang lain (yang tidak mampu). Pengertian infak/berinfak, oleh para ulama, dipilah lagi menjadi berzakat dan bersedekah.
Berzakat itu berupa harta (zakat maal) yang nilainya telah ditetapkan (21/2 % dari nilai nominal) dan waktunya tertentu (satu tahun, setiap memperoleh pendapatan), dan zakat fitrah (diserahkan kepada mustahik sebelum Idul Fitri).
Sedekah dapat diserahkan kepada mustahik (yang berhak), misalnya fakir miskin atau anak yatim kapan saja waktunya: setiap hari, setiap jam. setiap bulan, setiap tahun, tak ada halangan.
Bersedekah itu dapat dilakukan oleh siapa saja, orang kaya yang punya kelebihan harta menjadi wajib hukumnya. Orang yang tidak kaya tidak terhalang bersedekah, bahkan orang yang hidupnya cukup-cukupan pun boleh/dianjurkan (lihat QS 3: 134). Nabi saw, istri-istri Nabi saw, dan para sahabat biasa melakukannya tanpa harus menunggu harta berlebih (harus kaya dulu).
Para mustahik sedekah itu tidak mutlak selama-lamanya, tetapi diberikan ketika/selagi dia sangat membutuhkan (fakru; miskin). Mustahik itu ada di mana-mana, ada di sekitar kita, kerabat dekat, dan tetangga kita mungkin (dzil qurbaa) jauh lebih utama ketimbang orang jauh.
Perhatikan dialog berikut ini.
Ada dua orang berdialog tentang sedekah, yaitu Ali (A) dan Pak Budi (B).
A: Pak Budi, saya ingin bersedekah.
B: Baik, Ali. Berapa?
A: Ini ada Rp 10.000,00
B: Saya terima, Ali. Terima kasih.
A: Terima kasih kembali.
Cukup seperti itu. Sederhana sekali, bukan? Kalimat lain-lain adalah basa-basi.
Ali dan Pak Budi telah melakukan transaksi serah-terima uang sedekah. Keduanya adalah hamba Allah. Mereka melaksanakan perintah Allah.
Dialog kedua: Caca (C), penderma, dan Pak Dodo (D), pengurus infak.
            C: Pak Dodo, saya ingin bersedekah. Ini ada uang Rp 50.000,00
            D: Baik, Caca. Saya terima sedekahmu. Terima kasih.
C: (berbisik) Pak Dodo, sekalian saya titip doa biar saya cepat dapat 
     jodoh.
D: Oh, maaf Caca. Saya bukan biro bawa/angkut titip doa. Saya hanya
     menerima infak. Kalau mau enteng jodoh, berdoa saja sendiri. Doa itu
     nafsi-nafsi, masing-masing.
C: Masakan Pak Dodo tidak mau mendoakan saya, sih!
D: Caca, Caca! Yang benar dan lebih tepat itu berdoa sendiri. Yang tidak
     benar itu menitip doa. Yang benar itu mendoakan. Caca, dengarkan
     doa  saya, “Ya, Allah. Caca itu ingin cari jodoh. Oleh karena itu,
     berikan dia segera jodoh yang terbaik, ya Allah.”
Pada dialog kedua di atas, Caca bertindak keliru. Dia bersedekah tapi dilandasi pamrih dengan menitip doa. Pak Dodo meluruskannya.
Dialog ketiga: Endang (E), penderma, dan Fahrul (F), pengurus Masjid Jami’.
            E: Pak Fahrul, saya berinfak Rp 100.000,00. Mohon titip dan kirim
               bacaan Al Fatihah untuk kedua orang tua saya dan para almarhum.
            F: Tentu, tentu, Endang. Terima kasih. Tolong dituliskan nama-nama
               almarhum supaya kami tidak salah kirim bacaan dan doa untuk
               mereka.
Pada dialog ketiga di atas, tersirat dengan jelas bahwa E dan F melakukan kekeliruan dalam praktik beragama Islam. E dan F menganggap doa dan ayat Quran itu sebagai barang titipan, bisa dititip-titip melalui pihak lain, dan bakal sampai ke pihak yang dituju (para almarhum di alam penantian). E menganggap F seperti biro angkut (doa dibayar Rp 100.000,00). F pun mengangkut titipan (pahala bacaan Al Fatihah) kepada Allah dan meminta Allah menunjuki para almarhum menuju ke jalan yang benar.
Piye toh?
Berlanjut ….

Lanjutan Sedekah dan Doa
Doa dan berdoa bukan barang dagangan bukan barang titipan
Rujukan:
QS 2: 186
QS 40: 60
Kalau ada lembaga yang mengoordinasi sedekah tentu bagus juga (badan zakat atau infak) untuk mencari, mengumpulkan, dan mendistribukan sedekah. Nawaitu yang mulia itu ditindaklanjuti dengan amaliah mulia pula. Contohnya lembaga Sedekah Harian yang menggunakan jejaring sosial twitter di internet.
Nawaitu lembaga ini bagus banget! Pengelolanya, anak-anak muda yang kreatif berempati tinggi terhadap masyarakat bawah. Mereka megimbau dan mengajak umat untuk berderma Rp 1.000,00/hari. Nawaitu selanjutnya, uang hasil derma itu akan disimpan, diamankan dalam rekening bank, dan kemudian akan dipergunakan dalam kegiatan pembangunan/pemberdayaan masyarakat kelas bawah. Nilai uang yang fantastis besarnya!
Alangkah mulianya kegiatan mereka (jika nawaitu dengan amal seiring sejalan) ditindaklanjuti.
Eeeh, ada satu dua oknum pengelola mulai mengada-ada. Oknum yang sudah mulai dikenal namanya bikin ulah. Melalui twitter-nya berkicau, katanya, kalau calon penderma mau didoakan, dipersilakan titip doa, dan titip doa mustajab di tanah suci, ketika si oknum berumrah dan berhaji. Syaratnya, doa yang dititip harus dibayar di muka melalui sedekah di website yang dikelolanya.
Cara model oknum pengelola itu sudah cara haram dan harus dihentikan!
Janganlah sampai niat mengumpulkan dana dan mendistribusikan dana lalu kemudian dicampuradukkan dengan kegiatan haji dan umrah, titip-menitip doa. Mau didoakan si penitip doa bersedekah/membayar. Makin besar nilai uang sedekahnya, makin banyak kalimat doa dipanjatkan, dan tempat berdoa dipilih tempat yang mustajab (konon di depan Ka’bah, di maqam Ibrahim, di Hijir Ismail, di Arafah, dan hebatnya lagi di Raudhah, Masjid Nabawi, Madinah).
(Kalau membayar doa titipannya murah, berdoanya mungkin cukup di pojok toilet. Kalau agak besar nilai bayar doa titipannya, berdoanya di Masjid Istiqlal. Kalau nilainya sudah jutaan, berdoanya selagi umrah, di Mekkah atau Madinah)
Kegiatan titip-titip doa saja tak ada ajarannya dalam Quran dan teladan Nabi saw. Apatah lagi titip-menitip doa dengan cara membayar/menarik bayaran itu adalah bentuk pembengkokan, pelencengan, dan penyesatan terhadap praktik agama Islam.
Astaghfirullah!
Maka, marilah kita mempelajari Islam secara utuh dengan cerdas agar tidak mudah digiring oleh oknum yang bermental culas.
Memang, sudah ada para penderma yang sukarela dan  tulus- ikhlas berinfak. Karena keawaman terhadap ajaran dan praktik Islam, di sela berinfak itu, mereka ada yang membayar untuk paket titip doa. Upaya pembelokan niat yang tulus itu pun ada hasilnya. Adalah embel-embel bayar sekian-sekian untuk doa mustajab, dapat dititipkan via oknum, dan si oknum pun berdoa. Apakah kita tahu kalimat yang dia ucapkan? Benarkah dia berdoa? Jangan-jangan cuma komat-kamit bibir nggak karuan!
Orang Islam yang awam sering tertipu dengan tampilan fisik sang oknum, apa lagi oknum tersebut sudah punya nama. Jadilah penampilan kompetensi, kapasitas, dan kepribadian asli oknum terabaikan.
Untunglah, selalu ada individu Islam yang cerdas yang segera meluruskan oknum muslim yang bertindak culas. Saudara-saudara kita yang muda-muda dan punya passion mengabdikan hidupnya untuk kemaslahatan umat sudah menyadari dan siap menghentikan praktik mulia yang hampir diculasi.
QS 40: 60
Wa qaala rabbukum ‘ud’uunii astajiblakum ….”
“Dan berkata Tuhanmu, berdoalah kamu, pasti Aku kabulkan (doamu).”
Ngapain Ente nitip-nitip doa ame orang laen!
Jakarta, 6 Januari 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar