Sedekah
itu
bagian dari doa
Rujukan:
QS 2: 2 s.d. 5; 177;
QS 3: 134
QS 6: 3
QS 107: 1 s.d. 6
(masih banyak ayat yang dapat dijadikan
rujukan tentang kedudukan sedekah dalam ajaran Islam)
Sedekah artinya pemberian
sesuatu kepada fakir miskin atau yang berhak menerimanya, di luar kewajiban
zakat dan zakat firtah sesuai dengan kemampuan pemberi; derma (KBBI: 2008).
Kata sedekah
adalah kata serapan/adaptasi, terambil dari kata shadaqah (ash-shadaqah, tunggal; shadaqaat, jamak; bahasa Arab). Ketika
wahyu Allah tentang ber-infaq/bersedekah
disampaikan kepada Nabi saw, lalu dibacakan, dan disosialisasikan oleh Nabi
saw, para sahabat terdekat langsung mengiyakan, setuju, dan siap melaksanakan.
Kemudian diikuti oleh pengikut Nabi saw, sampai kepada kita sekarang ini.
Pengertian sedekah tak dapat dipisahkan dari
perintah infak/berinfak (berbagi sebagiankecil) dari harta yang dimiliki kepada
orang lain (yang tidak mampu). Pengertian infak/berinfak, oleh para ulama,
dipilah lagi menjadi berzakat dan bersedekah.
Berzakat itu berupa harta (zakat maal) yang nilainya telah ditetapkan (21/2
% dari nilai nominal) dan waktunya tertentu (satu tahun,
setiap memperoleh pendapatan), dan zakat fitrah (diserahkan kepada mustahik
sebelum Idul Fitri).
Sedekah dapat diserahkan kepada mustahik
(yang berhak), misalnya fakir miskin atau anak yatim kapan saja waktunya:
setiap hari, setiap jam. setiap bulan, setiap tahun, tak ada halangan.
Bersedekah itu dapat dilakukan oleh siapa
saja, orang kaya yang punya kelebihan harta menjadi wajib hukumnya. Orang yang
tidak kaya tidak terhalang bersedekah, bahkan orang yang hidupnya cukup-cukupan
pun boleh/dianjurkan (lihat QS 3: 134). Nabi saw, istri-istri Nabi saw, dan
para sahabat biasa melakukannya tanpa harus menunggu harta berlebih (harus kaya
dulu).
Para mustahik sedekah itu tidak mutlak
selama-lamanya, tetapi diberikan ketika/selagi dia sangat membutuhkan (fakru; miskin). Mustahik itu ada di
mana-mana, ada di sekitar kita, kerabat dekat, dan tetangga kita mungkin (dzil qurbaa) jauh lebih utama ketimbang
orang jauh.
Perhatikan dialog berikut ini.
Ada dua orang berdialog tentang sedekah,
yaitu Ali (A) dan Pak Budi (B).
A: Pak Budi, saya
ingin bersedekah.
B: Baik, Ali. Berapa?
A: Ini ada Rp
10.000,00
B: Saya terima, Ali.
Terima kasih.
A: Terima kasih
kembali.
Cukup seperti itu. Sederhana sekali, bukan?
Kalimat lain-lain adalah basa-basi.
Ali dan Pak Budi telah melakukan transaksi
serah-terima uang sedekah. Keduanya adalah hamba Allah. Mereka melaksanakan
perintah Allah.
Dialog kedua: Caca (C), penderma, dan Pak
Dodo (D), pengurus infak.
C:
Pak Dodo, saya ingin bersedekah. Ini ada uang Rp 50.000,00
D:
Baik, Caca. Saya terima sedekahmu. Terima kasih.
C: (berbisik) Pak Dodo,
sekalian saya titip doa biar saya cepat dapat
jodoh.
D: Oh, maaf Caca.
Saya bukan biro bawa/angkut titip doa. Saya hanya
menerima infak. Kalau mau enteng jodoh,
berdoa saja sendiri. Doa itu
nafsi-nafsi, masing-masing.
C: Masakan Pak Dodo
tidak mau mendoakan saya, sih!
D: Caca, Caca! Yang
benar dan lebih tepat itu berdoa sendiri. Yang tidak
benar itu menitip doa. Yang benar itu
mendoakan. Caca, dengarkan
doa
saya, “Ya, Allah. Caca itu ingin cari jodoh. Oleh karena itu,
berikan dia segera jodoh yang terbaik, ya
Allah.”
Pada dialog kedua di atas, Caca bertindak
keliru. Dia bersedekah tapi dilandasi pamrih dengan menitip doa. Pak Dodo
meluruskannya.
Dialog ketiga: Endang (E), penderma, dan
Fahrul (F), pengurus Masjid Jami’.
E:
Pak Fahrul, saya berinfak Rp 100.000,00. Mohon titip dan kirim
bacaan Al Fatihah untuk kedua orang tua saya dan para almarhum.
F:
Tentu, tentu, Endang. Terima kasih. Tolong dituliskan nama-nama
almarhum supaya kami tidak salah kirim bacaan dan doa untuk
mereka.
Pada dialog ketiga di atas, tersirat dengan
jelas bahwa E dan F melakukan kekeliruan dalam praktik beragama Islam. E dan F
menganggap doa dan ayat Quran itu sebagai barang titipan, bisa dititip-titip
melalui pihak lain, dan bakal sampai ke pihak yang dituju (para almarhum di
alam penantian). E menganggap F seperti biro angkut (doa dibayar Rp
100.000,00). F pun mengangkut titipan (pahala bacaan Al Fatihah) kepada Allah
dan meminta Allah menunjuki para almarhum menuju ke jalan yang benar.
Piye
toh?
Berlanjut ….
Lanjutan Sedekah dan Doa
Doa dan
berdoa bukan barang dagangan bukan barang titipan
Rujukan:
QS 2: 186
QS 40: 60
Kalau ada lembaga yang mengoordinasi sedekah
tentu bagus juga (badan zakat atau infak) untuk mencari, mengumpulkan, dan
mendistribukan sedekah. Nawaitu yang
mulia itu ditindaklanjuti dengan amaliah mulia pula. Contohnya lembaga Sedekah Harian yang menggunakan jejaring
sosial twitter di internet.
Nawaitu lembaga ini bagus banget!
Pengelolanya, anak-anak muda yang kreatif berempati tinggi terhadap masyarakat
bawah. Mereka megimbau dan mengajak umat untuk berderma Rp 1.000,00/hari.
Nawaitu selanjutnya, uang hasil derma itu akan disimpan, diamankan dalam
rekening bank, dan kemudian akan dipergunakan dalam kegiatan
pembangunan/pemberdayaan masyarakat kelas bawah. Nilai uang yang fantastis
besarnya!
Alangkah mulianya kegiatan mereka (jika nawaitu dengan amal seiring sejalan)
ditindaklanjuti.
Eeeh, ada satu dua oknum pengelola mulai
mengada-ada. Oknum yang sudah mulai dikenal namanya bikin ulah. Melalui twitter-nya berkicau, katanya, kalau
calon penderma mau didoakan, dipersilakan titip doa, dan titip doa mustajab di
tanah suci, ketika si oknum berumrah dan berhaji. Syaratnya, doa yang dititip
harus dibayar di muka melalui sedekah di website
yang dikelolanya.
Cara model oknum pengelola itu sudah cara
haram dan harus dihentikan!
Janganlah sampai niat mengumpulkan dana dan
mendistribusikan dana lalu kemudian dicampuradukkan dengan kegiatan haji dan
umrah, titip-menitip doa. Mau didoakan si penitip doa bersedekah/membayar.
Makin besar nilai uang sedekahnya, makin banyak kalimat doa dipanjatkan, dan
tempat berdoa dipilih tempat yang mustajab (konon di depan Ka’bah, di maqam
Ibrahim, di Hijir Ismail, di Arafah, dan hebatnya lagi di Raudhah, Masjid
Nabawi, Madinah).
(Kalau membayar doa titipannya murah,
berdoanya mungkin cukup di pojok toilet. Kalau agak besar nilai bayar doa
titipannya, berdoanya di Masjid Istiqlal. Kalau nilainya sudah jutaan,
berdoanya selagi umrah, di Mekkah atau Madinah)
Kegiatan titip-titip doa saja tak ada
ajarannya dalam Quran dan teladan Nabi saw. Apatah lagi titip-menitip doa
dengan cara membayar/menarik bayaran itu adalah bentuk pembengkokan,
pelencengan, dan penyesatan terhadap praktik agama Islam.
Astaghfirullah!
Maka, marilah kita mempelajari Islam secara
utuh dengan cerdas agar tidak mudah digiring oleh oknum yang bermental culas.
Memang, sudah ada para penderma yang sukarela
dan tulus- ikhlas berinfak. Karena
keawaman terhadap ajaran dan praktik Islam, di sela berinfak itu, mereka ada
yang membayar untuk paket titip doa. Upaya pembelokan niat yang tulus itu pun
ada hasilnya. Adalah embel-embel bayar sekian-sekian untuk doa mustajab, dapat
dititipkan via oknum, dan si oknum pun berdoa. Apakah kita tahu kalimat yang
dia ucapkan? Benarkah dia berdoa? Jangan-jangan cuma komat-kamit bibir nggak karuan!
Orang Islam yang awam sering tertipu dengan
tampilan fisik sang oknum, apa lagi oknum tersebut sudah punya nama. Jadilah
penampilan kompetensi, kapasitas, dan kepribadian asli oknum terabaikan.
Untunglah, selalu ada individu Islam yang
cerdas yang segera meluruskan oknum muslim yang bertindak culas.
Saudara-saudara kita yang muda-muda dan punya passion mengabdikan hidupnya
untuk kemaslahatan umat sudah menyadari dan siap menghentikan praktik mulia
yang hampir diculasi.
QS 40: 60
“Wa qaala rabbukum ‘ud’uunii astajiblakum ….”
“Dan berkata Tuhanmu, berdoalah kamu, pasti
Aku kabulkan (doamu).”
Ngapain
Ente nitip-nitip doa ame orang laen!
Jakarta, 6 Januari 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar