Minggu, 05 Januari 2014

TAATI ALLAH, RASUL, DAN PARA PEMIMPINMU!




TAAT KEPADA ALLAH, TAAT KEPADA RASUL, DAN TAAT KEPADA PEMIMPIN, HIDUP DUNIA AKHIRAT TERPIMPIN
Harmoni antara hati, lisan, dan perbuatan
Kita semua suka akan musik, bukan? Semua manusia normal suka akan musik.
Jika kita mendengarkan orang bersenandung, telinga kita mendengar, ada rasa yang menggugah/emotional response. Bisa saja terasa nikmat karena merdunya karena yang bersenandung adalah asli penyanyi, misalnya penyanyi Raja Dangdut Rhoma Irama, Rossa, Afghan, atau Ratu Dangdut Elvie Sukaesih. Bisa saja perasaan kita biasa-biasa saja karena yang bersenandung teman sekos yang sedang mood karena sewa kos sudah lunas atau abis dapat izin cuti tahun baru. Bisa juga perasaan tidak suka mendengar/menutup telinga karena orang yang sedang bersenandung pernah menolak cinta kita. Semua perasaan itu adalah wajar-wajar saja. Hanya saja, seperti ada yang tidak lengkap mendengar senandung tanpa diiringi instrumen musik.
Jika kita mendengarkan alunan musik instrumentalia tunggal atau orkestra, respon perasaan juga tetap ada. Alat musik yang dimainkan didengar telinga amat dinikmati kalau alat yang dimainkan itu alat yang dimainkan itu adalah favorit. Penulis misalnya, permainan alat musik favorit yaang dirindukan adalah suara suling (seruling; ada sisipan/–er-/) dan gitar. Mungkin juga Saudara pembaca punya musik instrumentalia favorit, misalnya saxofon, drum, atau gendang. Kate orang Betawi, Enak didengar kuping enak dirase di ati.
Hanya saja, musik instrumentalia belum terasa lengkap dinikmati, simfoni orkestra atau bunyi musik yang dimainkan oleh grup band misalnya, terasa belum cukup menghibur sampai perasaan kita puas. Terasa ada yang kurang nikmat. Apaan tuh?
Ada penyanyi yang menyanyi, ada instrumen musik yang dimainkan, dan ada harmoni, baru ada hiburan, dan kita merasakan kepuasan dengan kehadiran musik dalam kehidupan kita. Musik adalah bagian tak terpisahkan dari kehidupan manusia normal. Musik yang harmonis yang kita nikmati adalah bagian dari wujud ke-Maha Besar-an Allah, dan sudah seharusnya/wajib kita mensyukurinya. Pengaruh musik yang nikmat terasa akan memberi dampak positif menambah motivasi, spirit, vitalitas dalam kita bekerja, belajar, dan berkarya (beramal saleh).
Bahkan, pada zaman modern ini, banyak manusia meraih kesuksesan hidup dengan berprofesi sebagai pemusik/penyanyi, yang kita kenal dengan nama artis. Lebih hebat lagi, profesi artis membawa pengaruh menaiknya popularitas





pribadi (menjadi selebritas), menaiknya sumber penghasilan, bertambahnya harta kekayaan, merambah ke profesi lain dengan lebih mudah, dan berujung meningkatnya status sosial. Lihat saja bukti yang penulis tampilkan berikut ini.
Primus Justisio dan istrinya Jihan Fahira; Eko Patrio; Angel Lelga; Deddy Mizwar; Rieke Dyah Pitaloka; Dede Yusuf; Vena Melinda; Marissa Haq; Tere; Tentu saja tidaklah lengkap kalau belum menyebut nama Rhoma Irama.
(Islam mengajarkan dengan gamblang, bahwa kehidupan yang baik di akhirat itu sebenarnya sudah dapat dilihat dan dirasakan di dunia: baik dan nikmat di dunia, baik dan nikmat pula di akhirat.
Muslim yang hidupnya nikmat di dunia, artinya dia telah melaksanakan tugas kekhalifahan: mengelola diri sendiri, keluarga, masyarakat, negara, dan mungkin bangsanya, sepanjang hayatnya, maka sorgalah tempatnya kelak di akhirat. Ibarat petani yang mempersiapkan benih, membajak, menanam, merawat, dan menjaganya dari ancaman hama dengan segala kesabaran

Umat Islam di Indonesia ini mayoritas dalam hal kuantitas. Bahkan Indonesia adalah negara berpenduduk muslim terbesar di dunia. Sayang potensi mayoritas kuantitas penduduk ini tidak bisa diimbangi oleh bertumbuhnya  kualitas penduduk. Kita tidak usah malu-malu mengakui, bahwa dalam hal kualitas, penduduk kita ini minor/mini. Apa yang salah, Saudara?
Berlanjut ….
Lanjutan
Disharmoni antara hati, lisan, dan perbuatan
Dalam hal pengelolaan hidup oleh manusia, merujuk kepada kata-kata Nabi saw, Islam itu didasarkan pada tiga hal: diucapkan dengan lisan; diyakini dengan hati yang teguh; dan dilakukan dalam wujud amaliah nyata.
Ucapan, keyakinan, dan amaliah itu harus disinergikan sehingga menjadi sebuah harmoni kepribadian setiap pribadi muslim.
Sebagian dari kita membaca dan melafalkan Al Fatihah setiap rakaat dalam salat (17 kali setiap hari sebagai bagian yang wajib dari rukun salat). Atas dasar/alasan sunnah: kita rajin tadarusan Al Quran setiap hari/malam dan sedapat mungkin mengkhatamkan bacaan Quraan; kita membaca Yasin minimal setiap malam Jumat sekali seminggu; kadang-kadang kita diundang ikut acara tahlilan atau ruahan (sebagian kecil saja yang menghidupkan tradisi).
Apa orientasi mengadakan acara pelafalan ala tradisi yang tidak ada dasar perintah Allah dan tuntunan Nabi saw?
Orientasi mereka adalah mengejar ganjaran pahala berlipat ganda dengan cara rajin membaca dan melafal Quran. Keyakinan yang mengakar tentang adanya ganjaran pahala itu diimani/diyakini, yang menjadi pendorong sehingga mereka rajin membaca Quran dan bacaan lain dengan mengucap (verbalistis) tanpa perlu bersusah-susah memahami apa yang dibaca/dilafalkan. Sayangnya kepercayaan/keyakinan itu terbentuk karena faktor kebiasaan, tradisi turun-temurun,  dan ikut-ikutan saja tanpa modal pengetahuan (tidak memahami).
Padahal, logically, kepercayaan itu akan semakin lama semakin kuat jika didampingi dengan pengetahuan/pemahaman yang memadai.Semakin kuat pemahamah terhadap sesuatu hal, semakin kuat pula tingkat kepercayaan terhadap sesuatu.
Contoh pameo yang berkenaan dengan kepercayaan seperti berikut ini.
Pantangan anak gadis duduk di muka pintu, nanti dilamar urung.
Tanpa basa-basi atau ba bi bu, anak gadis pun tak berani duduk di muka pintu karena berakibat akan  “jauh jodohnya”. Orang tua pun sering mengingatkan (mewanti-wanti) agar putri-putrinya patuh.
“Percaya” akan pameo itu disikapi dan ditindaklanjuti tanpa mencoba atau berupaya menelaah benar atau tidaknya.
            Anak-anak jangan keluyuran di waktu malam, nanti digondol gendruwo.
“Percaya” akan petuah itu, orang tua mengingatkan anak-anaknya agar sudah berada di dalam rumah usai azan Magrib berkumandang. Gambaran tentang gendruwo (setan) yang buruk muka dan fisik yang menyeramkan yang sering didengar anak-anak dalam petuah atau cerita. Itulah yang menjadikan mereka takut untuk bermain atau keluyuran pada waktu malam (zaman dahulu).
            Diamnya wanita tandanya setuju.
Orang tua yang punya anak gadis, tidak perlu berpayah-payah menanya berulang kali atau mengonfirmasikan jawaban kepada anak gadisnya soal lelaki yang akan menjadi calon suaminya.
“Nak, Ayah akan menjodohkan engkau dengan Pak Yoto, lelaki paruh baya yang tajir itu. Bagaimana pendapatmu, Nak?” tanya sang ayah kepada Diana si anak gadisnya.
Diana menyimak perkataan ayahnya. Diana diam saja, tidak berkata sepatah pun, dan hanya menundukkkan pandangan. Diana itu setuju atau tidak, sikap pasrah, atau dia anak yang patuh, hanya Diana yang bisa menjelaskan.
Sang ayah pun menyimpulkan bahwa Diana setuju. Kesimpulan yang diambil sang ayah seperti itu bukanlah karena pemahaman, melainkan karena yakin dan percaya kepada pameo, “diamnya wanita itu pertanda setuju”.
Berlanjut ….

Lanjutan ….
Contoh lain selain pameo adalah kata-kata/kalimat bijak
            Kebersihan adalah sebagian (separuh) dari iman.
(Sebagian dari kita yang muslim sering hidup dalam kekumuhan, jorok, berantakan/ketidakteraturan, dan melakukan pembiaran terhadap semua yang tidak bersih. Tempat ambil air wudhu atau toilet di beberapa masjid atau musala tidak bersih/resik dan malah berbau tak sedap. Masjid atau musala yang semestinya untuk salat atau meeting malah ditiduri. Jemaah yang bersalin pakaian karena mau salat malah pakaiannya yang bernajis ditaruh di atas karpet. Jika ada perhelatan pesta yang diselenggarakan di masjid, sampah pun berserakan di sekitar masjid. Para undangan pun membuang sampah sesuka hati karena menurut anggapan mereka, tugas kebersihan akan ditangani oleh pengurus masjid.)
Sorga di bawah telapak kaki ibu.
Ada banyak kasus tentang anak yang tidak mandiri karena berada di bawah pengaruh ibu. Saking takut dicap anak durhaka dan juga takut akan kehilangan kesempatan memperoleh sorga, anak begitu hormat dan patuh kepada ibunya. Jadilah si anak dijuluki “anak mama” yang manis.
Sebaliknya, kata-kata bijak “sorga di bawah telapak kaki ibu” hanya ada dalam ucapan penghias bibir (lips service). Kasus anak melawan ibu, menyiksa ibu, atau membunuh ibu kandung sudah sering kali terjadi.
Tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah.
Maknanya adalah, memberi itu lebih baik daripada menerima. Orang yang suka memberi (dermawan) jauh lebih mulia daripada orang yang meminta-minta (mengemis; pengemis) atau hanya mau menerima (kikir, pelit, medit, koret). Ajaran mulia tentang kedermawanan (kesalehan individu dan kesalehan sosial) itu sering cuma dilafalkan dalam membaca Quran, misalnya QS 107: 1 s.d. 7, tetapi tidak diikuti dengan sikap empati terhadap orang lain (egois), dan seperti berat sekali untuk diwujudkan dalam amaliah.
Kata-kata/kalimat bijak dalam contoh di atas itu benar dan sering diucapkan, fasih dilafalkan, dan mudah dilontarkan dari bibir atau mulut. Apakah sikap kita seiring dengan ucapan itu? Apakah kata-kata itu sudah dipahami, disikapi, dipraktikkan sama dan sebangun dengan ucapan?
Jika kata-kata/ucapan itu sesuai dan selaras dengan sikap, lalu diwujudkan dengan amaliah/kinerja, maka itulah wujud harmonisasi pengelolaan hidup setiap muslim.
Sayangnya, antara ucapan, sikap, dan amaliah sering tidak selaras dan tidak harmonis. Lain yang diucapkan, lain cara menyikapi, dan tidak ada wujud amaliahnya (disharmony).
Berlanjut ….

Lanjutan ….
Harmoni pandai membaca Quran, menyikapi pesan Quran, dan mewujudkan ajaran Quran
Pandai membaca Quran
Pandai membaca Quran sebagian muslim di Indonesia sama saja derajatnya dengan pandai membaca bahasa Indonesia, bahasa daerah, bahasa Inggris, atau bahasa asing lainnya (just literate), supaya tidak dikatakan buta huruf Arab, buta huruf Quran, atau buta huruf latin (illiterate). Jika kita pandai membaca saja, sama saja derajat pahala membaca Quran dengan membaca bukan Quran, misalnya teks dalam bahasa Inggris atau bahasa Mandarin.
Contoh: Analogi.
Saya berada di bandara Internasional Narita, Tokyo, Jepang.
Saya, orang Indonesia, hanya bisa berbahasa Indonesia lisan dan tulis. Saya berada di bandara Internasional Narita, Tokyo. Petunjuk-petunjuk semua ada terpampang untuk para pengunjung, namun tulisan-tulisan hanya ada dalam bahasa Jepang, Mandarin, dan Inggris. Saya hanya bisa membaca teks petunjuk yang bertuliskan huruf latin berbahasa Inggris tetapi tak mengerti artinya. Sungguh mati, saya tak kenal satu pun lambang dan huruf kanji bahasa Jepang dan Mandarin!
Kalau sudah demikian, saya harus kembali ke zaman dahulu kala, zaman orang Indonesia buta huruf. Saya ingat pepatah, “malu bertanya sesat di jalan” alias harus bertanya dengan bahasa tulis, isyarat, atau bahasa tubuh.
Saya harus katakan, tak ada manfaatnya saja bisa membaca saja tetapi tak mengerti isinya. Sia-sia belaka berada di bandara Internasional Narita kalau hanya bisa dan mengerti bahasa Indonesia.
Kita sandingkan analogi ini dengan kebisaan membaca Quran saja, lalu kita lihat sikap, perilaku, dan unjuk kerjanya.
Saya salat dan berpuasa karena saya lihat orang tua atau tetangga sebelah salat dan berpuasa.
Pandai menyikapi pesan Quran
Wujudnya, kitab Quran itu memang kitab/buku terdiri atas ratusan halaman yang bertuliskan huruf-huruf dalam bahasa Arab. Lalu, di dalam tulisan-tulisan kitab Quran itu ada huruf-huruf, kata-kata, frasa-frasa, dan kalimat yang diberi nama ayat-ayat. Semua ayat itu mengandung makna dan membawa pesan berupa ajaran Islam (sebagai kebenaran dari Allah Swt.)
Bagaimana kita bisa mengatakan Quran membawa pesan kebenaran kalau kita hanya bisa membacanya tetapi tak memahami kandungannya?
Bagaimana kita bisa mengatakan Quran itu sebagai pedoman hidup manusia kalau kalimat-kalimatnya sama sekali tidak kita pahami?
Bagaimana kita bisa mengatakan bahwa akhlak Nabi saw itu adalah Al Quran kalau kandungan Quran sama sekali tak bisa pahami?
Analogi: Saya berada di bandara Internasional Narita, Tokyo, Jepang.
Saya orang Indonesia, melek huruf, pandai berbahasa Indonesia dan bahasa Inggris ragam lisan dan tulis.
Semua petunjuk di bandara tertulis dalam tiga bahasa asing: Jepang, inggris, dan Mandarin.
Jika saya ingin pulang ke tanah air, saya tinggal melihat dan membaca petunjuk yang tertulis dalam bahasa Inggris yang saya pahami dan tidak akan saya lihat atau baca petunjuk dalam bahasa Jepang dan Mandarin. Saya mengikuti semua petunjuk itu, baik petunjuk tulisan maupun lambang/gambar. Saya akan lebih mudah dalam proses kepulangan ke tanah air. Dijamin, saya tidak akan tersesat di bandara Narita, tidak akan salah check-in, tidak akan salah masuk gate, tidak juga salah boarding pesawat, dan so yakin saya akan sampai ke tanah air. Itulah wujud nyata manfaat memahami pesan berupa informasi dan petunjuk.
Saya harus katakan, memahami bacaan itu akan  menentukan sikap: positif, negatif, atau abstain.
Saya membaca Quran dan memahami semua yang saya baca, tentu saja memahami isi pesannya: perintah, larangan, anjuran, imbauan, dll.
Perhatikanlah orang yang memahami pesan Quran! Sikapnya positif, logis dalam berpikir, optimis, bersemangat, kuat motivasinya, sabar, tabah, tawaddu’, bersyukur, jujur, rendah hati, pemurah, penyayang, berani, fight, dll.
Mewujudkan ajaran Quran yang universal
Muslim yang sering membaca dan memahami Quran berkorelasi dengan sikap positif, tentu memiliki karakter pribadi yang kokoh, lalu diiringi dengan jelas  dan nyata perwujudan amaliah (kinerja). Jutaan muslim mampu melakukannya. Ada satu dua juta muslim mampu melakukan/unjuk kerja yang berkualitas.
Namun, jangan terkaget-kaget! Ada puluhan juta nonmuslim lebih banyak lagi yang lebih mampu unjuk kerja yang lebih tinggi lagi kualitasnya daripada yang dilakukan oleh muslim.
Kok kita, muslim, tidak bisa mengimbangi mereka yang nonmuslim sampai detik ini?
Ya, kita ini, muslim, khususnya muslim di Indonesia, lebih banya berucap, melafal, dan menghafal (verbalistis) harfiah daripada memahami pesan Quran
Ya, kita lebih banyak mengharap-harap, memanjatkan doa berlama-lama, menghidupkan tradisi ritual tradisional.
Ya, kita lebih banyak manajemen kumpul-kumpul banyak jemaah dengan label Islam (istigotsah, zikir akbar, harlah, haul, dll), mengundang para ustaz ternama untuk menceramahi jemaah dengan taushiyah gaya usang yang tak ada greget, miskin inovasi, atau terobosan baru. Para jemaah yang banyak itu (konon indikator sukses perhelatan dan ternamanya/kondangnya ustaz itu dilihat dari banyaknya jemaah)  mendengarkan ucapan verbal, meniru ucapan verbal, memimpin ritual “nangis bareng”.
Berlanjut ….

Lanjutan ….
Haul dan kontraproduktifitas
Ya, kita yang muslim, sering membesarkan ritual-ritual tradisional warisan agama nenek moyang jahililah yang sama sekali tak ada ajaran yang termaktub dalam Quran dan pernah diteladankan oleh Nabi saw.
{(Kamis, 2 Januari 2014. Ponpes Tebu Ireng, Jombang, mengadakan acara (ritual tradisional) haul empat tahun wafatnya Gus Dur (haul atau assanah artinya tahun). Acara haul itu murni tradisi yang mengadop tradisi kepercayaan nenek moyang nonmuslim. Acara haul itu khusus untuk orang-orang kaya, pejabat, mantan pejabat, atau orang ternama yang sudah wafat. Contohnya almarhum Gus Dur. Menurut berita terakhir melalui tayangan tv yang penulis ketahui, Presiden RI SBY pun hadir. Protokoler kenegaraan pun otomatis menjadi sibuk. Pengamanan RI-1 sudah semestinya.)
Kita pasti maklum. Banyak orang berdatangan ke Ponpes Tebu Ireng. Jangan tanya berapa banyak orang yang datang mengunjungi makam Gus Dur pada saat yang sama. Ribuan orang!
Tujuannya, umumnya ya, berziarah. Kegiatannya ya, tahlilan, membaca Surah Yasin, dan berdoa menghadap makam (banyak peziarah yang nangis bareng padahal nggak ada yang ngompakin).
Acara haul itu tradisi yang tradisional banget! Indonesia banget! Jawa banget! Real locally!
Islam itu agama yang universal. Muslim itu ada seluruh permukaan bumi ini. Muslim di luar Indonesia tak mengadakan haul. Mengapa muslim di luar sana tidak mengadakan haul? Mereka lebih suka bertamasya untuk refreshing, mengunjungi keluarga atau sahabat yang masih hidup, atau nglembur, atau berolah raga, atau bergiat sesuatu yang bermanfaat.
Ya, karena tak ada perintah Allah, tak ada satu pun ayat Quran yang menyebut haul atau sejenisnya. Karena tak ada perintah Allah dan wahyu-Nya dalam Quran, Nabi saw pun tak pernah melakukan apa lagi berani-beranian mengada-ada, meneladankan/mencontohkan, apatah lagi mendakwahkan kepada para sahabat atau keluarga terdekat!
Haul itu jangan disebut bagian dari ibadah karena haul bukanlah ibadah. Haul bukanlah dzikir dan tak layak disebut berdzikir. Kalau mau berdzikir tempatnya di masjid, musala, ponpes, sekolah, kantor, hotel, dll tempat yang ada manusianya. Tak laik berdzikir di makam/kuburan.
Itulah contoh nyata mengapa muslim selalu berada di belakang umat lain. Muslim suka membuat ritual aneh-aneh dang mengada-ada di luar konteks ajaran Islam dan tuntunan Nabi saw. Muslim sering sekali membuang-buang waktu produktif untuk kegiatan yang sepele. Sumpah “demi waktu” itu hanya fasih diucap di bibir tetapi praktiknya doyan membuang waktu.
Jadilah muslim khususnya di Indonesia doyan menghidupkan dan “meng-akbar-kan” ritual dan upacara berbagai macam selama setahun. Muslim hanya pandai “meng-copy paste” milik orang/umat lain. Jadilah muslim Cuma pandai mengekor atau meniru produk nonmuslim. Jadilah muslim tak cakap berbuat akhirnya  memiliki mental konsumerisme. Bahkan muslim hanya pandai membeli tetapi tak cakap memelihara.
Semoga semua aktivitas yang tidak bernilai itu kita tinggalkan jauh-jauh dan kita sonsong tahun 2014 dengan semangat inovatif.
Selamat Tahun Baru 2014!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar