TAAT
KEPADA ALLAH, TAAT KEPADA RASUL, DAN TAAT KEPADA PEMIMPIN, HIDUP DUNIA AKHIRAT
TERPIMPIN
Harmoni antara hati,
lisan, dan perbuatan
Kita
semua suka akan musik, bukan? Semua manusia normal suka akan musik.
Jika
kita mendengarkan orang bersenandung, telinga kita mendengar, ada rasa yang
menggugah/emotional response. Bisa
saja terasa nikmat karena merdunya karena yang bersenandung adalah asli
penyanyi, misalnya penyanyi Raja Dangdut Rhoma Irama, Rossa, Afghan, atau Ratu
Dangdut Elvie Sukaesih. Bisa saja perasaan kita biasa-biasa saja karena yang
bersenandung teman sekos yang sedang mood
karena sewa kos sudah lunas atau abis
dapat izin cuti tahun baru. Bisa juga perasaan tidak suka mendengar/menutup
telinga karena orang yang sedang bersenandung pernah menolak cinta kita. Semua
perasaan itu adalah wajar-wajar saja. Hanya saja, seperti ada yang tidak
lengkap mendengar senandung tanpa diiringi instrumen musik.
Jika
kita mendengarkan alunan musik instrumentalia tunggal atau orkestra, respon
perasaan juga tetap ada. Alat musik yang dimainkan didengar telinga amat
dinikmati kalau alat yang dimainkan itu alat yang dimainkan itu adalah favorit.
Penulis misalnya, permainan alat musik favorit yaang dirindukan adalah suara suling
(seruling; ada sisipan/–er-/) dan gitar. Mungkin juga Saudara pembaca punya
musik instrumentalia favorit, misalnya saxofon, drum, atau gendang. Kate orang Betawi, Enak didengar kuping enak dirase di ati.
Hanya
saja, musik instrumentalia belum terasa lengkap dinikmati, simfoni orkestra
atau bunyi musik yang dimainkan oleh grup
band misalnya, terasa belum cukup menghibur sampai perasaan kita puas.
Terasa ada yang kurang nikmat. Apaan tuh?
Ada
penyanyi yang menyanyi, ada instrumen musik yang dimainkan, dan ada harmoni, baru
ada hiburan, dan kita merasakan kepuasan dengan kehadiran musik dalam kehidupan
kita. Musik adalah bagian tak terpisahkan dari kehidupan manusia normal. Musik
yang harmonis yang kita nikmati adalah bagian dari wujud ke-Maha Besar-an
Allah, dan sudah seharusnya/wajib kita mensyukurinya. Pengaruh musik yang
nikmat terasa akan memberi dampak positif menambah motivasi, spirit, vitalitas dalam
kita bekerja, belajar, dan berkarya (beramal saleh).
Bahkan,
pada zaman modern ini, banyak manusia meraih kesuksesan hidup dengan berprofesi
sebagai pemusik/penyanyi, yang kita kenal dengan nama artis. Lebih hebat lagi,
profesi artis membawa pengaruh menaiknya popularitas
pribadi
(menjadi selebritas), menaiknya sumber penghasilan, bertambahnya harta
kekayaan, merambah ke profesi lain dengan lebih mudah, dan berujung meningkatnya
status sosial. Lihat saja bukti yang penulis tampilkan berikut ini.
Primus
Justisio dan istrinya Jihan Fahira; Eko Patrio; Angel Lelga; Deddy Mizwar; Rieke
Dyah Pitaloka; Dede Yusuf; Vena Melinda; Marissa Haq; Tere; Tentu saja tidaklah
lengkap kalau belum menyebut nama Rhoma Irama.
(Islam
mengajarkan dengan gamblang, bahwa kehidupan yang baik di akhirat itu
sebenarnya sudah dapat dilihat dan dirasakan di dunia: baik dan nikmat di
dunia, baik dan nikmat pula di akhirat.
Muslim yang hidupnya nikmat di dunia, artinya dia telah
melaksanakan tugas kekhalifahan: mengelola diri sendiri, keluarga, masyarakat,
negara, dan mungkin bangsanya, sepanjang hayatnya, maka sorgalah tempatnya
kelak di akhirat. Ibarat petani yang mempersiapkan benih, membajak, menanam,
merawat, dan menjaganya dari ancaman hama dengan segala kesabaran
Umat
Islam di Indonesia ini mayoritas dalam hal kuantitas. Bahkan Indonesia adalah
negara berpenduduk muslim terbesar di dunia. Sayang potensi mayoritas kuantitas
penduduk ini tidak bisa diimbangi oleh bertumbuhnya kualitas penduduk. Kita tidak usah malu-malu
mengakui, bahwa dalam hal kualitas, penduduk kita ini minor/mini. Apa yang
salah, Saudara?
Berlanjut
….
Lanjutan
Disharmoni antara
hati, lisan, dan perbuatan
Dalam
hal pengelolaan hidup oleh manusia, merujuk kepada kata-kata Nabi saw, Islam
itu didasarkan pada tiga hal: diucapkan dengan lisan; diyakini dengan hati yang
teguh; dan dilakukan dalam wujud amaliah nyata.
Ucapan,
keyakinan, dan amaliah itu harus disinergikan sehingga menjadi sebuah harmoni
kepribadian setiap pribadi muslim.
Sebagian
dari kita membaca dan melafalkan Al Fatihah setiap rakaat dalam salat (17 kali
setiap hari sebagai bagian yang wajib dari rukun salat). Atas dasar/alasan
sunnah: kita rajin tadarusan Al Quran setiap hari/malam dan sedapat mungkin
mengkhatamkan bacaan Quraan; kita membaca Yasin minimal setiap malam Jumat
sekali seminggu; kadang-kadang kita diundang ikut acara tahlilan atau ruahan
(sebagian kecil saja yang menghidupkan tradisi).
Apa
orientasi mengadakan acara pelafalan ala tradisi yang tidak ada dasar perintah
Allah dan tuntunan Nabi saw?
Orientasi
mereka adalah mengejar ganjaran pahala berlipat ganda dengan cara rajin membaca
dan melafal Quran. Keyakinan yang mengakar tentang adanya ganjaran pahala itu diimani/diyakini,
yang menjadi pendorong sehingga mereka rajin membaca Quran dan bacaan lain
dengan mengucap (verbalistis) tanpa perlu bersusah-susah memahami apa yang
dibaca/dilafalkan. Sayangnya kepercayaan/keyakinan itu terbentuk karena faktor
kebiasaan, tradisi turun-temurun, dan
ikut-ikutan saja tanpa modal pengetahuan (tidak memahami).
Padahal, logically, kepercayaan itu akan semakin
lama semakin kuat jika didampingi dengan pengetahuan/pemahaman yang memadai.Semakin
kuat pemahamah terhadap sesuatu hal, semakin kuat pula tingkat kepercayaan
terhadap sesuatu.
Contoh
pameo yang berkenaan dengan kepercayaan seperti berikut ini.
Pantangan
anak gadis duduk di muka pintu, nanti dilamar urung.
Tanpa
basa-basi atau ba bi bu, anak gadis
pun tak berani duduk di muka pintu karena berakibat akan “jauh jodohnya”. Orang tua pun sering
mengingatkan (mewanti-wanti) agar putri-putrinya patuh.
“Percaya”
akan pameo itu disikapi dan ditindaklanjuti tanpa mencoba atau berupaya
menelaah benar atau tidaknya.
Anak-anak
jangan keluyuran di waktu malam, nanti digondol gendruwo.
“Percaya”
akan petuah itu, orang tua mengingatkan anak-anaknya agar sudah berada di dalam
rumah usai azan Magrib berkumandang. Gambaran tentang gendruwo (setan) yang
buruk muka dan fisik yang menyeramkan yang sering didengar anak-anak dalam
petuah atau cerita. Itulah yang menjadikan mereka takut untuk bermain atau
keluyuran pada waktu malam (zaman dahulu).
Diamnya
wanita tandanya setuju.
Orang
tua yang punya anak gadis, tidak perlu berpayah-payah menanya berulang kali
atau mengonfirmasikan jawaban kepada anak gadisnya soal lelaki yang akan
menjadi calon suaminya.
“Nak,
Ayah akan menjodohkan engkau dengan Pak Yoto, lelaki paruh baya yang tajir itu.
Bagaimana pendapatmu, Nak?” tanya sang ayah kepada Diana si anak gadisnya.
Diana
menyimak perkataan ayahnya. Diana diam saja, tidak berkata sepatah pun, dan
hanya menundukkkan pandangan. Diana itu setuju atau tidak, sikap pasrah, atau
dia anak yang patuh, hanya Diana yang bisa menjelaskan.
Sang
ayah pun menyimpulkan bahwa Diana setuju. Kesimpulan yang diambil sang ayah
seperti itu bukanlah karena pemahaman, melainkan karena yakin dan percaya
kepada pameo, “diamnya wanita itu pertanda setuju”.
Berlanjut
….
Lanjutan
….
Contoh lain selain
pameo adalah kata-kata/kalimat bijak
Kebersihan
adalah sebagian (separuh) dari iman.
(Sebagian
dari kita yang muslim sering hidup dalam kekumuhan, jorok,
berantakan/ketidakteraturan, dan melakukan pembiaran terhadap semua yang tidak
bersih. Tempat ambil air wudhu atau toilet di beberapa masjid atau musala tidak
bersih/resik dan malah berbau tak sedap. Masjid atau musala yang semestinya
untuk salat atau meeting malah
ditiduri. Jemaah yang bersalin pakaian karena mau salat malah pakaiannya yang
bernajis ditaruh di atas karpet. Jika ada perhelatan pesta yang diselenggarakan
di masjid, sampah pun berserakan di sekitar masjid. Para undangan pun membuang
sampah sesuka hati karena menurut anggapan mereka, tugas kebersihan akan
ditangani oleh pengurus masjid.)
Sorga
di bawah telapak kaki ibu.
Ada
banyak kasus tentang anak yang tidak mandiri karena berada di bawah pengaruh
ibu. Saking takut dicap anak durhaka dan juga takut akan kehilangan kesempatan
memperoleh sorga, anak begitu hormat dan patuh kepada ibunya. Jadilah si anak
dijuluki “anak mama” yang manis.
Sebaliknya,
kata-kata bijak “sorga di bawah telapak kaki ibu” hanya ada dalam ucapan
penghias bibir (lips service). Kasus
anak melawan ibu, menyiksa ibu, atau membunuh ibu kandung sudah sering kali
terjadi.
Tangan
di atas lebih baik daripada tangan di bawah.
Maknanya
adalah, memberi itu lebih baik daripada menerima. Orang yang suka memberi
(dermawan) jauh lebih mulia daripada orang yang meminta-minta (mengemis;
pengemis) atau hanya mau menerima (kikir, pelit, medit, koret). Ajaran mulia
tentang kedermawanan (kesalehan individu dan kesalehan sosial) itu sering cuma
dilafalkan dalam membaca Quran, misalnya QS 107: 1 s.d. 7, tetapi tidak diikuti
dengan sikap empati terhadap orang lain (egois), dan seperti berat sekali untuk
diwujudkan dalam amaliah.
Kata-kata/kalimat
bijak dalam contoh di atas itu benar dan sering diucapkan, fasih dilafalkan,
dan mudah dilontarkan dari bibir atau mulut. Apakah sikap kita seiring dengan
ucapan itu? Apakah kata-kata itu sudah dipahami, disikapi, dipraktikkan sama
dan sebangun dengan ucapan?
Jika
kata-kata/ucapan itu sesuai dan selaras dengan sikap, lalu diwujudkan dengan
amaliah/kinerja, maka itulah wujud harmonisasi pengelolaan hidup setiap muslim.
Sayangnya,
antara ucapan, sikap, dan amaliah sering tidak selaras dan tidak harmonis. Lain
yang diucapkan, lain cara menyikapi, dan tidak ada wujud amaliahnya (disharmony).
Berlanjut
….
Lanjutan
….
Harmoni pandai
membaca Quran, menyikapi pesan Quran, dan mewujudkan ajaran Quran
Pandai membaca Quran
Pandai
membaca Quran sebagian muslim di Indonesia sama saja derajatnya dengan pandai
membaca bahasa Indonesia, bahasa daerah, bahasa Inggris, atau bahasa asing
lainnya (just literate), supaya tidak
dikatakan buta huruf Arab, buta huruf Quran, atau buta huruf latin (illiterate). Jika kita pandai membaca
saja, sama saja derajat pahala membaca Quran dengan membaca bukan Quran,
misalnya teks dalam bahasa Inggris atau bahasa Mandarin.
Contoh:
Analogi.
Saya
berada di bandara Internasional Narita, Tokyo, Jepang.
Saya,
orang Indonesia, hanya bisa berbahasa Indonesia lisan dan tulis. Saya berada di
bandara Internasional Narita, Tokyo. Petunjuk-petunjuk semua ada terpampang
untuk para pengunjung, namun tulisan-tulisan hanya ada dalam bahasa Jepang,
Mandarin, dan Inggris. Saya hanya bisa membaca teks petunjuk yang bertuliskan
huruf latin berbahasa Inggris tetapi tak mengerti artinya. Sungguh mati, saya
tak kenal satu pun lambang dan huruf kanji bahasa Jepang dan Mandarin!
Kalau
sudah demikian, saya harus kembali ke zaman dahulu kala, zaman orang Indonesia
buta huruf. Saya ingat pepatah, “malu bertanya sesat di jalan” alias harus bertanya
dengan bahasa tulis, isyarat, atau bahasa tubuh.
Saya
harus katakan, tak ada manfaatnya saja bisa membaca saja tetapi tak mengerti
isinya. Sia-sia belaka berada di bandara Internasional Narita kalau hanya bisa
dan mengerti bahasa Indonesia.
Kita
sandingkan analogi ini dengan kebisaan membaca Quran saja, lalu kita lihat
sikap, perilaku, dan unjuk kerjanya.
Saya
salat dan berpuasa karena saya lihat orang tua atau tetangga sebelah salat dan
berpuasa.
Pandai menyikapi
pesan Quran
Wujudnya,
kitab Quran itu memang kitab/buku terdiri atas ratusan halaman yang bertuliskan
huruf-huruf dalam bahasa Arab. Lalu, di dalam tulisan-tulisan kitab Quran itu
ada huruf-huruf, kata-kata, frasa-frasa, dan kalimat yang diberi nama
ayat-ayat. Semua ayat itu mengandung makna dan membawa pesan berupa ajaran
Islam (sebagai kebenaran dari Allah Swt.)
Bagaimana
kita bisa mengatakan Quran membawa pesan kebenaran kalau kita hanya bisa
membacanya tetapi tak memahami kandungannya?
Bagaimana
kita bisa mengatakan Quran itu sebagai pedoman hidup manusia kalau
kalimat-kalimatnya sama sekali tidak kita pahami?
Bagaimana
kita bisa mengatakan bahwa akhlak Nabi saw itu adalah Al Quran kalau kandungan
Quran sama sekali tak bisa pahami?
Analogi:
Saya berada di bandara Internasional Narita, Tokyo, Jepang.
Saya
orang Indonesia, melek huruf, pandai berbahasa Indonesia dan bahasa Inggris
ragam lisan dan tulis.
Semua
petunjuk di bandara tertulis dalam tiga bahasa asing: Jepang, inggris, dan
Mandarin.
Jika
saya ingin pulang ke tanah air, saya tinggal melihat dan membaca petunjuk yang
tertulis dalam bahasa Inggris yang saya pahami dan tidak akan saya lihat atau
baca petunjuk dalam bahasa Jepang dan Mandarin. Saya mengikuti semua petunjuk
itu, baik petunjuk tulisan maupun lambang/gambar. Saya akan lebih mudah dalam
proses kepulangan ke tanah air. Dijamin, saya tidak akan tersesat di bandara Narita,
tidak akan salah check-in, tidak akan
salah masuk gate, tidak juga salah boarding pesawat, dan so yakin saya akan sampai ke tanah air.
Itulah wujud nyata manfaat memahami pesan berupa informasi dan petunjuk.
Saya
harus katakan, memahami bacaan itu akan
menentukan sikap: positif, negatif, atau abstain.
Saya
membaca Quran dan memahami semua yang saya baca, tentu saja memahami isi
pesannya: perintah, larangan, anjuran, imbauan, dll.
Perhatikanlah
orang yang memahami pesan Quran! Sikapnya positif, logis dalam berpikir, optimis,
bersemangat, kuat motivasinya, sabar, tabah, tawaddu’, bersyukur, jujur, rendah
hati, pemurah, penyayang, berani, fight,
dll.
Mewujudkan ajaran
Quran yang universal
Muslim
yang sering membaca dan memahami Quran berkorelasi dengan sikap positif, tentu
memiliki karakter pribadi yang kokoh, lalu diiringi dengan jelas dan nyata perwujudan amaliah (kinerja). Jutaan
muslim mampu melakukannya. Ada satu dua juta muslim mampu melakukan/unjuk kerja
yang berkualitas.
Namun,
jangan terkaget-kaget! Ada puluhan juta nonmuslim lebih banyak lagi yang lebih
mampu unjuk kerja yang lebih tinggi lagi kualitasnya daripada yang dilakukan
oleh muslim.
Kok kita, muslim, tidak
bisa mengimbangi mereka yang nonmuslim sampai detik ini?
Ya,
kita ini, muslim, khususnya muslim di Indonesia, lebih banya berucap, melafal,
dan menghafal (verbalistis) harfiah daripada memahami pesan Quran
Ya,
kita lebih banyak mengharap-harap, memanjatkan doa berlama-lama, menghidupkan
tradisi ritual tradisional.
Ya,
kita lebih banyak manajemen kumpul-kumpul banyak jemaah dengan label Islam
(istigotsah, zikir akbar, harlah, haul, dll), mengundang para ustaz ternama
untuk menceramahi jemaah dengan taushiyah gaya usang yang tak ada greget, miskin
inovasi, atau terobosan baru. Para jemaah yang banyak itu (konon indikator
sukses perhelatan dan ternamanya/kondangnya ustaz itu dilihat dari banyaknya
jemaah) mendengarkan ucapan verbal,
meniru ucapan verbal, memimpin ritual “nangis bareng”.
Berlanjut
….
Lanjutan
….
Haul dan
kontraproduktifitas
Ya,
kita yang muslim, sering membesarkan ritual-ritual tradisional warisan agama
nenek moyang jahililah yang sama sekali tak ada ajaran yang termaktub dalam
Quran dan pernah diteladankan oleh Nabi saw.
{(Kamis,
2 Januari 2014. Ponpes Tebu Ireng, Jombang, mengadakan acara (ritual
tradisional) haul empat tahun
wafatnya Gus Dur (haul atau assanah artinya tahun). Acara haul itu
murni tradisi yang mengadop tradisi kepercayaan nenek moyang nonmuslim. Acara haul itu khusus untuk orang-orang kaya,
pejabat, mantan pejabat, atau orang ternama yang sudah wafat. Contohnya
almarhum Gus Dur. Menurut berita terakhir melalui tayangan tv yang penulis
ketahui, Presiden RI SBY pun hadir. Protokoler kenegaraan pun otomatis menjadi
sibuk. Pengamanan RI-1 sudah semestinya.)
Kita
pasti maklum. Banyak orang berdatangan ke Ponpes Tebu Ireng. Jangan tanya
berapa banyak orang yang datang mengunjungi makam Gus Dur pada saat yang sama. Ribuan
orang!
Tujuannya,
umumnya ya, berziarah. Kegiatannya ya, tahlilan, membaca Surah Yasin, dan
berdoa menghadap makam (banyak peziarah yang
nangis bareng padahal nggak ada yang ngompakin).
Acara haul itu tradisi yang tradisional banget! Indonesia banget! Jawa banget! Real locally!
Islam
itu agama yang universal. Muslim itu ada seluruh permukaan bumi ini. Muslim di
luar Indonesia tak mengadakan haul. Mengapa
muslim di luar sana tidak mengadakan haul? Mereka lebih suka bertamasya untuk
refreshing, mengunjungi keluarga atau sahabat yang masih hidup, atau nglembur,
atau berolah raga, atau bergiat sesuatu yang bermanfaat.
Ya,
karena tak ada perintah Allah, tak ada satu pun ayat Quran yang menyebut haul atau sejenisnya. Karena tak ada
perintah Allah dan wahyu-Nya dalam Quran, Nabi saw pun tak pernah melakukan apa
lagi berani-beranian mengada-ada, meneladankan/mencontohkan, apatah lagi
mendakwahkan kepada para sahabat atau keluarga terdekat!
Haul itu jangan disebut
bagian dari ibadah karena haul
bukanlah ibadah. Haul bukanlah dzikir
dan tak layak disebut berdzikir. Kalau mau berdzikir tempatnya di masjid,
musala, ponpes, sekolah, kantor, hotel, dll tempat yang ada manusianya. Tak
laik berdzikir di makam/kuburan.
Itulah
contoh nyata mengapa muslim selalu berada di belakang umat lain. Muslim suka
membuat ritual aneh-aneh dang mengada-ada di luar konteks ajaran Islam dan
tuntunan Nabi saw. Muslim sering sekali membuang-buang waktu produktif untuk
kegiatan yang sepele. Sumpah “demi waktu” itu hanya fasih diucap di bibir
tetapi praktiknya doyan membuang waktu.
Jadilah
muslim khususnya di Indonesia doyan menghidupkan dan “meng-akbar-kan” ritual
dan upacara berbagai macam selama setahun. Muslim hanya pandai “meng-copy paste” milik orang/umat lain.
Jadilah muslim Cuma pandai mengekor atau meniru produk nonmuslim. Jadilah
muslim tak cakap berbuat akhirnya
memiliki mental konsumerisme. Bahkan muslim hanya pandai membeli tetapi
tak cakap memelihara.
Semoga
semua aktivitas yang tidak bernilai itu kita tinggalkan jauh-jauh dan kita
sonsong tahun 2014 dengan semangat inovatif.
Selamat Tahun Baru 2014!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar