BAHASA
INDONESIA
EUPHEMISME DALAM KEHIDUPAN SOSIAL POLITIK
PSK dan Pramunikmat diamankan, dibon,
dan PKS ABG Tua Purnatugas yang tunawisma ditolak Pramuria
Manusia
adalah homo socius (makhluk sosial).
Manusia bisa survive karena manusia bersosialisasi dengan manusia lain
(silaturahim, berkomunikasi, berinteraksi, saling memengaruhi, dll) dalam wujud
hubungan vertikal sub-ordinat struktural top-down
atau bottom-up atau hubungan
fungsional horizontal sederajat selevel karena fungsi atau profesi yang
berbeda-beda. Itulah sebabnya timbul apresiasi, saling menghormati, saling
menghargai, toleran, tepo seliro, dan
benci kecongkakan. Karena itu, manusia yang tidak bersosialisasi, dipastikan
dia akan “kalah” atau bahkan “mati”.
Hubungan
yang harmonis adalah dambaan manusia bersosialisasi. Pemerintah yang “melayani”
adalah dambaan rakyat. Pemerintah, melalui aparat yang bisanya cuma “melayat” adalah laknat
dari rakyat.
Jagat
politik adalah bidang yang disukai manusia, termasuk rakyat dari segala
lapisan. Pemerintah adalah penguasa jagat politik di sebuah negara. Pemerintah
yang berkuasa di negara demokrasi pasti mengupayakan kepentingan rakyat lebih
dahulu di atas kepentingan pihak lain. Kepentingan rakyat di Indonesia adalah
terpenuhinya hajat hidup: kemakmuran yang berkeadilan sosial. Belum
terpenuhinya hajat kemakmuran, setidaknya pemerintah melempar upaya yang
menyejukkan dan menghibur hati rakyat miskin melarat yang konon mencapai angka
30% dari seluruh rakyat Indonesia. Alamak!
Cara
menghibur rakyat ala rezim Orde Lamanya Bung Karno adalah slogan bombastis
melalui judul pidato PYM Presiden, Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, Soekarno,
ketika ada even nasional: HUT Kemerdekaan RI: Tahun Vivere Peri Coloso (TAVIP, 1964); Jangan Sekali-sekali Meninggalkan Sejarah (Jas Merah, 1965) event
Asian Games di Indonesia tahun 1962, event Ganefo tahun 1963, event Merebut
Kembali Irian Barat, 1963, dengan slogan Tritura-nya, dan peristiwa Konfrontasi
dengan Malaysia dengan slogan Dwikora-nya, 1964.
Lain
Orde Lamanya Soekarno lain pula Pak Harto dengan Orde Barunya.
Orde
Barunya Pak Harto “The Smiling general” yang kelihatan kalemnya adalah
propaganda euphemisme berhulu di
segala bidang dan pada akhirnya bermuara di bidang politik.
Berikut
adalah contoh euphemisme yang bergema
pada era Orde Baru.
Euphemisme dalam kehidupan sosial
Anda
pernah baca, dengar, atau tahu tentang kata-kata atau istilah-istilah berikut
ini? Saya ajak Anda untuk membahas bersama agar pengetahuan dan wawasan kita
bertambah, serta kompetensi berbahasa Indonesia semakin meningkat.
PSK (Pekerja Sex Komersial)
Ayatrohaedi,
budayawan dan pengamat bahasa Indonesia, menulis artikel berjudul, Dari Lonte ke Pekerja Sex Komersial (dalam
Salomo Simanungkalit, 2006),
mempertanyakan beberapa hal bernada sindiran terhadap keberadaan istilah PSK sebagai euphemisme dari kata lonte.
Kata
lonte dalam KBBI artinya ‘perempuan
jalang; wanita tunasusila; pelacur;
sundal’. Dari empat arti kata lonte,
agaknya kata yang lebih mewakili sedikit kesantunan adalah wanita tunasusila
(WTS). Kata WTS dipandang lebih manusiawi dibandingkan dengan kata lonte
walaupun pekerjaannya sama saja kotornya. Ketika kehidupan sosial manusia
berkembang begitu cepat, WTS pun bertumbuh bertambah banyak saja dan mereka
harus makan untuk kelangsungan hidup. WTS mencari nafkah tidak saja mangkal di
tempat-tempat tertentu (lokalisasi: Bongkaran Indah (BI) di Tanah Abang; Kramat
Tunggak di Koja, Tg. Priok; Gg. Dolly di Surabaya; Saritem di Gegerkalong,
Bandung). WTS yang free-lance mulai
berkeliaran pada malam hari mencari mangsa dan oleh karena itu muncul istilah
‘wanita malam’ atau ‘kupu-kupu malam’.
Istilah
WTS ternyata dirasakan kasar dan menjurus kepada perlakuan tidak adil, bahwa
seakan-akan hanya wanita saja yang jalang, sundal, dan lacur, padahal tumbuh
suburnya WTS karena ada lelaki jalang dan sundal pula. Ayatrohaedi mengkritik, menurutnya,
seharusnya yang pantas disebut pelacur
adalah kaum lelaki yang sundal sementara kaum wanita sundal lacur disebut terlacur atau nirlacur.
WTS
akan tetap eksis sepanjang hayat/kehidupan manusia dan sepanjang ada pelacur lelaki jalang. Golongan humanis di Indonesia,
termasuk juga para pakar dan pengamat bahasa Indonesia mencetuskan istilah baru
yang lebih manusiawi sebagai pengganti WTS. Itulah PSK!
Sepertinya
lebih keren kedengaran di telinga dan lebih sejuk dirasakan hati. Sepertinya
mereka ini, para PSK, sejajar dengan
para pekerja yang lain: ada upah/gaji, ada jaminan sosial tenaga kerja; ada
tunjangan suami/anak; punya organisasi serikat pekerja; dll.
Tetapi
apa yang terjadi dengan mereka. Hanya nama saja yang keren. Keberadaan mereka
tetap sederajat dengan kehadiran sampah masyarakat. Pernahkah kita mendengar
ada razia Satpol PP terhadap pekerja pabrik, pekerja pelabuhan, pekerja kafe,
pekerja bandara, dll? Tidak pernah terjadi, bukan?
Razia
Satpol PP justru hanya ditujukan kepada kaum wanita PSK. Terlebih lagi begitu tiba bulan puasa Ramadan. PSK di mana tempat diintai, dirazia,
ditangkapi, dirumahkan di panti sosial, atau dipulangkan ke daerah asalnya.
Jadi,
untuk apa kata pekerja dalam istilah PSK kalau kenyataannya dipandang sama
sebangun dengan lonte, pelacur, sundal, dan WTS?
Euphemisme PSK dari
istilah WTS, pelacur, atau perempuan sundal memang hanya sekedar penghalusan
rasa saja, tidak ada dampak euphemisme
PSK dengan perlakuan yang diterima.
Perlakuan terhadap mereka sama-sama konyol.
Penyandang Kesejahteraan Sosial (PKS)
Arti
kata penyandang (nomina) menurut KBBI
adalah: 1. kain atau tali untuk menyandang; 2. orang yang menyandang
(menderita) sesuatu.
Kesejahteraan
sosial adalah amanat UUD 45 yang eksplisit tercantum dalam mukaddimahnya
melalui sila kelima dari Pancasila, Keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia.
Dengan
demikian, ‘penyandang kesejahteraan sosial’
(PKS) artinya adalah orang-orang yang menderita karena tidak sejahtera
secara sosial atau tidak memperoleh kesejahteraan sosial sebagaimana mestinya.
Artinya, Pemerintah belum mampu memenuhi hajat hidup rakyat Indonesia.
Pemerintah harus malu sebenarnya. Untuk sementara, untuk menghibur rakyat,
sambil bekerja keras, pemerintah, dengan bantuan ahli istilah dan ahli bahasa
menghibur rakyat dengan melontarkan euphemisme
istilah orang miskin dan melarat dengan istilah PKS sebagai pengganti kata
frasa ‘rakyat miskin melarat’.
PKS
adalah bentuk euphemisme dari kata
‘miskin’, ‘melarat’, dan lain-lain kata yang searti yang merendahkan harkat mertabat.
Mereka ini, para PKS, hidup serba kekurangan: pangan, sandang, dan papan.
Sepertinya ‘PKS’ lebih santun dan halus dibandingkan dengan predikat
‘orang-orang miskin melarat’ walaupun orang-orang yang dimaksud sama saja, eta-eta keneh.
Perhatikan
saja pidato seorang pejabat dalam suatu acara resmi. Pejabat itu dengan enteng
dan terang-bendarang tanpa beban menyapa mereka dengan lantang, “Para PKS yang
kami cintai!”. Tak mungkin si pejabat berani berpidato lantang, “Para orang
miskin melarat yang kami cintai!” karena kandungan frasa itu amat merendahkan
harkat martabat manusia, melecehkan, atau bahkan menghina.
Tunawisma
Kita
simak dengan cermati dulu makna kata tuna.
Kata
tuna jika berdiri sendiri (sebagai nomina) dalam KBBI artinya ikan tuna,
dan tuna (sebagai adjektiva) artinya:
rusak; cacat; jika tuna- dalam bentuk terikat artinya : 1. luka; rusak;
2. kurang; tidak memiliki. Kata turunannya, misalnya ketunaan yang artinya keadaan cacat atau tidak mampu melakukan
tugas atau aktivitas.
Perhatikan
arti kata tuna- dalam bentuk terikat seperti contoh berikut
ini:
tunadaksa berarti orang yang cacat tubuh.
tunagrahita berarti cacat pikiran; lemah daya tangkap; idiot;
keterbelakangan mental.
tunanetra
berarti tidak dapat melihat; buta.
tunarungu
berarti tidak dapat mendengar; tuli; budek
(betawi).
Dengan
memperhatikan arti kata tuna- dalam
contoh di atas, maka kita dapat memaknai kata tunawisma (adjektiva) menurut KBBI berarti: tidak mempunyai tempat
tinggal (rumah); gelandangan; kaum gelandangan yang hidup di bantaran kali;
hidup di kolong jembatan.
Kehadiran
kata tunawisma sebagai euphemisme dari kata gelandangan yang hidup menggelandang. Tunawisma lebih bermartabat daripada gelandangan. Jalmina mah, eta-eta keneh!
Lahirlah
euphemisme yang sebangsa tunawisma (dalam analogi) seperti
berikut:
tunapolitik;
tunagizi; tunatenaga; tunasosial; tunakarya; dll.
Bisa
jadi, orang-orang yang menjadi pemerhati bahasa akan menciptakan kata-kata baru
untuk memperkaya khazanah bahasa Indonesia. Mungkin akan ada kata-kata seperti
berikut:
tunaiman;
tunahati; tunaakal; tunabudi; tunaamal; tunabusana; dll.
Boleh,
dong?
Purnabakti
Kata
purna- dengan lema purna dalam KBBI adalah bentuk terikat yang artinya: penuh;
selesai.
Kata
purnabakti (adjektiva) artinya
berkenaan dengan keadaan pensiun (setelah berakhirnya masa bakti).
Kata
purnabakti adalah wujud euphemisme dari kata pensiun. Beranalogi dengan kata ini,
muncullah kata-kata: purnatugas; purnawirawan; purnayuda; purnajabatan;
purnasarjana; purnajual; purnakarya; purnakaryawan; purnaintegrasi; dll.
Dengan
analogi di atas, bukan mustahil akan muncul kata-kata: purnanikah; purnacerai;
purnatalak; purnapesta; purnabeli; purnakontrak; dll.
Pramuwisma
Lema
pramu- dalam KBBI adalah bentuk terikat yang bekerja di bidang
jasa.
Pramuwisma (nomina) artinya pembantu rumah tangga. Beranalogi
dengan kata pramuwisma ini muncullah
kata-kata:
pramubarang sebagai penghalus porter.
pramudapur untuk karyawan yang bekerja di dapur.
pramugara/pramugari untuk karyawan/karyawati perusahaan angkutan (darat,
laut, udara) yang tugasnya melayani penumpang.
Kemudian
berkat kemampuan beranalogi ini lahir kata-kata baru: pramugolf; pramujasa;
pramukamar; pramuniaga; pramupintu; dll.
Kalau
pramuria? Pasti Anda ingat lagunya
grup band The Panbers yang ngetop
pada tahun 70-an. Pramuria artinya
karyawati yang bekerja di kelab malam (night
club) yang melayani dan menemani tamu. Terjemahan dari The hostess (hostes).
Kalau
pramunikmat itu apa? Ya, itu tuh! Kalau jenis kelaminnya wanita: Wanita
lacur/WTS; pramuria merangkap wanita lacur; tante girang; cewek bisyar atau
cewek bispak; Kalau jenis kelaminnya laki-laki: gigolo; om senang; ABG tua; Lelaki
kucing garong, dll.
Euphemisme dalam kehidupan politik
Penyesuaian harga
Penyesuaian harga sebagai euphemisme
adalah sebuah frasa yang tumbuh berkembang pada sektor perdagangan. Menteri
bidang Ekuin era Orde Baru yang tergabung dalam “The Barkeley Gang” seperti JB
Soemarlin, Soemitro, Moh. Sadli, dan Emil Salim (?), khususnya pejabat Menteri
Perdagangan sering membuat kebijakan perekonomian bidang Ekuin dengan menaikkan
harga barang yang membuat rakyat resah. Menpen Ali Moertopo dan penggantinya,
Harmoko, harus pandai-pandai menghibur hati rakyat agar tidak marah karena ulah
Pemerintah. Frasa penaikan harga
barang kebutuhan diganti dengan frasa penyesuaian
harga; harga disesuaikan sesuai
dengan petunjuk Bapak Presiden; dll.
Dibon
Kata dibon adalah kata turunan dari kata
dasar bon yang diberi awalan di-. Bon (nomina), menurut KBBI artinya
kertas kecil yang berisi keterangan pengambilan barang, peminjaman uang, dsb.
Ngebon atau ngutang (betawi; bahasa
percakapan); artinya berutang mengambil atau meminjam terdakwa (tersangka) dari
sel tahanan untuk dimintai keterangan dalam pengadilan.
Faktanya
yang terjadi adalah, terdakwa atau tersangka yang dibon oleh pihak luar dari sel tahanan polisi, tidak dibawa ke
pengadilan, tetapi dibawa ke tempat tertentu, bukan untuk dihibur, melainkan dikerjai
atau dihajar sampai babak belur. Puas usai dibon,
tersangka dibawa kembali ke sel dalam kondisi tubuh elek. Tak jarang tersangka
tewas usai dibon. Kalau ada
pertanyaan dari pihak keluarga atau dari pengacara, aparat bisa ngeles/berkelit dengan jawaban yang
sudah direkayasa, “tersangka tewas karena perkelahian dengan sesama tawanan”.
Habis perkara! Pengacara hanya bisa diem,
media massa mendingan bungkem,
sementara si pengebon cekakak-cekikik nyengir bajing sambil mesam-mesem.
Di-Sukabumi-kan; di-sukabumi-kan
Istilah
di-sukabumi-kan adalah euphemisme frasa dikirim arwahnya ke kuburan alias dibunuh. Untuk siapa gerangan
istilah di-sukabumi-kan ini ditujukan
dan siapa yang men-sukabumi-kan?
Siapa
lagi kalau bukan para bromocorah, residivis, preman biang resek, anggota dan
aktivis gerombolan pengacau semodel anggota GAM di Aceh, anggota atau aktivis
gerakan Islam radikal (ekstrem kanan), atau siapa saja yang nyata-nyata atau
secara sembunyi-sembunyi melakukan aktivitas yang bisa merusak stabilitas
keamanan.
Pihak
yang men-sukabumi-kan adalah “aparat
keamanan”. Masyarakat tak ada yang tahu asal-usul aparat keamanan: lembaganya,
intansinya, seragamnya, dll. Masyarakat hanya tahu kalau sudah ada yang jatuh
korban: para bromocorah, preman, anggota gerombolan, dll. tergeletak bersimbah
darah mati di mana-mana dengan luka yang hampir sama: luka pada bagian tubuh
karena tembakan dengan peluru tajam.
Dibunuh
atau di-sukabumi-kan sebenarnya sama
saja akibatnya: terbunuh. Namun nuansa kedua istilah ini tentu berbeda. Lebih
sejuk mendengar istilah di-sukabumi-kan
daripada dibunuh. Lebih ringan efek psikologis bagi pemberi perintah dengan
frasa, “Sukabumikan saja!” daripada mengeluarkan perintah, “bunuh saja!” atau
“tembak mati saja!”
Diamankan
Kata
dasarnya aman yang artinya: 1. bebas
dari bahaya; 2. bebas dari gangguan; 3. terlindung atau tersembunyi; 4. pasti;
tidak meragukan; tidak mengandung resiko; 5. tenteram; tidak merasa takut atau
khawatir.
Tentu
lebih senang kita mendengar kata diamankan
daripada mendengar kata ditangkap
atau ditahan manakala ada anggota keluarga atau kolega kita disangkakan (sebagai
tersangka) telah melakukan tindak pidana. Ada perasaan nyaman mendengar kalimat
dari aparat, “Adik Anda telah kami amankan”
atau penggalan kalimat, “Anggota gerombolan telah diamankan”.
Benarkah
kata “diamankan, aman, dalam pengamanan” yang bernuansa sejuk sesuai dengan fakta
sebenarnya?
Sebenarnya
fakta yang terjadi terhadap tersangka hampir berkebalikan dengan lima macam
arti kata aman, diamankan, yang diucapkan.
Anggota
keluarga, kolega, atau pengacara yang ditunjuk bermaksud menemui, datang ke
tempat tersangka diamankan untuk
mengetahui kondisi fisiknya atau menggali informasi, seringkali terheran-heran
terkaget-kaget seakan tak percaya atas fakta yang ditemui/dilihat. Kondisi
fisik dan mental tersangka yang diamankan
malahan memprihatinkan. Tersangka ketika ditangkap atau dijemput dalam kondisi
fisik baik tak kurang suatu apa, setelah berada di tempat diamankan, malah menjadi rusak, punggung lebam, ada darah dari
banyak luka, wajah benjat-benjot, bahkan babak-belur, bahkan lebih tragis lagi:
tewas di kantor polisi.
Apa
perbedaan kata dibon dengan diamankan?
Kegiatan
dibon faktanya si tersangka diambil
dari sel tahanan dan kemudian dibawa ke luar entah ke mana (dari dalam ke luar).
Kegiatanan diamankan faktanya si tersangka dijemput dari suatu tempat/ rumah/hotel
dan kemudian dibawa ke kantor polisi (dari luar ke dalam).
Apa
persamaan kedua kata tersebut?
Persamaan
adalah pada fakta fisik kasat mata kondisi fisik si tersangka: dari kondisi
fisik mulus kepada kondisi fisik babak belur.
Para
pembaca, Anda telah membantu saya dengan menginspirasikan tulisan ini: euphemisme. Saya merasa puas atas
inspirasi Anda. Terima kasih.
Selamat
membaca dan semoga bermanfaat. Sampai jumpa pada tulisan dengan topik berbeda.
RUJUKAN:
Departemen
Pendidikan Nasional, Pusat Bahasa, Kamus
Besar Bahasa Indonesia, Edisi Keempat, Penerbit PT Gamedia Pustaka Utama,
Jakarta: 2008
Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan, Pedoman Umum
Ejaan Yang Disempurnakan (Permendiknas No. 45/2009), Jakarta: 2012
Salomo
Simanungkalit, 111 Kolom Bahasa Kompas,
Penerbit Buku Kompas, Jakarta: 2006
Tidak ada komentar:
Posting Komentar