Minggu, 23 Desember 2012

EUPHEMISME, APAAN TUH?




BAHASA INDONESIA

EUPHEMISME DALAM KEHIDUPAN SOSIAL POLITIK

PSK dan Pramunikmat diamankan, dibon, dan PKS ABG Tua Purnatugas yang tunawisma ditolak Pramuria
Manusia adalah homo socius (makhluk sosial). Manusia bisa survive karena manusia bersosialisasi dengan manusia lain (silaturahim, berkomunikasi, berinteraksi, saling memengaruhi, dll) dalam wujud hubungan vertikal sub-ordinat struktural top-down atau bottom-up atau hubungan fungsional horizontal sederajat selevel karena fungsi atau profesi yang berbeda-beda. Itulah sebabnya timbul apresiasi, saling menghormati, saling menghargai, toleran, tepo seliro, dan benci kecongkakan. Karena itu, manusia yang tidak bersosialisasi, dipastikan dia akan “kalah” atau bahkan “mati”.
Hubungan yang harmonis adalah dambaan manusia bersosialisasi. Pemerintah yang “melayani” adalah dambaan rakyat. Pemerintah, melalui aparat  yang bisanya cuma “melayat” adalah laknat dari rakyat.
Jagat politik adalah bidang yang disukai manusia, termasuk rakyat dari segala lapisan. Pemerintah adalah penguasa jagat politik di sebuah negara. Pemerintah yang berkuasa di negara demokrasi pasti mengupayakan kepentingan rakyat lebih dahulu di atas kepentingan pihak lain. Kepentingan rakyat di Indonesia adalah terpenuhinya hajat hidup: kemakmuran yang berkeadilan sosial. Belum terpenuhinya hajat kemakmuran, setidaknya pemerintah melempar upaya yang menyejukkan dan menghibur hati rakyat miskin melarat yang konon mencapai angka 30% dari seluruh rakyat Indonesia. Alamak!
Cara menghibur rakyat ala rezim Orde Lamanya Bung Karno adalah slogan bombastis melalui judul pidato PYM Presiden, Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, Soekarno, ketika ada even nasional: HUT Kemerdekaan RI: Tahun Vivere Peri Coloso (TAVIP, 1964); Jangan Sekali-sekali Meninggalkan Sejarah (Jas Merah, 1965) event Asian Games di Indonesia tahun 1962, event Ganefo tahun 1963, event Merebut Kembali Irian Barat, 1963, dengan slogan Tritura-nya, dan peristiwa Konfrontasi dengan Malaysia dengan slogan Dwikora-nya, 1964.
Lain Orde Lamanya Soekarno lain pula Pak Harto dengan Orde Barunya.
Orde Barunya Pak Harto “The Smiling general” yang kelihatan kalemnya adalah propaganda euphemisme berhulu di segala bidang dan pada akhirnya bermuara di bidang politik.
Berikut adalah contoh euphemisme yang bergema pada era Orde Baru.
Euphemisme dalam kehidupan sosial
Anda pernah baca, dengar, atau tahu tentang kata-kata atau istilah-istilah berikut ini? Saya ajak Anda untuk membahas bersama agar pengetahuan dan wawasan kita bertambah, serta kompetensi berbahasa Indonesia semakin meningkat.
PSK (Pekerja Sex Komersial)
Ayatrohaedi, budayawan dan pengamat bahasa Indonesia, menulis artikel berjudul, Dari Lonte ke Pekerja Sex Komersial (dalam Salomo Simanungkalit, 2006), mempertanyakan beberapa hal bernada sindiran terhadap keberadaan istilah PSK sebagai euphemisme dari kata lonte.
Kata lonte dalam KBBI artinya ‘perempuan jalang; wanita tunasusila;  pelacur; sundal’. Dari empat arti kata lonte, agaknya kata yang lebih mewakili sedikit kesantunan adalah wanita tunasusila (WTS). Kata WTS dipandang lebih manusiawi dibandingkan dengan kata lonte walaupun pekerjaannya sama saja kotornya. Ketika kehidupan sosial manusia berkembang begitu cepat, WTS pun bertumbuh bertambah banyak saja dan mereka harus makan untuk kelangsungan hidup. WTS mencari nafkah tidak saja mangkal di tempat-tempat tertentu (lokalisasi: Bongkaran Indah (BI) di Tanah Abang; Kramat Tunggak di Koja, Tg. Priok; Gg. Dolly di Surabaya; Saritem di Gegerkalong, Bandung). WTS yang free-lance mulai berkeliaran pada malam hari mencari mangsa dan oleh karena itu muncul istilah ‘wanita malam’ atau ‘kupu-kupu malam’.
Istilah WTS ternyata dirasakan kasar dan menjurus kepada perlakuan tidak adil, bahwa seakan-akan hanya wanita saja yang jalang, sundal, dan lacur, padahal tumbuh suburnya WTS karena ada lelaki jalang dan sundal pula. Ayatrohaedi mengkritik, menurutnya, seharusnya yang pantas disebut pelacur adalah kaum lelaki yang sundal sementara kaum wanita sundal lacur disebut terlacur atau nirlacur.
WTS akan tetap eksis sepanjang hayat/kehidupan manusia dan sepanjang ada pelacur lelaki jalang. Golongan humanis di Indonesia, termasuk juga para pakar dan pengamat bahasa Indonesia mencetuskan istilah baru yang lebih manusiawi sebagai pengganti WTS. Itulah PSK!
Sepertinya lebih keren kedengaran di telinga dan lebih sejuk dirasakan hati. Sepertinya mereka ini, para PSK, sejajar dengan para pekerja yang lain: ada upah/gaji, ada jaminan sosial tenaga kerja; ada tunjangan suami/anak; punya organisasi serikat pekerja; dll.
Tetapi apa yang terjadi dengan mereka. Hanya nama saja yang keren. Keberadaan mereka tetap sederajat dengan kehadiran sampah masyarakat. Pernahkah kita mendengar ada razia Satpol PP terhadap pekerja pabrik, pekerja pelabuhan, pekerja kafe, pekerja bandara, dll? Tidak pernah terjadi, bukan?
Razia Satpol PP justru hanya ditujukan kepada kaum wanita PSK. Terlebih lagi begitu tiba bulan puasa Ramadan. PSK di mana tempat diintai, dirazia, ditangkapi, dirumahkan di panti sosial, atau dipulangkan ke daerah asalnya.
Jadi, untuk apa kata pekerja dalam istilah PSK kalau kenyataannya dipandang sama sebangun dengan lonte, pelacur, sundal, dan WTS?
Euphemisme PSK dari istilah WTS, pelacur, atau perempuan sundal memang hanya sekedar penghalusan rasa saja, tidak ada dampak euphemisme PSK dengan perlakuan yang diterima. Perlakuan terhadap mereka sama-sama konyol.


Penyandang Kesejahteraan Sosial (PKS)
Arti kata penyandang (nomina) menurut KBBI adalah: 1. kain atau tali untuk menyandang; 2. orang yang menyandang (menderita) sesuatu.
Kesejahteraan sosial adalah amanat UUD 45 yang eksplisit tercantum dalam mukaddimahnya melalui sila kelima dari Pancasila, Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Dengan demikian, ‘penyandang kesejahteraan sosial’  (PKS) artinya adalah orang-orang yang menderita karena tidak sejahtera secara sosial atau tidak memperoleh kesejahteraan sosial sebagaimana mestinya. Artinya, Pemerintah belum mampu memenuhi hajat hidup rakyat Indonesia. Pemerintah harus malu sebenarnya. Untuk sementara, untuk menghibur rakyat, sambil bekerja keras, pemerintah, dengan bantuan ahli istilah dan ahli bahasa menghibur rakyat dengan melontarkan euphemisme istilah orang miskin dan melarat dengan istilah PKS sebagai pengganti kata frasa ‘rakyat miskin melarat’.
PKS adalah bentuk euphemisme dari kata ‘miskin’, ‘melarat’, dan lain-lain kata yang searti yang merendahkan harkat mertabat. Mereka ini, para PKS, hidup serba kekurangan: pangan, sandang, dan papan. Sepertinya ‘PKS’ lebih santun dan halus dibandingkan dengan predikat ‘orang-orang miskin melarat’ walaupun orang-orang yang dimaksud sama saja, eta-eta keneh.
Perhatikan saja pidato seorang pejabat dalam suatu acara resmi. Pejabat itu dengan enteng dan terang-bendarang tanpa beban menyapa mereka dengan lantang, “Para PKS yang kami cintai!”. Tak mungkin si pejabat berani berpidato lantang, “Para orang miskin melarat yang kami cintai!” karena kandungan frasa itu amat merendahkan harkat martabat manusia, melecehkan, atau bahkan menghina.

Tunawisma
Kita simak dengan cermati dulu makna kata tuna.
Kata tuna jika berdiri sendiri  (sebagai nomina) dalam KBBI artinya ikan tuna, dan tuna (sebagai adjektiva) artinya: rusak; cacat; jika tuna- dalam bentuk terikat artinya : 1. luka; rusak; 2. kurang; tidak memiliki. Kata turunannya, misalnya ketunaan yang artinya keadaan cacat atau tidak mampu melakukan tugas atau aktivitas.
Perhatikan arti kata tuna- dalam bentuk terikat seperti contoh berikut ini:
tunadaksa berarti orang yang cacat tubuh.
tunagrahita berarti cacat pikiran; lemah daya tangkap; idiot; keterbelakangan mental.
tunanetra berarti tidak dapat melihat; buta.
tunarungu berarti tidak dapat mendengar; tuli; budek (betawi).
Dengan memperhatikan arti kata tuna- dalam contoh di atas, maka kita dapat memaknai kata tunawisma (adjektiva) menurut KBBI berarti: tidak mempunyai tempat tinggal (rumah); gelandangan; kaum gelandangan yang hidup di bantaran kali; hidup di kolong jembatan.
Kehadiran kata tunawisma sebagai euphemisme dari kata gelandangan yang hidup menggelandang. Tunawisma lebih bermartabat daripada gelandangan. Jalmina mah, eta-eta keneh!
Lahirlah euphemisme yang sebangsa tunawisma (dalam analogi) seperti berikut:
tunapolitik; tunagizi; tunatenaga; tunasosial; tunakarya; dll.
Bisa jadi, orang-orang yang menjadi pemerhati bahasa akan menciptakan kata-kata baru untuk memperkaya khazanah bahasa Indonesia. Mungkin akan ada kata-kata seperti berikut:
tunaiman; tunahati; tunaakal; tunabudi; tunaamal; tunabusana; dll.
Boleh, dong?

Purnabakti
Kata purna- dengan lema purna dalam KBBI adalah bentuk terikat yang artinya: penuh; selesai.
Kata purnabakti (adjektiva) artinya berkenaan dengan keadaan pensiun (setelah berakhirnya masa bakti).
Kata purnabakti adalah wujud euphemisme dari kata pensiun. Beranalogi dengan kata ini, muncullah kata-kata: purnatugas; purnawirawan; purnayuda; purnajabatan; purnasarjana; purnajual; purnakarya; purnakaryawan; purnaintegrasi; dll.
Dengan analogi di atas, bukan mustahil akan muncul kata-kata: purnanikah; purnacerai; purnatalak; purnapesta; purnabeli; purnakontrak; dll.

Pramuwisma
Lema pramu- dalam KBBI adalah bentuk terikat yang bekerja di bidang jasa.
Pramuwisma (nomina) artinya pembantu rumah tangga. Beranalogi dengan kata pramuwisma ini muncullah kata-kata:
pramubarang sebagai penghalus porter.
pramudapur untuk karyawan yang bekerja di dapur.
pramugara/pramugari untuk karyawan/karyawati perusahaan angkutan (darat, laut, udara) yang tugasnya melayani penumpang.
Kemudian berkat kemampuan beranalogi ini lahir kata-kata baru: pramugolf; pramujasa; pramukamar; pramuniaga; pramupintu; dll.
Kalau pramuria? Pasti Anda ingat lagunya grup band The Panbers  yang ngetop pada tahun 70-an. Pramuria artinya karyawati yang bekerja di kelab malam (night club) yang melayani dan menemani tamu. Terjemahan dari The hostess (hostes).
Kalau pramunikmat itu apa? Ya, itu tuh! Kalau jenis kelaminnya wanita: Wanita lacur/WTS; pramuria merangkap wanita lacur; tante girang; cewek bisyar atau cewek bispak; Kalau jenis kelaminnya laki-laki: gigolo; om senang; ABG tua; Lelaki kucing garong, dll.

Euphemisme dalam kehidupan politik

Penyesuaian harga
Penyesuaian harga sebagai euphemisme adalah sebuah frasa yang tumbuh berkembang pada sektor perdagangan. Menteri bidang Ekuin era Orde Baru yang tergabung dalam “The Barkeley Gang” seperti JB Soemarlin, Soemitro, Moh. Sadli, dan Emil Salim (?), khususnya pejabat Menteri Perdagangan sering membuat kebijakan perekonomian bidang Ekuin dengan menaikkan harga barang yang membuat rakyat resah. Menpen Ali Moertopo dan penggantinya, Harmoko, harus pandai-pandai menghibur hati rakyat agar tidak marah karena ulah Pemerintah. Frasa penaikan harga barang kebutuhan diganti dengan frasa penyesuaian harga; harga disesuaikan sesuai dengan petunjuk Bapak Presiden; dll.




Dibon
Kata dibon adalah kata turunan dari kata dasar bon yang diberi awalan di-. Bon (nomina), menurut KBBI artinya kertas kecil yang berisi keterangan pengambilan barang, peminjaman uang, dsb.
Ngebon atau ngutang (betawi; bahasa percakapan); artinya berutang mengambil atau meminjam terdakwa (tersangka) dari sel tahanan untuk dimintai keterangan dalam pengadilan.
Faktanya yang terjadi adalah, terdakwa atau tersangka yang dibon oleh pihak luar dari sel tahanan polisi, tidak dibawa ke pengadilan, tetapi dibawa ke tempat tertentu, bukan untuk dihibur, melainkan dikerjai atau dihajar sampai babak belur. Puas usai dibon, tersangka dibawa kembali ke sel dalam kondisi tubuh elek. Tak jarang tersangka tewas usai dibon. Kalau ada pertanyaan dari pihak keluarga atau dari pengacara, aparat bisa ngeles/berkelit dengan jawaban yang sudah direkayasa, “tersangka tewas karena perkelahian dengan sesama tawanan”. Habis perkara! Pengacara hanya bisa diem, media massa mendingan bungkem, sementara si pengebon cekakak-cekikik  nyengir bajing sambil mesam-mesem.

Di-Sukabumi-kan; di-sukabumi-kan
Istilah di-sukabumi-kan adalah euphemisme frasa dikirim arwahnya ke kuburan alias dibunuh. Untuk siapa gerangan istilah di-sukabumi-kan ini ditujukan dan siapa yang men-sukabumi-kan?
Siapa lagi kalau bukan para bromocorah, residivis, preman biang resek, anggota dan aktivis gerombolan pengacau semodel anggota GAM di Aceh, anggota atau aktivis gerakan Islam radikal (ekstrem kanan), atau siapa saja yang nyata-nyata atau secara sembunyi-sembunyi melakukan aktivitas yang bisa merusak stabilitas keamanan.
Pihak yang men-sukabumi-kan adalah “aparat keamanan”. Masyarakat tak ada yang tahu asal-usul aparat keamanan: lembaganya, intansinya, seragamnya, dll. Masyarakat hanya tahu kalau sudah ada yang jatuh korban: para bromocorah, preman, anggota gerombolan, dll. tergeletak bersimbah darah mati di mana-mana dengan luka yang hampir sama: luka pada bagian tubuh karena tembakan dengan peluru tajam.
Dibunuh atau di-sukabumi-kan sebenarnya sama saja akibatnya: terbunuh. Namun nuansa kedua istilah ini tentu berbeda. Lebih sejuk mendengar istilah di-sukabumi-kan daripada dibunuh. Lebih ringan efek psikologis bagi pemberi perintah dengan frasa, “Sukabumikan saja!” daripada mengeluarkan perintah, “bunuh saja!” atau “tembak mati saja!”

Diamankan
Kata dasarnya aman yang artinya: 1. bebas dari bahaya; 2. bebas dari gangguan; 3. terlindung atau tersembunyi; 4. pasti; tidak meragukan; tidak mengandung resiko; 5. tenteram; tidak merasa takut atau khawatir.
Tentu lebih senang kita mendengar kata diamankan daripada mendengar kata ditangkap atau ditahan manakala ada anggota keluarga atau kolega kita disangkakan (sebagai tersangka) telah melakukan tindak pidana. Ada perasaan nyaman mendengar kalimat dari aparat, “Adik Anda telah kami amankan” atau penggalan kalimat, “Anggota gerombolan telah diamankan”.
Benarkah kata “diamankan, aman, dalam pengamanan” yang bernuansa sejuk sesuai dengan fakta sebenarnya?
Sebenarnya fakta yang terjadi terhadap tersangka hampir berkebalikan dengan lima macam arti kata aman, diamankan, yang diucapkan.
Anggota keluarga, kolega, atau pengacara yang ditunjuk bermaksud menemui, datang ke tempat tersangka diamankan untuk mengetahui kondisi fisiknya atau menggali informasi, seringkali terheran-heran terkaget-kaget seakan tak percaya atas fakta yang ditemui/dilihat. Kondisi fisik dan mental tersangka yang diamankan malahan memprihatinkan. Tersangka ketika ditangkap atau dijemput dalam kondisi fisik baik tak kurang suatu apa, setelah berada di tempat diamankan, malah menjadi rusak, punggung lebam, ada darah dari banyak luka, wajah benjat-benjot, bahkan babak-belur, bahkan lebih tragis lagi: tewas di kantor polisi.
Apa perbedaan kata dibon dengan diamankan?
Kegiatan dibon faktanya si tersangka diambil dari sel tahanan dan kemudian dibawa ke luar entah ke mana (dari dalam ke luar). Kegiatanan diamankan faktanya si tersangka dijemput dari suatu tempat/ rumah/hotel dan kemudian dibawa ke kantor polisi (dari luar ke dalam).
Apa persamaan kedua kata tersebut?
Persamaan adalah pada fakta fisik kasat mata kondisi fisik si tersangka: dari kondisi fisik mulus kepada kondisi fisik babak belur.
Para pembaca, Anda telah membantu saya dengan menginspirasikan tulisan ini: euphemisme. Saya merasa puas atas inspirasi Anda. Terima kasih.
Selamat membaca dan semoga bermanfaat. Sampai jumpa pada tulisan dengan topik berbeda.

  RUJUKAN:
Departemen Pendidikan Nasional, Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Keempat, Penerbit PT Gamedia Pustaka Utama, Jakarta: 2008
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Pedoman Umum Ejaan Yang Disempurnakan (Permendiknas No. 45/2009), Jakarta: 2012
Salomo Simanungkalit, 111 Kolom Bahasa Kompas, Penerbit Buku Kompas, Jakarta: 2006

Tidak ada komentar:

Posting Komentar