RABU, 12 DESEMBER 2012
Mazhab Maliki dari Imam
Malik bin Anas bin Malik
Saya tampilkan sosok imam
besar yang mazhab/ajarannya dianut sebagian besar muslim, dialah Imam Maliki
yang mazhabnya dikenal dengan nama Mazhab Maliki. Untuk dicatat dan diketahui
khalayak muslim, nama mazhabnya itu bukan beliau sendiri yang memberi nama,
melainkan para muridnya yang tersebar di berbagai belahan bumi Asia, dimulai
dari kota Madinah. Lagi pula, Imam Malik adalah imam yang masa hidupnya hanya
berjarak satu generasi dengan generasi sahabat (tabi’in). Imam besar yang dua
orang, Syafi’i, dan Hambali pernah belajar dan berguru kepadanya. Mereka datang
menemuinya di Madinah.
Malik
bin Anas bin Malik (93 H- 179 H; kemudian biasa disebut Imam Malik adalah salah
satu dari empat imam besar yang terkenal (Imam Malik, Imam Hanafi, Imam
Syafi’i, dan Imam Hambali). Ayahnya, Anas bin Malik, sahabat dari golongan Anshar
(asli Madinah keturunan dari Arab Yaman), adalah sahabat dekat Nabi saw.
Kedekatan ayahnya dengan Nabi saw, menjadikan ayahnya sebagai sahabat yang
banyak mendapatkan informasi langsung tentang ajaran Islam, baik tentang wahyu
Allah, maupun sisi kehidupan Nabi saw. Karena itu, Anas banyak mendengar taushiyah Nabi saw,
mencatat sebisanya apa yang dia bisa catat, menghafal Quran, mengetahui, memahami,
meneladani Nabi saw, karena mengalami langsung hidup bersama Nabi saw. Pembelajaran
terbaik adalah mengalami.
(Komunikasi
yang terjadi antara Nabi saw dengan para sahabat dalam bahasa Arab karena orang
Arab, komunikator dan komunikan langsung mengerti, dan komunikan menangkap
ajaran. Kalaupun tidak mengerti, Anas bisa langsung bertanya dan berkonsultasi
dengan Nabi saw. Nabi saw adalah narasumber pertama (primer) tentang wahyu
Allah, Quran.)
Amat
berbeda dengan kita, orang Indonesia, yang berbahasa Indonesia, yang tidak
paham bahasa Arab. . Muslim tak boleh illiterate
(tidak melek, tutup mata) terhadap Quran dan ajaran Islam. Karena Quran itu
pedoman hidup muslim, ya harus dipahami, maka kita harus belajar dengan bantuan
buku terjemahan atau menerjemahkan Apa lagi zaman kita hidup berbeda dengan
zaman Nabi saw karena rentang waktu jauh sekali, dari abad VI ke abad XXI.)
Imam
Malik adalah generasi kedua (tabi’in) dan tidak mengalami hidup bersama Nabi
saw dan para sahabat. Dia lahir dan tumbuh besar sementara Nabi saw sudah
wafat. Malik bin Anas tidak mengenal sosok Nabi saw, fisik, wajah, dan perilaku
Nabi saw.
Malik
bin Anas pada masa kecil adalah seorang anak yang cerdas dan pembelajar yang
kemudian menjadi peneliti hadits. Dia amat tertarik dengan sejarah perkembangan
agama Islam dan riwayat kejuangan semasa hidup Nabi saw. Dia pun belajar dengan
tekun. Tentu saja guru pertamanya adalah sang ayah sendiri, Anas bin Malik. Dia
dididik oleh ayahnya dengan bekal pengetahuan Quran yang amat memadai,
pengetahuan tentang sosok dan perilaku keteladanan ayahnya, yang meneladani
sosok dan perilaku Nabi saw. Malik bin Anas tidak puas hanya belajar dari sang
ayah. Semakin tekun belajar, semakin tinggi tingkat keingintahuannya terhadap
ajaran Islam. Dia amat tekun meneliti. Dia mendatangi para sahabat Nabi saw
yang masih hidup, atau para cendekiawan lain yang menurutnya layak untuk
dimintai informasi.
Akhlak
dan integritasnya terhadap Islam terpuji dalam melakukan penelitian. Dia
menggali informasi, mencatat semua informasi dengan teliti, menganalisis
validitas informasi,, mengonfirmasi, check and recheck, membahas, dan mengulas
informasi secara ilmiah, baik dalam kegiatan bertaushiyah sebagai guru/imam
maupun tulisan dengan selalu merujuk kepada Quran. Dia pun mengajar. Dia
menjadi imam besar di Madinah. Murid pun berdatangan dari berbagai penjuru. Ada
Abdullah bin Muhammad Idris (kemudian terkenal sebagai Imam Syafi’i dengan
Mazhab Syafi’i-nya) yang datang dari Mekkah berguru kepadanya. Ada pula yang datang berguru kepadanya, imam
keempat, Ahmad Ibnu Hambal (kemudian dikenal sebagai Imam Hambali dengan Mazhab
Hambali-nya) datang dari Basrah, Iraq, Imam Hambali juga berguru berguru kepada
Imam Hanafi di Kufah, dan juga kepada Imam Syafi’i di Mekkah.
Inilah
fakta sejarah dari imam yang empat. Bahwa sebenarnya mereka satu perguruan,
berhubungan langsung sebagai guru dan sebagai murid, mempelajari hadits, namun
tetap merujuk/memedomani Quran sebagai rujukan utama.
Imam
Malik tidak berhenti pada penelitian saja dalam bekerja. Dia mengoleksi semua
tulisannya, merangkumnya, dan kemudian kumpulan tulisannya/capita selecta
dijadikan sebuah kitab bacaan penting oleh para muridnya. Buah pikiran yang
tertuang dalam tulisan penanya menjadi kitab yang kemudian dia beri nama Al
Muwatta. Kitab Al Muwatta menjadi rujukan bagi para ilmuwan dan peneliti hadits
generasi kemudian. Dia dipandang sebagai seorang ulama besar dan para muridnya
memangil beliau sebagai Imam Malik. Ajarannya yang tertuang dalam kitab Al
Muwatta kemudian dikenal sebagai Mazhab Maliki.
Mengapa
kemudian yang berkembang adalah adanya empat mazhab, padahal mereka, empat imam
ini bersumber dari sumber yang sama, satu guru, tetapi mazhab/aliran keempatnya
bisa berbeda?
Tidak
semua mazahab sama meski satu sumber, Quran, satu guru, karena manusianya
sebagai narasumber berbeda. Akan tetapi tidak juga semua mazhab berbeda. Itulah
kehidupan manusia cerdas yang dinamis yang terwakili oleh ijtihadn dan ajaran empat
imam besar ini. Latar belakang sosial budaya keempat imam besar ini, narasumber
(informan primer), sumber, cara mengeksplorasi, mencari, dan penggunaan metode penelitian,
dan berijtihad, keempatnya berbeda.
Keempat imam besar ini selalu berpesan wanti-wanti kiepada para muridnya: Kalau
ada yang benar dariku berarti datang dari Allah, maka ambillah. Kalau ada yang
salah dari diriku, bertolak belakang dengan Quran, tolaklah!
Kita,
muslim generasi sekarang, tidak banyak belajar tentang sejarah dan ijtihad keempat
imam besar ini. Kita tidak banyak meriset/menggali lebih dalam, malah tidak
menggali, cuma menelan informasi berbagai kitab tanpa periksa valid tidak
validnya, terandal dan tidak terandalnya. Pengecualian bagi para ahli dan
peneliti segelintir saja. Makanya kita cuma tahu ranah kognitif kulit ari saja perihal
empat mazhab. Kita lebih mengedepankan perbedaan mazhab, padahal sumber keempat
mazhab itu datang dari Quran tanpa studi komparasi. Kita lebih memelototi
perbedaan rawi, matan, dan sanad hadits yang dinukilkan oleh berbagai kitab hadits,
kita lebih banyak disibukkan oleh istilah hadits sahih dan hadits dhaif,
sementara mata kita tertutup dengan sumber utama, Quran. Karena kita cuma
terima bersih, makanya kita dangkal dalam menyikapi, dan terjadilah kelemahan
pola pikir, pola sikap, dan pola tindak/praktik beragama. Dampak buruknya
adalah kita terkotak-kotak dalam sempalan ajaran/mazhab/aliran dan seringkali
fanatik buta.
Akibatnya,
kita saling membenarkan diri, enggan menerima ide dan pola pikir orang lain
jika orang itu tidak semazhab/sekufu mazhab dengan kita, bahkan bisanya kita saling
menyalahkan! Muslim yang bermazhab Syafi’i ngomong bahwa Syafi’ilah yang benar
karena hadits yang dirujuknya dari Kitab Hadits Sahih Bukhari dan Muslim! Lain
dari Syafi’i salah, karena haditsnya bukan Sahih Bukhari dan Muslim! Orang yang
bermazhab lain tidak mau kalah, mencari dalil, dan melakukan counter attack!
Alamak!
Kita
sudah belajar tentang riwayat hidup masing-masim imam dari sittah sahih (enam orang
penulis kitab hadits sahih) ini, belum?
Tahu
tentang Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam Abu Dhawud, Imam Thurmuzi, Imam Ibnu
Majah, dan Imam An Nasa’i juga tidak, eh eh, kita sudah bisa menjustifikasi
asal njeplak asal bunyi!
Mazhab
itu kan cuma sempalan. Kita bemazhab berarti kita bikin sempalan, mengecilkan
diri, memperpendek jarak pandang, dan mempersempit gerak spiritual dan rasional
hidup manusia yang dinamis.
Contoh:
Allah mewajibkan berhaji sesuai dengan teladan Nabi saw berhaji. Nah, muslim
yang bermazhab tertentu sudah membatasi geraknya dengan ritual tambahan:
berpakaian ihram harus di sini, dan tidak sah kalau di sono; doa thawaf tiap
putaran bunyinya begini, kalau bunyinya begono kurang afdol; Di Madinah harus
salat 40 waktu fardhu (arba’in) di Masjid Nabawi yang pahalany 1.000 kali lipat
lebih banyak dari salat di mesjid lain, kalau tidak dapat arba’in kurang
afdhol; Mumpung berkesempatan berhaji, sementara orang tua meninggal dunia
sebelum kesampaian berhaji, maka sebagai anak saleh saya akan membadalkan haji
untuk orang tua saya;
Adakah
keempat imam besar itu, mengajarkan hal-hal seperti contoh di atas? Adakah
contoh Nabi saw salat arba’in di Masjid Nabawy? Adakah Nabi saw meng-Islam-kan
ayahnya yang kafir dengan membadalkan syahadat? Adakah Nabi saw melafalkan doa
thawaf berbeda-beda tiap-tiap putaran?
Bagi
muslim yang bermazhab tertentu, tolong dijawab!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar