Jumat, 07 Desember 2012

KETELADANAN MUHAMMAD SAW DALAM BERDAKWAH




(lanjutan)
QURAN, KETELADANAN NABI SAW, DAN HUBUNGAN SESAMA MANUSIA
Rujukan:
QS 3: 103
Wa’tashimuu bi hablillaahi jamii’an wa laa tafarraquu, wa dzkuruu ni’matallahi ‘alaikum idzkuntum a’daa’an fa’allafa baina quluubikum fa ashbahtum bi ni’matihii ikhwaanaa, wa kuntum ‘alaa safaa hufratin minan naari faanqadzaakum minhaa, kadzaalika yubayyinullahu lakum aayaatihii la’allakum tahtaduun”.
Artinya:
“Dan berpegang teguhlah kamu semuanya pada tali (agama) Allah, dan jangalah kamu bercerai-berai, dan ingatlah nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (jama jahiliah) bermusuhan, lalu Allah mempersatukan hatimu, sehingga dengan karunia-Nya kamu menjadi bersaudara, sedangkan (ketika itu) kamu berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari sana. Demikanlah, Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu agar kamu mendapat petunjuk.”
Awal Dakwah yang Berat
Ajaran dan praktik ketauhidan yang sebenarnya telah disampaikan, diajarkan, dan diteladankan oleh Nabi saw selama masa-masa awal pertumbuhan Islam di Mekkah (13 tahun). Tugas berat namun mulia itu dilakukan demi ketaatan kepada Allah dan menyelamatkan masyarakatnya dari kehidupan yang sesat. Anggota masyarakat ada yang mau dan tulus mendengarkan dan mengikuti ajarannya serta memperkuat barisan dalam fii sabilillah walaupun tidak banyak jumlahnya. Namun para penerima dakwah dan pengikut awal beliau kebanyakan mereka berasal dari kelas/strata sosial kelas bawah dan para budak. Sebaliknya, mereka yang menentang tak kurang-kurang garang menghalang, merintang, membangkang, dan menantang setiap langkah dakwah dilakukan Nabi saw datang dari kelas menengah ke atas, orang kaya, pemuka kabilah, dan para bangsawan Quraisy. Mereka, di antaranya adalah Umayyah bin Khalaf, Walid bin Mughirah, Amru bin Ash, Abu Jahal, Abu Sufyan bin Harb, dan dua orang paman Nabi saw, Abu Lahab bin Abdul Mutthalib dan Abbas bin Abdul Mutthalib.
Bentuk rintangan itu ada yang ringan menggoda sampai kepada bentuk paling keras. Bentuk yang ringan adalah “diskusi” dalam bentuk tawar-menawar. Mereka mengajak Nabi saw berbicara dari hati ke hati beberapa kali. Intinya meminta Nabi saw menghentikan dakwah tauhid dan bersedia kembali kepada kepercayaan nenek moyang. Kompensasi yang mereka akan berikan kepada Nabi saw adalah tahta, harta, dan wanita (3 ta). Argumentasi mereka yang emosional, subyektif, dan amat lemah jelas tidak mampu menandingi argumentasi Nabi saw yang logis ilmiah, kuat, obyektif, dan haq. Mereka kehabisan akal (sesungguhnya hati nurani mereka meyakini kebenaran obyektif yang dihadirkan oleh Nabi saw, tetapi kepongahan akan harga diri menutup semua kebenaran nurani mereka). Tidak berhasil dengan cara lembut dan godaan, mereka mulai mengambil sikap dan tindakan keras. Ada fitnah keji dan hasutan dihembuskan, ada penghinaan, tindakan represif, pengucilan/boikot agar masyarakat Quraisy tidak bisa bersosialisasi dengan Nabi saw dan para pengikutnya,  pengusiran, ada penganiayaan fisik terhadap para pengikut Nabi saw sampai-sampai harus eksodus hijrah dua kali ke Ethiopia, sampai ancaman terberat ditujukan langsung kepada diri Nabi saw yakni akan dibunuh.  Semua rintangan itu keras dan amat berat dihadapi Nabi saw. Sikap Nabi saw yang istiqamah/teguh hati yang kokoh bak batu karang, sabar disertai tawakal berserah diri hanya kepada Allah, pantang menyerah dan putus asa, melawan kekerasan dengan kelembutan, justru berujung respek dan penghormatan. Abu Thalib yang netral namun selalu sedia membela sedikit banyak membuat para pentolan Quraisy yang menentang dakwah Nabi saw harus berpikir ulang untuk melakukan kekerasan fisik kepada Nabi saw. Paman Nabi saw yang lain, Abbas bin Abdul Muththalib yang kaya mulai melembek. Paman beliau yang usianya hampir sebaya dengannya, Hamzah bin Abdul Muththalib, justru masuk Islam dan menjadi perisai di garda terdepan dalam membela nabi. Begitu pun tokoh keras penentang dakwah Islam di luar keluarga dekat Nabi saw, misalnya Umar Ibdul Khattab. Kehadiran Hamzah bin Abdul Mutthalib dan Umar Ibnul Khattab semakin memperkuat front di pihak Nabi saw, namun front lawan justru tambah keras menentang. Paman beliau, Abu Lahab bin Abdul Muththalib dan isterinya, Ummu Jamil, yang tadinya menaruh hormat dan menyayangi Nabi saw, berubah sikap dan tindakan menjadi benci dan membuka front permusuhan dengan kemenakan sekaligus besan (Kedua putra Abu Lahab dengan Ummu Jamil, kakak-adik Utbah danUtaibah menikah dengan kakak-adik Ruqayyah dan Ummu Kaltsum, putra Muhammad saw dengan Khadijah binti Khuwailid).
Kesabaran dan Kelembutan Mengalahkan Kekerasan
Sejarah Nabi saw mencatat bahwa sepanjang dakwah Islam selama tiga belas tahun di Mekkah, tidak sekali pun Nabi saw menganjurkan pengikutnya melakukan agresi atau memaksakan kehendak.  Yang beliau anjurkan hanyalah menahan diri dan tetap melanjutkan dakwah dalam situasi sesulit apa pun. Wahyu Allah tetap turun melalui Jibril dan justru semakin menguatkan daya juang dakwah. Wahyu-wahyu itu tetap disampaikan kepada masyarakat Quraisy. Daarul Arqam adalah tempat beliau berkumpul dan berdakwah dengan para pengikutnya. Inti semua wahyu itu adalah ketauhidan bahwa tiada Tuhan selain Allah Yang Maha Esa. Allah Mahatahu semua hal yang dihadapi Nabi saw dan para pengikutnya. Allah Maha Mengawasi bagaimana kekuatan dan daya juang Muhammad saw dalam berdakwah dan tentu Allah takkan pernah membiarkan rasul-Nya mengalami kesulitan. Sampai turun wahyu-Nya yang memerintahkan Nabi saw untuk berhijrah ke Madinah.
(Tak ada satu pun catatan sejarah yang menjelaskan bahwa Nabi saw itu berdakwah dengan santai, berdakwah keliling membawa rombongan para pengikut ke mana-mana, bernyanyi-nyanyi sambil memukul-mukul rebana atau kendang, dan memuja-muji dengan syair pujian kepada Allah dan kepada dirinya. Tidak di Mekkah dan tidak pula di Madinah. Mengapa? Allah justru melarang bersyair-syair memuja-muji manusia dan nyanyian/syair puja-puji itu sama sekali tak pantas dilakukan oleh muslim karena tak ada manfaatnya sama sekali. Beliau tidak melakukan kegiatan seperti itu. Yang beliau sampaikan/dakwahkan adalah wahyu Allah. Simak QS 36: 69,  “Wa maa ‘allamnaahusy syi’ra wa maa yanbaghilahu in huwa illaa dzikrun wa Qur’aanum mubiina.”, yang artinya “Dan Kami tidak mengajarkan Muhammad itu syair dan sama sekali tak pantas dia mengajarkan sya’ir, melainkan dia menyampaikan/mengajarkan wahyu Quran yang jelas terang-benderang.”
Kekerasan yang dilakukan oleh kaum kafir Quraisy selama di Mekkah terhadap Muhammad dan para pengikutnya tidak dibalas dengan kekerasan. Muhammad saw dan pengikutnya menghadapi dengan sikap penuh kesabaran namun tetap dalam kewaspadaan yang tinggi. Dia meminta para pengikutnya berlaku sama. Para sahabat assabiqunal awwaluun (orang-orang yang pertama menerima Islam seperti Abu Bakar, Utsman bin Affan, ‘Abdurrahman bin ‘Auf, Thalhah bin Ubaidillah, Sa’ad bin Abi Waqqash, dan Hamzah bin Abdul Muththalib) amat taat kepada Nabi saw. Mereka tidak melakukan perlawanan fisik/kontak fisik tetapi dengan sikap sabar, menghindari kontak fisik,  dan tetap waspada karena dihinggapi kekhawatiran setiap waktu nyawa Muhammad saw terancam. Para pentolan kafir Quraisy sudah kehilangan akal untuk lmenghentikan dakwahnya yang justru amat dibenci mereka itu. Mereka menuding Muhammad sebagai biang konflik perpecahan dan permusuhan. Puncak dari kebencian dan kemarahan mereka adalah makar keji: membunuh Muhammad.
(Jelas sekali, bukan? Muhammad saw adalah manusia biasa, bagian dari anggota masyarakat Quraisy, yang kemudian dipilih oleh Allah untuk melaksanakan misi kerasulan. Allah memberinya dengan menurunkan wahyu (Quran) bukan ilmu kesaktian dan jurus-jurus sakti, atau punya bagian tubuh yang sakti atau bertuah. Kalau Anda pernah dengar ceramah atau membaca tulisan dari seseorang bahwa Muhammad saw itu punya air ludah dan rambut bertuah, maka penceramah atau penulis itu adalah anggota organisasi perdukunan/paranormal yang nyasar ke lahan dakwah.
Keteladanan Berakhlak Mulia dalam Berdakwah
Kalau Anda pernah mendengar ceramah atau membaca tulisan, bahwa ketika berhijrah ke Madinah itu, Nabi saw disambut dengan nyanyian salawat puji-pujian dan pawai, bahkan sampai ada penduduk Madinah naik ke pohon karena ingin melihat dengan jelas wajah Muhammad, maka pencerita atau penulis itu seorang penutur pendongeng dan penulis dongeng yang tersesat ke lahan dakwah. Yang menceritakan kayak begitu adalah juru bicara rombongan pemain sirkus atau topeng monyet. Yang berkelakuan kayak begitu pasti sedang bergirang hati pertama kali menyambut kedatangan rombongan sirkus atau hiburan topeng monyet!
Kalau ada orang yang bercerita sering bertemu Muhammad saw dalam mimpi, dan mengatakan ada bacaan-bacaan khusus sehingga memudahkan menghadirkan Muhammad saw dalam mimpi, tak pelak orang tersebut kerasukan roh jurig pulang dari semedi di Pegunungan Dieng atau gua G. Bromo, mungkin baru masuk anggota sindikat pengikut aliran sesat israeliat dan pelestari islam kejawen.)
Muhammad saw menyampaikan wahyu, mengusung ajaran persaudaraan dan persatuan umat manusia, dalam perilaku akhlak mulia, yakni doktrin tauhid dan ketakwaan kepada Allah semata. Karena itu bentuk dakwah beliau: perkataan, sikap perilaku, dan perbuatannya  itu adalah keteladanan (bukan pidato melulu bukan bernyanyi-nyanyi bukan berdeklamasi memuji sanjung). Caranya berdakwah yang penuh argumentasi ilmiah, obyektif, dan berkualitas (penuh hikmah, wise, kebajikan, dan haq). Simak QS 16: 125, “’Ud’uu ilaa sabiili rabbika bilhikmati wal mauizatil hasanah, wa jaadilhum billatii hiya ahsan ....”
Artinya, “Serulah mereka kepada jalan Tuhammu dengan cara hikmah dan pembelajaran yang baik, dan berdiskusilah dengan mereka dengan cara yang baik ....”
Namun demikian, beliau tidak akan pasrah bongkok “nrimo in pandum” semua perlakuan kasar dari kaum kafir Quraisy di Mekkah atau kaum munafik di Madinah. Nabi dan para pengikutnya dapat berlaku keras demi mempertahankan diri dan doktrin dakwah Islam yang sedang dilakoni. Perang pun takkan dihindari dan beliau bersama pengikutnya tidak pernah lari dari medan tempur. Ada yang tewas dalam pertempuran adalah resiko perjuangan. Muslim pengikut Nabi saw tak pernah takut meski harus tewas dalam pertempuran. Mereka itulah para syuhada.
Nabi saw tidak pernah mendendam apa lagi melakukan balas dendam terhadap musuh yang telah memeranginya walaupun mereka telah menyerah bertekuk lutut di hadapannya. Beliau memaafkan semua kesalahan mereka. Itulah akhlak mulia tiada tara. Akhlak seperti itulah yang diteladankan kepada para sahabatnya dan kemudian diteruskan dari generasi ke generasi. Itulah sebabnya mengapa pemeluk Islam kian bertambah banyak saja dari waktu ke waktu. Itulah sebabnya mengapa para pemuka agama lain, pemimpin bangsa lain, dan panglima perang musuh menaruh respek terhadap Muhammad saw dan para pengikutnya, dan mulai melunak sikapnya, dan bahkwan menerima Islam sebagai sebuah doktrin kebenaran. Mereka seakan-akan tergerak hati untuk mempelajari Islam dan semakin belajar semakin tinggi tingkat keyakinan terhadap ajaran Islam.
(Orang Islam selalu bersemangat mendalami Islam bukan karena mendengar cekokan ceramah pidato para ustaz, kiai, atau habaib atau membaca iklan majelis taklim yang sering bombastis tak bermutu, melainkan belajar tentang keteladanan dalam amaliah, perkataan, sikap perilaku, dan sepak terjang para pemuka agama yang tertayang di depan penglihatan mereka).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar