Sabtu, 08 Desember 2012

HAKEKAT PERINTAH IQRA




Rujukan:
QS Al Alaq: 1 s.d. 5
“Iqra’ bismi rabbikal ladzii khalaq. Khalaqal insaana min ‘alaq. Iqra’ wa rabbukal akram. Alladzii ‘allama bil qalam. ‘Allamal insaana maa lam ya’lam.”
Artinya:
“Bacalah dengan nama Tuhanmu yang menciptamu. Mencipta manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmu Maha Mulia. Dia mengajarkan dengan pena. Mengajar manusia semua (apa-apa) yang tidak diketahuinya”.
Quran itu Pedoman Hidup bagi Manusia
Quran itu wahyu Allah. Wahyu Allah pasti mengusung kebenaran. Semua dalil yang ditampilkan dalam ayat Quran harus diyakini kebenarannya sebagai kebenaran yang mutlak.
Salah satu dalil dari banyaknya dalil Quran tentang keberadaan Quran untuk kehidupan manusia adalah bahwa, Quran itu pedoman hidup bagi manusia. Maknanya bahwa dengan keberadaan Quran sebagai pedoman hidup, maka hidup manusia menjadi terarah, melangkah dengan jelas, dan tujuannya jelas. tujuan itu hanya dapat diraih dengan melakukan perintah “iqra” terhadap Quran.
Analog 1
Perlengkapan yang amat penting bagi orang yang berprofesi pelaut/navigator, nelayan, serdadu, pecinta alam, pendaki gunung, tim SAR, anggota pramuka, atau pemangku hutan lindung adalah sebuah alat yang bernama kompas. Kompas adalah alat petunjuk arah. Komponen penting di dalamnya adalah jarum yang selalu menunjuk arah utara dan selatan sebagai patokan. Dengan kompas, mereka yang berprofesi seperti yang disebutkan di atas akan memperoleh kemudahan dalam menentukan posisi awal, ke arah mana harus melangkah dan menuju, atau menentukan arah kiblat bagi muslim yang akan menegakkan salat. Pendek kata, kompas yang sederhana itu menambah kenyamanan mereka dalam bekerja. Para nelayan zaman baheula menjadikan letak dan posisi bintang di langit sebagai “kompas” sehingga mereka dapat melaut pp tanpa tersesat kecuali diganggu oleh cuaca atau badai.
Semua kegiatan bergerak menjadi lancar berkat ada kompas. Persoalan mendasar, jika keberadaan kompas tidak dipahami, bagaimana?
Pramuka penggalang mau mengadakan kegiatan beregu mencari jejak di hutan. Kegiatan mencari jejak bagi pramuka penggalang itu cukup berat dan rumit serta menuntut kecerdasan. Cerdas membaca perintah, cerdas menganalisis, gesit, tangkas, dan mampu bekerja sama.
Ada kompas di tangan, masing-masing regu telah dibekali satu-satu, tetapi mereka tidak dibekali pengetahuan tentang cara kerja kompas dan cara menggunakan kompas, bagaimana jadinya hasil kegiatan mencari jejak?
Apakah cukup kompas dikantungi, atau digantung di leher, atau dipandangi saja jarumnya? Apakah cukup tulisan dalam kompas dibaca-baca saja berulang kali kayak dukun merapal mantra-mantra, lalu jejak ditemukan? Boleh jadi pramuka penggalang mampu mencari jejak, tetapi mampukah mereka kembali tepat waktu ke tempat semula? Boleh jadi ada regu yang tersesat.
Analog 2
Semua produk massal selalu disertai buku petunjuk penggunaan produk tersebut. Petunjuk itu ada berbentuk buku, brosur,  atau berupa lembaran. Misalnya produk obat-obatan atau jamu atau barang elekronik. Dalam buku petunjuk terdapat informasi rinci tentang spesifikasi, komposisi, khasiat/kegunaan, cara pemakaian, cara menyimpan produk, dan warning/peringatan yang penting. Para konsumen yang membaca dan mempelajari buku petunjuk akan mampu menggunakan/memanfaatkan produk semaksimal/seoptimal mungkin dan mengeliminasi kerugian material, fisik, dan psikis. Kalau kita berobat, usai berobat, dokter memberikan resep, lalu kita membeli obat fi apotek, dan apoteker selalu melampirkan secarik kertas yang berisi tulisan tentang cara mengonsumsi obat.
Keberadaan buku atau lembaran petunjuk bagi seseorang yang buta huruf sama sekali tak ada artinya. Keberadaan buku petunjuk dalam bahasa asing, misalnya bahasa Arab, bagi orang yang tidak memahami bahasa Arab, oral and written, tentu kurang berguna. Ibarat panen yang didapat cuma panen muspro.  
Kita ambil contoh produk obat-obatan produksi asing dari Saudi Arabia yang pasarnya khusus di Indonesia. (Mereka tahu penduduk Indonesia mayoritas muslim dan asumsi mereka semua muslim pasti bisa baca huruf Arab).
Pak Anas, muslim, bisa ngaji dan suara merdu, suka baca Quran pagi dan petang (taat kepada ustaz yang sering taushiyah bahwa sering membaca Quran itu pahalanya berlipat ganda), mengalami sakit darah tinggi. Dia lalu membeli ramuan obat made-in Saudi Arabia untuk penyakitnya di apotek “As-Sehhah”. Apoteker Wan Abud memberitahukan dia agar membaca petunjuk penggunaan obat yang terdapat di dalam sampul/kemasan obat.
“Pak Anas, tolong antum baca fetunjuk fenggunaan obat di dalamnya. Cuma fetunjuknya fake bahasa ane, bahasa Arab,” imbuh Wan Abud si apoteker yang kentel logak arabnya.
“Nggak masalah bagi ane, Wan Abud! Ane faham bahasa antum!” jawab Pak Anas pede banget.
Pak Anas membaca dengan lancar dan fasih petunjuk yang tertulis. Dia baca berulang-ulang disaksikan isteri dan anak-anaknya. Bibirnya sampai kering karena kebanyakan membaca. Keningnya pun berkerut dan wajahnya menyusut karena dia tak tahu harus berbuat apa dan bagaimana dengan obatnya. Isteri dan anak-anaknya bertanya tentang arti petunjuk penggunaan obat. Justru itu yang membuat dia kecil hati. Tak satu pun kalimat di dalam kertas petunjuk yang dia pahami artinya secara utuh. Dia belum berani mengonsumsi obatnya karena tak tahu caranya. Isteri dan anak-anaknya lebih-lebih tak paham. Akhirnya mereka melarang Pak Anas mengonsumsi obat tersebut daripada bermasalah.
Jika kita sama dengan posisi Pak Anas, kita juga takkan gegabah mengonsumsi obat. Bisa-bisa bukan kesembuhan yang kita dapat, melainkan keracunan obat karena tak tahu cara mengonsumsi. Lalu, kalau kita tidak mengonsumsi obat itu, bagaimana mungkin penyakit akan sembuh? Duit terbuang percuma, sia-sia, muspro pula!
Jadi, apa gunanya ada petunjuk? Apa manfaatnya kalau cuma lancar baca di bibir tanpa tahu artinya?
Mari kita ambil dua analog tentang kompas dan buku petunjuk di atas dengan mencoba membandingkan dengan kehadiran Quran sebagai pedoman hidup bagi kita semua.
Kita katakan Quran sebagai pedoman hidup,  padahal kita cuma menjadikan Quran sebagai hiasan rumah sebagai indikator bahwa kita seorang muslim (tandanya orang Islam kan harus ada Quran di rumah, sungguh ironis!).
(Gajah terkenal karena gadingnya. Labah-labah dikenal karena jaringnya. Harimau dikenal karena belangnya. Ayam jantan dikenal karena jenggernya. Jerapah dikenal karena leher panjangnya.)
Kita katakan Quran sebagai pedoman hidup, padahal kita cuma pandai membacanya saja, bangga mengaji dengan suara merdu, bangga menjadi juara MTQ, padahal kemampuan model itu selevel anak usia TK yang sudah pandai membaca. Kita cuma berada pada level mengagumi yang tak menyentuh pemahaman sama sekali. Ibarat anak usia SD yang sudah pandai menyanyikan lagu-lagu barat atau anak usia MI yang fasih melantun lagu-lagu salawat. Ibarat pasien dukun yang sudah pandai merapal mantra-mantra mustajab bikinan dukun.
(Kambing dikenal dengan embikannya. Kerbau dikenal karena lenguhannya. Harimau dikenal karena aumannya. Kucing dikenal karena eongannya. Ayam jantan dikenal karena kokoknya.)
Kalau kita merujuk kepada taxonomi Bloom dalam teori belajar dalam ranah pembelajaran, ada enam level competency (C) atau kompetensi,  maka kompetensi menghafal dan mengetahui itu levelnya baru C1 dan C2 (rendah). Level C3 adalah memahami, C4  adalah analisis, C5 adalah sintaksis, dan C6 (tertinggi) adalah evaluasi.
Maka pantaslah sebagian besar muslim itu kualitas hidupnya rendah. Seseorang yang berkemampuan membaca saja meskipun ora mudheng artine sudah digadang-gadang diamang-iming dengan pahala berlipat ganda. Mereka berlomba-lomba mengejar pahala kegiatan membaca meskipun mereka tak mengerti sama sekali kandungan bacaan yang dibacanya. Perintah iqra’ hanya dimaknai dan disikapi sebagai sekedar membaca/melafal ayat-ayat Quran, mirip dengan kelakuan Pak Anas membaca petunjuk penggunaan obat penyakit darah tingginya.
Cobalah simak perumpamaan yang dikatakan oleh Allah dalam QS 62: 5.
“Matsalul ladziina hummilut tauraata tsumma yahmiluuhaa kamatsalil himari yahmilu asfaaraa. Bi’tsa matsalul qaumilladziina kadzdzabuu bi aayaatillah, wallaaha laa yahdil qaumazh zhoolimiin.”
“Perumpamaan orang-orang yang diberi tugas mengemban Torat (umat Yahudi) kemudian mereka tidak melaksanakan,  ibarat himar (keturunan kuda yang kawin silang dengan bagal) yang diberi beban yang bertambah berat. Begitulah buruknya suatu kaum yang mendustakan sebagian ayat-ayat Allah. Demi, sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepadaorang-orang yang zholim (tidak mau belajar untuk memahami).”
Mungkinkah seekor keledai menjadi cerdas jika di punggungya dipanggulkan Kitab Torat? Mungkinkah seekor kuda balap dapat berlari lebih kencang jika di pelananya diletakkan kitab Quran?
Mungkinkah seekor kerbau bisa menjadi pintar jika setiap pagi dibacakan ayat-ayat Quran di kedua telinganya oleh seorang kiai yang fasih bacaannya?
Mungkinkah seorang anak usia TK dapat menangkap arti ayat Quran yang dibacakan di telinganya  dengan tujuh gaya qiraat oleh seorang qori internasional?
Mungkinkah jemaah taklim yang membludak di luar masjid dapat menangkap ceramah kiai atau habib yang berdiri di dalam mesjid?
Mungkinkah seorang pasien penyakit diabetes dapat sembuh cukup dengan merapal-rapal ayat Quran, menyimpan lipatan kertas bertuliskan ayat Quran di dalam ikat pinggang, atau mendengar suara si dukun membacakan ayat Quran?
Apakah seperti itu kita memahami iqra?
Nah, sebagian besar orang Islam yang tak memahami Quran, oleh Allah disamakan dengan binatang ternak (kerbau, kuda, keledai, domba, atau sapi) bahkan lebih parah dari itu.
Jadi, harus bagaimana sikap kita terhadap perintah “iqra”? Ya dengan cara mempelajari, meresapi, memahami, dan mengamalkan semua ayat Quran supaya kita tidak sama dengan ternak: punya mata tetapi tidak untuk mengamati; punya telinga tetapi tidak untuk menyimak; punya hati dan punya akal tetapi tidak untuk memahami dan menghayati. Simak QS 7: 179.
“Wa laqad jara’na li jahannama katsiiran minal jinni wal insi, lahum quluubun laa yafqahuuna biha, wa lahum a’yun laa ybshiruuna biha, wa lahum aadzaanun la yusmi’uuna bihaa. Ulaaika kal an’am, bal hum adhallu, wa ulaaika humul ghaafiluun.”
Ya, Allah, jauhkan hamba-Mu dari kebodohon yang disengaja!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar