Minggu, 02 Desember 2012

JADILAH PENGABDI, TELADANI NABI SAW DALAM MENGABDI

Rujukan:
QS 51: 56 "Wa maa khalaqtul jinni wal insi illaa liya'buduun."
QS 68: 4 "Wa innaka la'alaa khuluqin 'adziim"
QS 33: 21. "La qad kaana lakum fii rasulillaahi 'uswatun hasanah ...."

Manusia itu Pengabdi Allah
Ada dua hal yang penting untuk diketahui oleh muslim tentang pengabdian kepada Allah Yang Maha Pencipta.
 Pertama, manusia diciptakan semata-mata untuk mengabdi/menghambakan diri/tunduk/taat/patuh hanya kepada Allah, itulah fungsi mutlak/harga mati dan tak ada tawar-menawar, acara lelang, atau bargaining dalam bentuk apa pun.
Kedua, mengabdi kepada Allah itu memiliki dua hal penting yang berwujud hablum minallah dan hablum minan naas. Kedua perkara ini tidak bisa parsial/sendiri-sendiri/satu-satu/ atau prioritas yang satu dan menafikan/menihilkan yang lain. Ibarat dua sisi mata uang. Menegakkan hablum minallaah pasti di dalamnya menyertai hablum minan naas.
Apa buktinya?
Saya ajak para pembaca kepada ibadah salat Tahajjud (qiyaamul lail). Salat Tahajjud itu dianjurkan untuk ditegakkan (QS 17: 36) dilakukan ketika tengah malam, ketika sepi dan hening (kalau zaman sekarang cari suasana hening dan sepi kayaknya susah banget! Apa lagi hidup di kota Jakarta yang kagak ade matinye! Kayaknya, menurut perasaan kita yang mau salat Tahajjud, kita sendiri dan Allah saja yang tahu. Perasaan kita mengatakan semua orang di sekeliling kita sudah tidur terlelap dibuai mimpi dengan hiasan suara dengkuran (ngorok kaya suara penggergajian kayu). Lalu kita bangun, terrjaga, dan bangkit dari tempat tidur, pergi ke kamar mandi, berwudhu, kemudian menggelar sajadah, bertakbir sampai kepada ucapan salam, menoleh ke kanan lalu ke kiri, selesai!
Benarkah bahwa salat Tahajjud itu hanya satu perkara saja, hablum minallah thok? kita dan Allah saja




Manusia itu Pengabdi Allah
Ada dua hal yang penting untuk diketahui oleh muslim tentang pengabdian kepada Allah Yang Maha Pencipta.
 Pertama, manusia diciptakan semata-mata untuk mengabdi/menghambakan diri/tunduk/taat/patuh hanya kepada Allah, itulah fungsi mutlak/harga mati dan tak ada tawar-menawar, acara lelang, atau bargaining dalam bentuk apa pun.
Kedua, mengabdi kepada Allah itu memiliki dua hal penting yang berwujud hablum minallah dan hablum minan naas. Kedua perkara ini tidak bisa parsial/sendiri-sendiri/satu-satu/ atau prioritas yang satu dan menafikan/menihilkan yang lain. Ibarat dua sisi mata uang. Menegakkan hablum minallaah pasti di dalamnya menyertai hablum minan naas.
Apa buktinya?
Saya ajak para pembaca kepada ibadah salat Tahajjud (qiyaamul lail). Salat Tahajjud itu dianjurkan untuk ditegakkan (QS 17: 36) dilakukan ketika tengah malam, ketika sepi dan hening (kalau zaman sekarang cari suasana hening dan sepi kayaknya susah banget! Apa lagi hidup di kota Jakarta yang kagak ade matinye! Kayaknya, menurut perasaan kita yang mau salat Tahajjud, kita sendiri dan Allah saja yang tahu. Perasaan kita mengatakan semua orang di sekeliling kita sudah tidur terlelap dibuai mimpi dengan hiasan suara dengkuran (ngorok kaya suara penggergajian kayu). Lalu kita bangun, terrjaga, dan bangkit dari tempat tidur, pergi ke kamar mandi, berwudhu, kemudian menggelar sajadah, bertakbir sampai kepada ucapan salam, menoleh ke kanan lalu ke kiri, selesai!
Benarkah bahwa ketika bersalat Tahajjud itu menyangkut hanya satu perkara saja, hablum minallah thok? Benarkah bahwa dalam menegakkan salat Tahajjud itu tidak ada kaitannya dengan hablum minan naas kita dan Allah saja yang tahu?
Kita berpakaian yang rapih dalam salat kita ingat kepada pencipta busana, desainer, penjahit, pabrik, atau siapapun yang terlibat dalam produksi busana. Mereka telah berjasa karena lmenciptakan busana untuk kita. Wujud terima kasih kepada mereka adalah menggunakan busana buatan mereka, produsen busana yang juga pengabdi Allah. Kita tak perlu memuji menyanjung para produsen busana atau memanggil-manggil mereka atau memberitahu mereka bahwa kita memakai busana buatan mereka.
Kita kan bukan bayi ajaib Gatotkaca yang diceburkan dalam kawah Candradimuka terus ujug-ujug gede bongsor berpakaian kutang Antakusuma dalam dongeng fiktif pewayangan!
Kita mematut-matut diri barpantas-pantas diri bercermin depan kaca, ingat/ngeh atau nggak ngeh, kita telah melakukan hablum minannaas dengan produsen furniture/perabot rumah tangga.
Itu baru perkara salat Tahajjud! Belum lagi bicara ibadah puasa. Analog lain seabrek-abrek yang memperkuat tesis: hablum minallah dan hablum minan naas adalah “dwitunggal”, bukan dikotomis, bukan saling menafikan, dan bukan saling menihilkan!
Jelasnya, tak ada praktik dunia untuk dunia saja atau akhirat saja. Semua praktik ibadat muslim itu selalu dunia dan akhirat. Thus, tidak ada ilmu dunia untuk dunia saja, ilmu agama untuk akhirat saja. Ada saja guru ngaji atau ustaz yang ngajarin kayak begitu. Apa ciri-cirinya?
Yang dia ajari hafalan lafal salawat, sya’ir-syair, riwayat silsilah Nabi saw, riwayat hidup dan puji sanjungan buat orang-orang alim zaman baheula, hafalan asma’ul husna, doa-doa yang diijabah, ayat-ayat Quran tertentu yang harus dihafal dilafal bibir komat-kamit sekian-sekian kali mirip jampi-jampi, dan suka ngajakin ikut kegiatan proyek ziarah kubur.
Kalau ada guru ngaji/ustaz privat di rumah kita yang ngajarin bertentangan dengan Quran, ganti aja dengan ustaz/guru ngaji yang cerdasan sedikit!
Jangan kita khawatir dengan profesi apa pun yang kita sandang! Profesi itu adalah atribut pengabdian sebagai hamba Allah agar tetap hidup survive di bumi Allah. Presiden, Menteri, Manager, Supervisor, Guru, Buruh, Pedagang, Makelar, Seniman, Nelayan, atau Pemulung adalah profesi pengabdian sebagai hamba Allah. Semua profesi yang sesuai dengan perintah Allah pasti halalan thoyyiban dan bermuara kepada ibadah, pasti berbuah manfaat bagi manusia, di sana pasti ada hablum minalllah dan habulum minan naas, buah manisnya adalah keridoan Allah (mardatillah), dan akhir dari segala yang akhir, sorga deh! Amin.
Laa takhaf, wa laa tahzan! (Jangan takut, jangan berdukacita/berkecil hati!) Gitu aja kok repot!
Teladani Nabi Saw Jika Kita Memang Cinta kepadanya.
Rujukan:
Kita, muslim, yang hidup pada zaman sekarang, sama sekali tidak mengenal/tahu fisik Nabi saw. Kehidupan Nabi saw (570 M- 632 M, abad VI-VII) dan rentangan waktunya dengan kehidupan kita sekarang jauh sekali (abad XXI). Tetapi mengapa kita, muslim, begitu cinta kepadanya?
Kan kita tak pernah lihat gambar, lukisan, foto, atau patungnya? Perihal fisik Nabi saw tidak penting untuk dibahas, lagi pula tak ada manfaatnya (yang doyan bahas yang kayak begitu paling-paling orang yang mengaku-aku keturunannya).
Pertama, Nabi saw amat keras melarang memvisualkan fisik beliau dalam bentuk apa pun. Tujuan larangan itu jelas: agar umat Islam tidak meniru-niru kesalahan umat terdahulu yang suka menggambar wajah nabinya, melukisnya, bahkan memahat patung fisiknya. Semua karya itu adalah pelecehan. Adakah umat Nasrani suka akan kehadiran patung Jesus Kristus dan Bunda Maria? Adakah umat di luar Nasrani menyikapi positif kehadiran patung keduanya? Didewakan atau dinista? Dimuliakan atau dihinakan? Pasti selalu muncul penilaian kontroversial, pro dan kontra! Iya, bukan?
contoh lain adalah kehadiran patung Buddha Shidarta Gautama atau patung Hindu Sang Krishna, atau patung Dewi Kwan Im!
Simak sejarah Nabi Ibrahim as (2000-3000 SM). Beliau diperintahkan Allah Swt. agar menghancurkan patung-patung sesembahan orang Mesir, termasuk patung buatan bapaknya, Azar, yang berprofesi sebagai pematung.
Nah, umat Muhammad saw, umat Islam, tidak boleh melakukan kesalahan serupa. Bukankah ruh Millat Ibrahim dan Islam itu satu, ketauhidan?
Kedua, Nabi saw melarang menuliskan kalimat-kalimat perkataannya di luar kalimat wahyu Allah (ayat-ayat Quran). Ali bin Abi Thalib atau Zaid bin Tsabit sang notulis pun tak pernah berani menulis kecuali yang telah diperintahkan. Jangan membayangkan ada pulpen atau pensil, atau mesin ketik, berikut kertas hvs ada, apa lagi laptop, tak ada semua itu! Yang ada cuma pena lancip untuk menulis dan pelepah korma atau kulit domba untuk ditulisi. Kegiatan menulis ayat-ayat Quran itu memakan waktu yang lama.
Mengapa Nabi saw  pada satu sisi membacakan ayat-ayat Quran berulang-ulang sampai hafal luar kepala dan menyuruh wajib menuliskan wahyu Allah dengan teliti di bawah kontrol beliau sendiri, sementara pada sisi lain beliau melarang keras menulis perkataannya?
Nabi saw amat mengkhawatirkan wahyu Allah bercampur aduk dengan perkataan beliau jika keduanya dituliskan. Nabi saw dan para sahabat memaklumi bahwa semua tulisan/catatan itu bisa dikontrol/dikendalikan karena masih ada beliau. Kekhawatiran itu timbul jika Nabi saw dan para sahabat telah tiada. Ada orang-orang fasik akan mengacaukan catatan itu, menghilangkan, mencampuradukkan, atau yang sering terjadi menambah-nambah yang berujung pemalsuan dengan sesuatu yang subyektifitas.
Memang, cara kendali yang ketat oleh Nabi saw itu membuahkan hasil: kemurnian Quran hingga akhir zaman. Sedikit celah yang dirasuki perbuatan orang fasik akan terbongkar dengan cepat, jangankan satu kalimat dari sebuah ayat, satu kata satu huruf pun akan diketahui. Sebnyak 6.236 ayat Quran itu tetap utuh dan ribuan penghafal Quran adalah penangkis pekerjaan orang fasik para pemalsu Quran.
Orang fasik itu gagal memalsukan wahyu Allah dalam Quran, tetapi mereka tidak berhenti bergiat merusakn akidah Islam. Tidak bisa melalui ayat-ayat Quran, mereka banting setir melalui tulisan dan cerita-cerita campur aduk dalam berbagai hadits. Orang-orang fasik itu bertanya kepada para sahabat tentang semua hal yang pernah dikatakan, didiamkan, atau dilakukan oleh Nabi saw. Para sahabat pun bercerita, “Kata Nabi saw tentang X, bahwa X ....” Mereka yang mendengarkan ini kemudian bercerita kepada sahabat yang lain, “Kata Nabi saw tentang X, dari sahabat Y, bahwa X ....”
Jadi, sederhananya, hadits itu, semua perkataan Nabi saw, bukanlah asli, melainkan “katanya”. Kalau para pembaca belajar bahasa, tentang kalimat, ada kutipan langsung yang disebut “kalimat langsung” (direct speech) dan tanpa kutipan  “kalimat tidak langsung” (indirect speech). Ciri khas kalimat langsung adalah tanda kutip dua yang mengapit kutipan langsung: Kata Ustaz Haris, “X adalah perkara sunnah dan Y adalah perkara wajib.” Sedangkan ciri kalimat tidak langsung adalah ada kata “bahwa”: Kata Ustaz Haris tentang perkara X dan Y, bahwa X adalah perkara sunnah dan Y adalah perkara wajib.
Hadits itu arti sederhananya sama dengan “katanya”. Perhatikan contoh berikut ini.
Dalam peristiwa menjelang Perang Badar, dari sahabat Fulan, bahwa Nabi saw berkata sebagai respon dari perkataan salah seorang sahabat, “Ini perang kecil-kecilan. Perang besar yang sesungguhnya adalah perang melawan hawa nafsu.”
Kalimat yang dikutip di atas bukanlah asli perkataan yang keluar dari mulut Nabi saw, melainkan dari mulut sahabat Fulan yang mendengar perkataan Nabi saw secara langsung. Benarkah Fulan mengutip seratus persen perkataan Nabi saw?
Kalau zaman sekarang ada video perekam. Boleh jadi rekaman perkataan Nabi saw memang tepat persis seperti kalimat yang dikutip. Zaman check dan recheck serta konfirmasi dan didukung oleh media TIK yang modern. Zaman sekarang ada laptop yang mengerjakan copy paste (copas) untuk bahasa tulis. Lha, zaman Nabi saw? Abad VI-VII loh?
Bagaimana mungkin sahabat Nabi saw, para notulis yang kebetulan literasi alias melek huruf Arab menulis perkataan beliau kalau tidak disuruh/dilarang. Bagaimana mungkin para sahabat itu bisa menyalin/menulis cepat padahal alat tulis amat sangat sederhana, sementara kalimat-kalimat yang diucapkan Nabi saw itu banyak dan bukan seperti dalam pelajaran dikte/dictation/imla’?
Inilah cara awal yang amat sederhana untuk belajar mengenal kedudukan hadits sehingga lahirlah atribut hadits sahih atau hadist dhaif atau mutawatir. Perkara hadits ini adalah celah lebar yang mudah dimasuki para fasikin yang memang ingin merusak kemurnian ajaran Islam. Mereka memelintir informasi, mengarang-ngarang tafsiran sendiri, membelokkan tafsiran, membentur-benturkan tafsiran, lalu menggandakan, kemudian menyebarluaskan.
Ada para ahli tampil meluruskan yang bengkok, membenarkan yang salah, dan mengkritisi secara obyektif. Akan tetapi tidak semua dapat dilakukan. Informasi yang salah masih banyak. BUktinya banyak sekali hadits palsu ditemukan sampai detik ini. Sayangnya, banyak yang sudah jelas-jelas palsu tetapi tetap dipakai sebagai acuan dalam teori dan praktik Islam. (Tentang hal ini akan dibahas pada kesempatan lain).
Cinta kepada Nabi saw bukan mengedepankan cerita bagusnya fisik beliau. Cinta kepada Nabi saw bukan dengan cara menghafal silsilah asal-muasal atau keturunan beliau dari anak sampai keturunan ke-57, bukan dengan cara menyanjung verbalistis dalam nyanyian salawat dan syair-syair pujian dari satu majelis ke majelis lain. Bukan dengan cara istighatsah jemaah seabrek-abrek berdoa menangis terisak-isak karena ingat jasa beliau padahal tahu sejarah Nabi saw pun tidak. Dll. Semua itu akan kehilangan makna yang hakiki karena tak menyentuh apa-apa. Semua cara yang kayak begitu hanya seumur jagung.
Lalu, apa yang dapat menyentuh sehingga cinta kepada Nabi saw itu berkesan dalam dada setiap muslim?
Jawabannya adalah meneladani sepak terjang beliau selama hidup. Perhatikan contoh berikut.
Nabi saw itu seorang pekerja yang ulet, bukan pemimpi. Muhammad seorang yatim piatu penggembala kambing/domba yang handal, merawat ternaknya, memerah susunya, memakan dagingnya, tanpa pernah mengganggu orang lain/sesama penggembala.
Pemuda Muhammad adalah seorang peniaga yang amanah. Jujur berniaga, menjaga kualitas barang niaga, konsisten dengan sesama peniaga, jujur terhadap pelanggan/pembeli, dan memperoleh keuntungan yang wajar, memperoleh penghargaan dari pemilik barang.
Muhammad seorang lelaki berakhlak terbaik di tengah lingkungan masyarakatnya yang kurang baik/jahiliah. tutur kata dan bahasanya santun, sikapnya apik, dan kelakuannya tak ada cacat cela. Karena kebaikannya itu semua orang hormat dan sungkan kepadanya, tua dan muda, laki-laki dan perempuan tanpa kecuali. Tak ada satu pun orang-orang yang merasa dirugikan. Dia hadir menyatukan umat, meniadakan konflik, perpecahan, dan perang kabilah (zaman sekarang tawuran antardesa antarkampung semestinya sudah berakhir jika setiap muslim meneladani sikap perilaku Nabi saw).
Muhammad seorang suami yang baik bagi isterinya (Khadijah, masih di Mekkah), dan juga isteri-isterinya (Aisyah, Hafsah, Ummu Salamah, Maria Qibtiah, dll di Madinah). Muhammad memperlakukan semua isterinya secara adil. Ada isteri beliau yang cemburu, rasa iri, ingin lebih disayangi, semua adalah manusiawi tak bisa disangkal. Tak ada cerita berlebih-lebihan.
Muhammad adalah seorang bapak bagi anak-anaknya (empat orang wanita hidup sampai dewasa: Ruqayyah, Ummu Kaltsum, Zainab, dan Fatimah). Tak ada yang merasa paling disayang dan tak ada yang tidak disayang. Mereka dididik sampai usia menikah. Anak perempuan terakhir, Fatimah, dinikahkan dengan Ali bin Abi Thalib. Cerita tentang Fatimah yang paling dikasihi (sampai-sampai dijaminkan sebagai wanita utama penghuni sorga) adalah cerita orang Syi’ah belaka dan juga orang-orang yang mengusung nasab ke Fatimah. Maksudnya agar nyerempet sampai kepada Nabi saw, agar diaku sebagai keturunan Nabi saw.
Dalam Islam, laki-laki itulah nasab, bukan perempuan. Hasan dan Husein itu nasabnya adalah Ali bin Abi Thalib bin Abdul Muththalib bin Hasyim bin Qusay bin Kilab. Nggak ada kan nama Muhammad di dalam nasab itu? Masakan demi agar diakui keturunan Nabi saw, terus “bin” begitu sampai kepada Fatimah lalu diganti  dengan “binti” lalu “bin” lagi. Gimane sih Ente? Lebay banget ente!
Habib A bin B bin C bin D ... bin habib X bin Y bin Z binti Fatimah binti Muhammad bin Abdullah! Lucu banget! Nama Ali bin Abi Thalib digantikan oleh isterinya. Ada nama Fatimah disangkutkan supaya nyangkut nama Muhammad saw. Buntutnya kan cuma kepingin dibilang masih ada darah keturunan Nabi saw! Pelecehan terhadap Ali bin Abi Thalib! Ali bin Abi Thalib pasti tersinggung. Untungnya Ali bin Abi Thalib sudah tiada. Ini namanya praktik tercela diskriminasi atas nama mengedepankan keturunan Nabi.
Kekerabatan dalam Islam amat berbeda dengan kekerabatan dalam monarkhi/kerajaan/dinasti.
Pangeran William bin Pangeran Charles binti Juliana bin Henry VIII!
Ambillah doktrin/ajaran Islam secara kaaffah/utuh, jangan mengambil parsial/sebagian atau setengah-setengah hanya karena ada kepentingan sendiri.
Muhammad saw adalah seorang nabi dan rasul. Akhlaknya adalah akhlak terbaik. Dia mengajar, bertaushiyah, berdiskusi, dsb. dengan penuh hikmah, kearifan, dan ilmiah. Tak ada yang lebay. Tak ada informasi wahyu yang dilebih-lebihkan atau dikurang-kurangi, atau disunat, atau disembunyikan, dll karena ada interest. Nabi saw tak punya interest pribadi kecuali tujuan Islam yang rahmatan lil alamin  (kayaknya para ketua parpol dan politisi yang duduk di gedung dewan harus meneladani sikap perilaku Nabi saw. Terlebih lagi mereka yang muslim yang konon sering berpidato mengajak mencintai Nabi saw).
Muhammad saw menjunjung tinggi hukum syariat Islam melalui wahyu Allah. Tak ada pilih kasih tebang pilih anak emas dalam menerapkan hukum. Dia memberi reward kepada orang-orang yang berjasa dan tak segan-segan memberi punishment kepada orang-orang yang melanggar hukum. Walau kepada anak kandung sekalipun.
Kalau begitu adanya, indah benar dunia ini. Kalau saya presiden, Menteri kesayangan saya langsung saya copot jabatannya karena namanya santer dibicarakan orang karena patut diduga melakukan korupsi. Kalau pengadilan menghukum dia tidak korupsi, saya rehabilitasi namanya dan saya kembalikan kursinya. Saya akan langsung mencopot Ketua Umum Parpol saya dan menyerahkan langsung ke tangan KPK untuk diproses, agar masyarakat tahu bahwa saya tidak sekedar meneriakkan slogan, “Katakan tidak dengan Korupsi!”
Jadi, mencintai Nabi saw itu equal sama dan sebangun dengan meneladani sikap perilaku Nabi saw. Kalau belum paham, pelajari dengan baik sejarah hidup Nabi saw, bukan belajar menghafal kalimat salawat dan syair-syair pujian karangan pengultusindividu Nabi saw.
Semoga sharing berupa tulisan ini bermanfaat






Tidak ada komentar:

Posting Komentar